Cerpen Romantis "Inikah rasanya cinta" ~ 04/06
Masih penasaran sama kelanjutan cerpen inikah rasanya cinta seputar kisah cinta antara Irma dan Rey? Kalau jawabannya iya, maka harus gembira nih. Secara kelanjutannya udah admin posting. Jelasnya langsung simak ke bawah ya. Dan ngomong ngomong untuk mempermudah sekalian biar nyambung sama jalan ceritanya gimana, kalian sebaiknya baca dulu bagian sebelumnya disini.
Beradaptasi di sekolah baru ternyata tidak sesulit yang ia bayangkan. Bahkan Irma merasa kalau disini terasa lebih menyenangkan dibandingkan sekolahnya yang dulu. Padahal sebelumnya ia sudah ketakutan akan diasingkan. Tapi ternyata dugaannya salah. Ana dan Vhany benar - benar orang yang asik untuk di ajak berteman. Teman - teman yang lain juga. Bahkan tak jarang Jeny dan Vieta juga ikut berkumpul. Walau sebelumnya Irma merasa agak menjaga jarak dengan Jeny yang di sangka menularkan sikap lemot kepada dirinya, namun kini tidak lagi. Bukan salah Jeny jika sampai ia ketularan.
Dan ngomong ngomong, tak terasa sudah hampir sebulan Irma disekolah tersebut. Hubungannya dengan Rey masih sama seperti sebelumnya. Pria itu tetap pendiam. Walau kadang berbicara pada dirinya, itu juga hanya di lakukan jika mereka sedang berdua atau tidak terlalu ramai orang di sekitarnya. Irma tidak tau alasannya, walau ia merasa sedikit aneh akan hal itu.
"Baru mau pulang?"
Irma menoleh. Heran mendapati Rey duduk disampingnya. Ia memang sedang duduk di halte sembari menunggu bus yang akan mengantarnya pulang kerumah. Masalahnya kenapa Rey menghampiri dirinya. Tu anak kan biasanya pake motor.
"Kalau naik bus ini, lewat Perum. Cempaka nggak ya?" tanya Rey lagi.
Kali ini Irma tidak langsung menjawab. Bukan karena heran tapi ia sedang berpikir. Mengingat - ingat tempat yang di sebutkan Rey barusan. Sepertinya ia sudah pernah mendengar nama tempat itu. Setelah sebulan ini ia tinggal di kota itu, Irma memang mulai mengerti arah jalurnya.
"Kayaknya sih lewat. Tapi berhenti cuma di haltenya deh. Memangnya kenapa?" Irma balik bertanya.
Rey tersenyum sambil mengeleng. Membuat Irma merutuk dalam hati. Pria itu mungkin tidak tau, tapi senyumnya selalu memberikan efek tersendiri bagi Irma. Makanya sebisa mungkin Irma selalu mencoba menghindari. Karena untuk menghadapinya Irma jelas tidak tau bagaimana caranya.
"Gue belum pernah naik bus. Makanya gue nanya. Takutnya ntar salah lagi."
Irma melongo. Belum pernah naik katanya? Yang benar saja. Ia selaku warga baru aja udah hapal jalurnya. La ini malah takut salah. Tapi kemudian Irma segera ingat cerita Ana pas awal awal sekolah dulu. Rey itu anak orang kaya. Mungkin bisa di maklumi walau Irma tetap sanksi pria itu benar benar tidak tau.
"Memangnya loe mau pulang naik bus?" Irma memberanikan diri bertanya. Rey hanya membalas dengan anggukan.
"Motor loe kemana?" tanya Irma lagi.
"Dibengkel," Rey hanya membalas singkat.
Irma ingin kembali bertanya. Kenapa pria itu lebih memilih bus. Ia kan bisa memanggil taxsi. Irma yakin, argo taksi pasti tidak seberapa untuk isi kantong Rey. Tapi gadis itu urung, mendadak ia merasa canggung.
"Lagian gue pengen pulang bareng sama loe."
Kali ini Irma menoleh menatap langsung kearah Rey yang juga sedang menatapnya. Irma benar - benar tidak yakin dengan apa yang ia dengar barusan. Rey ingin bareng dengan dirinya? Kenapa? Tapi belum sempat Irma menyuarakan isi hatinya, Rey sudah terlebih dahulu bangkit berdiri. Bahkan tangan pria itu tanpa permisi mengengam tanganya.
"Itu busnya kan? Ayo kita masuk."
Dan seperti orang bodoh, Irma manut. Kakinya melangkah mengikuti Rey. Terlebih kini, tangannya juga masih di gengam oleh pria itu. Sama sekali tidak membantu karena kini jantungnya kembali berdebar. Ayolah, ini bukan karena syindrom penyakit lemot kan?
"Loe kenapa diem aja?" tanya Rey setelah bus mulai berjalan kini keduanya sudah duduk berdampingan. Tak tau harus menjawab apa, Irma hanya mengeleng. Tak jelas apa maksutnya.
"Kenapa?" Rey makin heran.
Terlebih dahulu menghela nafas, Irma menoleh. Menatap lurus kearah Rey. Sejenak ia memikirkan ulang akan apa yang menganjal di kepalanya. Setelah meyakinkan diri, mulutnya terbuka.
"Loe itu sebenernya orangnya gimana sih?"
Rey mengernyit. "Maksutnya?"
Irma mengalihkan tatapannya. Kepalanya menunduk, menatap kearah tanganya yang masih berada dalam gengaman Rey. Sepertinya Rey menyadari tatapan itu, tapi ia tetap tidak melepaskannya. Bahkan kini mengegamnya erat.
"Gue cuma penasaran sekaligus heran. Didepan anak anak, loe biasanya pendiem, nggak banyak omong. Gue bahkan ngerasa kalau loe itu kayak nggak kenal gue. Tapi di lain sisi, loe juga bisa terlihat bersahabat. Jadi orang yang asik di ajak ngobrol. Kayak sekarang."
"Loe keberatan?" tanya Rey lirih.
Irma dengan cepat menggeleng. "Gue cuma bingung."
Untuk bebrapa waktu suasana hening. Masing - masing terdiam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan penumpang yang lain juga tak banyak bicara. Sebagian ada yang berbicara lirih dengan teman, ada yang sibuk dengan gedgetnya, bahkan beberapa malah tanpa memejamkan mata, merasa ngantuk menunggu tiba ketempat tujuannya.
"Bukan cuma loe, gue juga," gumaman Rey membuat Irma menoleh. Tapi pria itu tidak sedang menatap dirinya. Irma baru menyadari kalau Rey sedang menatap gengaman tangannya. "Entah kenapa, menurut gue loe itu berbeda. Gue ngerasa, kalau bereng loe, gue nggak harus bersembunyi. Gue bisa jadi diri gue sendiri."
Bukannya mengerti, kerutan di kening Irma semakin bertambah.
"Kenapa loe harus sembunyi?" Irma memberanikan diri bertanya.
Rey angkat bahu. "Entah lah. Mungkin karena gue takut kecewa, atau mungkin karena gue males aja."
"Loe..." Irma mengeleng. Tidak jadi melanjutkan ucapannya.
"Kenapa?" tanya Rey heran.
"Nggak, bukan apa - apa," elak Irma sambil menatap keluar jendela.
"Loe nggak sedang berpikir kalau gue nggak bisa move on dari pacar gue yang dulu kan?"
Irma menoleh. Heran menyadari Rey bisa membaca pikirannya.
"Ha ha ha."
Dan tawa Rey saat itu benar - benar memperburuk semuanya. Irma jadi benar - benar terpaku. Gadis itu sama sekali tak mampu mengalihkan tatapannya. Tak tau dapat keyakinan dari mana, Irma yakin ia rela melakukan apa saja untuk bisa terus melihat tawa itu.
"Loe beneran termakan gosip kayaknya. Gue diem itu bukan karena nggak bisa Move on. Tapi gue sengaja. Karena dengan begitu, gue jadi nggak perlu repot repot buat ngehindari cewek - cewek yang demen deketin gue. Orang sekarang aja mereka nggak berani deket - deket."
Irma mencibir. Ini orang pede sekali walau dalam hati ia tetap membenarkan. Kalau sampai orang orang melihat Rey tersenyum atau tertawa seperti saat bersamanya, iya yakin. Mereka pasti klepek klepek. Karena itulah kemudian kesadaran baru pun muncul, jangan jangan dirinya..... Irma mengeleng, tidak itu tidak boleh terjadi.
"Loe nggak percaya. Gue serius tau," ujar Rey yang salah mengartikan gelengan kepala Irma. "Dulu aja pas Nyokap bokap gue baru cerai. Banyak banget yang sok perhatian. Tapi karena gue udah punya pacar, mereka nggak berani terlalu deket - deket. Cuma setelah tau, kalau gue udah putus. Langsung deh pada bejibun yang Cpcp. Gue kan jadi males, makanya gue lebih milih diem. Dari pada gue cape cape menghindar. Mendingan gue cuekin."
Irma tanpak menganguk - angguk. Jadi itu alasanya kenapa Rey berubah. Tapi...
"Tapi kenapa kalau sama gue loe beda?"
Rey tidak langsung menjawab. Pria itu tampak sedang berpikir baru kemudian menjawab lirih. "Karena gue merasa, loe itu menarik."
Karena gue merasa, loe itu menarik
Entah untuk keberapa puluh kalinya kalimat itu terus berulang - ulang terniang di kepala Irma yang sedari tadi hanya bergulang - guling di atas rangjangnya. Kalimat yang Rey ucapkan padanya saat di bus. Hanya kalimat itu, karena setelahnya Rey terdiam. Bahkan sampai setelah Irma turun pria itu tidak menjelaskan maksutnya. Irma sendiri karena bingung, malu, dan tak tau harus menjawab apa hanya bisa terdiam. Ini untuk pertama kalinya, ada orang yang mengakui langsung pada dirinya. Tapi itu jelas, bukan pernyataan cinta. Jadi Irma tidak berani terlalu banyak berharap. Hanya saja..... Ia tidak ingin membohongi hatinya kalau ia merasa senang. Merasa bahagia. Ia juga baru tau, kalau berangkat sekolah bisa menjadi waktu yang paling di nantikan kedatangannya.
Tak bisa tidur, Irma bangkit dari ranjangnya. Di nyalakannya notebook kesayangannya. Kemudian dengan berlahan ia mulai mengetik. Waktu terus berlalu, Irma sampai tidak menyadarinya. Yang ia tau adalah beberapa waktu ini ide memang sedang banyak bermain di kepalanya.
Next To Inikah Rasanya cinta Part 05
Detail Cerita
Beradaptasi di sekolah baru ternyata tidak sesulit yang ia bayangkan. Bahkan Irma merasa kalau disini terasa lebih menyenangkan dibandingkan sekolahnya yang dulu. Padahal sebelumnya ia sudah ketakutan akan diasingkan. Tapi ternyata dugaannya salah. Ana dan Vhany benar - benar orang yang asik untuk di ajak berteman. Teman - teman yang lain juga. Bahkan tak jarang Jeny dan Vieta juga ikut berkumpul. Walau sebelumnya Irma merasa agak menjaga jarak dengan Jeny yang di sangka menularkan sikap lemot kepada dirinya, namun kini tidak lagi. Bukan salah Jeny jika sampai ia ketularan.
Dan ngomong ngomong, tak terasa sudah hampir sebulan Irma disekolah tersebut. Hubungannya dengan Rey masih sama seperti sebelumnya. Pria itu tetap pendiam. Walau kadang berbicara pada dirinya, itu juga hanya di lakukan jika mereka sedang berdua atau tidak terlalu ramai orang di sekitarnya. Irma tidak tau alasannya, walau ia merasa sedikit aneh akan hal itu.
"Baru mau pulang?"
Irma menoleh. Heran mendapati Rey duduk disampingnya. Ia memang sedang duduk di halte sembari menunggu bus yang akan mengantarnya pulang kerumah. Masalahnya kenapa Rey menghampiri dirinya. Tu anak kan biasanya pake motor.
"Kalau naik bus ini, lewat Perum. Cempaka nggak ya?" tanya Rey lagi.
Kali ini Irma tidak langsung menjawab. Bukan karena heran tapi ia sedang berpikir. Mengingat - ingat tempat yang di sebutkan Rey barusan. Sepertinya ia sudah pernah mendengar nama tempat itu. Setelah sebulan ini ia tinggal di kota itu, Irma memang mulai mengerti arah jalurnya.
"Kayaknya sih lewat. Tapi berhenti cuma di haltenya deh. Memangnya kenapa?" Irma balik bertanya.
Rey tersenyum sambil mengeleng. Membuat Irma merutuk dalam hati. Pria itu mungkin tidak tau, tapi senyumnya selalu memberikan efek tersendiri bagi Irma. Makanya sebisa mungkin Irma selalu mencoba menghindari. Karena untuk menghadapinya Irma jelas tidak tau bagaimana caranya.
"Gue belum pernah naik bus. Makanya gue nanya. Takutnya ntar salah lagi."
Irma melongo. Belum pernah naik katanya? Yang benar saja. Ia selaku warga baru aja udah hapal jalurnya. La ini malah takut salah. Tapi kemudian Irma segera ingat cerita Ana pas awal awal sekolah dulu. Rey itu anak orang kaya. Mungkin bisa di maklumi walau Irma tetap sanksi pria itu benar benar tidak tau.
"Memangnya loe mau pulang naik bus?" Irma memberanikan diri bertanya. Rey hanya membalas dengan anggukan.
"Motor loe kemana?" tanya Irma lagi.
"Dibengkel," Rey hanya membalas singkat.
Irma ingin kembali bertanya. Kenapa pria itu lebih memilih bus. Ia kan bisa memanggil taxsi. Irma yakin, argo taksi pasti tidak seberapa untuk isi kantong Rey. Tapi gadis itu urung, mendadak ia merasa canggung.
"Lagian gue pengen pulang bareng sama loe."
Kali ini Irma menoleh menatap langsung kearah Rey yang juga sedang menatapnya. Irma benar - benar tidak yakin dengan apa yang ia dengar barusan. Rey ingin bareng dengan dirinya? Kenapa? Tapi belum sempat Irma menyuarakan isi hatinya, Rey sudah terlebih dahulu bangkit berdiri. Bahkan tangan pria itu tanpa permisi mengengam tanganya.
"Itu busnya kan? Ayo kita masuk."
Dan seperti orang bodoh, Irma manut. Kakinya melangkah mengikuti Rey. Terlebih kini, tangannya juga masih di gengam oleh pria itu. Sama sekali tidak membantu karena kini jantungnya kembali berdebar. Ayolah, ini bukan karena syindrom penyakit lemot kan?
"Loe kenapa diem aja?" tanya Rey setelah bus mulai berjalan kini keduanya sudah duduk berdampingan. Tak tau harus menjawab apa, Irma hanya mengeleng. Tak jelas apa maksutnya.
"Kenapa?" Rey makin heran.
Terlebih dahulu menghela nafas, Irma menoleh. Menatap lurus kearah Rey. Sejenak ia memikirkan ulang akan apa yang menganjal di kepalanya. Setelah meyakinkan diri, mulutnya terbuka.
"Loe itu sebenernya orangnya gimana sih?"
Rey mengernyit. "Maksutnya?"
Irma mengalihkan tatapannya. Kepalanya menunduk, menatap kearah tanganya yang masih berada dalam gengaman Rey. Sepertinya Rey menyadari tatapan itu, tapi ia tetap tidak melepaskannya. Bahkan kini mengegamnya erat.
"Gue cuma penasaran sekaligus heran. Didepan anak anak, loe biasanya pendiem, nggak banyak omong. Gue bahkan ngerasa kalau loe itu kayak nggak kenal gue. Tapi di lain sisi, loe juga bisa terlihat bersahabat. Jadi orang yang asik di ajak ngobrol. Kayak sekarang."
"Loe keberatan?" tanya Rey lirih.
Irma dengan cepat menggeleng. "Gue cuma bingung."
Untuk bebrapa waktu suasana hening. Masing - masing terdiam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan penumpang yang lain juga tak banyak bicara. Sebagian ada yang berbicara lirih dengan teman, ada yang sibuk dengan gedgetnya, bahkan beberapa malah tanpa memejamkan mata, merasa ngantuk menunggu tiba ketempat tujuannya.
"Bukan cuma loe, gue juga," gumaman Rey membuat Irma menoleh. Tapi pria itu tidak sedang menatap dirinya. Irma baru menyadari kalau Rey sedang menatap gengaman tangannya. "Entah kenapa, menurut gue loe itu berbeda. Gue ngerasa, kalau bereng loe, gue nggak harus bersembunyi. Gue bisa jadi diri gue sendiri."
Bukannya mengerti, kerutan di kening Irma semakin bertambah.
"Kenapa loe harus sembunyi?" Irma memberanikan diri bertanya.
Rey angkat bahu. "Entah lah. Mungkin karena gue takut kecewa, atau mungkin karena gue males aja."
"Loe..." Irma mengeleng. Tidak jadi melanjutkan ucapannya.
"Kenapa?" tanya Rey heran.
"Nggak, bukan apa - apa," elak Irma sambil menatap keluar jendela.
"Loe nggak sedang berpikir kalau gue nggak bisa move on dari pacar gue yang dulu kan?"
Irma menoleh. Heran menyadari Rey bisa membaca pikirannya.
"Ha ha ha."
Dan tawa Rey saat itu benar - benar memperburuk semuanya. Irma jadi benar - benar terpaku. Gadis itu sama sekali tak mampu mengalihkan tatapannya. Tak tau dapat keyakinan dari mana, Irma yakin ia rela melakukan apa saja untuk bisa terus melihat tawa itu.
"Loe beneran termakan gosip kayaknya. Gue diem itu bukan karena nggak bisa Move on. Tapi gue sengaja. Karena dengan begitu, gue jadi nggak perlu repot repot buat ngehindari cewek - cewek yang demen deketin gue. Orang sekarang aja mereka nggak berani deket - deket."
Irma mencibir. Ini orang pede sekali walau dalam hati ia tetap membenarkan. Kalau sampai orang orang melihat Rey tersenyum atau tertawa seperti saat bersamanya, iya yakin. Mereka pasti klepek klepek. Karena itulah kemudian kesadaran baru pun muncul, jangan jangan dirinya..... Irma mengeleng, tidak itu tidak boleh terjadi.
"Loe nggak percaya. Gue serius tau," ujar Rey yang salah mengartikan gelengan kepala Irma. "Dulu aja pas Nyokap bokap gue baru cerai. Banyak banget yang sok perhatian. Tapi karena gue udah punya pacar, mereka nggak berani terlalu deket - deket. Cuma setelah tau, kalau gue udah putus. Langsung deh pada bejibun yang Cpcp. Gue kan jadi males, makanya gue lebih milih diem. Dari pada gue cape cape menghindar. Mendingan gue cuekin."
Irma tanpak menganguk - angguk. Jadi itu alasanya kenapa Rey berubah. Tapi...
"Tapi kenapa kalau sama gue loe beda?"
Rey tidak langsung menjawab. Pria itu tampak sedang berpikir baru kemudian menjawab lirih. "Karena gue merasa, loe itu menarik."
Karena gue merasa, loe itu menarik
Entah untuk keberapa puluh kalinya kalimat itu terus berulang - ulang terniang di kepala Irma yang sedari tadi hanya bergulang - guling di atas rangjangnya. Kalimat yang Rey ucapkan padanya saat di bus. Hanya kalimat itu, karena setelahnya Rey terdiam. Bahkan sampai setelah Irma turun pria itu tidak menjelaskan maksutnya. Irma sendiri karena bingung, malu, dan tak tau harus menjawab apa hanya bisa terdiam. Ini untuk pertama kalinya, ada orang yang mengakui langsung pada dirinya. Tapi itu jelas, bukan pernyataan cinta. Jadi Irma tidak berani terlalu banyak berharap. Hanya saja..... Ia tidak ingin membohongi hatinya kalau ia merasa senang. Merasa bahagia. Ia juga baru tau, kalau berangkat sekolah bisa menjadi waktu yang paling di nantikan kedatangannya.
Tak bisa tidur, Irma bangkit dari ranjangnya. Di nyalakannya notebook kesayangannya. Kemudian dengan berlahan ia mulai mengetik. Waktu terus berlalu, Irma sampai tidak menyadarinya. Yang ia tau adalah beberapa waktu ini ide memang sedang banyak bermain di kepalanya.
Next To Inikah Rasanya cinta Part 05
Detail Cerita
- Judul cerita : Inikah Rasanya cinta
- Nama Penulis : Ana Merya
- Instagram : @anamerya
- Part : 01 / 06
- Status : Finish
- Ide cerita : Jatuh cinta alias kasmaran #krik #krik. Eh enggak dink. Bohong. Yang bener ntu cuma ide ngasal aja.
- Panjang cerita : 2. 136 kata
- Genre : Remaja
Post a Comment for " Cerpen Romantis "Inikah rasanya cinta" ~ 04/06"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...