Cerpen Galau Sakitnya Tuh Disini End
Gara gara lanjutin Novel online kazua mencari cinta kemaren admin sampai lupa buat memposting lanjutan cerita sekaligus bagian ending dari cerpen galau sakitnya tuh disini. Ck ck ck. Yah secara seperti yang admin katakan sebelumnya kan, kalau cerpen yang satu ini emang lumayan pendek.
Nah biar nggak kebanyakan ngebacrit mendingan kita langsung baca aja yuk guys. Sebagai rujukan biar ceritanya nyambung bagsuan kalau baca bagian sebelumnya disini.
"Jadi gimana tadi? Sukses?" tanya Laily sambil merebahkan tubuhnya diatas ranjang Icha. Gadis itu sendiri kini sedang duduk dengan tangan yang masih menyisir rambutnya sembari menatap kearah bayangannya di kaca. Ia baru selesai mandi setelah bangun dari tidru siang ketika Laily tiba - tiba mengunjungi rumahnya. Sepertinya gadis itu tidak sabar menunggu sampai besok untuk mengetahui kelanjutan ceritanya.
"Emp. Gitu deh," Icha angkat bahu. Membuat Laily gemes karenanya. Ia tidak perlu jauh jauh datang kesana hanya untuk mendengar kata 'Emp gitu deh'.
"Akh elo. Kok cuma gitu deh. Cerita donk gimana versi lengkapnya. Loe tau namanya dia? Nomor kontaknya? Alamatnya dimana? Pin BB atau mungkin akun facebooknya? Yang jelas donk."
"Hufh," Icha menghembuskan nafas baru kemudian memutar tubuhnya menghadap kearah Laily yang kini sedang menatapnya.
"Gue udah berasa kaya jadi artis aja sih," gumam Icha. Namun dengan cepat ia meralat. "Salah, maksut gue, loe udah berasa kaya wartawan aja tau nggak. Jadi loe datang jauh - jauh kesini cuma buat nyari tau hasil pendekatan gue. Kepo juga loe."
Laily langsung mencibir. "Gue nggak niat kesini. Ini tuh cuma mampir. Tadi itu gue abis jalan kerumah cowok gue. Dan kebetulan searah, ya udah gue kesini. Secara Gue kan juga penasaran."
Icha hanya angkat bahu. Kemudian berlahan berjalan menghampiri Laily dan ikutan duduk di dekatnya.
"Gue emang udah kenalan sih. Anaknya ramah, asik lagi. Hanya saja.."
"Hanya saja?" kejar Laily karena Icha mengantungkan ucapannya.
Icha tidak langsung menjawab. Hanya matanya yang bening tanpak berkedap kedip menatap kearah Laily, setelah terlebih dahulu menghela nafas mulutnya kembali terbuka. "Hanya saja gue nggak yakin dia itu belum punya pacar. Secara ya kan, dia itu keren, diajak ngomong nyambung. Jujur saja gue mendadak merasa minder."
"Pletak."
Dan jitakan mendarat di kepala Icha sebagai balasan ucapannya.
"Denger ya, gue nggak mau punya temen yang nggak punya semangat juang sama sekali. Apaan, belum apa apa udah menyerah."
"Tapi Ly,"
"Nggak ada tapi tapian. Gue udah nunggu terlalu lama buat bisa double date bareng sama loe. Jadi gimana pun caranya, loe harus bisa dapatin dia. Titik."
"Baiklah..."
"Yang semangat donk cha."
"Iya Laily. Baik. Gue setuju. Gimanapun caranya gue akan bisa dapatin dia. Kalau perlu seandainya pun dia sekarang udah punya pacar, gue bikin dia putus biar jadian sama gue. Puas loe."
Untuk sejenak Laily bengong mendengar tekad Icha, tapi beberapa saat kemudian gadis itu justru malah tertawa lebar. Melihat itu Icha yang awalnya kesel akhirnya juga ikut tertawa.
"Baiklah, gue tunggu hasilnya," kometar Laily disela tawannya.
****
Tak terasa waktu terus berlalu. Bahkan sekarang Icha sudah terbiasa menjadikan lari sore sebagai aktifitas hariannya. Hal itu ia lakukan hanya untuk menarik perhatian Marcho padanya. Walau awalya ia mendekati pria itu hanya atas dorongan dari Laily, namun belakangan ia malah enjoy karenannya. Terlebih Marcho orangnya benar - benar asik.
"Jadi cha, kapan nih loe mau ngenalin pangeran meraton itu sama gue."
"Pangeran meraton? Enak aja loe ngasi gelar anak orang sembarangan," semprot Icha kesel.
Sebaliknya laily hanya angkat bahu karenannya. "Terus loe udah jadian sama dia?"
"Ngaco," serga Icha cepet. Laily justru malah menatapnya menyipit. "Maksut gue, ya nggak mungkin secepet itulah. Kita emang deket, sering ngobrol gitu. Tapi kita nggak pernah ngobrolin sampai kesana."
"Emangnya kenapa?"
"Gue juga nggak tau. Jangan - jangan beneran dia udah punya pacar lagi."
"Lah, leo udah deket selama ini sama dia nggak nanya?"
"Masa gue yang nanyain?"
"Memangnya kenapa?" Laily balik nanya.
"Nggak. Gue cuma ngerasa nggak etis aja. Kesannya gimana gitu."
"Oke, kalau gitu loe nggak harus nanyain apa dia udah punya pacar atau belum," Laily ngalah, Icha mengangguk membenarkan. "Bagusan kalau loe langsung tembak dia."
"What?!" Icha shock. Nggak yakin akan mendengar saran gila seperti itu dari sahabatnya.
"Emangnya kenapa? Nggak etis juga? Udah deh, ini kan udah 2014. Emansipasi wanita udah dari jaman dulu di perjuangkan. Jadi kenapa harus malu?"
"Tapi Ly."
"Nggak ada tapi tapian. Loe itu udah terlalu lama ngulur waktu tau. Lagian dari pada loe sibuk menduga - duga nggak jelas kan mendingan kita selesaikan semuanya segera. Kalau emang dia nantinya udah punya pacar, kan loe bisa cari yang lain. Dari pada kelamaan nunggu akhirnya sia sia, Kan sakitnya tuh disini," kata Laily sambil menepuk dada kirinya sendiri lengkap dengan gaya lebaynya.
"Jadi maksut loe?" tanya Icha setelah beberapa saat terdiam.
"Besok kita double date. Loe aja dia, gue bareng sama pacar gue. Kita ketemu di kaffe pelangi. Titik," tandas Laily tegas.
Icha menoleh kesel kearah Laily, tapi yang di tatap hanya angkat bahu. Yakin kalau keputusannya bersifat mutlak, tidak bisa di ganggu gugat lagi.
***
Keesokan harinya, sambil bersenandung riang Laily memoleskan make up kearah wajahnya. Suasana hatinya benar - benar riang. Setelah dirasa 'sempurna', gadis itu melangkah keluar kamar dengan pedenya. Sejenak ia menoleh kearah jam yang melingkar di tangnnya, dan senyum simpulpun tersungging di sudut bibir. Masih ada sisa waktu setengah jam dari waktu janjian sang pacar untuk menjemputnya, tapi ia sudah rapi. Apalagi alasannya kalau bukan karena ia sudah tidak sabar.
Tak ingin menghabiskan waktu dengan duduk bengong, Laily melangkah kearah sofa. Mendaratkan pantatnya dengan santai sembari tangannya terulur meraih remot. Sibuk menganti chanel dari yang satu keyang lainnya. Busyed, nggak ada satupun siaran yang bagus. Dari gosip satu ke gosip yang lainnya mulu, giliran dengerin berita isinya kalau nggak politik ya kriminal semua. Membosankan. Akhirnya kembali di matikannya TV tersebut.
Dari TV, perhatian Laily beralih kearah smarphond milikinya. Mungkin sebaiknya ia bermain di sosmed saja. Namun belum sempat ia melaksanakan niatnya, bel depan terdengar.
Sebelum berjalan kearah pintu, Laily masih menyempatkan diri melirik jam yang melingkar. Tumben sang kekasih munculnya cepet.
Senyum yang mengembang di bibir Laily guna menyambut tamu yang ia yakini sebagai sang pacar langsung raip tak bersisa ketika melihat raut kusut Icha yang berdiri dihadapannya.
"Icha, loe kenapa?"
Icha menggeleng, dengan tanpa basa basi ia melangkah masuk, bahkan dengan seenak jidatnya langsung menuju kearah kamar Laily yang sudah sangat ia kenal keberadaannya. Merasa khawatir dan yakin ada yang tidak beres, Laily segera menutup pintu rumah dan menyusul sahabatnya.
"Icha, loe kenapa? Cerita donk?" Laily mengulang pertanyaannya.
"Laily, gue patah hati," sahut Icha sambil mengusap air matanya dengan tisu yang ia ambil dari atas meja rias. Bahkan gadis itu kini duduk di atas ranjang dengan santainya.
"Gimana bisa patah hati. Loe kan belum pernah jadian?"
Mendengar itu rasanya Icha ingin sekali menjitak kepala sahabatnya. Entah kenapa walau pertanyaan itu benar, tapi justru terdengar salah di telinganya.
"Justru itu, gue patah hati bahkan sebelum gue sempet jadian."
"Lah... kok bisa?"
Lagi - lagi pertanyaan bodoh. Ya jelas bisa lah, buktinya sekarang ia ada disana sambil menangis.
"Loe tau nggak sih. Gue malu tau. Gue beneran nembak dia, eh nggak taunya di udah punya pacar."
"Tunggu dulu. Loe nangis karena malu, ditolak atau karena dia udah punya pacar?" tanya Laily lagi.
"Sama aja Laily!" balas Icha kesel.
"Ini semua gara - gara loe. Kan loe yang nyuruh gue buat deketin dia. Hiks hiks hiks."
Kali ini Laily terdiam, sama sekali tidak membantah. Ia akui, sepertinya itu memang salahnya. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanyalah mengusap pungung sahabatnya pelan. Tak tau harus berkomenar apa - apa lagi.
"Maafin gue," gumam Laily lirih.
Gantian Icha yang terdiam. Sebenarnya ia juga tidak berniat untuk menyalahkan Laily. Ia tau dengan pasti kalau niat gadis itu sebenarnya baik. Hanya saja sepertinya nasipnya aja yang sedang buruk.
Ketika suasana hening karena masing - masing tengelam dalam pemikirannya sendiri saat itulah, bel depan berbunyi. Laily menoleh kearah Icha yang kini juga sedang menatapnya. Walau tanpa kata sepertinya Icha sudah bisa menebak siapa yang datang.
"Kayaknya Marcho udah datang deh, sory ya gue kedepan dulu."
Icha hanya membalas dengan anggukan pelan. Tangannya kembali terulur meraih tisu guna membersihkan wajahnya. Dasar bodoh, kenapa coba ia harus nangis segala. Malu - maluin.
Setelah merasa kalau wajahnya bersih, Icha menghela nafas dalam. Tak ingin terlalu terlihat menyedihkan ia memutuskan untuk keluar menemui Laily.
Tepat saat ia akan bangkit berdiri untuk keluar, sebuah ingatan yang terlintas di kepalanya sontak membuatnya tercenung.
"Tunggu dulu. Barusan Laily bilang apa ? ... 'Marcho'?" Gumam Icha sambil mengingat - ingat. Efek dari patah hati sepertinya otak geniusnya langsung beralih ke mode lola.
"He he he, itu nggak mungkin Marcho yang sama kan? Marcho yang abis nolak cinta gue. Oh ayolah. Itu jelas mustahil banget. Emangnya ini FTV, lagian mustahil dunia sekecil itu. Dia pasti orang yang berbeda," bantah Icha sendiri.
Berpegang pada keyakinan itu, dengan berlahan Icha bangkit berdiri dan melangkah dengan tegap kearah ruang tamu di mana samar samar terdengar suara pembicaraan.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah Icha merasa kalau dunia seakan runtuh. Baiklah, nggak gitu juga. Itu terlalu lebay. Icha tiba tiba merasa kalau tubuhnya terasa kaku. Sama sekali tidak bisa bergerak selain berdiri bagai patung bernyawa dengan tatapan lurus kedepan.
Laily yang pertama sekali menyadari keberadaannya segera menyapa. Mengajaknya untuk segera bergabung. Ajakan itu menarik perhatian sosok disampingnya yang kini mengalihkan pandangan kearah dirinya.
"Oh ya, Cha. Kesini donk. Kenalin, ini pacar gue, Marcho. Dan Marcho, kenalin. Dia Icha, sahabat gue."
Melihat Icha yang sama sekali tidak bereaksi, Laily hanya mampu mengernyit bingung. Dan saat menoleh kearah Marcho, raut pria itu juga tak kalah beda dari sahabatnya. Kaget iya, shock juga. Merasa ada yang salah, Laily kembali mengalihkan tatapannya kearah Icha yang sepertinya makin tengelam dalam dalamnya pemikirannya sendiri.
Cinta bertepuk sebelah tangan, itu udah biasa. Di tolak oleh orang yang di suka, mungkin juga udah banyak yang mengalami. Tapi kalau ternyata cinta di tolak oleh orang yang di sukai yang ternyata pacar dari sahabat mu sendiri itu rasanya....
Tanpa sadar, tangan Icha terulur menyentuh dada kirinya sembari mulutnya bergumam lirih.
"SAKITNYA TUH DISINI!"
Ending....
Huwahahahhahha, ngakaka ke seluruh penjuru ruangan. Gaje lagi ya? Iya nih segaje masa depan hidup admin kedepannya kayaknya. Beberapa waktu ini emang ide 'bagus' udah mahal. Mahal banget malah, tapi tetep aja mutusin diri buat terus nulis.
Oke deh. Udah ah gitu aja. Atau kali aja ada yang punya ide cerita apa gitu, kirim donk. Kali aja bisa jadi rujukan buat terus bikin postingan.
Udah, gitu aja.
Salam ~ Ana Merya ~
Nah biar nggak kebanyakan ngebacrit mendingan kita langsung baca aja yuk guys. Sebagai rujukan biar ceritanya nyambung bagsuan kalau baca bagian sebelumnya disini.
Sakitnya Tuh Disini |
"Jadi gimana tadi? Sukses?" tanya Laily sambil merebahkan tubuhnya diatas ranjang Icha. Gadis itu sendiri kini sedang duduk dengan tangan yang masih menyisir rambutnya sembari menatap kearah bayangannya di kaca. Ia baru selesai mandi setelah bangun dari tidru siang ketika Laily tiba - tiba mengunjungi rumahnya. Sepertinya gadis itu tidak sabar menunggu sampai besok untuk mengetahui kelanjutan ceritanya.
"Emp. Gitu deh," Icha angkat bahu. Membuat Laily gemes karenanya. Ia tidak perlu jauh jauh datang kesana hanya untuk mendengar kata 'Emp gitu deh'.
"Akh elo. Kok cuma gitu deh. Cerita donk gimana versi lengkapnya. Loe tau namanya dia? Nomor kontaknya? Alamatnya dimana? Pin BB atau mungkin akun facebooknya? Yang jelas donk."
"Hufh," Icha menghembuskan nafas baru kemudian memutar tubuhnya menghadap kearah Laily yang kini sedang menatapnya.
"Gue udah berasa kaya jadi artis aja sih," gumam Icha. Namun dengan cepat ia meralat. "Salah, maksut gue, loe udah berasa kaya wartawan aja tau nggak. Jadi loe datang jauh - jauh kesini cuma buat nyari tau hasil pendekatan gue. Kepo juga loe."
Laily langsung mencibir. "Gue nggak niat kesini. Ini tuh cuma mampir. Tadi itu gue abis jalan kerumah cowok gue. Dan kebetulan searah, ya udah gue kesini. Secara Gue kan juga penasaran."
Icha hanya angkat bahu. Kemudian berlahan berjalan menghampiri Laily dan ikutan duduk di dekatnya.
"Gue emang udah kenalan sih. Anaknya ramah, asik lagi. Hanya saja.."
"Hanya saja?" kejar Laily karena Icha mengantungkan ucapannya.
Icha tidak langsung menjawab. Hanya matanya yang bening tanpak berkedap kedip menatap kearah Laily, setelah terlebih dahulu menghela nafas mulutnya kembali terbuka. "Hanya saja gue nggak yakin dia itu belum punya pacar. Secara ya kan, dia itu keren, diajak ngomong nyambung. Jujur saja gue mendadak merasa minder."
"Pletak."
Dan jitakan mendarat di kepala Icha sebagai balasan ucapannya.
"Denger ya, gue nggak mau punya temen yang nggak punya semangat juang sama sekali. Apaan, belum apa apa udah menyerah."
"Tapi Ly,"
"Nggak ada tapi tapian. Gue udah nunggu terlalu lama buat bisa double date bareng sama loe. Jadi gimana pun caranya, loe harus bisa dapatin dia. Titik."
"Baiklah..."
"Yang semangat donk cha."
"Iya Laily. Baik. Gue setuju. Gimanapun caranya gue akan bisa dapatin dia. Kalau perlu seandainya pun dia sekarang udah punya pacar, gue bikin dia putus biar jadian sama gue. Puas loe."
Untuk sejenak Laily bengong mendengar tekad Icha, tapi beberapa saat kemudian gadis itu justru malah tertawa lebar. Melihat itu Icha yang awalnya kesel akhirnya juga ikut tertawa.
"Baiklah, gue tunggu hasilnya," kometar Laily disela tawannya.
****
Tak terasa waktu terus berlalu. Bahkan sekarang Icha sudah terbiasa menjadikan lari sore sebagai aktifitas hariannya. Hal itu ia lakukan hanya untuk menarik perhatian Marcho padanya. Walau awalya ia mendekati pria itu hanya atas dorongan dari Laily, namun belakangan ia malah enjoy karenannya. Terlebih Marcho orangnya benar - benar asik.
"Jadi cha, kapan nih loe mau ngenalin pangeran meraton itu sama gue."
"Pangeran meraton? Enak aja loe ngasi gelar anak orang sembarangan," semprot Icha kesel.
Sebaliknya laily hanya angkat bahu karenannya. "Terus loe udah jadian sama dia?"
"Ngaco," serga Icha cepet. Laily justru malah menatapnya menyipit. "Maksut gue, ya nggak mungkin secepet itulah. Kita emang deket, sering ngobrol gitu. Tapi kita nggak pernah ngobrolin sampai kesana."
"Emangnya kenapa?"
"Gue juga nggak tau. Jangan - jangan beneran dia udah punya pacar lagi."
"Lah, leo udah deket selama ini sama dia nggak nanya?"
"Masa gue yang nanyain?"
"Memangnya kenapa?" Laily balik nanya.
"Nggak. Gue cuma ngerasa nggak etis aja. Kesannya gimana gitu."
"Oke, kalau gitu loe nggak harus nanyain apa dia udah punya pacar atau belum," Laily ngalah, Icha mengangguk membenarkan. "Bagusan kalau loe langsung tembak dia."
"What?!" Icha shock. Nggak yakin akan mendengar saran gila seperti itu dari sahabatnya.
"Emangnya kenapa? Nggak etis juga? Udah deh, ini kan udah 2014. Emansipasi wanita udah dari jaman dulu di perjuangkan. Jadi kenapa harus malu?"
"Tapi Ly."
"Nggak ada tapi tapian. Loe itu udah terlalu lama ngulur waktu tau. Lagian dari pada loe sibuk menduga - duga nggak jelas kan mendingan kita selesaikan semuanya segera. Kalau emang dia nantinya udah punya pacar, kan loe bisa cari yang lain. Dari pada kelamaan nunggu akhirnya sia sia, Kan sakitnya tuh disini," kata Laily sambil menepuk dada kirinya sendiri lengkap dengan gaya lebaynya.
"Jadi maksut loe?" tanya Icha setelah beberapa saat terdiam.
"Besok kita double date. Loe aja dia, gue bareng sama pacar gue. Kita ketemu di kaffe pelangi. Titik," tandas Laily tegas.
Icha menoleh kesel kearah Laily, tapi yang di tatap hanya angkat bahu. Yakin kalau keputusannya bersifat mutlak, tidak bisa di ganggu gugat lagi.
***
Keesokan harinya, sambil bersenandung riang Laily memoleskan make up kearah wajahnya. Suasana hatinya benar - benar riang. Setelah dirasa 'sempurna', gadis itu melangkah keluar kamar dengan pedenya. Sejenak ia menoleh kearah jam yang melingkar di tangnnya, dan senyum simpulpun tersungging di sudut bibir. Masih ada sisa waktu setengah jam dari waktu janjian sang pacar untuk menjemputnya, tapi ia sudah rapi. Apalagi alasannya kalau bukan karena ia sudah tidak sabar.
Tak ingin menghabiskan waktu dengan duduk bengong, Laily melangkah kearah sofa. Mendaratkan pantatnya dengan santai sembari tangannya terulur meraih remot. Sibuk menganti chanel dari yang satu keyang lainnya. Busyed, nggak ada satupun siaran yang bagus. Dari gosip satu ke gosip yang lainnya mulu, giliran dengerin berita isinya kalau nggak politik ya kriminal semua. Membosankan. Akhirnya kembali di matikannya TV tersebut.
Dari TV, perhatian Laily beralih kearah smarphond milikinya. Mungkin sebaiknya ia bermain di sosmed saja. Namun belum sempat ia melaksanakan niatnya, bel depan terdengar.
Sebelum berjalan kearah pintu, Laily masih menyempatkan diri melirik jam yang melingkar. Tumben sang kekasih munculnya cepet.
Senyum yang mengembang di bibir Laily guna menyambut tamu yang ia yakini sebagai sang pacar langsung raip tak bersisa ketika melihat raut kusut Icha yang berdiri dihadapannya.
"Icha, loe kenapa?"
Icha menggeleng, dengan tanpa basa basi ia melangkah masuk, bahkan dengan seenak jidatnya langsung menuju kearah kamar Laily yang sudah sangat ia kenal keberadaannya. Merasa khawatir dan yakin ada yang tidak beres, Laily segera menutup pintu rumah dan menyusul sahabatnya.
"Icha, loe kenapa? Cerita donk?" Laily mengulang pertanyaannya.
"Laily, gue patah hati," sahut Icha sambil mengusap air matanya dengan tisu yang ia ambil dari atas meja rias. Bahkan gadis itu kini duduk di atas ranjang dengan santainya.
"Gimana bisa patah hati. Loe kan belum pernah jadian?"
Mendengar itu rasanya Icha ingin sekali menjitak kepala sahabatnya. Entah kenapa walau pertanyaan itu benar, tapi justru terdengar salah di telinganya.
"Justru itu, gue patah hati bahkan sebelum gue sempet jadian."
"Lah... kok bisa?"
Lagi - lagi pertanyaan bodoh. Ya jelas bisa lah, buktinya sekarang ia ada disana sambil menangis.
"Loe tau nggak sih. Gue malu tau. Gue beneran nembak dia, eh nggak taunya di udah punya pacar."
"Tunggu dulu. Loe nangis karena malu, ditolak atau karena dia udah punya pacar?" tanya Laily lagi.
"Sama aja Laily!" balas Icha kesel.
"Ini semua gara - gara loe. Kan loe yang nyuruh gue buat deketin dia. Hiks hiks hiks."
Kali ini Laily terdiam, sama sekali tidak membantah. Ia akui, sepertinya itu memang salahnya. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanyalah mengusap pungung sahabatnya pelan. Tak tau harus berkomenar apa - apa lagi.
"Maafin gue," gumam Laily lirih.
Gantian Icha yang terdiam. Sebenarnya ia juga tidak berniat untuk menyalahkan Laily. Ia tau dengan pasti kalau niat gadis itu sebenarnya baik. Hanya saja sepertinya nasipnya aja yang sedang buruk.
Ketika suasana hening karena masing - masing tengelam dalam pemikirannya sendiri saat itulah, bel depan berbunyi. Laily menoleh kearah Icha yang kini juga sedang menatapnya. Walau tanpa kata sepertinya Icha sudah bisa menebak siapa yang datang.
"Kayaknya Marcho udah datang deh, sory ya gue kedepan dulu."
Icha hanya membalas dengan anggukan pelan. Tangannya kembali terulur meraih tisu guna membersihkan wajahnya. Dasar bodoh, kenapa coba ia harus nangis segala. Malu - maluin.
Setelah merasa kalau wajahnya bersih, Icha menghela nafas dalam. Tak ingin terlalu terlihat menyedihkan ia memutuskan untuk keluar menemui Laily.
Tepat saat ia akan bangkit berdiri untuk keluar, sebuah ingatan yang terlintas di kepalanya sontak membuatnya tercenung.
"Tunggu dulu. Barusan Laily bilang apa ? ... 'Marcho'?" Gumam Icha sambil mengingat - ingat. Efek dari patah hati sepertinya otak geniusnya langsung beralih ke mode lola.
"He he he, itu nggak mungkin Marcho yang sama kan? Marcho yang abis nolak cinta gue. Oh ayolah. Itu jelas mustahil banget. Emangnya ini FTV, lagian mustahil dunia sekecil itu. Dia pasti orang yang berbeda," bantah Icha sendiri.
Berpegang pada keyakinan itu, dengan berlahan Icha bangkit berdiri dan melangkah dengan tegap kearah ruang tamu di mana samar samar terdengar suara pembicaraan.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah Icha merasa kalau dunia seakan runtuh. Baiklah, nggak gitu juga. Itu terlalu lebay. Icha tiba tiba merasa kalau tubuhnya terasa kaku. Sama sekali tidak bisa bergerak selain berdiri bagai patung bernyawa dengan tatapan lurus kedepan.
Laily yang pertama sekali menyadari keberadaannya segera menyapa. Mengajaknya untuk segera bergabung. Ajakan itu menarik perhatian sosok disampingnya yang kini mengalihkan pandangan kearah dirinya.
"Oh ya, Cha. Kesini donk. Kenalin, ini pacar gue, Marcho. Dan Marcho, kenalin. Dia Icha, sahabat gue."
Melihat Icha yang sama sekali tidak bereaksi, Laily hanya mampu mengernyit bingung. Dan saat menoleh kearah Marcho, raut pria itu juga tak kalah beda dari sahabatnya. Kaget iya, shock juga. Merasa ada yang salah, Laily kembali mengalihkan tatapannya kearah Icha yang sepertinya makin tengelam dalam dalamnya pemikirannya sendiri.
Cinta bertepuk sebelah tangan, itu udah biasa. Di tolak oleh orang yang di suka, mungkin juga udah banyak yang mengalami. Tapi kalau ternyata cinta di tolak oleh orang yang di sukai yang ternyata pacar dari sahabat mu sendiri itu rasanya....
Tanpa sadar, tangan Icha terulur menyentuh dada kirinya sembari mulutnya bergumam lirih.
"SAKITNYA TUH DISINI!"
Ending....
Huwahahahhahha, ngakaka ke seluruh penjuru ruangan. Gaje lagi ya? Iya nih segaje masa depan hidup admin kedepannya kayaknya. Beberapa waktu ini emang ide 'bagus' udah mahal. Mahal banget malah, tapi tetep aja mutusin diri buat terus nulis.
Oke deh. Udah ah gitu aja. Atau kali aja ada yang punya ide cerita apa gitu, kirim donk. Kali aja bisa jadi rujukan buat terus bikin postingan.
Udah, gitu aja.
Salam ~ Ana Merya ~
Post a Comment for "Cerpen Galau Sakitnya Tuh Disini End"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...