Cerpen cinta "Dalam diam mencintaimu" 01 / 04
#EditVersion. Jadi gini guys. Admin sekarang kan jarang tuh update cerpen terbaru. Nggak sesering dulu. Mentok di ide, waktu juga kesempatan. Untuk itu, admin kadang suka iseng baca karya karya sebelumnya. Dan ngeh banget, kalau ternyata EYD dan typo bertebaran di mana - mana. Untuk itu, mau di rapiin. Kini cerpen dalam diam mencintaimu yang dapat gilirannya. Oh iya, tokohnya juga di ganti ya. Sekalian sih, biar blognya rapi juga. Secara ya kan, blognya emang acakadut banget. Maklum aja deh, blog Ana merya ini mah emang di mulai dari 'Nol'. Nol dalam belajar nulis, nol juga dalam mengenal blog.
*** Jangan pernah jatuh cinta pada sahabat, karena jika dia menemukan cintanya,
Kau akan kehilangan dua orang sekaligus. Sahabat mu dan orang yang kau cintai.***
“Dor!”
“Huwa!!!” Irma menjerit sekenceng – kencangnya saat tiba – tiba ada seseorang yang mengagetkannya di susul suara gelak tawa.
“Ha ha ha, kaget ya loe?"
“Rey, berhenti selalu ngagetin gue,” geram Irma sambil mengelus dada. Matanya menyipit menatap kearah sosok yang akrab di panggil Rey yang kini masih tampak berusaha menahan tawanya. "Kayaknya loe seneng banget ya, kalau sampai gue mati muda karena di kagetin mulu," sambung gadis itu lagi.
“Jangan lebay. Loe nggak ngidap lemah jantung jadi gimana ceritanya bisa mati muda,” Rey mencibir. Sebelum mulut Irma kembali terbuka ia sudah terlebih dahulu menambahkan. "Loe pasti sudah sedari tadi nungguin gue kan. Ya sudah kalau gitu, ayo kita berangkat," ajaknya lagi.
Walau masih kesel, tak urung Irma mengangguk. Memang sudah hampir 15 menit ia menunggu Rey sebelum kemudian dikagetkan dengan tiba – tiba saat ia sedang asik memperhatikan tanaman cabenya yang berdaun kriting (???). Biasanya mereka memang pulang-pergi kuliah bareng. Kebetulan selain sekampus mereka juga tetanggaan. #@irma, Jreng jreng jreng... Tetangga ku idolaku. (1)
Sepanjang perjalanan tak henti mereka bercanda tawa. Rey anaknya memang enak di ajak ngobrol. Ditambah lagi mereka sudah bersahabat sejak kecil. Tak heran jika keduanya terlihat begitu akrab.
“Oh ya, hari ini loe masuk berapa mata kuliah?” tanya Rey sambil melepaskan helmnya. Saat itu mereka memang sudah tiba dihalaman parkir kampus.
“Dua, loe?” sahut Irma sembari balik bertanya.
“Sama, ya udah kalau gitu entar habis kuliah kita jalan yuk. Hari ini ada pembukaan pasar hiburan di lapangan."
Irma terdiam. Pasang wajah sok mikir. Jalan bareng sama Rey? Asik juga, walau Rey notebenenya sahabat, tapi kan selama ini ia menyukainya diam – diam. Dan kali ini ia di ajak jalan, itu termasuk kencan bukan si?. Tanpa sadar bibirnya membentuk senyuman samar. #Naksir diam – diam (2)
“Nggak usah kelamaan mikir. Entar loe tunggu gue di sini. Kita jalan. Titik!” tandas Rey tegas. Kali ini tanpa pikir panjang Irma langsung mengangguk. Membuat Rey ikutan tersenyum sebelum benar – benar berlalu. Kebetulan kelas mereka memang berlawanan arah.
Begitu tiba di kelasnya, Irma segera mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Tanpa sadar senyum sama masih bertenger di bibirnya. Senyum bahagia mengingat ajakan Rey tadi padanya.
“Ehem, kayaknya ada yang lagi seneng nie?”
Irma menoleh, mendapati Vhany Iskandar yang kini duduk disampingnya. Menyadari sahabatnya itu sedang berkata padanya, Irma hanya mampu membalas dengan senyuman.
“Ada apa nie. Cerita donk," tanya Vhany lagi ketika melihat pertanyaan sebelumnya tidak di respon.
Kali ini Irma hanya mengeleng. Vhany sedikit mengernyit, tapi ia juga tidak berniat untuk mendesaknya lebih lanjut dan memilih mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya Ir, tadi loe pergi bareng siapa?”
“Rey,” kali ini Irma membalas. Sedikit heran ketika melihat raut Vhany yang tampak antusias.
“Ehem, sebenernya loe punya hubungan apa si sama tu orang?” Vhany kembali bertanya.
“He?” refleks Irma menoleh. Menatap lurus kearah Vhany yang kini juga sedang menatapnya lurus.
“Loe pacaran ya sama dia? Abis gue liat loe selalu bareng sama dia,” selidik Vhany dengan nada menuduh.
“Ha? Ya enggak lah. Apaan si loe. Loe kan tau gue itu cuma tetanggan ma dia," elak Irma cepat.
“Loe yakin loe cuma ngangep dia tetangga?"
Tanpa ragu Irma mengangguk cepat. Gantian ia yang merasa heran saat melihat senyum lega terukir di wajah Vhany.
“Kalau gitu loe bisa bantuin gue kan?” tanya gadis itu penuh harap.
“Bantuin? Bantuin apa?” tanya Irma sambil mengalihkan tatapannya dari Vhany. Tangannya mengeluarkan buku yang dirasa aneh dari dalam tas. Makin heran ketika melihat ada komik. Komik sinchan lagi. Otaknya segera berpikir, apa itu buku punya adeknya ya? Tapi kok bisa nyasar di dalam tasnya?.
“Gue suka sama Rey."
Komik sinchan yang sedari tadi di bolak balik Irma langsung jatuh di meja. Ia segera menatap kearah Vhany yang tampak menunduk malu, tak menyadari ekpresi shock di wajah sahabatnya akan pengakuan yang baru saja keluar dari mulutnya.
“Karena itu, gue mo minta bantuan sama loe. Loe kan temennya dia. Gue juga temennya elo kan? Jadi gimana kalau loe jadi mak comblang kita?”
Irma diam terpaku. Dia tidak salah dengar kan? Vhany memintanya menjadi mak comblang untuk hubungannya dengan Rey yang jelas – jelas sudah di taksir olehnya sejak lama. Tidak, tidak. Kata ‘naksir’ sepertinya kurang tepat. Ini bahkan lebih dari itu. Ia dengan jelas menyadari kalau ia jatuh cinta pada tetangga sebelah rumahnya.
“Loe mau kan bantuin gue?” tanya Vhany sambil mengangkat wajahnya. Tersenyum penuh harap pada Irma.
“Gue....”
“Stt... kita ngobrolnya entar aja. Pak Alvino masuk tuh,” potong Vhany sambil mengarahkan telunjuknya kearah pintu.
Irma terdiam. Bingung dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Bahkan telinganya sama sekali tak mampu menangkap apa yang diajarkan Pak Alvino, Dosen sastra idola kampusnya. Pikirannya terfokus pada permintaan Vhany. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan?
Dengan lemes Irma melangkah beriringan bersama Vhany yang kini tersenyum lebar. Sementara Vieta sepertinya menghilang entah kemana. Entah ia yang gila atau pun memang sedang setres. Tadi seusai pak Alvino keluar dari kelasnya Vhany kembali membujuknya. Bahkan ia sama sekali tidak sadar kalau kepalanya mengangguk menyetujui hingga membuatnya kini merasa penyesalan tiada henti. Ia juga bingung apa yang harus ia katakan pada Rey nantinya. Mana mereka rencananya hari ini mau jalan bareng lagi. Parahnya belum sempat ia menemukan jawabannya, kini sosok yang di maksud sudah tampak tak jauh dari hadapannya. Melambaikan tangan sambil berjalan menghampiri.
“Pas banget. Jadi loe juga udah mau pulang ni?” tanya Rey sambil tersenyum manis.
Irma membalas dengan anggukan. Ekor matanya melirik sekilas kearah Vhany yang terlihat sama sekali tak berkedip menatap kearah wajah Rey yang jelas – jelas sama sekali tidak menoleh. Karena saat ini Rey memang sedang menatapnya.
“Ehem, gini Rey. Sory ya. Tapi kayaknya gue nggak bisa jalan bareng loe deh. Gue lupa, gue ada janji sama sepupu gue yang baru pulang dari luar negeri. Sory ya,” kata Irma sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
“Jadi? Kita nggak jadi jalan ni. Yah, padahal kan pembukaannya hari ini,” kata Rey terlihat kecewa.
“Nah, kalau soal itu loe tenang aja. Kebetulan Vhany juga pengen benget pergi kesana. Loe pergi bareng dia aja."
“Ya?” Rey tampak tak percaya.
Sementara Irma sendiri terlihat serba salah. Perhatian Rey kemudian teralihkan kearah Vhany yang terlihat tersenyum manis.
“Loe nggak keberatan kan pergi bareng gue?” tanya Vhany kearah Rey.
Rey tidak segera menjawab. Sekilas ia melirik kearah Irma yang tampak menunduk. Dihelanya nafas untuk sejenak sebelum kemudian menjawab.
“Tentu saja tidak. Kalau gitu ayo kita pergi bareng."'
Mendengar kalimat barusan Irma langsung mendongak. Menatap tak percaya kearah Rey yang kini sedang menatap Vhany sambil tersenyum. Irma tiba – tiba Merasakan dadanya terasa begitu sesak. Ia merasa begitu sulit untuk bernafas. Jujur saja ia merasa sangat kecewa. Kenapa Rey begitu cepat menyetujuinya.
“Sory Ir, gue duluan,” balas Rey sambil mengajak Vhany berlalu pergi. Sama sekali tak menoleh kearah Irma, apalagi sekedar untuk mendengar balasannya.
“Da Irma,” pamit Vhany sambil melambaikan tangannya. Irma masih terpaku di tempat. Menatap Kepergian kedua orang ‘sahabatnya’ yang terus melangkah menjauh.
Dengan cepat tangannya terangkat mengusap wajah. Matanya terasa perih tapi sebisa mungkin di tahannya. Ia sama sekali tidak punya alasan untuk menangis bukan? Akhirnya dengan langkah gontai ia kembali ke rumah.
Sesekali Irma mengintip dari balik gorden jendela rumah. Ia pasang telinganya baik – baik. Bahkan ia sengaja menghilangkan volume TV yang di tontonnya. Walau dalam kenyataanya benda itu hanya terlihat sebagai objek pajangan agar ia tidak terlihat bengong seperti orang bodoh. Sejak sepulang kuliah tadi ia menunggu bahkan sudah hampir jam 18:00 sore ia masih belum melihat kemunculan Rey di halaman rumahnya. Apa mungkin seasik itu acara jalan – jalan mereka.
Bertepatan dengan suara Adzan maghrip dari Mushala yang tak jauh dari rumahnya, telinga Irma menangkap suara mesin motor yang sudah sangat familiar. Sepertinya Rey baru pulang. Irma segera bangkit berdiri. Tapi tentu saja bukan untuk menghampiri Rey melainkan beranjak ke kamar mandi, mengambil wudhu. Saat nya menyambut panggilan ilahi. Diatas apa pun, kewajiban pada yang maha kuasa harus lebih di utamakan.
Keesokan harinya, Irma sengaja bangun lebih pagi dari biasa. Setelah siap- siap untuk kuliah ia segera duduk – duduk di bangku bawah pohon jambu depan rumah . Menanti Rey menjemputnya. Tumpangan gratis ke kampus sejak jaman antah berantah.
Saat melihat Rey yang baru melewati pagar rumahnya, Irma segera berdiri, melangkah menghampiri dengan senyum di bibir. Namun senyum itu langsung lenyap mendengar kalimat yang keluar dari mulut Rey untuk pertama kalinya.
“Ir, sory ya. Hari ini gue nggak bisa bareng sama loe. Kemaren gue udah janji buat menjemput Vhany."
“O...” Irma menghentikan langkahnya. Jelas raut kecewa terpancar di wajahnya.
“Loe nggak papa kan? Soalnya kemaren gue sudah terlanjur janji. Membatalkan janji secara sepihak tanpa alasan yang jelas tentu akan terasa sangat menyebalkan bukan?” tanya Rey lagi.
Irma terdiam dengan wajah menunduk. Jujur ia sangat kaget mendengar ucapan Rey barusan. Jelas ia merasa sangat tersindir. Di helanya nafas untuk sejenak sebelum mulutnya terbuka untuk menjawab.
“Gue nggak papa kok. Gue bisa naik bus. Ya sudah loe pergi aja. Kasian Vhany nya kalau harus menunggu lama,” Irma berusaha tersenyum paksa. Mengubur dalam – dalam rasa kecewa yang jelas dirasakannya.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Sory gue duluan ya,” pamit Rey.
Irma hanya membalas dengan anggukan. Dengan cepat Rey melajukan motornya. Sesekali ia menatap kearah kaca spion motornya. Menatap Irma yang masih berdiri terpaku. Di helanya nafas untuk sejenak. Jelas merasa kecewa karena gadis itu sama sekali tidak mencegahnya. Dasar bodoh, apa yang telah ia lakukan?
Irma masih berdiri terpaku, menatap Rey yang semakin menjauh. Dengan langkah berat ia berbalik. Tiba – tiba ia merasa malas untuk ke kampus. Terserah mau kemana pun.
Next To Cerpen Dalam Diam Mencintaimu Part 02
Detail Cerpen
Dalam Diam Mencintaimu |
*** Jangan pernah jatuh cinta pada sahabat, karena jika dia menemukan cintanya,
Kau akan kehilangan dua orang sekaligus. Sahabat mu dan orang yang kau cintai.***
“Dor!”
“Huwa!!!” Irma menjerit sekenceng – kencangnya saat tiba – tiba ada seseorang yang mengagetkannya di susul suara gelak tawa.
“Ha ha ha, kaget ya loe?"
“Rey, berhenti selalu ngagetin gue,” geram Irma sambil mengelus dada. Matanya menyipit menatap kearah sosok yang akrab di panggil Rey yang kini masih tampak berusaha menahan tawanya. "Kayaknya loe seneng banget ya, kalau sampai gue mati muda karena di kagetin mulu," sambung gadis itu lagi.
“Jangan lebay. Loe nggak ngidap lemah jantung jadi gimana ceritanya bisa mati muda,” Rey mencibir. Sebelum mulut Irma kembali terbuka ia sudah terlebih dahulu menambahkan. "Loe pasti sudah sedari tadi nungguin gue kan. Ya sudah kalau gitu, ayo kita berangkat," ajaknya lagi.
Walau masih kesel, tak urung Irma mengangguk. Memang sudah hampir 15 menit ia menunggu Rey sebelum kemudian dikagetkan dengan tiba – tiba saat ia sedang asik memperhatikan tanaman cabenya yang berdaun kriting (???). Biasanya mereka memang pulang-pergi kuliah bareng. Kebetulan selain sekampus mereka juga tetanggaan. #@irma, Jreng jreng jreng... Tetangga ku idolaku. (1)
Sepanjang perjalanan tak henti mereka bercanda tawa. Rey anaknya memang enak di ajak ngobrol. Ditambah lagi mereka sudah bersahabat sejak kecil. Tak heran jika keduanya terlihat begitu akrab.
“Oh ya, hari ini loe masuk berapa mata kuliah?” tanya Rey sambil melepaskan helmnya. Saat itu mereka memang sudah tiba dihalaman parkir kampus.
“Dua, loe?” sahut Irma sembari balik bertanya.
“Sama, ya udah kalau gitu entar habis kuliah kita jalan yuk. Hari ini ada pembukaan pasar hiburan di lapangan."
Irma terdiam. Pasang wajah sok mikir. Jalan bareng sama Rey? Asik juga, walau Rey notebenenya sahabat, tapi kan selama ini ia menyukainya diam – diam. Dan kali ini ia di ajak jalan, itu termasuk kencan bukan si?. Tanpa sadar bibirnya membentuk senyuman samar. #Naksir diam – diam (2)
“Nggak usah kelamaan mikir. Entar loe tunggu gue di sini. Kita jalan. Titik!” tandas Rey tegas. Kali ini tanpa pikir panjang Irma langsung mengangguk. Membuat Rey ikutan tersenyum sebelum benar – benar berlalu. Kebetulan kelas mereka memang berlawanan arah.
Begitu tiba di kelasnya, Irma segera mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Tanpa sadar senyum sama masih bertenger di bibirnya. Senyum bahagia mengingat ajakan Rey tadi padanya.
“Ehem, kayaknya ada yang lagi seneng nie?”
Irma menoleh, mendapati Vhany Iskandar yang kini duduk disampingnya. Menyadari sahabatnya itu sedang berkata padanya, Irma hanya mampu membalas dengan senyuman.
“Ada apa nie. Cerita donk," tanya Vhany lagi ketika melihat pertanyaan sebelumnya tidak di respon.
Kali ini Irma hanya mengeleng. Vhany sedikit mengernyit, tapi ia juga tidak berniat untuk mendesaknya lebih lanjut dan memilih mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya Ir, tadi loe pergi bareng siapa?”
“Rey,” kali ini Irma membalas. Sedikit heran ketika melihat raut Vhany yang tampak antusias.
“Ehem, sebenernya loe punya hubungan apa si sama tu orang?” Vhany kembali bertanya.
“He?” refleks Irma menoleh. Menatap lurus kearah Vhany yang kini juga sedang menatapnya lurus.
“Loe pacaran ya sama dia? Abis gue liat loe selalu bareng sama dia,” selidik Vhany dengan nada menuduh.
“Ha? Ya enggak lah. Apaan si loe. Loe kan tau gue itu cuma tetanggan ma dia," elak Irma cepat.
“Loe yakin loe cuma ngangep dia tetangga?"
Tanpa ragu Irma mengangguk cepat. Gantian ia yang merasa heran saat melihat senyum lega terukir di wajah Vhany.
“Kalau gitu loe bisa bantuin gue kan?” tanya gadis itu penuh harap.
“Bantuin? Bantuin apa?” tanya Irma sambil mengalihkan tatapannya dari Vhany. Tangannya mengeluarkan buku yang dirasa aneh dari dalam tas. Makin heran ketika melihat ada komik. Komik sinchan lagi. Otaknya segera berpikir, apa itu buku punya adeknya ya? Tapi kok bisa nyasar di dalam tasnya?.
“Gue suka sama Rey."
Komik sinchan yang sedari tadi di bolak balik Irma langsung jatuh di meja. Ia segera menatap kearah Vhany yang tampak menunduk malu, tak menyadari ekpresi shock di wajah sahabatnya akan pengakuan yang baru saja keluar dari mulutnya.
“Karena itu, gue mo minta bantuan sama loe. Loe kan temennya dia. Gue juga temennya elo kan? Jadi gimana kalau loe jadi mak comblang kita?”
Irma diam terpaku. Dia tidak salah dengar kan? Vhany memintanya menjadi mak comblang untuk hubungannya dengan Rey yang jelas – jelas sudah di taksir olehnya sejak lama. Tidak, tidak. Kata ‘naksir’ sepertinya kurang tepat. Ini bahkan lebih dari itu. Ia dengan jelas menyadari kalau ia jatuh cinta pada tetangga sebelah rumahnya.
“Loe mau kan bantuin gue?” tanya Vhany sambil mengangkat wajahnya. Tersenyum penuh harap pada Irma.
“Gue....”
“Stt... kita ngobrolnya entar aja. Pak Alvino masuk tuh,” potong Vhany sambil mengarahkan telunjuknya kearah pintu.
Irma terdiam. Bingung dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Bahkan telinganya sama sekali tak mampu menangkap apa yang diajarkan Pak Alvino, Dosen sastra idola kampusnya. Pikirannya terfokus pada permintaan Vhany. Ya Tuhan, apa yang harus ia lakukan?
Dengan lemes Irma melangkah beriringan bersama Vhany yang kini tersenyum lebar. Sementara Vieta sepertinya menghilang entah kemana. Entah ia yang gila atau pun memang sedang setres. Tadi seusai pak Alvino keluar dari kelasnya Vhany kembali membujuknya. Bahkan ia sama sekali tidak sadar kalau kepalanya mengangguk menyetujui hingga membuatnya kini merasa penyesalan tiada henti. Ia juga bingung apa yang harus ia katakan pada Rey nantinya. Mana mereka rencananya hari ini mau jalan bareng lagi. Parahnya belum sempat ia menemukan jawabannya, kini sosok yang di maksud sudah tampak tak jauh dari hadapannya. Melambaikan tangan sambil berjalan menghampiri.
“Pas banget. Jadi loe juga udah mau pulang ni?” tanya Rey sambil tersenyum manis.
Irma membalas dengan anggukan. Ekor matanya melirik sekilas kearah Vhany yang terlihat sama sekali tak berkedip menatap kearah wajah Rey yang jelas – jelas sama sekali tidak menoleh. Karena saat ini Rey memang sedang menatapnya.
“Ehem, gini Rey. Sory ya. Tapi kayaknya gue nggak bisa jalan bareng loe deh. Gue lupa, gue ada janji sama sepupu gue yang baru pulang dari luar negeri. Sory ya,” kata Irma sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
“Jadi? Kita nggak jadi jalan ni. Yah, padahal kan pembukaannya hari ini,” kata Rey terlihat kecewa.
“Nah, kalau soal itu loe tenang aja. Kebetulan Vhany juga pengen benget pergi kesana. Loe pergi bareng dia aja."
“Ya?” Rey tampak tak percaya.
Sementara Irma sendiri terlihat serba salah. Perhatian Rey kemudian teralihkan kearah Vhany yang terlihat tersenyum manis.
“Loe nggak keberatan kan pergi bareng gue?” tanya Vhany kearah Rey.
Rey tidak segera menjawab. Sekilas ia melirik kearah Irma yang tampak menunduk. Dihelanya nafas untuk sejenak sebelum kemudian menjawab.
“Tentu saja tidak. Kalau gitu ayo kita pergi bareng."'
Mendengar kalimat barusan Irma langsung mendongak. Menatap tak percaya kearah Rey yang kini sedang menatap Vhany sambil tersenyum. Irma tiba – tiba Merasakan dadanya terasa begitu sesak. Ia merasa begitu sulit untuk bernafas. Jujur saja ia merasa sangat kecewa. Kenapa Rey begitu cepat menyetujuinya.
“Sory Ir, gue duluan,” balas Rey sambil mengajak Vhany berlalu pergi. Sama sekali tak menoleh kearah Irma, apalagi sekedar untuk mendengar balasannya.
“Da Irma,” pamit Vhany sambil melambaikan tangannya. Irma masih terpaku di tempat. Menatap Kepergian kedua orang ‘sahabatnya’ yang terus melangkah menjauh.
Dengan cepat tangannya terangkat mengusap wajah. Matanya terasa perih tapi sebisa mungkin di tahannya. Ia sama sekali tidak punya alasan untuk menangis bukan? Akhirnya dengan langkah gontai ia kembali ke rumah.
Sesekali Irma mengintip dari balik gorden jendela rumah. Ia pasang telinganya baik – baik. Bahkan ia sengaja menghilangkan volume TV yang di tontonnya. Walau dalam kenyataanya benda itu hanya terlihat sebagai objek pajangan agar ia tidak terlihat bengong seperti orang bodoh. Sejak sepulang kuliah tadi ia menunggu bahkan sudah hampir jam 18:00 sore ia masih belum melihat kemunculan Rey di halaman rumahnya. Apa mungkin seasik itu acara jalan – jalan mereka.
Bertepatan dengan suara Adzan maghrip dari Mushala yang tak jauh dari rumahnya, telinga Irma menangkap suara mesin motor yang sudah sangat familiar. Sepertinya Rey baru pulang. Irma segera bangkit berdiri. Tapi tentu saja bukan untuk menghampiri Rey melainkan beranjak ke kamar mandi, mengambil wudhu. Saat nya menyambut panggilan ilahi. Diatas apa pun, kewajiban pada yang maha kuasa harus lebih di utamakan.
Keesokan harinya, Irma sengaja bangun lebih pagi dari biasa. Setelah siap- siap untuk kuliah ia segera duduk – duduk di bangku bawah pohon jambu depan rumah . Menanti Rey menjemputnya. Tumpangan gratis ke kampus sejak jaman antah berantah.
Saat melihat Rey yang baru melewati pagar rumahnya, Irma segera berdiri, melangkah menghampiri dengan senyum di bibir. Namun senyum itu langsung lenyap mendengar kalimat yang keluar dari mulut Rey untuk pertama kalinya.
“Ir, sory ya. Hari ini gue nggak bisa bareng sama loe. Kemaren gue udah janji buat menjemput Vhany."
“O...” Irma menghentikan langkahnya. Jelas raut kecewa terpancar di wajahnya.
“Loe nggak papa kan? Soalnya kemaren gue sudah terlanjur janji. Membatalkan janji secara sepihak tanpa alasan yang jelas tentu akan terasa sangat menyebalkan bukan?” tanya Rey lagi.
Irma terdiam dengan wajah menunduk. Jujur ia sangat kaget mendengar ucapan Rey barusan. Jelas ia merasa sangat tersindir. Di helanya nafas untuk sejenak sebelum mulutnya terbuka untuk menjawab.
“Gue nggak papa kok. Gue bisa naik bus. Ya sudah loe pergi aja. Kasian Vhany nya kalau harus menunggu lama,” Irma berusaha tersenyum paksa. Mengubur dalam – dalam rasa kecewa yang jelas dirasakannya.
“Oh, ya sudah kalau begitu. Sory gue duluan ya,” pamit Rey.
Irma hanya membalas dengan anggukan. Dengan cepat Rey melajukan motornya. Sesekali ia menatap kearah kaca spion motornya. Menatap Irma yang masih berdiri terpaku. Di helanya nafas untuk sejenak. Jelas merasa kecewa karena gadis itu sama sekali tidak mencegahnya. Dasar bodoh, apa yang telah ia lakukan?
Irma masih berdiri terpaku, menatap Rey yang semakin menjauh. Dengan langkah berat ia berbalik. Tiba – tiba ia merasa malas untuk ke kampus. Terserah mau kemana pun.
Next To Cerpen Dalam Diam Mencintaimu Part 02
Detail Cerpen
- Judul Cerpen : Dalam Diam Mencintaimu
- Nama Penulis : Ana Merya
- Part : 01 / 04
- Status : Finish
- Ide cerita : Curhatan Irma Octa Swifties tentang kisah hidupnya
- Panjang cerita : 1.570 kata
- Genre : Remaja