Cerpen Galau "Sakitnya tuh disini!" ~ 02
Lanjut guys? Setelah sebelumnya post puisi patah hati kali ini kita lanjut ke cerpen lagi ya. Apalagi kalau bukan lanjutan dari cerpen galau sakitnya tuh disini. Secara tu kalimat perasaan emang lagi ngetrend - ngetrendnya, sampe sampe di pake buat demo (????). So buat yang penasaran, langsung baca aja deh. Next, last part.
Oh ya, biar nyambung sama ceritanya. Bagusan kalau baca bagian satunya dulu deh. Biar gampang bisa langsung klik disini ya guys. Happy reading...
"Pagi Icha."
Icha yang sedang asik membaca novel ditangannya tak sadar sedikit terlonjak. Selain kaget karena tiba - tiba disapa, Laily juga menyapanya pake tenaga. Maksutnya itu, pake acara geplak meja segala.
"Ha ha ha, dia kaget. Makanya masih pagi jangan baca..." kata Laily sambil mengankat tangan Icha guna melihat buku yang ia baca. "Novel romantis aja. Mending juga langsung jadi tokoh utamanya. Lebih seru tau. Kalau istilah dangdutnya apa tuh, Ssshhh lebih berasa."
Tak ingin terlalu menanggapi komentar sahabatnya, Icha justru malah mengorek - ngorek (???) telinganya. Bersikap seolah ada sampah yang menganggu pendengar.
"Eh gimana? Saran gue kemaren loe ikutin nggak? Jadi loe lari meraton?" tanya Laily lagi sambil duduk tepat di sampingnya.
Icha tidak langsung menjawab. Sebaliknya ia malah melirik jam yang melingkar di tangannya. Masih ada 15 menitan sebelum kelasnya di mulai.
"Jiah dia malah bengong. Gue yakin, pasti enggak kan? Palingan juga loe seharian mendekam di kamar sembari internetan. Iya kan?" pancing Laily mencibir.
"Siapa bilang!" bantah Icha cepat. "Kemaren gue lari kok. Nih, kaki gue sekarang aja masih pegel."
"Serius loe?" tanya Laily memicingkan mata tidak percaya.
"Seriuslah. Malahan...."
"Malahan?" kejar Laily karena Icha tanpak mengantungkan ucapannya.
Bukannya langsung menjawab Icha malah terdiam ragu. Tanpa sadar ia mengigit bibirnya sendiri. Kebiasaan yang ia lakukan jika sedang berpikir.
"Udah cerita aja. Malahan kenapa?" kejar Laily tanpa bersemangat.
"Malahan gue bener - bener ketemu cowok cakep," gumam Icha lirih.
"Serius loe?"
Kali ini bukan hanya Icha yang menatap kearah Laily, tapi juga beberapa orang yang duduk disampingnya. Secara Laily kalau kaget emang sedikit lebay.
"Ya serius lah. Tapi loe juga jangan lebai gitu juga kali. Malu tau."
Laily hanya angkat bahu. Sama sekali tidak perduli. Justru malah merasa bersemangat untuk mendengar cerita lebih lenkapnya. "Oh ya? Terus dia siapa? Orang nya kek mana? Cakep nggak?"
"Gue nggak tau. Sebenernya gue nggak sempet kenalan."
Laily mengernyit heran. "Maksutnya?"
"Iya. Jadi pas gue lari kemaren, ada cowok cakep yang juga lari sendirian."
"Dan loe anggurin gitu doank?"
"Ya soalnya dia nggak nyapa gue."
"Emangnya kenapa kalau loe nyapa duluan?" sambung Laily lagi. "Jangan bilang alasannya karena loe Cewek."
"Bukan," Icha mengeleng. Ia sudah cukup hapal dengan sikap Laily. Sahabatnya yang satu itu tidak akan terima dengan alasan klasik seperti itu. Menurutnya cewek dan cowok itu punya hak yang sama. "Tapi dia larinya cepet."
"Ya loe kejar donk."
"Udah, tapi dia itu lebih cepet."
"Ya loe kan tinggal bayangin aja kalau loe itu lagi di kejar anjing gila, gue jamin loe larinya pasti lebih cepet dari dia."
Icha hanya mampu menghebuskan nafas kesel. "Please donk Ly, ini serius."
"Gue lebih serius. Inget cha, kadang yang namanya cinta juga butuh di perjuangin. Bukan cuma di tunggu," nasehat Laily sok pinter.
"Sebenernya gue udah niat buat ngejar dia lagi. Minggu besok gue bakal lari lagi disana, siapa tau bisa ketemu dia. Hanya saja...."
"Hanya saja?" kejar Laily tak sabar. Lagian Icha kurang kerjaan banget sih. Dari tadi ngomong pake di gantungin mulu. udah kayak mereka berdua yang mau pacaran aja.
"Hanya saja gue butuh bantuan loe."
Laily hanya mengernyit kerena belum mengerti kemana arah pembicaraan itu akan di bawa. Sembari terdiam matanya menatap lurus kearah Icha, menanti gadis itu menjelaskan maksut dari ucapannya.
"Ajarin gue pake sepeda."
"HA?" dan Laily hanya melongo mendengarnya.
Belajar bersepeda ternyata tidak semudah yang di bayangkan. Juga tidak seindah seperti yang terlihat di drama korea romantis yang selama ini ia tonton. Kenyataannya itu benar - benar berbanding balik. Terlebih ketika Icha tau dengan pasti kalau ia ternyata telah memilih 'guru' yang salah. Icha lupa kalau selain suka asal, Laily juga terkenal memiliki kesabaran minim.
"Please donk Cha. Loe tinggal ngimbangin duduknya terus tetap di kayuh. Masa gitu aja nggak bisa?" kata Laily dengan napas ngos - ngosan dan kemudian dengan santai ia duduk begitu saja di atas rumput lapangan bola. Tangannya terulur mengelap keringat yang membasahi dahi. Sementara Icha dengan berlahan berjalan sembari mendorong sepedanya kearah Laily bary kemudian ikut duduk disampingnya.
"Sory. Tapi gue beneran nggak bisa. Loe nggak liat nih, kaki gue merah merah gini gara gara jatuh mulu. Sumpah ya, seumur - umur gue baru kali ini lho kek gini," balas Icha sambil menselonjorkan kakinya. Sudah hampir seminggu ini Laily mengajarinya belajar sepeda setiap sore. Tapi tetep saja ia tidak bisa. Paling banter sepuluh putaran ia mengayuh dan kemudian ia jatuh.
"Kayaknya gue nyerah deh ngajarin loe. Jadi dari pada loe ribet - ribet belajar sepeda, mendingan loe latihan lari aja deh biar cepet," kata Laily lagi.
Icha terdiam. Mungkin ucapan Laily ada benarnya juga.
"Atau lebih tepatnya gue nyerah aja kali ya buat ngejar tu cowok. Lagian belum tentu juga kan besok ketemu lagi," sambung Icha setengah bergumam.
"Tentu saja JANGAN! Songong loe. Kan gue udah bilang kalau cinta itu harus di perjuangin. Enak aja belum apa apa udah nyerah."
"Tapi kan..."
"Gue punya ide."
Refleks Icha mundur kebelakang. Bukan, tentu saja bukan karena tau kalau Laily punya ide yang dirasa mencurigakan. Tapi Icha mundur karena sahabatnya itu saat ngomong terlalu bernapsu. Sampai sampai tanganya menjentik lurus tepat kehadapan wajahnya.
"Gimana kalau kita pasang roda tambahan aja?"
"Ha?" Icha melongo.
"Iya, dari pada gue cape cape ngajarin loe nggak bisa bisa. Mending juga kita tambahin rodanya."
"Nggak ah, malu donk gue. Ntar jadi kayak anak - anak."
"Lebih malu lagi kalau loe malah jatuh dihadapan tu cowok. Mending kalau belakangan dia terus bantuin, lah kalau dianya malah ilfeel kan gawat."
"Tapi Ly, kenapa sih harus ribet gini. Toh belum tentu juga gue bisa ketemu lagi sama dia."
"Justru karena loe belum tentu ketemu lagi sama dia lah makanya harus gini. Kalau udah jelas loe bisa ketemu sama dia di tempat lain kan loe bisa nemuinya di sana. Ngapain harus usaha coba," balas Laily lagi. Sebelum mulut Icha sempat terbuka, gadis itu sudah terlebih dahulu menambahkan.
"Udah, ayo kita langsung ke bengkel. Kita minta tambahin dua roda di belakangnya. Lagian besok udah hari minggu, walau nekat terus belajar gue juga masih nggak yakin sampe minggu depan loe udah bisa. Udahlah, loe percaya aja deh sama gue."
Icha terdiam. Isitlah 'percaya aja sama gue' ala Laily entah kenapa kadang malah terasa lebih horor dari pada film horor yang nggak pernah ia tonton. Namun Walau begitu, pada akhirnya Icha menurut juga. Entah kenapa menolak ajakan Laily amat sangat susah untuk di lakukannya.
Dan keesokan harinya disinilah Icha berada. Ia sengaja mengitari tempat sebelumnya di waktu yang sama ia bertemu dengan pria yang ia temui seminggu yang lalu. Sudah hampir 15 menit ia menunggu, tapi yang di tunggu tak muncul juga. Secara berlahan rasa ragu merambati hatinya. Tak urung ia malah membodohi dirinya sendiri. Kenapa ia harus menunggu.
Tepat saat kesabaran Icha berada di ujung batas saat itulah matanya menangkap sosok yang ia tunggu sedang berlari di kejauhan menuju kearahnya. Dengan cepat gadis itu berdiri, naik kearah sepeda yang sedari tadi hanya ia anggurin di hadapannya. Selang beberapa saat kemudian pria itu sudah lewat di hadapannya. Tak perlu menunggu lama Icha segera mengayuh sepedanya.
"Hai," sapa Icha memantapkan diri. Kali ini ia hanya berpegang teguh pada nasehat Laily padanya bahwa cinta itu harus di perjuangkan. Kalau memang ia kali ini gagal, ia sudah memutuskan kalau ia tidak akan lari lagi disana. Ia tidak akan mau bertemu dengan pria itu lagi.
"Eh, hai."
Icha menarik nafas lega. Untung saja di balas olehnya. Jadi sepertinya ia masih punya peluang untuk itu. Ayo semangat. Fighting!
"Sendirian ya?" tanya Icha lagi. Terserah deh pake basa basi, basi. Yang jelas ia sudah usaha.
"Kayaknya sih gitu. Loe juga?"
Kali ini Icha membalas dengan anggukan. Dan kemudian percakapan selanjutnya mengalir dengan lancar. Dari pembicaraan itu Icha tau kalau pria tersebut bernama Marcho. Selain minggu pagi, setiap sore jika tidak ada kegiatan ia biasanya juga lari disana. Merasa mendapat angin segar, Icha memutuskan kalau ia akan ikutan lari sore juga. Toh ia juga memang harus mengurangi lemak di tubuhnya bukan?
To Be Continue
Oh ya, biar nyambung sama ceritanya. Bagusan kalau baca bagian satunya dulu deh. Biar gampang bisa langsung klik disini ya guys. Happy reading...
Sakitnya tuh disini! |
"Pagi Icha."
Icha yang sedang asik membaca novel ditangannya tak sadar sedikit terlonjak. Selain kaget karena tiba - tiba disapa, Laily juga menyapanya pake tenaga. Maksutnya itu, pake acara geplak meja segala.
"Ha ha ha, dia kaget. Makanya masih pagi jangan baca..." kata Laily sambil mengankat tangan Icha guna melihat buku yang ia baca. "Novel romantis aja. Mending juga langsung jadi tokoh utamanya. Lebih seru tau. Kalau istilah dangdutnya apa tuh, Ssshhh lebih berasa."
Tak ingin terlalu menanggapi komentar sahabatnya, Icha justru malah mengorek - ngorek (???) telinganya. Bersikap seolah ada sampah yang menganggu pendengar.
"Eh gimana? Saran gue kemaren loe ikutin nggak? Jadi loe lari meraton?" tanya Laily lagi sambil duduk tepat di sampingnya.
Icha tidak langsung menjawab. Sebaliknya ia malah melirik jam yang melingkar di tangannya. Masih ada 15 menitan sebelum kelasnya di mulai.
"Jiah dia malah bengong. Gue yakin, pasti enggak kan? Palingan juga loe seharian mendekam di kamar sembari internetan. Iya kan?" pancing Laily mencibir.
"Siapa bilang!" bantah Icha cepat. "Kemaren gue lari kok. Nih, kaki gue sekarang aja masih pegel."
"Serius loe?" tanya Laily memicingkan mata tidak percaya.
"Seriuslah. Malahan...."
"Malahan?" kejar Laily karena Icha tanpak mengantungkan ucapannya.
Bukannya langsung menjawab Icha malah terdiam ragu. Tanpa sadar ia mengigit bibirnya sendiri. Kebiasaan yang ia lakukan jika sedang berpikir.
"Udah cerita aja. Malahan kenapa?" kejar Laily tanpa bersemangat.
"Malahan gue bener - bener ketemu cowok cakep," gumam Icha lirih.
"Serius loe?"
Kali ini bukan hanya Icha yang menatap kearah Laily, tapi juga beberapa orang yang duduk disampingnya. Secara Laily kalau kaget emang sedikit lebay.
"Ya serius lah. Tapi loe juga jangan lebai gitu juga kali. Malu tau."
Laily hanya angkat bahu. Sama sekali tidak perduli. Justru malah merasa bersemangat untuk mendengar cerita lebih lenkapnya. "Oh ya? Terus dia siapa? Orang nya kek mana? Cakep nggak?"
"Gue nggak tau. Sebenernya gue nggak sempet kenalan."
Laily mengernyit heran. "Maksutnya?"
"Iya. Jadi pas gue lari kemaren, ada cowok cakep yang juga lari sendirian."
"Dan loe anggurin gitu doank?"
"Ya soalnya dia nggak nyapa gue."
"Emangnya kenapa kalau loe nyapa duluan?" sambung Laily lagi. "Jangan bilang alasannya karena loe Cewek."
"Bukan," Icha mengeleng. Ia sudah cukup hapal dengan sikap Laily. Sahabatnya yang satu itu tidak akan terima dengan alasan klasik seperti itu. Menurutnya cewek dan cowok itu punya hak yang sama. "Tapi dia larinya cepet."
"Ya loe kejar donk."
"Udah, tapi dia itu lebih cepet."
"Ya loe kan tinggal bayangin aja kalau loe itu lagi di kejar anjing gila, gue jamin loe larinya pasti lebih cepet dari dia."
Icha hanya mampu menghebuskan nafas kesel. "Please donk Ly, ini serius."
"Gue lebih serius. Inget cha, kadang yang namanya cinta juga butuh di perjuangin. Bukan cuma di tunggu," nasehat Laily sok pinter.
"Sebenernya gue udah niat buat ngejar dia lagi. Minggu besok gue bakal lari lagi disana, siapa tau bisa ketemu dia. Hanya saja...."
"Hanya saja?" kejar Laily tak sabar. Lagian Icha kurang kerjaan banget sih. Dari tadi ngomong pake di gantungin mulu. udah kayak mereka berdua yang mau pacaran aja.
"Hanya saja gue butuh bantuan loe."
Laily hanya mengernyit kerena belum mengerti kemana arah pembicaraan itu akan di bawa. Sembari terdiam matanya menatap lurus kearah Icha, menanti gadis itu menjelaskan maksut dari ucapannya.
"Ajarin gue pake sepeda."
"HA?" dan Laily hanya melongo mendengarnya.
****
Belajar bersepeda ternyata tidak semudah yang di bayangkan. Juga tidak seindah seperti yang terlihat di drama korea romantis yang selama ini ia tonton. Kenyataannya itu benar - benar berbanding balik. Terlebih ketika Icha tau dengan pasti kalau ia ternyata telah memilih 'guru' yang salah. Icha lupa kalau selain suka asal, Laily juga terkenal memiliki kesabaran minim.
"Please donk Cha. Loe tinggal ngimbangin duduknya terus tetap di kayuh. Masa gitu aja nggak bisa?" kata Laily dengan napas ngos - ngosan dan kemudian dengan santai ia duduk begitu saja di atas rumput lapangan bola. Tangannya terulur mengelap keringat yang membasahi dahi. Sementara Icha dengan berlahan berjalan sembari mendorong sepedanya kearah Laily bary kemudian ikut duduk disampingnya.
"Sory. Tapi gue beneran nggak bisa. Loe nggak liat nih, kaki gue merah merah gini gara gara jatuh mulu. Sumpah ya, seumur - umur gue baru kali ini lho kek gini," balas Icha sambil menselonjorkan kakinya. Sudah hampir seminggu ini Laily mengajarinya belajar sepeda setiap sore. Tapi tetep saja ia tidak bisa. Paling banter sepuluh putaran ia mengayuh dan kemudian ia jatuh.
"Kayaknya gue nyerah deh ngajarin loe. Jadi dari pada loe ribet - ribet belajar sepeda, mendingan loe latihan lari aja deh biar cepet," kata Laily lagi.
Icha terdiam. Mungkin ucapan Laily ada benarnya juga.
"Atau lebih tepatnya gue nyerah aja kali ya buat ngejar tu cowok. Lagian belum tentu juga kan besok ketemu lagi," sambung Icha setengah bergumam.
"Tentu saja JANGAN! Songong loe. Kan gue udah bilang kalau cinta itu harus di perjuangin. Enak aja belum apa apa udah nyerah."
"Tapi kan..."
"Gue punya ide."
Refleks Icha mundur kebelakang. Bukan, tentu saja bukan karena tau kalau Laily punya ide yang dirasa mencurigakan. Tapi Icha mundur karena sahabatnya itu saat ngomong terlalu bernapsu. Sampai sampai tanganya menjentik lurus tepat kehadapan wajahnya.
"Gimana kalau kita pasang roda tambahan aja?"
"Ha?" Icha melongo.
"Iya, dari pada gue cape cape ngajarin loe nggak bisa bisa. Mending juga kita tambahin rodanya."
"Nggak ah, malu donk gue. Ntar jadi kayak anak - anak."
"Lebih malu lagi kalau loe malah jatuh dihadapan tu cowok. Mending kalau belakangan dia terus bantuin, lah kalau dianya malah ilfeel kan gawat."
"Tapi Ly, kenapa sih harus ribet gini. Toh belum tentu juga gue bisa ketemu lagi sama dia."
"Justru karena loe belum tentu ketemu lagi sama dia lah makanya harus gini. Kalau udah jelas loe bisa ketemu sama dia di tempat lain kan loe bisa nemuinya di sana. Ngapain harus usaha coba," balas Laily lagi. Sebelum mulut Icha sempat terbuka, gadis itu sudah terlebih dahulu menambahkan.
"Udah, ayo kita langsung ke bengkel. Kita minta tambahin dua roda di belakangnya. Lagian besok udah hari minggu, walau nekat terus belajar gue juga masih nggak yakin sampe minggu depan loe udah bisa. Udahlah, loe percaya aja deh sama gue."
Icha terdiam. Isitlah 'percaya aja sama gue' ala Laily entah kenapa kadang malah terasa lebih horor dari pada film horor yang nggak pernah ia tonton. Namun Walau begitu, pada akhirnya Icha menurut juga. Entah kenapa menolak ajakan Laily amat sangat susah untuk di lakukannya.
Dan keesokan harinya disinilah Icha berada. Ia sengaja mengitari tempat sebelumnya di waktu yang sama ia bertemu dengan pria yang ia temui seminggu yang lalu. Sudah hampir 15 menit ia menunggu, tapi yang di tunggu tak muncul juga. Secara berlahan rasa ragu merambati hatinya. Tak urung ia malah membodohi dirinya sendiri. Kenapa ia harus menunggu.
Tepat saat kesabaran Icha berada di ujung batas saat itulah matanya menangkap sosok yang ia tunggu sedang berlari di kejauhan menuju kearahnya. Dengan cepat gadis itu berdiri, naik kearah sepeda yang sedari tadi hanya ia anggurin di hadapannya. Selang beberapa saat kemudian pria itu sudah lewat di hadapannya. Tak perlu menunggu lama Icha segera mengayuh sepedanya.
"Hai," sapa Icha memantapkan diri. Kali ini ia hanya berpegang teguh pada nasehat Laily padanya bahwa cinta itu harus di perjuangkan. Kalau memang ia kali ini gagal, ia sudah memutuskan kalau ia tidak akan lari lagi disana. Ia tidak akan mau bertemu dengan pria itu lagi.
"Eh, hai."
Icha menarik nafas lega. Untung saja di balas olehnya. Jadi sepertinya ia masih punya peluang untuk itu. Ayo semangat. Fighting!
"Sendirian ya?" tanya Icha lagi. Terserah deh pake basa basi, basi. Yang jelas ia sudah usaha.
"Kayaknya sih gitu. Loe juga?"
Kali ini Icha membalas dengan anggukan. Dan kemudian percakapan selanjutnya mengalir dengan lancar. Dari pembicaraan itu Icha tau kalau pria tersebut bernama Marcho. Selain minggu pagi, setiap sore jika tidak ada kegiatan ia biasanya juga lari disana. Merasa mendapat angin segar, Icha memutuskan kalau ia akan ikutan lari sore juga. Toh ia juga memang harus mengurangi lemak di tubuhnya bukan?
To Be Continue
Post a Comment for "Cerpen Galau "Sakitnya tuh disini!" ~ 02"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...