Cerpen Romantis "Take My Heart ~ 09"
Sambil menyelesaikan laporan bulanan di kostan, iseng nyalain Mp3. Pas di lagunya Jang geun suk ~ Love Rain. Konsentrasi langsung pecah.
Memang ya, musik itu selalu bisa jadi inspirasi paling ampuh disaat hati lagi jenuh. Nggak terhitung berapa kali ku ulang – ulang ni lagu, tau - tau, Cerpen Romantis "Take My Heart ~ 09" udah tercipta. Ha ha ha
-} Cerpen Terbaru Take My Heart Part 8
PS: Padahal Aku babarblas gak tau artinya lho kecuali baris terakhir. Ha ha ha ha
"Loe nampar gue?".
Walau kalimat yang Ivan lontarkan terdengar seperti pertanyaan, tapi sungguh Vio menyadari kalau itu adalah sebuah pernyataan.
"Maaf, Gue nggak sengaja".
"Nggak sengaja apanya, Udah jelas jelas tadi itu sengaja".
"Ya maaf, itu tadi gerak refleks".
"Maksutnya loe refleks buat nampar gue?" Ulang Ivan tak percaya.
"Ehem" Vio berdehem untuk sejenak menyadari kalau ia salah bicara. Digaruknya kepalanya yang tidak gatal. Salah tingkah mendapati tatapan tajam Ivan padanya.
"Dia yang udah bikin loe patah hati, Gue yang pertama kali di tonjok, Dikatain brengsek dan masih harus mendapat bonus tamparan. Woi, hebat sekali" Cibir Ivan menyindir.
"Kenapa harus marah si?. Bukannya loe emang brengsek" Balas Vio lirih yang langsung mendapat lirikan tajam dari Ivan.
"Sudah lah, dari pada loe marah - marah ayo sini mendingan gue obatin" Kata Vio sambil kembali menarik tangan Ivan.
Seolah baru sadar Ivan menoleh kesekeliling. Sejak kapan mereka sampai di depan ruang kesehatan?.
Tanpa kata Vio membersihkan wajah Ivan dengan telaten. Hal yang tak pernah Ivan duga akan terjadi dalam hidupnya. Mendapati Vio yang berdiri didekatnya, dengan jarak sedekat itu, Membuat jantungnya berdebar tak menentu.
"Ehem".
"Kenapa?" tanya Vio dengan kening berkerut saat Ivan tiba - tiba berdiri. Padahal ia sedang membersikan wajah Ivan dengan kapas yang masih ada di tangannya.
"Ehem, Gue... Gue bisa sendiri" Sahut Ivan rikuh.
"Udah, Gak usah sok jual mahal. Sini gue bantuin" Balas Vio sama sekali tak menyadari akibat yang di timbulkan akan kedekatan mereka pada Ivan. Dengan santai di tariknya tangan Ivan sehingga kembali duduk di tempatnya semula.
"Ngomong - ngomong kalau dari deket gini loe cakep juga ya".
"Aduh".
Ivan langsung meringis. Mendengar kalimat pujian yang keluar dari mulut Vio barusan membuatnya refleks menoleh. Membuat Vio yang sedang membersikan kapas dengan hati - hati justru malah mengenai lukanya.
"Ish, Makanya diem aja. Jangan bergerak-gerak" Kata Vio sambil meraih wajah Ivan kearahnya. Membuat situasi keduanya benar - benar berhadapan.
Tak pelak Ivan memaki dalam hati. Astaga, apa gadis itu sama sekali tidak merasa canggung akan situasi mereka saat ini. Apa hanya ia yang terlihat bodoh?.
"Ah elo, baru juga di puji dikit. Langsung salah tingkah gitu. Katanya playboy".
Ivan langsung melotot. Menyadari lirikan Vio yang terlihat menahan tawa, sengaja mengodanya . Sialan, ternyata dia di kerjain.
"Oke, selesai".
Bersamaan dengan kalimat yang terucap dari mulutnya Vio berdiri. Kemudian berbalik, bersiap pergi meninggalkan Ivan kalau saja tangannya tidak terlebih dahulu di cekal. Dan belum sempat ia menyadari apa yang terjadi, tubuhnya sudah terlebih dahulu tertarik. Vio yakin ia pasti jatuh. Dan ia memang beneran jatuh. Yang ia tidak yakin adalah ia jatuh di pelukan Ivan. Benar - benar di pelukan pria itu.
Berniat untuk langsung mendampart sekaligus mencaci maki atas tindakan barusan, Vio justru terpaku. Dengan jarak sedekat itu. Tepat di depan wajahnya, mata bening Ivan menatapnya lurus tanpa kata.
Hei, pernahkan kalian merasakan waktu terhenti. Baiklah, waktu tidak akan pernah berhenti, Tapi setidaknya pernahkan kalian membayangkan waktu berlalu tapi tidak disadari. Ya, itu yang Vio alami saat ini.
Tatapan tajam Ivan benar - benar membiusnya. Bahkan mungkin lebih dari itu. Bagaimana bisa cukup bertatapan seperti itu, semua amarahnya menguap begitu saja. Bahkan...
"Astaga, Kalian berdua ngapain?".
Pertanyaan bernada kaget itu secara serentak membuat Vio dan Ivan menoleh. Tatapan shock jelas tergambar di wajah perempuan yang bertugas sebagai perawat dikampusnya yang baru muncul dari pintu.
Seolah baru tersadar Vio segera bangkit berdiri. Mendunduk malu kearah perawat itu sambil meminta maaf. Pikirannya terus merutuki diri sendiri. Astaga, apa yang baru saja terjadi. Dia belum gila, Tapi yang terjadi barusan sungguh tidak masuk akal untuk di pikirkan.
Dengan terbata Ivan menceritakan kronologi_karangannya. Entah karena pesona yang ia punya atau apa. Vio tidak mau memikirkannya. Yang jelas suster itu tampak mengangguk - angguk. Masih terdiam, Vio tak menyadari kakinya yang terus melangkah. Mengikuti Ivan yang jelas mengenggam erat tangannya. #Cuwit cuwit...... ^_^
"Loe kenapa berhenti?" tanya Ivan heran saat Vio secara tiba - tiba menghentikan langkahnya. Matanya yang bulat bening tampak berkedap kedip menatap lurus kearah Ivan.
"Astaga, Ini memalukan" Gumam Vio lirih.
"He?" Kening Ivan makin berkerut.
Vio tidak menjawab. Ia segera menarik lepas gengaman tangan Ivan. Kemudian berbalik. Tanpa sempat di cegah, ia langsung berlari menginggalkan tanpa menoleh lagi. Sambil masih ngos - ngosan ia duduk diam di bawah pohon jambu di taman belakang kampus.Duduk terdiam sambil memikirkan nasipnya. Ini semua nyatakan?. Bukan hayalan ataupun dunia mimpi yang menghantuinya.
Diliriknya jam yang melingkar ditangan. Hari ini hanya satu mata pelajaran dan itu jelas sudah di mulai sekitar lebih kurang sejam yang lalu. Hebat, belum ada seminggu ia mejadi mahasiswi di kampus itu ia telah membolos. Sepertinya itu akibat ia pernah beranggapan buruk pada Silvi saat pertama kali bertemu sehingga kini kata itu kembali padanya.
Setelah sekian lama duduk terdiam akhirnya Vio bangkit berdiri. Melangkah dengan lunglai melewati koridor kampusnya menuju ke halte bus. Memutuskan untuk langsung pulang saja.
"Vio".
Merasa namanya di panggil Vio langsung menoleh. Heran saat mendapati Herry yang berjalan kearahnya. Ekor mata Vio masih mendapati motor cowok itu yang di parkir sembarangan di pinggiran jalan.
"Herry?" Gumam Vio lirih. Kembali diliriknya jam yang melingkar di tangan sebelum kembali mengalihkan tatapannya kearah Herry.
"Loe terlalu cepet datangnya. Jam segini Silvi belom pulang" kata Vio kemudian. Tapi Herry justru mengeleng.
"Gue nungguin loe".
"Gue?" Tunjuk Vio kearah wajanya sendiri.
"Loe nggak keberatan kan kalau nemenin gue ngobrol sebentar?".
Sejenak Vio terdiam. Mencoba menimbang tawaran barusan. Secara berlahan kepalanya mengangguk seiring dengan langkah kakiknya mengikuti Herry. Dimana motornya di parkir. Dan masih tanpa kata keduanya berlalu diikuti tatapan dari sepasang mata dari kejauhan.
"Hufh".
Untuk kesekian kalinya Vio menghembuskan nafas berat. Angannya melayang jauh. Sejauh awan yang masih ia tatap. Pertemuannya dan Herry tadi siang masih membekas di hatinya. Tak di pungkiri ada rasa bahagia dihatinya saat tau kalau pria itu mengkhawatirkannya. Memintanya untuk menjauhi Ivan agar ia tidak terluka nantinya. Tapi disaat bersamaan rasa sesak juga merambat di hati. Bagaimanapun perhatian itu tidak pantas ia dapatkan. Karena itu hanya simpati atau mungkin belas kasian semata. Hei, seumur hidup ia tidak pernah mengharapkan belas kasian dari siapapun. Seberat apapun luka yang harus ia tanggung.
Saat menoleh Vio terkejut. Apakah ia terlalu asik melamun sampai - sampai tidak menyadari Ivan yang jelas - jelas duduk disampingnya yang entah sejak kapan. Namun dengan cepat Vio merubah ekspresinya menjadi biasa - biasa saja saat melihat sebuah senyuman di wajah Ivan.
"Sejak kapan loe duduk disini?" tanya Vio mengalihkan tatapannya kearah langit.
"Sejak gue panggil nama loe, tapi loe sama sekali tidak menoleh".
Vio sedikit mengernyit mendengar jawaban yang ia dapat barusan. Tapi ia juga tidak mempermasalahkan itu lebih lanjut.
"Ivan, Gue bisa minta tolong sama loe nggak?" Tanya Vio kemudian.
"Apa?" Ivan balik bertanya.
Untuk sejenak Vio terdiam. Tidak langsung menjawab pertanyaan Ivan barusan. Setelah meyakin kan dirinya sendiri ia kembali berujar.
"Buat gue jatuh cinta sama loe".
"Apa?!" Kali ini Ivan nyaris berteriak. Sama sekali tidak yakin akan kalimat yang baru saja melunjur dari bibir mungil gadis di sampingnya.
"Loe kan katanya playboy kelas kakap, Masa si loe nggak bisa bikin gue jatuh cinta?" Tambah Vio lagi.
Gadis itu terlihat santai, berbanding balik dengan ekspresi Ivan yang tampak melotot kaget.
"Loe sakit ya?" Gumam Ivan akhirnya.
Kali ini Vio tersenyum sambil menoleh kearah Ivan. Saat bersamaan pria itu juga sedang menatapnya.
"Loe sendiri tau gue playboy. Loe juga pernah bilang kalau gue itu cowok brengsek. Terus kenapa loe malah pengen gue bikin loe jatuh cinta sama gue?".
Vio kembali mengalihkan tatapannya kearah awan.
"Justru karena loe brengsek lah makanya gue berani minta tolong sama loe. Karena kalau nantinya loe beneran nyakitin gue, mungkin gue masih bisa maklum. Seenggaknya sejak awal gue udah tau kalau gue akan terluka. Bukan seseorang yang selalu memberikan gue harapan, mengajak gue terbang tinggi, tapi kemudian di hempaskan ke bumi. Mungkin kalau orangnya itu elo, Rasanya nggak akan sesakit ini".
"Loe..." Ivan mengantungkan ucapannya untuk sejenak sebelum kemudian kembali melanjutkan. "Bener - bener suka sama dia ya?".
Vio tidak menjawab. Sengaja membuang pandangan kearah samping. Menghindari tatapan Ivan. Pada saat bersamaan Ivan juga melakukan hal yang sama. Membuang padangan berlawanan dari Vio. Tangannya terkepal erat. Benar - benar bernapsu untuk melukai orang saat itu juga. Seseorang yang membuat gadis di sampingnya menitikan air mata.
Menyadari rasa marah yang teramat sangat dihatinya menimbulkan satu tanya mengusik. Hei, kenapa ia harus merasa semarah itu. Bukannya ia juga selalu membuat para gadis - gadis yang selama ini ia kencani tapi kemudian ia putuskan begitu saja juga menangis. Kesadaran itu menohoknya. Membuatnya langsung menatap lurus kearah Vio yang masih terlihat menyumbunyikan tangisannya.
"Gue nggak bener - bener sedang jatuh cintakan?".
Ivan hanya mampu bergumam dalam hati.
To Be Continue. See you in next part yang entah kapan munjulnya #demo rame rame.
Cihuiy.....Ngikik sendirian ditengah malam. Ha ha ha, Cerpen take my heart nya kok jadi gini yak?. Unpredictable banget dari ide awal untuk double date. Kadung berantem jadi berantakan. But what ever deh. Kadang kalau jari udah kadung menari di atas keyboard emang suka nggak kompak sama pikiran di kepala. #beneran lho.
Ngomong – ngomong cerpen remaja kala cinta menyapa bagaimana kabarnya ya?.... #tanyakan pada rumput yang suka tumbuh sembarangan ~ngaco.
PS: Kita liat seberapa banyak yang suka cerpen ini berdasarkan "like" tombol di atas. Oke?.....
Kalau banyak ana lanjut, kalau nggak ana mau berhenti untuk sejenak. Cerpen kiriman banyak ni yang harus di edit. Lanjutan Cerpen Story about us misalnya.
Memang ya, musik itu selalu bisa jadi inspirasi paling ampuh disaat hati lagi jenuh. Nggak terhitung berapa kali ku ulang – ulang ni lagu, tau - tau, Cerpen Romantis "Take My Heart ~ 09" udah tercipta. Ha ha ha
-} Cerpen Terbaru Take My Heart Part 8
Sallang sallang sallang deullye oneun bissori
Dugeun dugeun dugeun dugeun tteollye oneun nae gaseum
Sallang sallang sallang dugeun dugeun dugeun
Usansori bissori nae gaseum sori
Sarang biga naeryeo oneoyo....
Nan sarange ppajyeotne
I love rain... I love you
Lalalalalala...
Dugeun dugeun dugeun dugeun tteollye oneun nae gaseum
Sallang sallang sallang dugeun dugeun dugeun
Usansori bissori nae gaseum sori
Sarang biga naeryeo oneoyo....
Nan sarange ppajyeotne
I love rain... I love you
Lalalalalala...
PS: Padahal Aku babarblas gak tau artinya lho kecuali baris terakhir. Ha ha ha ha
"Loe nampar gue?".
Walau kalimat yang Ivan lontarkan terdengar seperti pertanyaan, tapi sungguh Vio menyadari kalau itu adalah sebuah pernyataan.
"Maaf, Gue nggak sengaja".
"Nggak sengaja apanya, Udah jelas jelas tadi itu sengaja".
"Ya maaf, itu tadi gerak refleks".
"Maksutnya loe refleks buat nampar gue?" Ulang Ivan tak percaya.
"Ehem" Vio berdehem untuk sejenak menyadari kalau ia salah bicara. Digaruknya kepalanya yang tidak gatal. Salah tingkah mendapati tatapan tajam Ivan padanya.
"Dia yang udah bikin loe patah hati, Gue yang pertama kali di tonjok, Dikatain brengsek dan masih harus mendapat bonus tamparan. Woi, hebat sekali" Cibir Ivan menyindir.
"Kenapa harus marah si?. Bukannya loe emang brengsek" Balas Vio lirih yang langsung mendapat lirikan tajam dari Ivan.
"Sudah lah, dari pada loe marah - marah ayo sini mendingan gue obatin" Kata Vio sambil kembali menarik tangan Ivan.
Seolah baru sadar Ivan menoleh kesekeliling. Sejak kapan mereka sampai di depan ruang kesehatan?.
Tanpa kata Vio membersihkan wajah Ivan dengan telaten. Hal yang tak pernah Ivan duga akan terjadi dalam hidupnya. Mendapati Vio yang berdiri didekatnya, dengan jarak sedekat itu, Membuat jantungnya berdebar tak menentu.
"Ehem".
"Kenapa?" tanya Vio dengan kening berkerut saat Ivan tiba - tiba berdiri. Padahal ia sedang membersikan wajah Ivan dengan kapas yang masih ada di tangannya.
"Ehem, Gue... Gue bisa sendiri" Sahut Ivan rikuh.
"Udah, Gak usah sok jual mahal. Sini gue bantuin" Balas Vio sama sekali tak menyadari akibat yang di timbulkan akan kedekatan mereka pada Ivan. Dengan santai di tariknya tangan Ivan sehingga kembali duduk di tempatnya semula.
"Ngomong - ngomong kalau dari deket gini loe cakep juga ya".
"Aduh".
Ivan langsung meringis. Mendengar kalimat pujian yang keluar dari mulut Vio barusan membuatnya refleks menoleh. Membuat Vio yang sedang membersikan kapas dengan hati - hati justru malah mengenai lukanya.
"Ish, Makanya diem aja. Jangan bergerak-gerak" Kata Vio sambil meraih wajah Ivan kearahnya. Membuat situasi keduanya benar - benar berhadapan.
Tak pelak Ivan memaki dalam hati. Astaga, apa gadis itu sama sekali tidak merasa canggung akan situasi mereka saat ini. Apa hanya ia yang terlihat bodoh?.
"Ah elo, baru juga di puji dikit. Langsung salah tingkah gitu. Katanya playboy".
Ivan langsung melotot. Menyadari lirikan Vio yang terlihat menahan tawa, sengaja mengodanya . Sialan, ternyata dia di kerjain.
"Oke, selesai".
Bersamaan dengan kalimat yang terucap dari mulutnya Vio berdiri. Kemudian berbalik, bersiap pergi meninggalkan Ivan kalau saja tangannya tidak terlebih dahulu di cekal. Dan belum sempat ia menyadari apa yang terjadi, tubuhnya sudah terlebih dahulu tertarik. Vio yakin ia pasti jatuh. Dan ia memang beneran jatuh. Yang ia tidak yakin adalah ia jatuh di pelukan Ivan. Benar - benar di pelukan pria itu.
Berniat untuk langsung mendampart sekaligus mencaci maki atas tindakan barusan, Vio justru terpaku. Dengan jarak sedekat itu. Tepat di depan wajahnya, mata bening Ivan menatapnya lurus tanpa kata.
Hei, pernahkan kalian merasakan waktu terhenti. Baiklah, waktu tidak akan pernah berhenti, Tapi setidaknya pernahkan kalian membayangkan waktu berlalu tapi tidak disadari. Ya, itu yang Vio alami saat ini.
Tatapan tajam Ivan benar - benar membiusnya. Bahkan mungkin lebih dari itu. Bagaimana bisa cukup bertatapan seperti itu, semua amarahnya menguap begitu saja. Bahkan...
"Astaga, Kalian berdua ngapain?".
Pertanyaan bernada kaget itu secara serentak membuat Vio dan Ivan menoleh. Tatapan shock jelas tergambar di wajah perempuan yang bertugas sebagai perawat dikampusnya yang baru muncul dari pintu.
Seolah baru tersadar Vio segera bangkit berdiri. Mendunduk malu kearah perawat itu sambil meminta maaf. Pikirannya terus merutuki diri sendiri. Astaga, apa yang baru saja terjadi. Dia belum gila, Tapi yang terjadi barusan sungguh tidak masuk akal untuk di pikirkan.
Dengan terbata Ivan menceritakan kronologi_karangannya. Entah karena pesona yang ia punya atau apa. Vio tidak mau memikirkannya. Yang jelas suster itu tampak mengangguk - angguk. Masih terdiam, Vio tak menyadari kakinya yang terus melangkah. Mengikuti Ivan yang jelas mengenggam erat tangannya. #Cuwit cuwit...... ^_^
"Loe kenapa berhenti?" tanya Ivan heran saat Vio secara tiba - tiba menghentikan langkahnya. Matanya yang bulat bening tampak berkedap kedip menatap lurus kearah Ivan.
"Astaga, Ini memalukan" Gumam Vio lirih.
"He?" Kening Ivan makin berkerut.
Vio tidak menjawab. Ia segera menarik lepas gengaman tangan Ivan. Kemudian berbalik. Tanpa sempat di cegah, ia langsung berlari menginggalkan tanpa menoleh lagi. Sambil masih ngos - ngosan ia duduk diam di bawah pohon jambu di taman belakang kampus.Duduk terdiam sambil memikirkan nasipnya. Ini semua nyatakan?. Bukan hayalan ataupun dunia mimpi yang menghantuinya.
Diliriknya jam yang melingkar ditangan. Hari ini hanya satu mata pelajaran dan itu jelas sudah di mulai sekitar lebih kurang sejam yang lalu. Hebat, belum ada seminggu ia mejadi mahasiswi di kampus itu ia telah membolos. Sepertinya itu akibat ia pernah beranggapan buruk pada Silvi saat pertama kali bertemu sehingga kini kata itu kembali padanya.
Setelah sekian lama duduk terdiam akhirnya Vio bangkit berdiri. Melangkah dengan lunglai melewati koridor kampusnya menuju ke halte bus. Memutuskan untuk langsung pulang saja.
"Vio".
Merasa namanya di panggil Vio langsung menoleh. Heran saat mendapati Herry yang berjalan kearahnya. Ekor mata Vio masih mendapati motor cowok itu yang di parkir sembarangan di pinggiran jalan.
"Herry?" Gumam Vio lirih. Kembali diliriknya jam yang melingkar di tangan sebelum kembali mengalihkan tatapannya kearah Herry.
"Loe terlalu cepet datangnya. Jam segini Silvi belom pulang" kata Vio kemudian. Tapi Herry justru mengeleng.
"Gue nungguin loe".
"Gue?" Tunjuk Vio kearah wajanya sendiri.
"Loe nggak keberatan kan kalau nemenin gue ngobrol sebentar?".
Sejenak Vio terdiam. Mencoba menimbang tawaran barusan. Secara berlahan kepalanya mengangguk seiring dengan langkah kakiknya mengikuti Herry. Dimana motornya di parkir. Dan masih tanpa kata keduanya berlalu diikuti tatapan dari sepasang mata dari kejauhan.
"Hufh".
Untuk kesekian kalinya Vio menghembuskan nafas berat. Angannya melayang jauh. Sejauh awan yang masih ia tatap. Pertemuannya dan Herry tadi siang masih membekas di hatinya. Tak di pungkiri ada rasa bahagia dihatinya saat tau kalau pria itu mengkhawatirkannya. Memintanya untuk menjauhi Ivan agar ia tidak terluka nantinya. Tapi disaat bersamaan rasa sesak juga merambat di hati. Bagaimanapun perhatian itu tidak pantas ia dapatkan. Karena itu hanya simpati atau mungkin belas kasian semata. Hei, seumur hidup ia tidak pernah mengharapkan belas kasian dari siapapun. Seberat apapun luka yang harus ia tanggung.
Saat menoleh Vio terkejut. Apakah ia terlalu asik melamun sampai - sampai tidak menyadari Ivan yang jelas - jelas duduk disampingnya yang entah sejak kapan. Namun dengan cepat Vio merubah ekspresinya menjadi biasa - biasa saja saat melihat sebuah senyuman di wajah Ivan.
"Sejak kapan loe duduk disini?" tanya Vio mengalihkan tatapannya kearah langit.
"Sejak gue panggil nama loe, tapi loe sama sekali tidak menoleh".
Vio sedikit mengernyit mendengar jawaban yang ia dapat barusan. Tapi ia juga tidak mempermasalahkan itu lebih lanjut.
"Ivan, Gue bisa minta tolong sama loe nggak?" Tanya Vio kemudian.
"Apa?" Ivan balik bertanya.
Untuk sejenak Vio terdiam. Tidak langsung menjawab pertanyaan Ivan barusan. Setelah meyakin kan dirinya sendiri ia kembali berujar.
"Buat gue jatuh cinta sama loe".
"Apa?!" Kali ini Ivan nyaris berteriak. Sama sekali tidak yakin akan kalimat yang baru saja melunjur dari bibir mungil gadis di sampingnya.
"Loe kan katanya playboy kelas kakap, Masa si loe nggak bisa bikin gue jatuh cinta?" Tambah Vio lagi.
Gadis itu terlihat santai, berbanding balik dengan ekspresi Ivan yang tampak melotot kaget.
"Loe sakit ya?" Gumam Ivan akhirnya.
Kali ini Vio tersenyum sambil menoleh kearah Ivan. Saat bersamaan pria itu juga sedang menatapnya.
"Loe sendiri tau gue playboy. Loe juga pernah bilang kalau gue itu cowok brengsek. Terus kenapa loe malah pengen gue bikin loe jatuh cinta sama gue?".
Vio kembali mengalihkan tatapannya kearah awan.
"Justru karena loe brengsek lah makanya gue berani minta tolong sama loe. Karena kalau nantinya loe beneran nyakitin gue, mungkin gue masih bisa maklum. Seenggaknya sejak awal gue udah tau kalau gue akan terluka. Bukan seseorang yang selalu memberikan gue harapan, mengajak gue terbang tinggi, tapi kemudian di hempaskan ke bumi. Mungkin kalau orangnya itu elo, Rasanya nggak akan sesakit ini".
"Loe..." Ivan mengantungkan ucapannya untuk sejenak sebelum kemudian kembali melanjutkan. "Bener - bener suka sama dia ya?".
Vio tidak menjawab. Sengaja membuang pandangan kearah samping. Menghindari tatapan Ivan. Pada saat bersamaan Ivan juga melakukan hal yang sama. Membuang padangan berlawanan dari Vio. Tangannya terkepal erat. Benar - benar bernapsu untuk melukai orang saat itu juga. Seseorang yang membuat gadis di sampingnya menitikan air mata.
Menyadari rasa marah yang teramat sangat dihatinya menimbulkan satu tanya mengusik. Hei, kenapa ia harus merasa semarah itu. Bukannya ia juga selalu membuat para gadis - gadis yang selama ini ia kencani tapi kemudian ia putuskan begitu saja juga menangis. Kesadaran itu menohoknya. Membuatnya langsung menatap lurus kearah Vio yang masih terlihat menyumbunyikan tangisannya.
"Gue nggak bener - bener sedang jatuh cintakan?".
Ivan hanya mampu bergumam dalam hati.
To Be Continue. See you in next part yang entah kapan munjulnya #demo rame rame.
Cihuiy.....Ngikik sendirian ditengah malam. Ha ha ha, Cerpen take my heart nya kok jadi gini yak?. Unpredictable banget dari ide awal untuk double date. Kadung berantem jadi berantakan. But what ever deh. Kadang kalau jari udah kadung menari di atas keyboard emang suka nggak kompak sama pikiran di kepala. #beneran lho.
Ngomong – ngomong cerpen remaja kala cinta menyapa bagaimana kabarnya ya?.... #tanyakan pada rumput yang suka tumbuh sembarangan ~ngaco.
PS: Kita liat seberapa banyak yang suka cerpen ini berdasarkan "like" tombol di atas. Oke?.....
Kalau banyak ana lanjut, kalau nggak ana mau berhenti untuk sejenak. Cerpen kiriman banyak ni yang harus di edit. Lanjutan Cerpen Story about us misalnya.
Okeh lanjut, tombol likenya yg mana?
ReplyDeleteSwl.a aku buka pke hp. .