Cerpen Cinta "Dalam Diam Mencintaimu" 03/04
#EditVersion. Untuk yang belum tau. Tokoh utama sebelumnya adalah Irma dan Doni. Tapi admin edit jadi Irama ~ Rey. Nggak ada alasan khusus. Cuma pengen ngedit aja cerpen dalam diam mencintaimu ini. Tapi secara keseluruhan ceritanya nggak ada yang berubah. Cuma beberapa penulisannya aja yang di perbaiki. Oh iya, as always. Biar gampang sekalian nyambung sama jalan ceritanya. Buat yang belum baca bagian sebelumnya bisa baca dulu ya. Biar lebih mudah bisa langsung klik disini.
Sambil terus melangkah kearah parkiran, Irma tak henti memukul – mukul kepalanya. Tadi pagi Rey tidak sengaja mendengar pembicaraanya dengan Vieta. Saat ia dengan tegas mengatakan pada sahabatnya itu kalau ia tidak pernah menyukai Rey. Tambahan lagi ia mengucapkannya dengan tegas. Dan kini, hatinya jadi merasa tak tentu arah. Merasa tidak enak. Jujur ia sangat tidak ingin kalau sampai Rey salah paham. Bukan maksudnya untuk berkata bahwa ia tidak menyukai Sahabatnya itu, hanya saja ia juga bingung harus berkata apa. {Untuk lebih jelasnya baca cerpen kala cinta menyapa part 3}
Ketika ia masiht terus berpikir tentang apa yang harus ia lakukan, matanya mendapati sosok Rey yang melangkah mendekat. Niatnya untuk menghampiri langsung ia batalkan dan justru malah bersembunyi saat tau kalau Rey tidak sendirian. Di sampingnya tampak Vhany yang berjalan beriringan. Dan Irma hanya mampu menghela nafas, dadanya kembali terasa sesak saat melihat Vhany duduk di jok belakang motor Rey. Sepertinya mereka akan pulang bareng. Setelah keduanya benar – benar berlalu barulah Irma keluar dari persembunyiannya. Dengan langkah gontai ia berjalan pulang.
*** Dalam diam mencintaimu ***
Setelah memarkirkan motornya di halaman rumah, Rey tidak lantas masuk kedalam. Ia sengaja duduk di bangku depan rumah sambil sesekali melongok kearah jalan ataupun melirik jam yang melingkar di tangannya. Tadi ia sudah memastikan kalau Irma sama sekali belum sampai di rumahnya. Kemana perginya anak itu? Jujur saja ia sangat mencemaskannya. Yah walaupun tadi Irma sudah bilang kalau ia akan pergi dengan sahabatnya sih.
Setelah hampir satu jam Rey menunggu, matanya menangkap mobil silver yang memasuki halaman depan rumah tetangganya. Ia berani menjamin kalau itu bukan mobil ayah Irma. Pertanyaannya, itu mobil siapa?
Rey mengernyit heran saat matanya menangkap sosok seorang pria yang tak di kenalnya keluar dari pintu mobil itu. Lebih heran lagi ketika melihat Irma menyusulnya. Hatinya mencelos. Lagi – lagi ia merutuki diri sendiri kenapa harus memikirkan gadis itu yang jelas hal yang sia – sia. Dengan kesel ia melangkah masuk kedalam rumah tanpa menoleh kearah ‘tetangga’nya sama sekali.
“Oh Jadi besok loe ulang tahun. Gimana? Mau dirayain nggak?” tanya Fadly sambil melangkah beriringan masuk kedalam rumah Irma.
Tadi Irma menelponnya. Memaksanya untuk menjemput ke kampus. Mana pake acara ancaman putus persaudaraan lagi kalau sekiranya Fadly berani menolak. Nah karena itu lah kini Fadly bisa berada di depan rumah sepupunya.
“Iya, tapi nggak perlu pake acara – acara segala. Dari dulu juga nggak pernah di rayain, toh gue nggak suka. Gue bisa bersama dengan orang – orang yang gue sayangi itu sudah lebih dari cukup."
Fadly yang mendengar hanya mengangguk – angguk membenarkan. Namun tak selang beberapa menit kemudian keningnya berkerut tanda bingung saat mendapati tangan Irma yang nyadong di depan wajahnya.
“Kenapa?”
“Kadonya mana?” tanya Irma pasang tampang sok polos.
“Busyet, ulang taon loe kan besok. Bukan sekarang masa kadonya duluan,” protes Fadly dan Irma hanya membalas dengan cengiran tak bersalahnya. #Oma, nie Di sindir terang - terangan lho ^_^
“Om sama tante mana Ir? Kok tumben kayaknya nie rumah sepi amat,” Fadly mengalihkan pembicaraan sambil duduk dengan santai di sofa. Tangannya meraih majalah yang tergeletak di meja sementara Irma sendiri melangkah kekamarnya. Sekedar untuk menyimpan peralatan kampusnya.
“Loe kayak nggak kenal nyokap sama bokap gue aja. Jam segini tentu aja masih di kantor,” balas Irma yang baru muncul di balik pintu kamarnya namun bukan segera menghampiri sepupunya justru ia malah kedapur. Dan muncul kembali dengan napan berisi dua gelas minuman kaleng.
“O...,” kali ini Fadly hanya ber’O’ ria.
Selang beberpa saat kemudian keduanya asik bercanda tawa. Saling bertukar cerita sampai tak terasa hari sudah sore dan Fadly juga sudah harus mengundurkan diri pulang. Tak lupa Irma mengantarnya kedepan pintu gerbang. Dan baru kembali masuk kedalam rumah setelah mobil Fadly menghilang dari pandangan.
*** Dalam diam mencintaimu ***
“Rey!”
Merasa namanya di panggil Rey yang berniat langsung pulang berbalik, keningnya berkerut heran saat mendapati gadis berkacamata yang kini berlari kearahnya.
“Loe beneran Rey kan, yang biasanya bareng sama Irma?”
Masih belum mengerti arah tujuan pembicaraan mereka, Rey memilih membalas dengan anggukan.
"Gue Vieta, temen deketnya," kata gadis itu memperkenalkan diri sembari menyodorkan kado tepat ke wajahnya.
“Buat gue?” tanya Rey dengan kening berkerut.
“Tentu saja bukan, emangnya siapa elo. Kenal juga kagak. ini itu kado buat Irma. Hari ini kan dia ulang tahun. Tadinya mau langsung gue kasi kedia. Eh , waktu gue SMS dia bilang malah dia sakit. Ya udah, gue belom sempet mampir ke sana. Makanya, karena katanya loe itu tetanggaan sama dia gue titip sama loe aja ya?”
“Irma? Sakit? Terus hari ini dia juga ulang tahun?” tanya Rey kaget.
Melihat wajah kaget sekaligus bingung yang tergambar dari wajah Rey membuat Vieta kembali menarik kotak kado yang ia sodorkan.
“Oh, gue salah orang ya? Maaf, gue pikir loe itu sahabatnya Irma yang biasanya sering pulang – pergi bareng. Jadi bukan ya?” gumam Vieta bingung sambil mengaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Bukan," Rey mengeleng. Vieta makin merasa bersalah karena menduga kalau ia salah orang. Untuk itulah Rey kembali meralat. "Maksud gue bener. Gue memang sahabatnya Irma."
“La kalau loe memang sahabatnya dia masa loe nggak tau kalau hari ini dia ulang tahun. Mana katanya lagi sakit lagi. Jangan – jangan...”
Vieta tidak jadi melanjutkan ucapannya karena Rey sudah terlebih dahulu berlari pergi meninggalkannya. Matanya terus menatap kepergian Rey dengan bingung sekaligus kecewa. Kenapa hanya sekedar di titipin kado saja tu orang nggak mau. Akhirnya dengan langkah gontai Vieta melanjutkan niatnya untuk langsung pulang saja. Soal kado, sepertinya ia baru bisa memberikan setelah ia bertemu Irma langsung.
Dari kampus, Rey langsung melajukan motornya kearah rumah Irma. Pikiran pria itu kini benar - benar kusut. Dalam hati ia terus merutuk. Tadi pagi ia sengaja tidak menjemput gadis itu karena dilihatnya rumah Irma terlihat sepi. Ia menduga Irma telah berangkat kuliah duluan. Terlebih biasanya gadis itu pasti sudah menunggunya jika ingin berangkat bareng.
Tepat saat tangan Rey terangkat untuk mengetuk pintu rumah Irma, pintu itu sudah terlebih dahulu terbuka disusul sosok seorang yang juga kebetulan akan keluar. Kening Rey berkerut. Matanya menatap tajam kearah sosok yang kini juga sedang menatapnya, sementara di belakangnya tampak Irma yang berdiri dengan raut wajah tak kalah bingung.
“Rey?” mulut irma yang pertama sekali terbuka menyuarakan isi hatinya.
Rey hanya membalas dengan senyuman salah tingkahnya. Tiba – tiba saja ia merasa mati gaya saat di hadapkan dengan situasi yang sangat tidak biasa ini. Apalagi saat ia menyadari kalau orang_yang_tidak_diketahui_identitasnya itu jalas – jelas sedang mengawasinya.
“Loe ngapain di sini?”
Pertanyaan yang keluar dari mulut Irma selanjutnya benar – benar membuat hati Rey mencelos. Wajahnya menatap lurus kearah irma seolah tak yakin dengan apa yang baru saja di dengarnya. Sejak kapan ia harus punya alasan yang jelas untuk menemui gadis itu?
“Jadi loe yang namanya Rey?”
Pertanyaan selanjutnya mengalihkan perhatian Rey. Ia kembali menunduk dengan senyuman janggal yang benar – benar ia paksakan. Sungguh ia tidak pernah berpikir akan berada dalam situasi seperti ini.
“Oh, kenalin gue Fadly, sepupunya Irma,” kata orang itu yang mengaku bernama Fadly sambil mengulurkan tangan mengajak berjabatan kearah Rey. Walau rasa heran, kaget sekaligus bingung masih jelas tergambar di wajah Rey namun tak urung ia menyambut uluran tangan itu. Tapi kali ini di sertai sebuah senyuman lega di bibirnya.
“Rey,” Rey gantian menyebutkan namanya. “Oh, jadi loe Fadly sepupunya Irma," sambung pria itu menegaskan.
“Yups,” Fadly mengangguk membenarkan. “Loe nggak berpikir kalau gue itu pacarnya kan?”
“Ha?” secara serentak mulut Irma dan Rey terbuka. Sementara Fadly hanya angkat bahu.
“Ya sudah Ir, gue pulang dulu ya. Gue masih harus kekantor soalnya. Biasalah bantuin bokap. Rey, sory ya gue duluan,” ujar Fadly malah pamit mengundurkan diri.
Kali ini Rey hanya membalas anggukan.
“Hati – hati. Entar kalau jatuh, bangun sendiri,” balas Irma yang langsung mendapat cibiran dari mulut Fadly.
“Loe juga no. Jangan lupa makan obatnya. Kalau sakit berlanjut jangan hubungi gue. Hubungi dokter aja," Fadly balas meledek.
Mendengar kalimat balasan dari sepupunya itu membuat wajah Irma gantian memberengut sebel.
“Loe sakit apa?” pertanyaan Rey yang ada disampiingnya sontak menyadarkan Irma yang sedari tadi masih menatap kepergian Fadly yang bahkan sudah menghilang dari pandangan.
“Gue? Oh, enggak kok. Cuma kayaknya maag gue tadi kumat. Makanya hari ini nggak masuk. Tapi sekarang gue udah baikan kok,” terang Irma sambil tersenyum.
Rey ikutan tersenyum walau masih terlihat khwatir.
“Eh masuk yuk,” ajak Irma yang baru menyadari kalau mereka sedari tadi mengobrol di beranda rumah.
“Oh ya Rey, bukannya kemaren loe bilang loe hari ini masuk tiga mata kuliah ya? Kok jam segini sudah pulang?” tanya Irma sambil melangkah masuk, Rey hanya ngekor di belakang.
“Ehem... itu, e... gue bolos,” aku Rey.
Irma terdiam sambil mengangguk – angguk. Nggak tau deh apa maksutnya.
“Nah berhubung loe bolos gimana kalau kita sekalian jalan aja," ajak Irma tiba - tiba.
“Ha?"
“Itu juga cuma kalau loe nggak keberatan sih,” sambung Irma angkat bahu.
“Bukannya loe masih sakit?” tanya Rey.
“Tentu saja tidak,” balas Irma cepat. “Ehem, maksut gue, gue sekarang udah merasa baikan kok,” sambung Irma meralat ucapannya barusan yang di rasa terlalu antusias.
“Ya sudah kalau gitu. Kita pergi sekarang?” angguk Rey setuju.
Gantian Irma yang heran. Menatap kearah Rey. Sebuah senyuman tak mampu ia tahan saat melihat kepala Rey yang mengangguk. Segera di tariknya tangan Rey melangkah keluar. Hari ini ia sangat ingin bersenang-senang. Terlebih bisa bersama Rey yang notebenenya orang yang ia suka. Peduli amat kalau nantinya ia akan terluka, yang penting hari ini hari bahagianya. Anggap saja sebagai kado ulang tahun untuknya. *.*
Next To Cerpen Dalam Diam Mencintaimu Ending
Detail Cerpen
Dalam diam mencintaimu |
Sambil terus melangkah kearah parkiran, Irma tak henti memukul – mukul kepalanya. Tadi pagi Rey tidak sengaja mendengar pembicaraanya dengan Vieta. Saat ia dengan tegas mengatakan pada sahabatnya itu kalau ia tidak pernah menyukai Rey. Tambahan lagi ia mengucapkannya dengan tegas. Dan kini, hatinya jadi merasa tak tentu arah. Merasa tidak enak. Jujur ia sangat tidak ingin kalau sampai Rey salah paham. Bukan maksudnya untuk berkata bahwa ia tidak menyukai Sahabatnya itu, hanya saja ia juga bingung harus berkata apa. {Untuk lebih jelasnya baca cerpen kala cinta menyapa part 3}
Ketika ia masiht terus berpikir tentang apa yang harus ia lakukan, matanya mendapati sosok Rey yang melangkah mendekat. Niatnya untuk menghampiri langsung ia batalkan dan justru malah bersembunyi saat tau kalau Rey tidak sendirian. Di sampingnya tampak Vhany yang berjalan beriringan. Dan Irma hanya mampu menghela nafas, dadanya kembali terasa sesak saat melihat Vhany duduk di jok belakang motor Rey. Sepertinya mereka akan pulang bareng. Setelah keduanya benar – benar berlalu barulah Irma keluar dari persembunyiannya. Dengan langkah gontai ia berjalan pulang.
*** Dalam diam mencintaimu ***
Setelah memarkirkan motornya di halaman rumah, Rey tidak lantas masuk kedalam. Ia sengaja duduk di bangku depan rumah sambil sesekali melongok kearah jalan ataupun melirik jam yang melingkar di tangannya. Tadi ia sudah memastikan kalau Irma sama sekali belum sampai di rumahnya. Kemana perginya anak itu? Jujur saja ia sangat mencemaskannya. Yah walaupun tadi Irma sudah bilang kalau ia akan pergi dengan sahabatnya sih.
Setelah hampir satu jam Rey menunggu, matanya menangkap mobil silver yang memasuki halaman depan rumah tetangganya. Ia berani menjamin kalau itu bukan mobil ayah Irma. Pertanyaannya, itu mobil siapa?
Rey mengernyit heran saat matanya menangkap sosok seorang pria yang tak di kenalnya keluar dari pintu mobil itu. Lebih heran lagi ketika melihat Irma menyusulnya. Hatinya mencelos. Lagi – lagi ia merutuki diri sendiri kenapa harus memikirkan gadis itu yang jelas hal yang sia – sia. Dengan kesel ia melangkah masuk kedalam rumah tanpa menoleh kearah ‘tetangga’nya sama sekali.
“Oh Jadi besok loe ulang tahun. Gimana? Mau dirayain nggak?” tanya Fadly sambil melangkah beriringan masuk kedalam rumah Irma.
Tadi Irma menelponnya. Memaksanya untuk menjemput ke kampus. Mana pake acara ancaman putus persaudaraan lagi kalau sekiranya Fadly berani menolak. Nah karena itu lah kini Fadly bisa berada di depan rumah sepupunya.
“Iya, tapi nggak perlu pake acara – acara segala. Dari dulu juga nggak pernah di rayain, toh gue nggak suka. Gue bisa bersama dengan orang – orang yang gue sayangi itu sudah lebih dari cukup."
Fadly yang mendengar hanya mengangguk – angguk membenarkan. Namun tak selang beberapa menit kemudian keningnya berkerut tanda bingung saat mendapati tangan Irma yang nyadong di depan wajahnya.
“Kenapa?”
“Kadonya mana?” tanya Irma pasang tampang sok polos.
“Busyet, ulang taon loe kan besok. Bukan sekarang masa kadonya duluan,” protes Fadly dan Irma hanya membalas dengan cengiran tak bersalahnya. #Oma, nie Di sindir terang - terangan lho ^_^
“Om sama tante mana Ir? Kok tumben kayaknya nie rumah sepi amat,” Fadly mengalihkan pembicaraan sambil duduk dengan santai di sofa. Tangannya meraih majalah yang tergeletak di meja sementara Irma sendiri melangkah kekamarnya. Sekedar untuk menyimpan peralatan kampusnya.
“Loe kayak nggak kenal nyokap sama bokap gue aja. Jam segini tentu aja masih di kantor,” balas Irma yang baru muncul di balik pintu kamarnya namun bukan segera menghampiri sepupunya justru ia malah kedapur. Dan muncul kembali dengan napan berisi dua gelas minuman kaleng.
“O...,” kali ini Fadly hanya ber’O’ ria.
Selang beberpa saat kemudian keduanya asik bercanda tawa. Saling bertukar cerita sampai tak terasa hari sudah sore dan Fadly juga sudah harus mengundurkan diri pulang. Tak lupa Irma mengantarnya kedepan pintu gerbang. Dan baru kembali masuk kedalam rumah setelah mobil Fadly menghilang dari pandangan.
*** Dalam diam mencintaimu ***
“Rey!”
Merasa namanya di panggil Rey yang berniat langsung pulang berbalik, keningnya berkerut heran saat mendapati gadis berkacamata yang kini berlari kearahnya.
“Loe beneran Rey kan, yang biasanya bareng sama Irma?”
Masih belum mengerti arah tujuan pembicaraan mereka, Rey memilih membalas dengan anggukan.
"Gue Vieta, temen deketnya," kata gadis itu memperkenalkan diri sembari menyodorkan kado tepat ke wajahnya.
“Buat gue?” tanya Rey dengan kening berkerut.
“Tentu saja bukan, emangnya siapa elo. Kenal juga kagak. ini itu kado buat Irma. Hari ini kan dia ulang tahun. Tadinya mau langsung gue kasi kedia. Eh , waktu gue SMS dia bilang malah dia sakit. Ya udah, gue belom sempet mampir ke sana. Makanya, karena katanya loe itu tetanggaan sama dia gue titip sama loe aja ya?”
“Irma? Sakit? Terus hari ini dia juga ulang tahun?” tanya Rey kaget.
Melihat wajah kaget sekaligus bingung yang tergambar dari wajah Rey membuat Vieta kembali menarik kotak kado yang ia sodorkan.
“Oh, gue salah orang ya? Maaf, gue pikir loe itu sahabatnya Irma yang biasanya sering pulang – pergi bareng. Jadi bukan ya?” gumam Vieta bingung sambil mengaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Bukan," Rey mengeleng. Vieta makin merasa bersalah karena menduga kalau ia salah orang. Untuk itulah Rey kembali meralat. "Maksud gue bener. Gue memang sahabatnya Irma."
“La kalau loe memang sahabatnya dia masa loe nggak tau kalau hari ini dia ulang tahun. Mana katanya lagi sakit lagi. Jangan – jangan...”
Vieta tidak jadi melanjutkan ucapannya karena Rey sudah terlebih dahulu berlari pergi meninggalkannya. Matanya terus menatap kepergian Rey dengan bingung sekaligus kecewa. Kenapa hanya sekedar di titipin kado saja tu orang nggak mau. Akhirnya dengan langkah gontai Vieta melanjutkan niatnya untuk langsung pulang saja. Soal kado, sepertinya ia baru bisa memberikan setelah ia bertemu Irma langsung.
Dari kampus, Rey langsung melajukan motornya kearah rumah Irma. Pikiran pria itu kini benar - benar kusut. Dalam hati ia terus merutuk. Tadi pagi ia sengaja tidak menjemput gadis itu karena dilihatnya rumah Irma terlihat sepi. Ia menduga Irma telah berangkat kuliah duluan. Terlebih biasanya gadis itu pasti sudah menunggunya jika ingin berangkat bareng.
Tepat saat tangan Rey terangkat untuk mengetuk pintu rumah Irma, pintu itu sudah terlebih dahulu terbuka disusul sosok seorang yang juga kebetulan akan keluar. Kening Rey berkerut. Matanya menatap tajam kearah sosok yang kini juga sedang menatapnya, sementara di belakangnya tampak Irma yang berdiri dengan raut wajah tak kalah bingung.
“Rey?” mulut irma yang pertama sekali terbuka menyuarakan isi hatinya.
Rey hanya membalas dengan senyuman salah tingkahnya. Tiba – tiba saja ia merasa mati gaya saat di hadapkan dengan situasi yang sangat tidak biasa ini. Apalagi saat ia menyadari kalau orang_yang_tidak_diketahui_identitasnya itu jalas – jelas sedang mengawasinya.
“Loe ngapain di sini?”
Pertanyaan yang keluar dari mulut Irma selanjutnya benar – benar membuat hati Rey mencelos. Wajahnya menatap lurus kearah irma seolah tak yakin dengan apa yang baru saja di dengarnya. Sejak kapan ia harus punya alasan yang jelas untuk menemui gadis itu?
“Jadi loe yang namanya Rey?”
Pertanyaan selanjutnya mengalihkan perhatian Rey. Ia kembali menunduk dengan senyuman janggal yang benar – benar ia paksakan. Sungguh ia tidak pernah berpikir akan berada dalam situasi seperti ini.
“Oh, kenalin gue Fadly, sepupunya Irma,” kata orang itu yang mengaku bernama Fadly sambil mengulurkan tangan mengajak berjabatan kearah Rey. Walau rasa heran, kaget sekaligus bingung masih jelas tergambar di wajah Rey namun tak urung ia menyambut uluran tangan itu. Tapi kali ini di sertai sebuah senyuman lega di bibirnya.
“Rey,” Rey gantian menyebutkan namanya. “Oh, jadi loe Fadly sepupunya Irma," sambung pria itu menegaskan.
“Yups,” Fadly mengangguk membenarkan. “Loe nggak berpikir kalau gue itu pacarnya kan?”
“Ha?” secara serentak mulut Irma dan Rey terbuka. Sementara Fadly hanya angkat bahu.
“Ya sudah Ir, gue pulang dulu ya. Gue masih harus kekantor soalnya. Biasalah bantuin bokap. Rey, sory ya gue duluan,” ujar Fadly malah pamit mengundurkan diri.
Kali ini Rey hanya membalas anggukan.
“Hati – hati. Entar kalau jatuh, bangun sendiri,” balas Irma yang langsung mendapat cibiran dari mulut Fadly.
“Loe juga no. Jangan lupa makan obatnya. Kalau sakit berlanjut jangan hubungi gue. Hubungi dokter aja," Fadly balas meledek.
Mendengar kalimat balasan dari sepupunya itu membuat wajah Irma gantian memberengut sebel.
“Loe sakit apa?” pertanyaan Rey yang ada disampiingnya sontak menyadarkan Irma yang sedari tadi masih menatap kepergian Fadly yang bahkan sudah menghilang dari pandangan.
“Gue? Oh, enggak kok. Cuma kayaknya maag gue tadi kumat. Makanya hari ini nggak masuk. Tapi sekarang gue udah baikan kok,” terang Irma sambil tersenyum.
Rey ikutan tersenyum walau masih terlihat khwatir.
“Eh masuk yuk,” ajak Irma yang baru menyadari kalau mereka sedari tadi mengobrol di beranda rumah.
“Oh ya Rey, bukannya kemaren loe bilang loe hari ini masuk tiga mata kuliah ya? Kok jam segini sudah pulang?” tanya Irma sambil melangkah masuk, Rey hanya ngekor di belakang.
“Ehem... itu, e... gue bolos,” aku Rey.
Irma terdiam sambil mengangguk – angguk. Nggak tau deh apa maksutnya.
“Nah berhubung loe bolos gimana kalau kita sekalian jalan aja," ajak Irma tiba - tiba.
“Ha?"
“Itu juga cuma kalau loe nggak keberatan sih,” sambung Irma angkat bahu.
“Bukannya loe masih sakit?” tanya Rey.
“Tentu saja tidak,” balas Irma cepat. “Ehem, maksut gue, gue sekarang udah merasa baikan kok,” sambung Irma meralat ucapannya barusan yang di rasa terlalu antusias.
“Ya sudah kalau gitu. Kita pergi sekarang?” angguk Rey setuju.
Gantian Irma yang heran. Menatap kearah Rey. Sebuah senyuman tak mampu ia tahan saat melihat kepala Rey yang mengangguk. Segera di tariknya tangan Rey melangkah keluar. Hari ini ia sangat ingin bersenang-senang. Terlebih bisa bersama Rey yang notebenenya orang yang ia suka. Peduli amat kalau nantinya ia akan terluka, yang penting hari ini hari bahagianya. Anggap saja sebagai kado ulang tahun untuknya. *.*
Next To Cerpen Dalam Diam Mencintaimu Ending
Detail Cerpen
- Judul Cerpen : Dalam Diam Mencintaimu
- Nama Penulis : Ana Merya
- Part : 01 / 04
- Status : Finish
- Ide cerita : Curhatan Irma Octa Swifties tentang kisah hidupnya
- Panjang cerita : 1.570 kata
- Genre : Remaja