Cerpen romantis "Inikah Rasanya Cinta" ~ 02 / 06
Kita lanjut ya guys sama ceritanya. Secara khusus untuk cerpen inikah rasanya cinta ini admin kebetulan emang baru ngepost setelah ngetiknya selesai. Makanya bisa cerpet. Nah, penasaran kan sama kelanjutan cintanya si Irma dan Rey. Ya sudah, kita langsung simak aja yuk. Oh iya, biar nyambung sama jalan ceritanya bagusan kalau kita lirik dulu bagian sebelumnya yang bisa langsung di cek disini.
Istirahat kedua, Irma sengaja memisahkan diri dari ke empat temannya. Bukan karena ia merasa tidak cocok dengan mereka, tapi karena kebetulan Jeny , Ana, Vhany dan Vieta, beralasan sedang halangan sehingga Irma terpaksa sendirian berjalan kearah Mushala sekolah. Mengikuti beberapa anak anak lain yang akan menuju tempat yang sama, Irma akhirnya sampai pada tempat yang di tuju. Setelah mengambil air wudhu, gadis itu menunaikan sholat Zuhur.
Sepuluh menit kemudian, Irma kembali melipat rapi Mukena yang baru saja di kenakanya baru kemudian kembali ia masukan kedalam tas ranselnya. Sengaja ia bawa sendiri dari rumah walau ia sudah menebak kalau di mushala itu sudah tersedia. Bukannya apa, ia hanya merasa tidak nyaman saja. Biasalah, mukena itu kan di gunakan bersama. Walau mungkin jika di sekolah sudah ada yang merawat nya, Irma tetap takut kalau kasusnya sama seperti yang sering ia temui di Mall mall besar saat ia lupa membawanya. Kotor dan tak terawat. Padahal itu kan untuk ibadah.
Setelah mengenakan kembali sepatunya, Irma kembali melangkah menuju kekelas. Sebelum itu matanya menoleh kesekeliling, sepi. Sepertinya jam istirahat sudah mau selesai. Bisa di maklumi, soalnya tadi begitu bel Irma tidak langsung ke Mushala tapi mapir dulu keruang guru. Sekedar mengantarkan berkas kepindahanya yang lupa ia berikan kemarin. Sambil terus melangkah Irma melirik jam yang melingkar di tanganya. Selain terlihat burem, jarumnya juga tidak bergerak. Membuat gadis itu menghentikan langkahnya sambil menatap benda antik itu dengan heran, baru kemudian...
"Astaga," Irma menepuk keningnya sendiri. "Gue beneran ketularan lemotnya Jeny. Haduh, mati deh jam gue karena kemasukan air," gumam gadis itu lagi. Dengan berlahan ia melepaskan jam yang sedari kemaren ia kenakan. Sambil kembali melangkah ia terus menatap benda itu dan mengoyang - goyangkanya. Berharap dengan begitu benda mungil tersebut bisa kembali berfungsi. Wajar saja sih jika benda itu mati. Saat wudhu tadi ia lupa melepaskannya. Apalagi jam itu memang ia beli di emperan toko kaki lima. Harganya juga cuma 35 ribuan.
Karena keasikan memperhatikan jam yang ada di tangannya, Irma sama sekali tidak memperhatikan jalannya. Tepat saat ia melewati ruang guru, disaat yang sama ada sosok yang keluar dengan membawa setumpuk buku. Tak bisa di cegah, tubrukan pun terjadi. Dan buku - buku kini berserakan di lantai. Bahkan jam tangan Irma sendiri mental entah kemana.
"Aduh, sory sory. Gue nggak sengaja," kata Irma merasa bersalah. Dengan segera ia kembali mengumpulkan buku - buku yang berserakan. Dalam hati gadis itu terus merutuk. Hari ini dia kenapa sih? Kok bisa jadi ceroboh gitu?
"Iya nggak papa. Tapi lain kali kalau jalan jangan sambil melamun ya."
"Maaf, gue beneran nggak senga...ja," ucapan Irma melemah seiring dengan keterpakuannya. Bukan hanya terpaku karena tau kalau sosok yang ia tabrak adalah Rey, teman sebangkunya. Tapi juga karena kini, senyuman manis yang benar benar terlihat manis tersaji kurang lebih berjarak dua jengkal dari dirinya. Irma benar benar ragu kalau Rey yang kini tersenyum padanya adalah Rey yang sama dengan temen sekelasnya.
"Loe..."
"Kenalin, gue Rey," potong Rey sambil mengulurkan tangannya.
Kali ini. Sumpah, beneran. Irma sangat bernapsu untuk memaki Jeny saat itu juga. Secara bukannya membalas uluran tangan Rey, Irma justru malah diam membeku. Mendadak lemot, yang ia yakini karena tertular dari rekan yang baru di kenalnya hari itu. Karena Irma masih ingat. Sebelumnya ia tidak pernah begitu. Kan nggak mungkin hanya karena sebelumnya di cuekin terus kemudian dikasih senyuman dan di ajak kenalan tiba - tiba ia jadi nggak bisa berpikir. Bahkan kini, jantungnya juga ikut berdebar keras. Sangat tidak wajar.
"Gue..."
"Irma Octa Swifties, cewek jomblo yang belum pernah pacaran. Merasa miris dengan cerita anak SMP yang udah nekat pacaran tapi begitu putus nggak bisa move on."
"Loe tadi nguping pembicaraan kita?" tuduh Irma kaget. Telunjuk gadis itu terarah lurus ke wajah Rey. "Itu nggak sopan tau."
"Nggak sopan mana sama tangan loe yang nunjuk tepat ke muka gue gini? Maju sedikit lagi bisa gue gigit lho."
Mendengar itu secara refleks Irma menurunkan tangannya. Ia tau wajahnya pasti memerah. Ia sama sekali tak menduga, Rey memdengarkan pembicaraan mereka. Tepatnya ia sedang membicarakan dirinya. Padahal kan saat itu pria itu duduk agak jauh dari dirinya di tambah....
"Bukannya tadi loe dengerin musik? Kok loe bisa tau pembicaraan kita?" tanya Irma seolah baru menyadari sesuatu.
Rey hanya angkat bahu sambil bangkit berdiri. Buku buku yang tadi berserakan kini juga sudah tersusun rapi.
"Gue emang pake headset, tapi itu bukan berarti gue mendengarkan sesuatu kan?" bukannya menjawab Rey justru malah balik bertanya. Kemudian dengan santai ia kembali melangkah.
Tanpa di suruh Irma berjalan mengikuti sambil membawa sebagian buku yang ia kumpulkan tadi. Berusaha berjalan beriringan bersama Rey. Pria itu memang tidak bilang mereka akan kemana, tapi Irma sudah bisa menebak kalau ia akan kekelas. Terlebih buku yang Rey bawa adalah buku tugas fisika milik teman - temannya. Irma tau karena dari beberapa buku yang jatuh tadi ia melihat nama beberapa teman yang di ingatnya. Dan jadwal pelajaran setelah istirahat kedua ini juga memang fisika. Cuma yang ia herankan kenapa jadi Rey yang membawanya?
"Jadi tadi loe sebenernya nggak dengerin musik," dari pada bertanya, itu lebih tepat jika di sebut gumaman. "Iya sih. Gue kadang juga suka gitu. Gue suka masang headset buat ngindari orang - orang. Apalagi kalau pas diangkot. Tapi musiknya nggak gue nyalain, cuma gue pasang aja. Soalnya kalau gue dengerin musik, takutnya nanti nggak kedengeran kalau pas tukang angkotnya nanya. Secara kan angkot yang gue naikin jalurnya banyak. Bisa rempong kalau sampai gue salah jalur. Tapi kalau nggak pake headset lebih ribet lagi. Secara muka gue kan jerawatan. Jadi kadang di jadikan sasaran empuk mbak mbak sales yang suka semena mena nawarin produk. Mending kalau yang jualan mukanya bagus, la ini lebih parah dari gue. Disitu kadang gue merasa sedih."
"Ha ha ha."
Untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari sepuluh menit Irma sudah dua kali di buat terpaku oleh Rey. Pertama karena senyumnya tadi, kali ini karena tawanya. Dan lebih terkejut lagi ketika Irma merasakan efeknya. Jantungnya, entah kenapa kini kembali berdebar cepat. Jangan bilang kalau salah satu efek lemot adalah jantung berdebar. Akh jadi bingung, emangnya efek lemot itu sama seperti efek samping obat jika dosisnya nggak cocok ya?
"Ternyata Ana salah. Loe bukan tipe orang yang pendiem, nyatanya loe lebih banyak bicara dari pada yang gue duga," komentar Rey yang membuat Irma mengangkat sebelah alisnya. Gadis itu ingin bertanya tapi urung karena kini keduanya telah tiba di depan kelas. Rey segera meletakan buku - buku yang ia bawa keatas meja, Irma segera mengikuti. Gadis itu merasa sedikit terkejut ketika melihat gurunya sudah duduk diatas kursinya. Lho, emangnya sudah bel ya? Kok dia nggak denger. Emangnya sekarang jam berapa. Dan ngomong - ngomong soal jam, ya ampun. Jamnya jatuh terlempar tadi kenapa nggak di ambil? Sepertinya ia lupa karena tadi jatuh mental entah kemana. Tidak, ralat. Sepertinya bukan itu alasannya ia bisa lupa.
"Kamu, murid baru?" tanya pak guru begitu Irma meletakkan buku yang ia bawa keatas meja.
"Iya pak. Saya Irma, siswi baru. Baru hari ini masuk pak," balas Irma sopan. Bapak guru itu hanya mengangguk baru kemudian Irma pamit menuju ke kursinya.
Saat melewati meja Vhany, Irma menyadari tanya tak terucap dari wajah gadis itu. Pasti Vhany heran kenapa ia barengan sama Rey. Saat menoleh kearah Ana, Irma mendapati raut yang sama. Tapi ia hanya membalas dengan senyuman. Seolah tidak menyadari rasa ingin tahu dari kedua sahabatnya. Irma kemudian mengalihkan tatapannya kearah teman sebangkunya. Gantian gadis itu yang merasa heran. Ekpresi Rey yang di temuinya beberapa saat yang lalu sudah menghilang, raib entah kemana dan kembali di gantikan dengan aura dingin pria itu sama seperti tadi pagi. Sama sekali tidak menoleh kearah dirinya. Pandanganya lurus kedepan atau hanya terpaku pada buku di hadapanya. Aneh...
Next To Inikah Rasanya cinta Part 03
Detail Cerita
Istirahat kedua, Irma sengaja memisahkan diri dari ke empat temannya. Bukan karena ia merasa tidak cocok dengan mereka, tapi karena kebetulan Jeny , Ana, Vhany dan Vieta, beralasan sedang halangan sehingga Irma terpaksa sendirian berjalan kearah Mushala sekolah. Mengikuti beberapa anak anak lain yang akan menuju tempat yang sama, Irma akhirnya sampai pada tempat yang di tuju. Setelah mengambil air wudhu, gadis itu menunaikan sholat Zuhur.
Sepuluh menit kemudian, Irma kembali melipat rapi Mukena yang baru saja di kenakanya baru kemudian kembali ia masukan kedalam tas ranselnya. Sengaja ia bawa sendiri dari rumah walau ia sudah menebak kalau di mushala itu sudah tersedia. Bukannya apa, ia hanya merasa tidak nyaman saja. Biasalah, mukena itu kan di gunakan bersama. Walau mungkin jika di sekolah sudah ada yang merawat nya, Irma tetap takut kalau kasusnya sama seperti yang sering ia temui di Mall mall besar saat ia lupa membawanya. Kotor dan tak terawat. Padahal itu kan untuk ibadah.
Setelah mengenakan kembali sepatunya, Irma kembali melangkah menuju kekelas. Sebelum itu matanya menoleh kesekeliling, sepi. Sepertinya jam istirahat sudah mau selesai. Bisa di maklumi, soalnya tadi begitu bel Irma tidak langsung ke Mushala tapi mapir dulu keruang guru. Sekedar mengantarkan berkas kepindahanya yang lupa ia berikan kemarin. Sambil terus melangkah Irma melirik jam yang melingkar di tanganya. Selain terlihat burem, jarumnya juga tidak bergerak. Membuat gadis itu menghentikan langkahnya sambil menatap benda antik itu dengan heran, baru kemudian...
"Astaga," Irma menepuk keningnya sendiri. "Gue beneran ketularan lemotnya Jeny. Haduh, mati deh jam gue karena kemasukan air," gumam gadis itu lagi. Dengan berlahan ia melepaskan jam yang sedari kemaren ia kenakan. Sambil kembali melangkah ia terus menatap benda itu dan mengoyang - goyangkanya. Berharap dengan begitu benda mungil tersebut bisa kembali berfungsi. Wajar saja sih jika benda itu mati. Saat wudhu tadi ia lupa melepaskannya. Apalagi jam itu memang ia beli di emperan toko kaki lima. Harganya juga cuma 35 ribuan.
Karena keasikan memperhatikan jam yang ada di tangannya, Irma sama sekali tidak memperhatikan jalannya. Tepat saat ia melewati ruang guru, disaat yang sama ada sosok yang keluar dengan membawa setumpuk buku. Tak bisa di cegah, tubrukan pun terjadi. Dan buku - buku kini berserakan di lantai. Bahkan jam tangan Irma sendiri mental entah kemana.
"Aduh, sory sory. Gue nggak sengaja," kata Irma merasa bersalah. Dengan segera ia kembali mengumpulkan buku - buku yang berserakan. Dalam hati gadis itu terus merutuk. Hari ini dia kenapa sih? Kok bisa jadi ceroboh gitu?
"Iya nggak papa. Tapi lain kali kalau jalan jangan sambil melamun ya."
"Maaf, gue beneran nggak senga...ja," ucapan Irma melemah seiring dengan keterpakuannya. Bukan hanya terpaku karena tau kalau sosok yang ia tabrak adalah Rey, teman sebangkunya. Tapi juga karena kini, senyuman manis yang benar benar terlihat manis tersaji kurang lebih berjarak dua jengkal dari dirinya. Irma benar benar ragu kalau Rey yang kini tersenyum padanya adalah Rey yang sama dengan temen sekelasnya.
"Loe..."
"Kenalin, gue Rey," potong Rey sambil mengulurkan tangannya.
Kali ini. Sumpah, beneran. Irma sangat bernapsu untuk memaki Jeny saat itu juga. Secara bukannya membalas uluran tangan Rey, Irma justru malah diam membeku. Mendadak lemot, yang ia yakini karena tertular dari rekan yang baru di kenalnya hari itu. Karena Irma masih ingat. Sebelumnya ia tidak pernah begitu. Kan nggak mungkin hanya karena sebelumnya di cuekin terus kemudian dikasih senyuman dan di ajak kenalan tiba - tiba ia jadi nggak bisa berpikir. Bahkan kini, jantungnya juga ikut berdebar keras. Sangat tidak wajar.
"Gue..."
"Irma Octa Swifties, cewek jomblo yang belum pernah pacaran. Merasa miris dengan cerita anak SMP yang udah nekat pacaran tapi begitu putus nggak bisa move on."
"Loe tadi nguping pembicaraan kita?" tuduh Irma kaget. Telunjuk gadis itu terarah lurus ke wajah Rey. "Itu nggak sopan tau."
"Nggak sopan mana sama tangan loe yang nunjuk tepat ke muka gue gini? Maju sedikit lagi bisa gue gigit lho."
Mendengar itu secara refleks Irma menurunkan tangannya. Ia tau wajahnya pasti memerah. Ia sama sekali tak menduga, Rey memdengarkan pembicaraan mereka. Tepatnya ia sedang membicarakan dirinya. Padahal kan saat itu pria itu duduk agak jauh dari dirinya di tambah....
"Bukannya tadi loe dengerin musik? Kok loe bisa tau pembicaraan kita?" tanya Irma seolah baru menyadari sesuatu.
Rey hanya angkat bahu sambil bangkit berdiri. Buku buku yang tadi berserakan kini juga sudah tersusun rapi.
"Gue emang pake headset, tapi itu bukan berarti gue mendengarkan sesuatu kan?" bukannya menjawab Rey justru malah balik bertanya. Kemudian dengan santai ia kembali melangkah.
Tanpa di suruh Irma berjalan mengikuti sambil membawa sebagian buku yang ia kumpulkan tadi. Berusaha berjalan beriringan bersama Rey. Pria itu memang tidak bilang mereka akan kemana, tapi Irma sudah bisa menebak kalau ia akan kekelas. Terlebih buku yang Rey bawa adalah buku tugas fisika milik teman - temannya. Irma tau karena dari beberapa buku yang jatuh tadi ia melihat nama beberapa teman yang di ingatnya. Dan jadwal pelajaran setelah istirahat kedua ini juga memang fisika. Cuma yang ia herankan kenapa jadi Rey yang membawanya?
"Jadi tadi loe sebenernya nggak dengerin musik," dari pada bertanya, itu lebih tepat jika di sebut gumaman. "Iya sih. Gue kadang juga suka gitu. Gue suka masang headset buat ngindari orang - orang. Apalagi kalau pas diangkot. Tapi musiknya nggak gue nyalain, cuma gue pasang aja. Soalnya kalau gue dengerin musik, takutnya nanti nggak kedengeran kalau pas tukang angkotnya nanya. Secara kan angkot yang gue naikin jalurnya banyak. Bisa rempong kalau sampai gue salah jalur. Tapi kalau nggak pake headset lebih ribet lagi. Secara muka gue kan jerawatan. Jadi kadang di jadikan sasaran empuk mbak mbak sales yang suka semena mena nawarin produk. Mending kalau yang jualan mukanya bagus, la ini lebih parah dari gue. Disitu kadang gue merasa sedih."
"Ha ha ha."
Untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari sepuluh menit Irma sudah dua kali di buat terpaku oleh Rey. Pertama karena senyumnya tadi, kali ini karena tawanya. Dan lebih terkejut lagi ketika Irma merasakan efeknya. Jantungnya, entah kenapa kini kembali berdebar cepat. Jangan bilang kalau salah satu efek lemot adalah jantung berdebar. Akh jadi bingung, emangnya efek lemot itu sama seperti efek samping obat jika dosisnya nggak cocok ya?
"Ternyata Ana salah. Loe bukan tipe orang yang pendiem, nyatanya loe lebih banyak bicara dari pada yang gue duga," komentar Rey yang membuat Irma mengangkat sebelah alisnya. Gadis itu ingin bertanya tapi urung karena kini keduanya telah tiba di depan kelas. Rey segera meletakan buku - buku yang ia bawa keatas meja, Irma segera mengikuti. Gadis itu merasa sedikit terkejut ketika melihat gurunya sudah duduk diatas kursinya. Lho, emangnya sudah bel ya? Kok dia nggak denger. Emangnya sekarang jam berapa. Dan ngomong - ngomong soal jam, ya ampun. Jamnya jatuh terlempar tadi kenapa nggak di ambil? Sepertinya ia lupa karena tadi jatuh mental entah kemana. Tidak, ralat. Sepertinya bukan itu alasannya ia bisa lupa.
"Kamu, murid baru?" tanya pak guru begitu Irma meletakkan buku yang ia bawa keatas meja.
"Iya pak. Saya Irma, siswi baru. Baru hari ini masuk pak," balas Irma sopan. Bapak guru itu hanya mengangguk baru kemudian Irma pamit menuju ke kursinya.
Saat melewati meja Vhany, Irma menyadari tanya tak terucap dari wajah gadis itu. Pasti Vhany heran kenapa ia barengan sama Rey. Saat menoleh kearah Ana, Irma mendapati raut yang sama. Tapi ia hanya membalas dengan senyuman. Seolah tidak menyadari rasa ingin tahu dari kedua sahabatnya. Irma kemudian mengalihkan tatapannya kearah teman sebangkunya. Gantian gadis itu yang merasa heran. Ekpresi Rey yang di temuinya beberapa saat yang lalu sudah menghilang, raib entah kemana dan kembali di gantikan dengan aura dingin pria itu sama seperti tadi pagi. Sama sekali tidak menoleh kearah dirinya. Pandanganya lurus kedepan atau hanya terpaku pada buku di hadapanya. Aneh...
Next To Inikah Rasanya cinta Part 03
Detail Cerita
- Judul cerita : Inikah Rasanya cinta
- Nama Penulis : Ana Merya
- Instagram : @anamerya
- Part : 01 / 06
- Status : Finish
- Ide cerita : Jatuh cinta alias kasmaran #krik #krik. Eh enggak dink. Bohong. Yang bener ntu cuma ide ngasal aja.
- Panjang cerita : 2. 136 kata
- Genre : Remaja
Crpn'y bgs,cpt d lnjutn ya..
ReplyDeletelanjutkan min
ReplyDelete