Cerpen Romantis "Inikah rasanya cinta" ~ 05/06
Guys, ketemu lagi sama admin yang muncul dengan lanjutan dari cerpen inikah rasanya cinta, sebuah kisah seputar Irma dan pangeran idolanya, si Reyhan Sinatrya, cinta pertamanya. Penasarankan? Iya kan? Iya kan aja lah #maksamodeon. Kalau gitu lanjut baca kebawah. Untuk bagian sebelumnya bisa di cek disini.
Perpustakaan....
Belakangan ini Irma sering menjadikan tempat itu sebagai zona nyaman bagi dirinya. Setelah mengambil beberapa buku di atas rak, gadis itu akan segera duduk di jendela sebelah sudut ruangan. Tempat paling Pewe yang ia suka. Karena di sana, ia akan terbebas dari ganguan anak anak yang keluar masuk perpustakaan. Karena di sana ia bisa merasakan hembusan angin langsung dari luar jendela. Yang paling penting, dari sana ia bisa melihat langsung bangku taman sekolah. Dimana tepat di bawah pohon jambu, ia melihat Rey duduk disana. Dengan headset dikedua telinganya dan sebuah buku di tangan. Tak jarang buku itu di gunakan untuk menutupi wajahnya. Irma sering menebak, mungkinkah pria itu sedang tidur. Namun di lain waktu, Rey kadang benar - benar membacanya.
Setelah mengamati sekeliling terlebih dahulu, Irma meletakan semua buku yang di ambilnya dari rak ketas meja. Dengan berlahan dikeluarkannya notebook dari dalam tas ranselnya. Sambil sesekali melirik kearah Rey yang sama sekali tidak menyadari ada yang diam diam mengawasinya. Gadis itu mulai mengetik.
"Irma, ternyata loe disini."
Karena kaget, secara refleks Irma menutup notebook tanpa mematikannya sama sekali. Bahkan sepertinya ia juga lupa untuk meng'save' cerita yang di ketiknya barusan. Jantungnya berdebar cepat karena tiba - tiba di sapa. Ana dan Vhany kini berdiri tepat di hadapannya dengan raut cemberut.
"Tau nggak sih. Sedari tadi kita cariin. Secara belakangan ini, pas istirahat loe sering tiba - tiba ngilang. Kita cari kemana mana nggak ada. Eh ternyata loe di perpus dan loe...... Loe bawa notebook?" kata Ana panjang lebar yang di akhir dengan rasa heran. Gadis itu baru menyadari kalau sahabatnya bukan sedang membaca.
"Eh, emp...Iya," angguk Irma agak tergagap.
"Buat apaan? Jangan bilang loe asik facebookan?" tuding Vhany langsung.
"Ya enggak lah," dengan cepat Irma membantah. Lagian kalau hanya untuk facebookan ngapain ia pake notebook segala. Ngabisin paket internet aja. Mendingan juga pake handphond kalau gitu.
"Terus loe ngapain?" selidik Ana lagi.
"Nggak ada. Cuma iseng searching doank. Oh ya, kalian ngapain nyariin gue? Kayaknya penting gitu?" tanya Irma mencoba mengalihkan topik.
"Oh itu. Nggak penting - penting kali si. Cuma ngajak ngumpul bareng aja," kata Vhany.
Irma mengernyit sambil menatap kedua sahabatnya dengan curiga. Tapi Ana dan Vhany hanya angkat bahu.
"Udah yuk, kita keluar. Ntar di marahin bersisik disini, terus juga ntar jam istirahat abis. Lagian loe juga cuma iseng doank kan disini? Dari pada iseng juga mendingan ngumpul sama kita."
Kali ini Irma mengangguk. Dibukanya notebooknya sejenak. Lampu indikatornya masih menyala walau layarnya tidak menunjukan gambar sama sekali. Tanda bahwa laptopnya masih hidup. Namun Irma tak mau repot men'Shut down terlebih dahulu, tangan terulur menekan tombol power dah menahanya untuk beberapa detik hingga lampu indikatornya mati. Setelah itu ia baru memasukanya kedalam tas dan segera mengajak kedua sahabatnya keluar.
Dari perpustakaan, langkah Vhany dan Ana berbelok kearah taman sekolahnya. Mata Irma langsung menatap nyalang kesana sini. Perhatiannya terhenti kearah pohon jambu yang beberapa waktu yang lalu menjadi objek perhatianya. Tapi tempat itu kosong, sama sekali tidak terlihat Rey yang tadi duduk disana. Membuat Irma menduga - duga kemana perginya anak itu.
"Kemana aja loe Irma, kok beberapa waktu ini jarang keliatan?"
Irma menoleh. Dan gadis itu baru menyadari kalau Jeny dan Vieta juga ada disana. Keduanya kini sedang duduk santai di atas rumput di bawah pohon dengan beberapa snack yang terhidang di hadapanya. Vhany dan Ana segera menghampiri, tanpa permisi tangannya menyambar keripik singkong di hadapan dan mulai mengunyah.
"Iya ya. Nggak kemana - mana sih. Palingan juga di perpustakaan," sahut Irma sambil ikutan nimbrung.
"Ngapain?" tanya Vieta lagi. Irma hanya angkat bahu sambil tersenyum.
"Oh ya, beberapa waktu ini kita perhatiin loe deket sama Rey ya. Tu anak perasaan kalau lagi deket sama loe mendadak normal. Pasti ada apa - apannya. Jangan - jangan kalian pacaran ya?" tanya Ana langsung.
Irma tidak lantas menjawab. Sepertinya kecurigannya beberapa waktu yang lalu benar. Dia tiba - tiba di cari pasti ada apa apanya. Cuma Irma tidak menyangka kalau ia akan di interogasi begitu. Tambahan lagi, ia baru menyadari kalau sepertinya Ana itu emang tipe orang yang langsung to the point ya. Nggak perlu basa basi kalau ada apa apa.
"Apaan sih? Nggak kok," elak Irma tanpa menoleh.
"Eh dianya ngeles. Udah ngaku aja. Kemaren dulu gue liat loe ngobrol sama dia di kantin. Terus waktu itu di kelas juga."
"Lah cuma ngobrol emangnya ada yang aneh. Kan dia temen sekelas kita."
"Harusnya emang nggak ada yang aneh. Tapi itu kalau anak anak yang lain. Ini mah Rey, sejak kapan doi mau ngobrol sama orang. Lagian loe nggak usah ngelak gitu deh. Beberapa waktu ini kita sering liat loe pulang bareng sama dia. Pake bus lagi. Hari gini, seorang Rey gitu lho. Naik bus? Kan mencurigakan."
Irma ingin membantah tapi urung. Ia tau itu percuma. Lagian kalau di pikir - pikir apa yang mereka katakan memang fakta. Tapi kalau masalah Rey, ia kan tidak berbohong. Mereka memang tidak pacaran.
"Udah deh ngaku aja. Kalian pacaran kan? Tenang aja, kita nggak ngelarang kok. Justru kita malah seneng. Kali aja ntar setelah pacaran sama loe tu anak bisa balik lagi kayak dulu," Vhany menambahkan.
"Sumpah, gue nggak pacaran."
Keempat temannya saling pandang. Masih merasa ragu, tapi ketika melihat raut Irma yang begitu meyakinkan sepertinya tebakan mereka memang salah. Mungkin keduanya memang belum pacaran. Tapi...
"Tapi, loe suka sama dia kan?"
"Apaan sih?"
"Ih dia malu - malu. Ngaku aja deh. Lagian kita yakin kok, si Rey kayaknya juga pasti suka sama loe. Secara kalau di perhatiin tatapanya ke elo keliatan beda," Vieta ikutan menambahkan.
"Nggak usah sok jadi peramal cinta deh."
"Kita serius Irma. Dua rius deh biar loe percaya. Kalian berdua itu udah kayak orang pacaran. Tapi versi backstreet. Gue nggak tau sih alasannya kenapa gitu. Yang jelas kita ngerasa loe juga suka sama dia. Tatapan loe kedia aja keliatan beda," Vhany menegaskan.
Irma menatap teman temannya satu persatu yang kini juga sedang menatapnya. Kecuali Jeny, yang sepertinya sedang asik dengan kwaci yang ia makan. Baru kemudian Irma tertunduk malu - malu. Suka sama Rey? Emp, gimana ya? Ia sendiri masih ragu dengan hal itu. Kalau deket deket Rey terus terang ia merasa senang. Tapi masalah Rey suka sama dia? Irma ragu. Rey memang pernah bilang kalau ia itu menarik. Tapi cuma itu, nggak lebih. Jadi Irma tidak mau terlalu berharap. Nanti jangan jangan cuma PHP, dianya yang kege-eran.
"Kalian salah. Gue itu nggak suka sama Rey. Dan gue yakin dia juga gitu."
"Akh, masa?" Ana tanpak tak percaya.
"Serius deh. Buat gue Rey itu cuma inspirasi gue untuk nulis. Nggak lebih," sambung Irma lagi. Dan itu tak sepenuhnya bohong. Rey memang sosok yang selalu memberikan inspirasi untuknya. Irma sangat menyadari kalau selama ini, hanya dengan membayangkan sosok itu ia bisa mengetikan jutaan kata.
"Inspirasi loe untuk nulis?" ulang Vhany heran. "Maksut loe?"
"Ehem, aduh gimana ya jelasinnya. Jadi gini. Gue itu sebenernya demen nulis. Bukan penulis buku beneran sih, gue cuma nulis cerita yang kemudian gue posting di blog pribadi gue. Bahkan tadi itu sebenernya pas di perpus juga gue sedang nulis. Nah, gue ngerasa kalau Rey itu sedikit unik. Dia itu beda dari cowok kebanyakan lainnya. Makanya itu kemudian gue jadi terinspirasi buat nulis sosok kayak dia. Nggak lebih. Lagian ni ya...."
"Eh Irma, Roti ini enak lho. Beneran. Loe coba deh."
Penjelasan Irma terpotong tiba - tiba berkat ulah Vieta yang tiba - tiba menjejalkan roti kemulutnya. Membuat Irma tak urung merasa kesel. Bukan saja karena penjelasannya di potong padahal ia tadi yang di interogasi duluan, tapi juga karena di jejali makanan dengan tiba - tiba. Lagian ngapain juga coba melakukan hal itu. Kalau ia memang mau kan ia tinggal ngambil sendiri.
"Ih, loe apaan sih Vieta," gerut Irma kesel.
"Iya nih, Vieta kurang kerjaan. Lagian kalau Irma emang mau dia kan bisa ngambil sendiri," Ana yang duduk disamping Irma juga ikut protes. Vhany mengangguk membenarkan. Lagi pula ia juga penasaran dan baru tau kalau Irma ternyata seorang penulis.
Vieta tidak menjawab, gadis itu hanya memberi isarat yang tak jelas apa maknanya. Membuat ketiga orang gadis yang ada di hadapannya menatap heran.
"Akh, kalian pada lemot sih. Makanya jangan suka ngatain gue lemot. Akhirnya kena karma kan? Vieta itu tadi bukan kurang kerjaan. Dia cuma ngasi kode agar si Irma diem. Secara kalian nggak liat sih, gimana wajah shocknya Rey tadi," untuk pertama kalinya Jeny sedari tadi sibuk dengan kwacinya kini buka mulut.
"Rey?!" ulang Ana, Irma dan Vhany secara bersamaan. Secara serentak mereka bertiga memutar kepalanya kebelakang. Walau tidak melihat wajahnya, dan hanya punggungnya yang mulai melangkah menjauh, tapi ketiganya tau pasti kalau itu memang Rey.
"Ya ampun, itu beneran Rey?" gumam Ana kaget. Perhatiannya ia alihkan ke Irma yang kini masih terdiam dengan tatapan tetap terjurus kearah Rey yang bahkan sudah menghilang dari pandangan.
"Loe kenapa nggak bilang dari tadi?" tanya Vhany kearah Vieta dengan nada menyalahkan.
"Gue juga baru liat. Secara tu anak tiba - tiba nongol. Kayaknya dia juga sedari tadi duduk disekitar sini deh. Lagian tadi itu makanya gue cepet cepet nutup mulutnya Irma," kata Vieta menjelaskan.
Vhany dan Ana hanya mengangguk berlahan. Kemudian secara berlahan mereka menatap kearah Irma. Gadis itu hanya menunduk. Entah apa yang sedang di pikirkannya.
"Irma, sory. Maafin kita," kata Vieta dengan hati hati.
Kali ini Irma mengangkat wajahnya. Dan teman - temannya segera menyadari kalau wajah gadis itu terlihat pucat. "Nggak papa kok. Kalian nggak salah. Kenapa harus minta maaf," gumam Irma mencoba tersenyum paksa.
"Irma, mendingan loe kejar Rey deh. Loe jelasin kedia, dari pada ntar dia salah paham," tambah Ana kemudian.
Kali ini Irma mengeleng. Nggak ada alasan kenapa ia harus menjelaskan pada pria itu. Secara, memangnya dia siapa? Siapa siapanya juga bukan. Lagipula Rey juga tidak pernah bilang suka pada dirinya kan?
"Oh ya, kita kekelas yuk. Kayaknya bentar lagi bel deh," ajak Irma sambil bangkit berdiri. Teman - temannya saling pandang baru kemudian mengangguk setuju.
"Irma, loe yakin loe nggak mau jelasin ke Rey. Atau apa perlu kita yang ngomong?" tanya Vhany yang masih merasa bersalah.
"Nggak usah. Nggak perlu. Lagian gue bukannya nggak mau jelasin, gue cuma butuh alasan," sahut Irma lirih.
"Maksut loe?" kening Ana mengernyit bingung. Irma hanya angkat bahu dan berjalan mendahului. Membuat teman - temannya hanya mampu saling pandang tak mengerti.
Next To Inikah Rasanya cinta Part Ending
Detail Cerita
Perpustakaan....
Belakangan ini Irma sering menjadikan tempat itu sebagai zona nyaman bagi dirinya. Setelah mengambil beberapa buku di atas rak, gadis itu akan segera duduk di jendela sebelah sudut ruangan. Tempat paling Pewe yang ia suka. Karena di sana, ia akan terbebas dari ganguan anak anak yang keluar masuk perpustakaan. Karena di sana ia bisa merasakan hembusan angin langsung dari luar jendela. Yang paling penting, dari sana ia bisa melihat langsung bangku taman sekolah. Dimana tepat di bawah pohon jambu, ia melihat Rey duduk disana. Dengan headset dikedua telinganya dan sebuah buku di tangan. Tak jarang buku itu di gunakan untuk menutupi wajahnya. Irma sering menebak, mungkinkah pria itu sedang tidur. Namun di lain waktu, Rey kadang benar - benar membacanya.
Setelah mengamati sekeliling terlebih dahulu, Irma meletakan semua buku yang di ambilnya dari rak ketas meja. Dengan berlahan dikeluarkannya notebook dari dalam tas ranselnya. Sambil sesekali melirik kearah Rey yang sama sekali tidak menyadari ada yang diam diam mengawasinya. Gadis itu mulai mengetik.
"Irma, ternyata loe disini."
Karena kaget, secara refleks Irma menutup notebook tanpa mematikannya sama sekali. Bahkan sepertinya ia juga lupa untuk meng'save' cerita yang di ketiknya barusan. Jantungnya berdebar cepat karena tiba - tiba di sapa. Ana dan Vhany kini berdiri tepat di hadapannya dengan raut cemberut.
"Tau nggak sih. Sedari tadi kita cariin. Secara belakangan ini, pas istirahat loe sering tiba - tiba ngilang. Kita cari kemana mana nggak ada. Eh ternyata loe di perpus dan loe...... Loe bawa notebook?" kata Ana panjang lebar yang di akhir dengan rasa heran. Gadis itu baru menyadari kalau sahabatnya bukan sedang membaca.
"Eh, emp...Iya," angguk Irma agak tergagap.
"Buat apaan? Jangan bilang loe asik facebookan?" tuding Vhany langsung.
"Ya enggak lah," dengan cepat Irma membantah. Lagian kalau hanya untuk facebookan ngapain ia pake notebook segala. Ngabisin paket internet aja. Mendingan juga pake handphond kalau gitu.
"Terus loe ngapain?" selidik Ana lagi.
"Nggak ada. Cuma iseng searching doank. Oh ya, kalian ngapain nyariin gue? Kayaknya penting gitu?" tanya Irma mencoba mengalihkan topik.
"Oh itu. Nggak penting - penting kali si. Cuma ngajak ngumpul bareng aja," kata Vhany.
Irma mengernyit sambil menatap kedua sahabatnya dengan curiga. Tapi Ana dan Vhany hanya angkat bahu.
"Udah yuk, kita keluar. Ntar di marahin bersisik disini, terus juga ntar jam istirahat abis. Lagian loe juga cuma iseng doank kan disini? Dari pada iseng juga mendingan ngumpul sama kita."
Kali ini Irma mengangguk. Dibukanya notebooknya sejenak. Lampu indikatornya masih menyala walau layarnya tidak menunjukan gambar sama sekali. Tanda bahwa laptopnya masih hidup. Namun Irma tak mau repot men'Shut down terlebih dahulu, tangan terulur menekan tombol power dah menahanya untuk beberapa detik hingga lampu indikatornya mati. Setelah itu ia baru memasukanya kedalam tas dan segera mengajak kedua sahabatnya keluar.
Dari perpustakaan, langkah Vhany dan Ana berbelok kearah taman sekolahnya. Mata Irma langsung menatap nyalang kesana sini. Perhatiannya terhenti kearah pohon jambu yang beberapa waktu yang lalu menjadi objek perhatianya. Tapi tempat itu kosong, sama sekali tidak terlihat Rey yang tadi duduk disana. Membuat Irma menduga - duga kemana perginya anak itu.
"Kemana aja loe Irma, kok beberapa waktu ini jarang keliatan?"
Irma menoleh. Dan gadis itu baru menyadari kalau Jeny dan Vieta juga ada disana. Keduanya kini sedang duduk santai di atas rumput di bawah pohon dengan beberapa snack yang terhidang di hadapanya. Vhany dan Ana segera menghampiri, tanpa permisi tangannya menyambar keripik singkong di hadapan dan mulai mengunyah.
"Iya ya. Nggak kemana - mana sih. Palingan juga di perpustakaan," sahut Irma sambil ikutan nimbrung.
"Ngapain?" tanya Vieta lagi. Irma hanya angkat bahu sambil tersenyum.
"Oh ya, beberapa waktu ini kita perhatiin loe deket sama Rey ya. Tu anak perasaan kalau lagi deket sama loe mendadak normal. Pasti ada apa - apannya. Jangan - jangan kalian pacaran ya?" tanya Ana langsung.
Irma tidak lantas menjawab. Sepertinya kecurigannya beberapa waktu yang lalu benar. Dia tiba - tiba di cari pasti ada apa apanya. Cuma Irma tidak menyangka kalau ia akan di interogasi begitu. Tambahan lagi, ia baru menyadari kalau sepertinya Ana itu emang tipe orang yang langsung to the point ya. Nggak perlu basa basi kalau ada apa apa.
"Apaan sih? Nggak kok," elak Irma tanpa menoleh.
"Eh dianya ngeles. Udah ngaku aja. Kemaren dulu gue liat loe ngobrol sama dia di kantin. Terus waktu itu di kelas juga."
"Lah cuma ngobrol emangnya ada yang aneh. Kan dia temen sekelas kita."
"Harusnya emang nggak ada yang aneh. Tapi itu kalau anak anak yang lain. Ini mah Rey, sejak kapan doi mau ngobrol sama orang. Lagian loe nggak usah ngelak gitu deh. Beberapa waktu ini kita sering liat loe pulang bareng sama dia. Pake bus lagi. Hari gini, seorang Rey gitu lho. Naik bus? Kan mencurigakan."
Irma ingin membantah tapi urung. Ia tau itu percuma. Lagian kalau di pikir - pikir apa yang mereka katakan memang fakta. Tapi kalau masalah Rey, ia kan tidak berbohong. Mereka memang tidak pacaran.
"Udah deh ngaku aja. Kalian pacaran kan? Tenang aja, kita nggak ngelarang kok. Justru kita malah seneng. Kali aja ntar setelah pacaran sama loe tu anak bisa balik lagi kayak dulu," Vhany menambahkan.
"Sumpah, gue nggak pacaran."
Keempat temannya saling pandang. Masih merasa ragu, tapi ketika melihat raut Irma yang begitu meyakinkan sepertinya tebakan mereka memang salah. Mungkin keduanya memang belum pacaran. Tapi...
"Tapi, loe suka sama dia kan?"
"Apaan sih?"
"Ih dia malu - malu. Ngaku aja deh. Lagian kita yakin kok, si Rey kayaknya juga pasti suka sama loe. Secara kalau di perhatiin tatapanya ke elo keliatan beda," Vieta ikutan menambahkan.
"Nggak usah sok jadi peramal cinta deh."
"Kita serius Irma. Dua rius deh biar loe percaya. Kalian berdua itu udah kayak orang pacaran. Tapi versi backstreet. Gue nggak tau sih alasannya kenapa gitu. Yang jelas kita ngerasa loe juga suka sama dia. Tatapan loe kedia aja keliatan beda," Vhany menegaskan.
Irma menatap teman temannya satu persatu yang kini juga sedang menatapnya. Kecuali Jeny, yang sepertinya sedang asik dengan kwaci yang ia makan. Baru kemudian Irma tertunduk malu - malu. Suka sama Rey? Emp, gimana ya? Ia sendiri masih ragu dengan hal itu. Kalau deket deket Rey terus terang ia merasa senang. Tapi masalah Rey suka sama dia? Irma ragu. Rey memang pernah bilang kalau ia itu menarik. Tapi cuma itu, nggak lebih. Jadi Irma tidak mau terlalu berharap. Nanti jangan jangan cuma PHP, dianya yang kege-eran.
"Kalian salah. Gue itu nggak suka sama Rey. Dan gue yakin dia juga gitu."
"Akh, masa?" Ana tanpak tak percaya.
"Serius deh. Buat gue Rey itu cuma inspirasi gue untuk nulis. Nggak lebih," sambung Irma lagi. Dan itu tak sepenuhnya bohong. Rey memang sosok yang selalu memberikan inspirasi untuknya. Irma sangat menyadari kalau selama ini, hanya dengan membayangkan sosok itu ia bisa mengetikan jutaan kata.
"Inspirasi loe untuk nulis?" ulang Vhany heran. "Maksut loe?"
"Ehem, aduh gimana ya jelasinnya. Jadi gini. Gue itu sebenernya demen nulis. Bukan penulis buku beneran sih, gue cuma nulis cerita yang kemudian gue posting di blog pribadi gue. Bahkan tadi itu sebenernya pas di perpus juga gue sedang nulis. Nah, gue ngerasa kalau Rey itu sedikit unik. Dia itu beda dari cowok kebanyakan lainnya. Makanya itu kemudian gue jadi terinspirasi buat nulis sosok kayak dia. Nggak lebih. Lagian ni ya...."
"Eh Irma, Roti ini enak lho. Beneran. Loe coba deh."
Penjelasan Irma terpotong tiba - tiba berkat ulah Vieta yang tiba - tiba menjejalkan roti kemulutnya. Membuat Irma tak urung merasa kesel. Bukan saja karena penjelasannya di potong padahal ia tadi yang di interogasi duluan, tapi juga karena di jejali makanan dengan tiba - tiba. Lagian ngapain juga coba melakukan hal itu. Kalau ia memang mau kan ia tinggal ngambil sendiri.
"Ih, loe apaan sih Vieta," gerut Irma kesel.
"Iya nih, Vieta kurang kerjaan. Lagian kalau Irma emang mau dia kan bisa ngambil sendiri," Ana yang duduk disamping Irma juga ikut protes. Vhany mengangguk membenarkan. Lagi pula ia juga penasaran dan baru tau kalau Irma ternyata seorang penulis.
Vieta tidak menjawab, gadis itu hanya memberi isarat yang tak jelas apa maknanya. Membuat ketiga orang gadis yang ada di hadapannya menatap heran.
"Akh, kalian pada lemot sih. Makanya jangan suka ngatain gue lemot. Akhirnya kena karma kan? Vieta itu tadi bukan kurang kerjaan. Dia cuma ngasi kode agar si Irma diem. Secara kalian nggak liat sih, gimana wajah shocknya Rey tadi," untuk pertama kalinya Jeny sedari tadi sibuk dengan kwacinya kini buka mulut.
"Rey?!" ulang Ana, Irma dan Vhany secara bersamaan. Secara serentak mereka bertiga memutar kepalanya kebelakang. Walau tidak melihat wajahnya, dan hanya punggungnya yang mulai melangkah menjauh, tapi ketiganya tau pasti kalau itu memang Rey.
"Ya ampun, itu beneran Rey?" gumam Ana kaget. Perhatiannya ia alihkan ke Irma yang kini masih terdiam dengan tatapan tetap terjurus kearah Rey yang bahkan sudah menghilang dari pandangan.
"Loe kenapa nggak bilang dari tadi?" tanya Vhany kearah Vieta dengan nada menyalahkan.
"Gue juga baru liat. Secara tu anak tiba - tiba nongol. Kayaknya dia juga sedari tadi duduk disekitar sini deh. Lagian tadi itu makanya gue cepet cepet nutup mulutnya Irma," kata Vieta menjelaskan.
Vhany dan Ana hanya mengangguk berlahan. Kemudian secara berlahan mereka menatap kearah Irma. Gadis itu hanya menunduk. Entah apa yang sedang di pikirkannya.
"Irma, sory. Maafin kita," kata Vieta dengan hati hati.
Kali ini Irma mengangkat wajahnya. Dan teman - temannya segera menyadari kalau wajah gadis itu terlihat pucat. "Nggak papa kok. Kalian nggak salah. Kenapa harus minta maaf," gumam Irma mencoba tersenyum paksa.
"Irma, mendingan loe kejar Rey deh. Loe jelasin kedia, dari pada ntar dia salah paham," tambah Ana kemudian.
Kali ini Irma mengeleng. Nggak ada alasan kenapa ia harus menjelaskan pada pria itu. Secara, memangnya dia siapa? Siapa siapanya juga bukan. Lagipula Rey juga tidak pernah bilang suka pada dirinya kan?
"Oh ya, kita kekelas yuk. Kayaknya bentar lagi bel deh," ajak Irma sambil bangkit berdiri. Teman - temannya saling pandang baru kemudian mengangguk setuju.
"Irma, loe yakin loe nggak mau jelasin ke Rey. Atau apa perlu kita yang ngomong?" tanya Vhany yang masih merasa bersalah.
"Nggak usah. Nggak perlu. Lagian gue bukannya nggak mau jelasin, gue cuma butuh alasan," sahut Irma lirih.
"Maksut loe?" kening Ana mengernyit bingung. Irma hanya angkat bahu dan berjalan mendahului. Membuat teman - temannya hanya mampu saling pandang tak mengerti.
Next To Inikah Rasanya cinta Part Ending
Detail Cerita
- Judul cerita : Inikah Rasanya cinta
- Nama Penulis : Ana Merya
- Instagram : @anamerya
- Part : 01 / 06
- Status : Finish
- Ide cerita : Jatuh cinta alias kasmaran #krik #krik. Eh enggak dink. Bohong. Yang bener ntu cuma ide ngasal aja.
- Panjang cerita : 2. 136 kata
- Genre : Remaja
D lnjut lg yach.. Tp yg cptn jgn lma2.. Oya kak,,kazua mncri cnt kpn d lnjtn? Lma deh,,,
ReplyDelete