Pada akhirnya cerpen nggak jelas bin gaje,
The Prince, The princess and Mis. Cinderella akhirnya ending juga. Walaupun dengan perjuangan yang sedikit lebih luar biasa dibandingkan cerpen or cerbung yang lain nya sih. Ya begitu lah. So buat yang pensaran gimana endingnya, bisa langsung simak kebawah. Untuk part sebelumnya bisa simak dulu
di sini. Happy reading....
"Ma kasih ya, kalian berdua sudah mau repot - repot jemput gue buat kekampus segala," aku sedikit berbasa basi kearah Double J saat turun dari mobil.
Tadi sempat kaget saat mendapati Jimmy dan Junior yang mendadak muncul di depan kostan. Namun siapa yang menduga kalau kabar yang mereka bawa ternyata lebih mengagetkan lagi.
"Santai aja. Sudah kewajiban ini. Yang penting loe baik baik aja kan?" tambah Junior lagi.
Aku tidak membalas, hanya bibir ini yang mencoba untuk tersenyum.
"Oh ya Riani."
Aku menoleh "Ada apa?"
"Inget pesen gue kemaren ya?"
"Syip," aku melemparkan senyum meyakinkan baru kemudian berbalik menuju ke keklas. Sejenak aku menarik napas dalam dalam baru kemudian menghembuskanya perlahan. Mendadak sekelumit perasaan ragu menyelimuti batinku. Benarkan sudah tiba saatnya aku untuk bahagia?
"Riani."
Refleks langkah kakiku terhenti. Entah datangya dari mana, tau tau kini Kevin berdiri tepat dihadapanku dengan tatapan tajam menusuk.
"Ada apa?"
"Kenapa loe bisa pergi bareng sama mereka?"
Sejenak aku merasa bingung? Mereka? Saat mendapati lirikan mata Kevin yang tertuju pada sosok Double J yang semakin menjauh baru lah aku ngerti maksutnya.
"Dan kenapa loe mengundurkan diri dari toko buku kakak gue?" belum juga aku sempat menjawab, Kevin kembali bertanya.
"Bukan urusan loe," balas ku ketus sambil berniat untuk langsung berlalu kalau saja tanganku tidak lebih dahulu di tahan olehnya.
"Sebenarnya loe mau nya apa?" Aku benar benar lelah menghadapi makhluk yang satu ini.
"Gue kan sudah bilang kemaren kalau....."
"Cukup, gue nggak mau jadi pelarian," potongku cepat sebelum Kevin sempat menyelesaikan ucapannya.
"Kalau gue bilang loe bukan pelarian tapi gue ngelakuin ini semua karena gue suka sama loe, apa loe akan percaya?"
Aku menoleh, mendapati wajah lelah Kevin tepat di hadapanku.
"Kalau gue bilang gue bener - bener cinta sama loe, apa loe akan percaya?"
Kali ini aku benar - benar terpaku mendengar kalimat yang ku dengar barusan.
"Mustahil," tanpa sadar mulutku bergumam.
"Gue akan lakuin apa aja agar loe percaya. Asal loe tetep bersama gue. Gue mohon."
Kalau ini hanya bercanda, Kevin benar benar memiliki selera humor yang buruk. Hal yang tak pernah aku duga sebelumnya terjadi. Seorang Kevin, berlutut tepat di hadapan gue. Memohon seperti ini. Ya Tuhan, apa Jimmy benar. Bahwa rasa yang ia punya untukku adalah tulus? Mendadak perasaanku mulai goyah. Tapi...
"Nggak, loe nggak perlu ngelakuin apapun. Karena gue nggak akan percaya," selesai berkata aku segera menarik lepas tanganku. Langsung berlalu meninggalkannya.
"Riani."
Teriakan Kevin kembali terdengar, tapi aku sama sekali tidak menoleh dan terus melangkah. Aku tidak yakin aku bisa tegar kalau sampai aku berbalik.
"Gue akan tetap disini, sampai loe bener - benar percaya kalau gue suka sama."
"Riani, Gue cinta sama loe!"
Astaga, Tuhan panggil aku sekarang. Bumi, telen aku saat ini juga. Kevin pasti sudah gila. Kenapa dia harus berteriak sekencang itu di sini. Di halaman kampus. Memangnya dikira lagi main drama apa. Tanpa bisa ku cegah kaki ini langsung melangkah dengan cepat.
Jangan salah, aku tidak akan berbalik. Aku justru malah berlari menuju kekelasku. Aku hanya akan menerimanya kalau aku sudah yakin kalau dia memang menyukaiku.
Selama pelajaran berlangsung aku sama sekali tidak mampu berkonsentrasi. Selain karena lirikan dari sekeliling dan juga suara desah desuh yang jelas membicarakan ku, ketiga sahabatku juga justru malah memperburuk keadaan. Sedari tadi mereka juga terus merusuhiku. Memaksaku untuk mempercayai Kevin. Hei, kenapa aku merasa mereka mendadak jadi penghianat ya? Memangnya mereka lupa apa yang Kevin dan teman - temannya lakukan dulu?
"Riani, coba loe liat keluar. Mau hujan," bisik Nay lirih.
"Terus, kenapa memangnya. Bukannya hujan itu anugrah," balasku tanpa menoleh. Lagi pula kami kan sedang belajar.
"Tapi Kevin masih ada di halaman. Sejak...." Naysila meilirik jam di tangannya "Empat jam yang lalu" sambungnya.
Mendengar itu mau tak mau aku terdiam. Menatap jauh keluar melalui jendela. Benar, langit mendung. Benar, Kevin masih berlutut di halaman. Dan benar juga aku masih tidak menemuinya.
"Apa loe masih nggak bisa mempercayai Kevin?"
"Riani, denger ya. Loe yang lebih dulu mengenal dia. Loe lebih tau dia itu seperti apa . Jadi loe harusnya sudah lebih dulu tau kalau saat ini dia pasti tidak sedang bercanda. Kita semua juga bisa melihat keseriusannya dia."
Ucapan yang Iren lontarkan makin membuatku bungkam. Menatap langit. Mendung sudah berganti hujan. Mungkinkah Kevin masih bertahan di sana? Mau tak mau pertanyaan itu mengusik ku. Membuatku sama sekali tak berkonsentrasi menghadapi pelajaran yang di ajarkan. Dan begitu kelas berakhir aku langsung melesat keluar.
"Ya Tuhan, Kevin."
Disini aku berdiri terpaku. Menatap lurus kedepan. Dan disana, Kevin. Juga masih berlutut seperti terakhir kali aku melihatnya tadi pagi. Tanpa mampu di cegah kaki ini langsung berlari kearahnya.
"Kevin, loe beneran gila ya?"
Mendengar teriakan ku barusan, Kevin mendongak. Mencoba tersenyum diantara bibir pucatnya yang bergetar kedinginan.
"Sekarang loe percaya sama gue kan? Loe percaya kan kalau gue benar tulus sama loe?"
Detik ini juga aku bisa merasakan air mataku sendiri menetes. Berbaur bersama hujan yang tiba - tiba.... Berhenti?
Aku segera mendongak. Mustahil hujan berhenti hanya di sekelilingku sementara jelas - jelas aku masih melihat tetes-tetesan air yang terus membasahi tubuh Kevin yang telah menggigil kedinginan. Menyadari bukan langit yang ku temui melainkan payung yang menaungi, refleks aku menoleh.
"Jimmy?"
"Sekarang loe sudah percayakan bahwa apa yang gue katakan kemaren itu memang benar?" bisik Jimmy lirih.
Tanpa sedikitpun ragu, aku mengangguk. Ya aku percaya. Aku percaya kalau Kevin mencintaiku, dan aku juga tau kalau aku mencintainya. Namun saat kaki ini berniat untuk melangkah menghampiri Kevin, Gengaman erat Jimmy sudah terlebih dahulu menahan langkahku. Saat aku menoleh binggung, ia hanya tersenyum sambil berujar.
"Dan kalau gue nggak lupa, gue juga memperingatkan loeu ntuk nggak boleh terpengaruh. Cukup percaya saja. Bener kan?"
"Maksut loe?"
"Kita pergi sekarang!" ajak Jimmy yang membuat ku kaget.
"Tapi...".
"Loe memulai hubungan dengannya dengan sebuah kebohongan. Disusul dengan kebohongan kebohongan lainnya. Terlepas dari sengaja ataupun tidak. Tapi yang jelas, kali ini tidakkah loe berniat untuk mengakhirinya?"
Oke, kali ini aku beneran bingung. Mataku menatap lurus kearah Jimmy, menanti penjelasan dari ucapannya. Tapi tiada kata - kata lagi yang keluar. Justru hanya sebuah senyuman yang bertengger di sana.
"Kita pergi sekarang," ajaknya untuk kesekian kali.
Dan seperti terhipnotis, kepalaku mengangguk. Berniat untuk mengikuti Jimmy. Tapi lagi - lagi langkah kaki ini tertahan. Di hadapanku kini tampak ketiga temanku bersama keempat sahabat - sahabatnya Kevin. Terpaku dengan tatapan menghakimi yang terarah lurus padaku.
Berniat mengabaikannya dan segera berlalu lagi - lagi langkah kaki ini tertahan saat mendengar suara lirih Kevin.
"Riani," jeda sesaat. "Untuk terakhir kalinya gue nanya. Maukah loe balik lagi sama gue?" pinta Kevin terdengar lirih.
Ya! Aku mau. Aku percaya sama kamu Kevin. Ingin sekali aku berteriak dan berbalik kearah Kevin jika saja gengaman Jimmy yang erat mengengam tanganku tidak menahannya.
"Kalau memang enggak. Loe bisa pergi sekarang. Gue janji, gue nggak akan menganggu hidup loe lagi. Dan gue juga janji, nggak akan pernah ada teror dari gue ataupun temen - temen gue," untuk sejenak Kevin terdiam. "Tapi gue tetap berharap loe mau balik lagi sama gue."
Pertahanan ku runtuh. Air mata ini semakin deras mengalir. Aku benar - benar goyah. Tepat saat aku berniat berbalik, sebuah tangan halus mengusap pipiku lembut. Menghapus air mata ini dengan berlahan.
"Loe percaya sama gue kan?" tanya Jimmy tegas.
Mendadak aku ragu. Merasa dilema akan semua ini. Namun kalimat lanjutan Jimmy selanjutnya membekukanku.
"Kakek menemukannya."
Refleks aku mendongak, menatap tak percaya kearah Jimmy. Kakek menemukannya? Benarkah? Mustahil!. Bagaiman bisa?
"Kita pergi sekarang!."
Kali ini Jimmy benar - benar menarik ku berlalu. Membawa semua rasa sakit ini? Atau mungkin justru mati rasa? Entahlah, aku juga tak tau. Yang aku tau, aku harus mengucapkan selamat tinggal pada semuanya. Selamat tinggal Andre, Selamat tinggal Riani. Dan selamat tinggal Kevin. Jimmy benar, Kebohongan ini harus di akhiri.
Pelan tapi pasti aku terus melangkah menjauh. Masuk kedalam mobil bersana Jimmy dan Junior. Terus melaju bersama harapan baru.
END......!!
Endingnya maksa?!. Biarin siapa suruh aku di paksa..... Wukakakka.... So gini lah jadinya. Mau protes kayak apa juga suka suka deh... Yang penting udah END, Titik!!!
Wukakakka.......
Tapi tapi tapi,
Cerpen ini adalah cerpen rekord terlama yang harus di selesaikan tapi kenapa endingnya gaje gini ya? Ya sudah deh di lanjutin lagi. Hi hi hi #Asli ini penulis beneran gak jelas.
Sambil kepala tetap menunduk aku terus melangkah menuju kekelas. Tatapan tajam dari seisi anak - anak kampus benar - benar mampu menusukuk ku sampai kejantung. Sesekali aku melirik kearah kanan dan kiriku. Dimana tampak Jimmy dan Junior yang berjalan mengiringi.
"Naysila," ujarku saat melihat Naysia di hadapan diikut oleh Iren dan Kezia. Untuk kali ini barulah aku mampu bernafas sedikit lega. Tapi sayang kelegaan itu tidak berlangsung lama saat dengan mata kepalaku sendiri aku melihat mereka justru malah membuang muka dan segera berlalu menjauh.
Mata ini mendadak terasa panas. Ya Tuhan, apa aku salah? Kenapa mereka terlihat menghindariku? Dan belum sempat aku mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang terlintas di benak, mata ini sudah terlebih dahulu menemukan sosok Kevin di depan.
Hatiku mendadak merasa miris. Benarkah apa yang ku lakukan ini? Saat mendapati wajah cekung Kevin dengan matanya yang sembab ditambah dengan wajahnya yang benar - benar terlihat tak bersemangat membuat hati ini merasa sakit. Sunggu aku merasa tak tega melihatnya. Perlahan, kaki ini berniat untuk melangkah mengahampirinya namun tanganku sudah terlebih dahulu ditahan. Begitu menoleh gelengan kepala Jimmy disertai senyumnya yang simpul langsung menahanku.
"Percayalah, semua akan indah pada waktunya," bisiknya lirih.
Aku mengangguk diam. Dan kembali menunduk saat Kevin berlalu disampingku tanpa menyapa sama sekali.
Cerpen The Princes Part Ending
Kosong, itu yang Kevin rasakan saat ini. Dulu tidak pernah ia bayangkan sekalipun kalau rasanya akan semenyakitkan ini. Ia tidak pernah menduga kalau perasaan yang dimilikinya ternyata sedalam itu pada Riani.
Dan disaat ia menyadari, semuanya sudah terlambat. Bukan saja karena Riani kini membencinya, tapi karena dirinya kini bukan miliknya lagi. Pertunangannya sudah di tentukan malam ini. Memusnahkan semua harapan kebahagiannya.
Saat matanya menatap wajah Riani pagi ini. Hatinya kembali merasa tercabik. Gadis itu tampak baik - baik saja. Bahkan kini sepertinya sudah dengan gampangnya mendapatkan pengantianya. Kenyataan itu benar - benar telah menamparnya langsung tepat di hati.
Waktu juga sepertinya kali ini sedang tidak bersahabat padanya. Terbukti tanpa ia sadari kini malam telah menjelang. Ia telah berdiri terpaku di hadapan sebuah rumah yang benar - benar terlihat bak istana. Di depannya tampak kedua orang tuanya.
Sementara di belakang keempat karibnya di tambah ketiga sahabat karib Riani menyertai. Ia sendiri juga bingung kenapa Ketiga gadis itu justru malah membelanya. Memenuhi undangannya untuk menghadiri pesta pertunangannya saat ia disuguhkan 7 undangan pribadi dari orang tuanya.
Ya, khusus untuk pertunangan ini semuanya memang sudah di persiapkan oleh calon keluarga barunya.
"Gila, ini rumah apa istana?" decakan kagum keluar dari mulut Iren.
"Ini si jelas istana. Ya ampun Kevin, loe bener - bener beruntung. Abis menikah sama dia loe nggak perlu kerja udah langsung kaya tujuh turunan kalau kayak gini ceritanya," tambah Vano yang langsung mengaduh kesakitan saat merasakan kakinya diinjek Vardan.
Dan mulut Vano langsung bungkam saat melihat wajah Kevin yang terlihat seperti mayat berjalan.
"Sudah lah bro, relain saja semuanya. Yakinlah ini pasti yang terbaik. Loe pasti bisa move on," bisik Randi sambil menepuk pundak Kevin memberi semangat.
Kevin tidak membalas. Hanya mencoba untuk tersenyum walau jelas hambar. Lagi pula saat ini mereka sudah sampai di dalam istana. Semua mata menatap kearahnya. Sekilas, matanya menatap kearah pangung. Acara pertunangan akan segera di mulai.
Entah berapa menit berlalu, Kevin juga tidak sempat memikirkannya. Bukankan sudah ia katakan ia mati rasa. Saat namanya di panggil untuk naik keatas pangung, ia juga hanya melangkah tanpa menoleh. Teman - temannya hanya mampu menatap miris.
Sedikit basa - basi ia menunduk hormat pada sosok yang ada di sana. Seorang kakek - kakek yang katanya adalah kakek calon tunangannya. Sementara di sampingnya tampak seorang gadis muda seusianya yang benar - benar terlihat cantik. Tapi sayang secantik apapun gadis itu ia sama sekali tidak tertarik.
"Baiklah Kevin, kita bisa memulai acara ini?" tanya sang kakek.
Kevin mengangguk sambil berusaha tersenyum walau terlihat hambar. Mengambil inisiatif menghampiri gadis manis itu dan berdiri di sampingnya.
"Kamu udah siap?" tanya Gadis itu
"Iya," kata Kevin lagi. Menghadap gadis itu. Ternyata benar gadis itu cantik. Tapi tetap saja dia bukan Riani. Satu - satunya gadis yang ia inginkan.
"Kalau begitu kenapa loe malah berdiri disini. Ayo jemput pasanganmu."
"He?" kening Kevin berkerut bingung. Menjemput pasangannya? Bukannya gadis itu adalah pasangannya, terus apa maksut ucapannya.
Dan pertanyaan itu langsung terjawab seiring dengan tepuk tangan seluruh hadirin dan juga tatapan lurus di sertai lampu sorot kearah tangga melingkar yang mengarah langsung kearah panggung.
Gadis dengan gaun berwarana merah muda tampak melangkah satu persatu menuruni anak tangga. Bener - benar terlihat bagaikan seorang putri Cinderela. Sementara tepat di belakangnya dua orang pria yang mengawalinya berjalan mengikuti yang Kevin kenal pasti sebagai pemilik nama Jimmy dan Junior.
Sementara Gadis itu sendiri Kevin kenali sebagai...
"Riani?" tanpa sadar kata itu meluncur dari bibir Kevin yang jelas kaget saat mendapati gadis itu kini sedah berada tepat di hadapanya dengan senyum favoritnya.
"Itu,,,,... Itu beneran Riani kan?" tanya Kezia dengan telunjuk lurus menunjuk kearah panggung.
Tiada jawaban dari keenam orang yang berdiri disampingnnya. Masing - masing juga terlihat bagai patung menatap pasangan di atas panggung. Kejutan yang sangat sangat sulit untuk di percaya.
"Surprise, kaget ya?" bisik ku lirih sambil tersenyum mengoda kearah Kevin yang masih terpaku.
"Bagaimana Kevin, perkenalkan dia cucuku satu - satunya. Andreani," kata Kakek menginterupsi ,membuat Kevin mengalihkan padangannya yang ternyata sedari tadi terjurus padaku.
"Dan sebelum kita memulai acara pertunangan ini, aku ingin bertanya padamu. Maukah kau menjaga Andreani, menjadikannya wanita yang akan kau lindungi dan kau cintai. Dan menjadi satu - satunya wanita yang akan kau jadikan pendamping hidupmu?"
Pertanyaan kakek jujur mengagetkanku. Mendadak rasa resah dan ketakutan melanda batinku. Bagaimana jika Kevin menolaknya? Bagaimana jika Kevin justru marah padaku dan melakukan pembalasan atas apa yang ku lakukan padanya kemaren? Bagaimana jika kali ini Kevin nekat pergi kali ini? Dan bagai mana jika...
"
Dengan Segenap Jiwa dan ragaku."
Singkat, padat, jelas dan tegas. Itulah kesan yang didapat dari kalimat yang Kevin lontarkan barusan.
Dan hal yang terjadi selanjutnya adalah seperti apa yang Jimmy janjikan. Kebahagiaanku kini ada dalam gengamanku. Aku mendapatkan apa yang ku inginkan. Keluarga,
sahabat, Orang yang ku cintai. Dan lebih dari semua itu, aku mendapatkan kebebasanku. Bebas untuk menjadi diriku sendiri seutuhnya. Andreani. Bukan lagi harus menjadi seorang "Andre", pria penjaga toko buku. Ataupun seorang "Riani", sang kutu buku. Tanpa sadar bibir ini tersenyum.
"Kau bahagia?"
Aku menoleh, menyadari Kevin berdiri disampingku sambil mengengam tanganku erat. Tapi yang ku tatap ternyata tidak menatapku. Justru ia asik menatap bintang di langit. Ya saat ini kami memang sedang berada di balkon istanaku sambil melihat langit lepas. Sengaja memisahkan diri dari hiruk pikuknya suasana pesta.
"Iya, aku bahagia," aku ku jujur.
"Bagaimana denganmu? Apa kau masih marah padaku?" tanya ku lagi. Kali ini Kevin menoleh, menatap lurus kearah mataku.
"Marah untuk apa? Untuk tidakanmu yang meninggalkanku kemaren? Untuk sikapmu yang membiarkan ku berhujan - hujanan menantimu yang justru malah kau abaikan? Atau untuk semua keputus asaan ku selama ini?"
Aku terperkur kaku. Menunduk dalam diam. Tak tau harus menjawab apa? Tapi sungguh aku menyesal melakukannya.
"Untuk semua kebahagian yang kau berikan malam ini, bagaimana mungkin aku marah padamu."
"Eh," kali ini aku mendongak. Mendapati senyum tulus di wajah Kevin. Tangannya yang halus kini mengusap pipiku.
"Terima kasih karena telah membohongiku. Membuatku bisa menyadari perasaan ku sendiri."
Situasi seperti ini asli membuat ku mati gaya. Mendadak merasa sulit untuk bernapas. Dan jantung ini juga justru malah memperburuk keadaan. Bedetak semakin tak beraturan.
"Ehem, kenapa kita jadi bicara aku-kau gini?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Itu karena kita sudah semakin dewasa. Sudah saatnya juga untuk kita berfikir secara Dewasa. Memangnya kau mau saat kita sudah berumah tangga nanti kita berbicara secara Loe -Gue?"
Pertanyaan yang Kevin lontarkan barusan sontak membuat mukaku bersemu merah. Berumah tangga nanti? Ah, aku belum pernah memikirkannya sampai sejauh itu.
"Oh ya, seingatku, aku belum memujimu. Malam ini kau benar - benar terlihat cantik. Persis seperti Putri Cinderela yang ada di doneng - dongeng."
Pujian Kevin memperburuk keadaan. Untunglah susana remang - remang. Sehingga mungkin dia tidak menyadari wajahku yang sudah merah seperti kepiting rebus.
"Tapi ngomong - ngomong soal cinderella, dalam kisah ini kau lah yang jadi Cinderellanya."
"Aku?" tanya Kevin heran, aku langsung mengangguk membenarkan.
"Emm. Dulu waktu kecil kau pernah menyelamatkanku. Dan waktu itu kau meninggalkan sebelah sepatumu. Dan saat usiaku 17 tahun, kakek berniat menjodohkanku. Tapi aku menolaknya. Aku baru mau menerima perjodohan kakek kalau orang itu adalah pemilik sepatu itu. Tapi kakek nekat tetap berniat untuk menjodohkanku entah pada siapa. Karena mustahil untuk menemukan siapa pemilik sebelah sepatu itu tanpa petunjuk apapun. Saat itu aku juga nekat kabur dari rumah. Menyamar jadi Andre untuk tetap bisa bersekolah. Dan harus berpenampilan seperti Riani, agar kakek tidak menemukanku. Tapi entah bagaimana caranya. Pada akhirnya kakek tetap berhasil menemukanmu. Tepat Seminggu yang lalu."
Kevin terdiam, mencoba mencerna semuanya. Sekarang ia mengerti kenapa Andreani harus menyamar. Ia juga sudah mulai mengerti kenapa mendadak ia di jodohkan.
"Tapi kenapa waktu itu kau tidak memberitahuku dan malah membiarkan aku berhujan - hujanan?"
"Itu karena Jimmy."
"Jimmy?" kening Kevin berkerut heran.
"Iya. Waktu itu aku masih tidak percaya denganmu. Ah kau kan suka jahil. Lagi pula waktu itu kita sedang marahan. Tapi Jimmy meyakinkanku bahwa perasaan yang kau punya untukku adalah tulus. Aku masih tidak percaya sampai ia berkata untuk membiarkan mu membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri."
Kevin tidak menjawab, hanya kepalanya yang mengangguk - angguk mengerti.
"Sepertinya aku harus berterima kasih padanya."
"Memang seharusnya begitu," balas ku sambil tersenyum simpul.
"Dan akhrinya kau tau kalau aku benar - benar mencintaimu?"
Gantian kepalaku yang mengangguk membenarkan.
"Oh ya, Ngomong - ngomong masih ada satu hal yang masih ingin ku tanyakan."
"Apa?" tanyaku heran.
"Kau sudah tau bahwa aku menyukaimu. Kau sudah tau dengan jelas perasaan ku yang sesungguhnya. Lantas bagaimana denganmu? Apakah kau juga mencintaiku?".
Hening, aku membisu. Tatapan penuh harap Kevin jelas berada di hadapanku. Menanti jawaban yang akan keluar dari mulutku. Apakah aku juga mencintainya?.
Sejenak aku menghembuskan nafas dalam sebelum kemudian menjawab dengan mantab.
"
Aku Mencintaimu. Sepenuh hatiku".
Ending
Detail Cerpen