Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 05 / 10

Nah, berhubung cerpen kenalkan aku pada cinta udah sampe di part ending beberapa saat yang lalu, maka udah saatnya buat admin untuk beralih kecerita yang lainnya. Salah satunya ya Cerpen {Bukan} sahabat jadi cinta. Kali ini kita udah sampe di bagian ke 5 ya. Biar nggak makin penasaran kita langsung baca aja deh.

Oh ya, ngomong - ngomong biar nyambung sama ceritanya lebih baik baca part sebelumnya aja dulu. Biar lebih mudah bisa langsung baca disini.

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta

Pagi itu, Ishida tampak uring – uringan. Pasalnya hari sudah siang, tapi kakaknya masih belum muncul juga sementara ia sendiri sudah menunggu rapi didepan rumah. Siap untuk berangkat sekolah.

“Kakak, lama banget sih. Udah siang nih. Nanti gue terlambat,” teriak Ishida akhirnya.

“Ia sebentar. Gue pake baju dulu,” Vano balas berteriak dari dalam kamarnya.

“Ih lama kali. Dari tadi di bangunin susah banget,” gerut Ishida sendiri. Secara berlahan ia duduk di kursi depan teras rumahnya sembari menunggu kakaknya berpakaian. Karena hari ini kakaknya kuliah siang makanya ia bangun siang seperti biasanya. Tapi karena mulai sekarang ia harus mengantar jemput dirinya makanya pria itu harus bangun lebih pagi.

Ketika Ishida sedang sibuk dengan gerutannya sendiri, suara klakson didepan rumah menyadarkannya. Secara refleks Ishida menoleh, keningnya sedikit berkerut samar ketika melihat Arsyil sudah ada disana. Lengkap dengan seragam sekolah yang ia kenakan. Lho, bukannya pria itu bilang sendiri kalau mereka udah nggak barengan lagi. Kenapa sekarang ia muncul.

“Udah siang nih. Loe mau berangkat sekolah nggak? Ntar telat tau,” kata Arsyil setengah berteriak.

“Arsyil, loe ngapain disini?” tanya Ishida sambil melangkah menghampiri.

“Ya jemput loe donk. Gimana sih.”

“Tapi bukannya loe kemaren bilang kalau kita nggak bisa pergi bareng lagi ya?” tanya Ishida lagi.

Arsyil tidak langsung menjawab. Sekilas Ishida menangkap raut ragu di wajah Arsyil.

“Lho, Arysil. Loe kok ada disini?”

Ishida dan Arsyil secara refeks menoleh kesumber suara. Tanpak Vano yang sudah rapi sedang berdiri di depan pintu dengan perhatian terjurus kearah kedua orang yang ada di hadapnnya.

“Pagi kak,” Arsyi tidak langsung menjawab sebaliknya ia malah menyapa hormat. “Biasalah kak, mau jemput Ishida buat berangkat bareng. Nggak papa kan?”

“Nggak papa sih harusnya,” sahut Vano setengah bergumam. “Cuma kemaren Ishida bilang loe udah nggak bareng sama dia lagi.”

“Itu cuma kemaren aja kok kak. Soalnya kemaren memang ada urusan,” balas Arsyil, Vano tampak mengangguk – angguk paham sementara Ishida justru malah melemparkan tatapan heran.

“Ya udah deh kak. Berhubung sekarang sudah siang kita berangkat dulu ya,” pamit Arsyil lagi.

“Iya deh. Hati - hati. Jangan lupa, jagain adek gue.”

“Syip,” balas Arsyil sembari mengangkat tangannya. Setelah terlebih dahulu memberi kesempatan kepada Ishida untuk duduk nyaman di belakangnya, keduanya pun melaju di jalan raya.

Selama perjalanan, tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut keduanya. Walau sejujurnya Ishida merasa sedikit penasaran dengan tingkah Arsyil yang berubah pendapat semaunya, tapi gadis itu tetap memilih bungkam. Mempertahankan gengsinya sendiri mengambil alih. Bahkan sampai keduanya tiba dihalaman sekolah.

Begitu turun, Ishida melepaskan helm yang di kenakannya sebelum kemudian menyodorkan kearah Arsyil. Masih tanpa kata gadis itu berbalik untuk menuju kekelasnya.

“Ishida,” panggilan Arsyil menghentikan langkahnya. Dengan berlahan ia berbaik sambil melemparkan tatapan penuh tanya walau bibir tetap terkunci.

“Loe kenapa diem aja?” tanya Arsyil lagi.

“Ya loe aja sedari tadi diem, masa ia gue harus teriak teriak,” balas Ishida santai.

Arsyil kembali terdiam. Pria itu tampak menghela nafas untuk sejenak. “Oh iya. Ntar siang loe nggak usah minta kakak loe buat jemput loe. Kita pulang bareng.”

Mendengar itu Ishida hanya membalas dengan anggukan.

“Okelah kalau gitu. Gue kekelas dulu,” selesai berkata, Arsyil segera melangkah melewati Ishida guna menuju kekelasnya. Terlebih sebentar lagi waktunya bel berbunyi. Tapi Ishida masih berdiri di tempat yang sama. Matanya menatap lurus kearah punggung Arsyil yang semakin melangkah menjauh. Tanpa sadar, Ishida mengigit – gigit kuku jarinya sembari menyipitkan mata. Pasang pose sedang berpikir.

“Ssh… Tu anak kenapa ya? Kok gue ngerasa ada yang aneh,” gumam Ishida lirih tanpa jawaban. Karena nyatanya ia memang sendiri.

“Dooorr.”

“Mama tolooong,” teriak Ishida sepontan tanpa memperdulikan orang – orang di sekeliling yang kini menatapnya aneh, saat berbalik gadis itu segera pasang tampang kesel begitu melihat Arumy yang sedang tertawa lepas.

“Loe pengen bikin gue mati muda ya. Kalau tadi sampai kena serangan jantung gimana?” sergah Ishida yang di balas cibiran tak bersalah Arumy.

“Makanya, pagi – pagi jangan bengong. Ngapain juga loe sedari tadi berdiri kayak patung di situ. Kelas udah mau mulai tau.”

Ishida tidak membalas. Walau kesel ia tau apa yang di katakan sahabatnya barusan memang ada benarnya. Apalagi saat beberapa saat kemudia ia mendengar suara bel.

“Ih, dia bengong lagi. Kekelas yuk,” kata Arumy lagi yang kini sudah melangkah di depannya.

“Nyapanya biasa aja kenapa sih,” gerut Ishida tak urung mengekor di belakang.


Sepulang sekolah, seperti yang di janjikan Ishida menunggu Arsyil untuk pulang bersama. Karena kebetulan kelas mereka berbeda, Ishida sengaja langsung menuju ke parkiran. Dari pada ia menunggu di depan kelas, mendingan ia langsung stay di motor.

Namun, kening Ishida berkerut samar ketika tiba di tempat yang ia tuju. Motor Arsyil tidak ada disana. Sedangkan ia sudah cukup yakin kalau sekilas tadi ia melihat kelas Arsyil belum bubar. Lantas kemana perginya anak itu, gumam Ishida lirih.

Tak ingin terjebak dalam pertanyaanya sendiri, Ishida mengeluarkan Handphon dari dalam saku bajunya. Walau awalnya masih ragu, namun pada akhirnya ia memutuskan untuk segera menghubungi sahabatnya. Jeda sesaat menunggu nada sambung dari seberang. Tapi walaupun belum terdengar jawaban. Bahkan memang berakhir tanpa jawaban. Merasa makin heran Ishida kembali melanjutkan panggilannya. Tapi hasilnya tetap nihil.

“Ishida, loe ngapain disini?”

Karena sibuk dengan handphonenya, Ishida hampir tidak menyadari sekeliling. Halaman parkir sudah dipenuhi dengan anak – anak lain yang siap untuk pulang.

“Eh kevin. Mau pulang donk,” balas Ishida. Agak sedikit terlambat memang.

Kevin tanpak mengangguk – angguk paham. Dan sebelum mulut pria itu kembali terbuka, Ishida sudah terlebih dahulu melontarkan pertanyaan. Terlebih ketika gadis itu menyadari kalau Kevin adalah teman sekelas Arsyil.

“Oh iya Kev, loe ada liat Arsyil nggak? Kok motornya nggak ada ya?”

“Arsyil?” ulang Kevin sambil berpikir. Ishida mengangguk membenarkan sembari menatap menanti jawaban. “Oh, tu anak udah pulang duluan tadi. Dia di minta Pak Seno buat nganterin Laura karena sakit maag nya kambuh,” sambung Kevin .

“Nganterin Laura?”

Kevin hanya membalas dengan anggukan santai. Bahkan pria itu lagi sama sekali tidak menyadari raut kaget di wajah Ishida atas jawaban yang di berikannya. Jelas aja Ishida kaget, secara dari sebanyak banyak teman yang ada di kelasnya kenapa harus Arsyil sih. Terlebih kenapa pria itu tidak memberi tahu dirinya. Kalau gitu kan harusnya di bisa menghubungi kakaknya bukan malah menunggu seperti orang bodoh.

“Gue hampir lupa. Loe biasanya bareng Arsyil kan? Jadi sekarang gimana donk?” tanya Kevin setelah keduanya terdiam beberapa saat.

“Iya. Nggak papa kok. Gue bisa minta jemput kakak gue, ma kasih ya,” balas Ishida sambil berniat berbalik. Tapi belum sempat ia melangkah, panggilan Kevin sudah terlebih dahulu menghentikannya.

“Dari pada loe nunggu lama, gimana kalau gue antar loe pulang aja?”

“Ya?” tanya Ishida sambil berbalik.

“Lagian gue juga sendiri. Rumah loe searah sama rumahnya Arsyil kan?” tanya Kevin lagi. Ishida hanya membalas dengan anggukan.

“Ya sudah kalau gitu. Tunggu apa lagi. Ayo naik!”

Kalau awalnya Ishida masih ragu, kali ini gadis itu mengangguk mantap. Tanpa banyak komentar lagi ia segera menerima tawaran pria di hadapannya. Selang beberapa saat kemudian, keduanya sudah meluncur di jalan raya.

Setibanya di rumah, Ishida segera melangkah masuk. Suasana rumah sepi. Kedua orang tuanya pasti masih di kantor, sementara kakaknya tidak ada dirumah. Entah kemana pria itu, mungkin masih di kampus. Tak ingin memikirkannya, Ishida segera menganti baju seragamnya. Perutnya terasa lapar. Semangkuk bakso yang ia nikmati ketika jam istirahat di kantin tadi tidak cukup untuk menganjal perutnya hingga sesiang ini.

Tepat saat Ishida berniat untuk menyuapkan nasi kedalam mulutnya, suara bel di rumah terdengar. Membuat gadis itu menghebuskan nafas kesel karena acara makannya terganggu. Dengan segera ia bangkit berdiri.

“Arsyil?” kata Ishida heran ketika mendapati siapa yang kini berdiri tepat di hadapannya. Terlebih ketika melihat pria itu masih mengenakan seragam sekolahnya.

“Loe ngapain kesini?”

“Hufh,” bukannya langsung menjawap pria itu justru malah menghebuskan nafas lega. “Jadi loe sudah sampe di rumah, kenapa gue telpon nggak diangkat gue SMS nggak di balas?”

Ishida mencibir, bukannya dia yang nelpon tapi nggak di angkat. Kenapa sekarang malah ia yang di salahin.

“Loe marah ya? Tadi temen gue ada yang sakit, terus Pak Seno minta gue buat ngenterin pulang. Gue sengaja nggak ngasih tau loe karena rencananya gue cuma nganterin dia terus gue balik lagi kesekolah buat ngejemput loe. Tapi gue nggak tau kalau ternyata rumahnya jauh. Jadi pas gue balik kesekolah, sekolah udah sepi. Pas gue cek handphon gue, gue baru tau kalau loe nelpon. Gue lupa ngaktifin lagi nadanya yang gue silence waktu belajar tadi, makanya gue nggak tau kalau loe nelpon gue pas gue di jalan. Gue telpon loe balik, nggak loe angkat. Gue SMS nggak loe bales. Gue telpon kak Vano doi bilang nggak jemput loe. Makanya gue langsung ke sini.”

Kali ini Ishida pasang tampang cengo mendengar penjelasan dari pria di hadapannya sembari memuji dalam hati. Hebat, ngomong sepanjang lebar begitu hanya dalam satu tarikan nafas. Ck ck ck.

“Gue beneran minta maaf. Sory ya,” gumam Arsyil lagi karena Ishida masih belum membalas ucapannya.

“Loe udah makan belom?”

“Ya?” gantian Arsyil yang pasang tanpang cengo. Tidak mengerti arah pembicaraan ini akan di bawa. Tapi walaupun begitu kepalanya mengeleng berlahan karena tau kalau Ishida masih menanti jawaban darinya.

“Ya sudah kalau gitu masuk dulu yuk. Kita ngobrolnya entar di dalam aja,” kata Ishida. Tanpa menunggu balasan gadis itu segera berbalik dan langsung melangkah menuju kedapur. Masih merasa heran, tak urung Arsyil manut. Setelah terlebih dahulu menutup pintu ia segera melangkah menyusul Ishida.

“Sebenernya tadi itu gue mau makan. Tapi gara – gara loe, acara makan gue tertunda. Padahal seriusan deh, gue laper banget tau. Dan berhubung loe juga belum makan, ya sudah. Mendingan kita makan bareng aja,” jelas Ishida lagi sembari tangannya menyambar piring di rak dan segera menyodorkannya pada Arsyil.

“Loe nggak marah?” tanya Arsyil hati – hati.

Ishida tidak langsung menjawab. Matanya menatap kearah Arsyil yang juga sedang menatapnya. Dengan berlahan ia tersenyum sembari menggeleng berlahan. “Enggak, lagian kenapa juga gue harus marah.”

“Tapi kan tadi…”

“Handphon gue juga gue silence. Gue nggak tau loe nelpon gue. Soalnya gue juga sama sekali nggak ada liat handphon sejak gue pulang tadi karena kayak yang gue bilang . Gue kelaperan. Jadi makan aja gih,” potong Ishida sebelum Arsyil sempat menyelesaikan ucapannya.

Mendengar itu Arsyil tanpak mengangguk paham. Tak urung merasa lega. Tadinya ia cemas kalau Ishida akan marah padanya.

“Dan ngomong – ngomong, tadi loe pulang sama siapa?” tanya Arsyil sambil mulai menikmati makanannya.

“Kevin,” balas Ishida singkat.

“Kevin?” ulang Arsyil dengan kening berkerut. Ishida hanya membalas dengan anggukan karena mulutnya memang sedang penuh dengan makanan.

Walau masih merasa heran, Arsyil hanya mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Sepertinya pria itu tidak ingin menganggu kenikmatan gadis yang ada di hadapannya.

“Alhamdullilah, kenyang juga gue,” kata Ishida sambil menyeka mulutnya dengan tisu. Piring yang ada di hadapannya sudah kosong. Melihat itu, Arsyil hanya mampu memberikan senyuman simpulnya. Dengan berlahan tanganya juga meraih kotak tisu yang ada di hadapannya. Melakukan hal yang sama persis seperti yang di lakukan oleh Ishida.

“Tapi Ish, kok loe tadi bisa pulang bareng sama Kevin?” tanya Arsyil.

“Ooh. Tadi pas gue nungguin loe di parkiran gue nggak sengaja ketemu sama dia. Gue nanyain soal loe kedia tapi dia bilang kalau loe sudah pulang. Terus dia nawarin buat nganterin karena katanya kita searah. Ya sudah, dari pada gue kelamaan nunggin kak Vano sementara loe juga nggak bisa di hubungi ya gue pulang aja sama dia,” terang Ishida santai.

“Maaf,” kata Arsyil setengah bergumam.

Kening Ishida sedikit mengernyit. Matanya menoleh kearah Arsyil yang tanpa menunduk. Sama sekali tidak menatap kearah dirinya.

“Ya ela. Santai aja kali. Ngapain juga loe harus minta maaf terus. Emangnya loe punya salah apa sama gue?”

Ucapan santai Ishida kembali membuat Arsyil bungkam.

“Gue denger dari Kevin, katanya tadi itu loe nganterin Laura ya?”

Arsyil tidak langsung menjawab. Diam – diam pria itu mencoba untuk mengamati raut Ishida saat menanyakannya. Tapi gadis itu justru malah sama sekali tidak menatapnya. Perhatiannya terjurus kearah gelas yang ada di tangannya. Sibuk menikmati dinginnya air yang membasahi tengorokannya. Bahkan sepertinya pertanyaan yang ia lontarkan hanya bersikap basa – basi. Membuat Arsyil hanya mampu menghebuskan nafas berlahan sebelum kemudian mulutnya bergumam sempari kepala mengangguk membenarkan.

“Iya. Sakit maag nya kambuh. Dan Pak Seno minta gue buat nganterin dia,” balas Arsyil, Ishida yang mendengarkan tanpak mengangguk – angguk paham.

“Tapi kenapa loe nggak bilang sama gue?”

“Ya gue nggak tau kalau bakal lama. Sory ya.”

“Bukan itu. Maksut gue, harusnya kan loe bilang kalau loe nganterin Laura.”

“Gue nggak mau loe salah paham,” balas Arsyil lirih nyaris tak terdengar.

“Lah kenapa gue harus salah paham. Maksut gue itu, kalau gue tau loe nganterin Laura kan gue bisa langsung telpon kakak gue. Loe santai aja lagi. Kan gue udah bilang kemaren, kalau loe emang suka sama dia pasti gue dukung kok.”

“Gue nggak pernah bilang kalau gue suka sama dia.”

Ishida sedikit terlonjak kaget. Tidak percaya dengan apa yang Arsyil katakan. Bukan tentang ucapannya tapi cara mengucapakannya. Karena pria itu nyaris berteriak di hadapanya kalau tidak ingin di katakan membentak.

“Maksut gue, gue nggak pernah bilang kalau gue suka sama dia,” kali ini Arsyil mengulang kalimatnya dengan nada yang lebih santai. Tapi Ishida sudah terlebih dahulu merasa terkejut jadi gadis itu hanya terdiam. “Soalnya yang gue suka itu…..”

Artsyil tanpak mengantungkan ucapannya, matanya menatap lurus kearah Ishida yang juga sedang menatapnya. Menanti kalimat lanjutan dari pria itu. Tapi pria itu masih terdiam sampai kemudian mulutnya kembali terbuka….

To be continue…

Ha ha ha Rasa nya tu emang nggak afdhol banget kalau nggak ngecut semena – mena #admin minta di hajar. Ke ke ke.

Ya sudahlah, sabar aja ya nunggu lanjutanya di part selanjutnya. Bye bye #lambaitanganalamodelkeilanganpanggung.

~ Admin ~ Ana Merya ~

Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 05 / 10"