Cerpen Cinta "You're My Girl ~ 06
Holla hallo guys... Ketemu lagi nih sama admin yang muncul kali ini dengan lanjutan dari cerbung You're my gilr. Secara pastinya udah pada penasaran donk ya sama kelanjutan dari kisah Delon dan Shilla. Ya udah, kalau gitu mendingan langsung simak kebawah aja ya. Biar nyambung bagusan kalau baca dulu bagian sebelumnya disini....
"Loe bener juga ya, selain lebih praktis dan hemat. Bawa bekel juga lebih sehat. Loe beruntung banget, nyokap loe pinter masak seenak ini," komentar Shila sambil menutup kotak bekal di hadapannya.
Pas jam istirahat tadi, Alfa menghampirinya. Mengajaknya makan siang sebagai permintaan maaf karena merasa menjadi penyebap luka di kakinya. Gadis itu menduga, ia akan di bawa kekantin. Tapi ternyata Alfa mengajaknya duduk di taman sekolah sembari menikmati bekal bawaannya.
"Loe suka?" tanya Alfa sambil mengamati raut gadis di hadapannya. Pria itu tak mampu menahan senyum ketika secara spontan Shila menganggukan kepalanya.
"Dulu pas gue SMP, gue juga sering bawa bekel masakan nyokap gue. Masakannya itu enak banget. Cuma biasanya sih gue makannya di kelas sendirian," aku gadis itu sambil menunduk.
"Kenapa? Loe takut di mintain temen temen loe ya?"
Shila tersenyum. Alfa segera menyadari kalau itu hanyalah senyum kamuflase belaka. "Dulu gue nggak punya banyak temen."
"Oh ya? Kok bisa?" Alfa tidak menutupi rasa herannya sama sekali. Melihat dari kepribadian Shila yang di kenalnya, sangat aneh jika gadis itu tidak memiliki banyak teman. Dia baik, cantik, dan sepertinya juga asik.
Shila angkat bahu. "Mareka nggak mau temenan sama gue. Karena..." tatapan Shila menerawang. Ia bukan sosok yang gampang terbuka pada orang lain. Tapi di dekat Alfa sepertinya ia bisa bercerita. "Yah, karena bagi mereka hidup gue udah terlalu sempurna. Nyokap bokap gue kaya. Seperti yang loe bilang, gue cantik," Shila tersenyum setengah bercanda kearah Alfa. "Dan otak gue juga pinter. Loe tau, dulu itu sebenernya sejak TK sampai SMP gue selalu juara umum lho. Dan gue selalu jadi kesayangan guru - guru. Gue bahkan jadi ketua OSIS."
"Dan karena itu, temen - temen loe jadi iri dan memilih menjauh," tebak Alfa yang sepertinya mulai mengerti kearah mana pembicaraan itu akan dibawa.
"Hidup itu aneh ya. Giliran guenya pinter, gue di jauhin. Giliran gue bodoh, gue dikatain."
Alfa hanya membalas dengan senyuman, dalam hati tak urung membenarkan.
"Terus kenapa loe sekarang mendadak pengen belajar lagi. Udah bosen di katain?" tanya Alfa setelah beberapa saat keduanya terdiam.
Shila mengeleng. "Gue sama sekali nggak keberatan di katain sama mereka. Seengaknya itu lebih baik dari pada gue di jauhin," sambung gadis itu sambil angkat bahu. "Cuma gue nggak bisa terima aja kalau sampai Delon ikut kena getahnya."
"Delon?"
Kali ini Shila mengangguk. "Cowok yang kemaren nyamperin kita," gadis itu menambahkan. "Yah emang sih tu anak seringnya nyebelin, terus suka ngatur orang seenaknya, bawel juga. Tapi pada dasarnya dia orang baik. Selalu perhatian. Dan dia adalah teman pertama yang gue dapat di sekolah ini. Walaupun dia pinter, terkenal, tapi dia sama sekali nggak keberatan temanan sama gue. Makanya gue jadi nggak rela waktu denger anak anak sering ngatain dia di belakang. Bilang kalau dia bodoh karena mau temenan sama orang kayak gue yang terkenal sebagai siswi paling bodoh."
Ucapan Shila membuat Alfa terdiam. Perlahan diamatinya raut gadis itu saat bercerita. Sampai kemudian sebuah senyum terukir di bibirnya.
"Kalau gitu Delon beneran beruntung ya?"
Kening Shila berkerut saat mendengar komentar pria disampingnya.
"Karena dia punya temen kayak loe," Alfa menambahkan.
Kali ini Shila tertawa. "Emangnya elo enggak? Loe kan temen gue juga."
"Oh iya, gue juga beruntung kalau gitu."
"Eh, udah mau bel tuh. Kekelas yuk," ajak Shila sambil bangkit berdiri. Alfa mengangguk. Kalau tidak ingin terlambat sebaiknya memang mereka harus langsung kekelas.
Sampai dikelas, Shila mengamati sekeliling. Teman - temannya sudah kumpul semua. Tapi ia belum melihat wujudnya Delon. Sejak tu orang pergi karena diledekin, ia memang belum ada bertemu dengannya. Jangan - jangan tu anak masih marah.
Seiring dengan kemunculan Pak Seno, Delon duduk disampingnya. Shila berniat untuk langsung menyapa ketika dilihatnya pria itu sama sekali tidak menoleh. Bahkan ia bersikap seolah dirinya tidak ada saja.
"Delon," bisik Shila lirih karena tidak ingin ketahuan mengobrol saat sedang belajar. "Loe masih marah ya?"
Delon tidak membalas. Pria itu lebih memilih menyibukan diri dengan catatannya.
"Soal yang tadi sorry deh. Tapi jangan diemin gue gini donk."
Masih tidak ada balasan.
"Gue janji gue nggak akan gitu lagi. Tapi loe jangan marah ya?"
Kali ini Delon menoleh, senyum Shila segera menyambutnya.
"Gue janji gue nggak akan ngeledekin loe kayak tadi. Oke?"
Delon terpaku. Kalau bukan karena ucapan gadis itu barusan, ia bahkan sudah lupa dengan kejadian di kelas tadi. Ia akui, saat ini ia memang sedang kesel, marah, frustasi, tapi bukan itu alasannya.
"Kenapa loe harus perduli gue marah atau enggak?" kalimat Delon terdengar sinis.
Shila tidak lantas menjawab. Delon tidak pernah marah padanya. Baiklah, sebenernya sering. Terutama jika ia dihukum oleh guru karena tidak mengerjakan tugas. Tapi pria itu tidak pernah mendiamkannya, apalagi bersikap sinis. Hal itu tak urung membuat Shila berpikir. Mungkin candaannya tadi memang sudah keterlaluan.
"Jelas aja gue perduli. Loe kan sahabat gue," bisik gadis itu lirih. Bukan hanya karena tak ingin pembicaraan mereka di dengar oleh sang guru, tapi juga karena... akh, entahlah. Yang jelas ia tidak ingin Delon marah padanya.
"Sahabat?" ulang Delon sinis. Belakangan entah mengapa satu kata itu benar benar di bencinya. Terutama jika kalimat itu keluar dari mulut gadis yang kini duduk tepat disampingnya. "Tapi gue nggak mau cuma jadi sahabat loe."
Shila mengangkat wajahnya. Matanya menatap lurus kearah Delon yang kini juga sedang menatapnya. Ada kesunguhan dari tatapan itu. Awalnya Shila merasa kaget, tapi perlahan kesadaran baru muncul. Sebuah senyum mengembang dari sudut bibirnya.
"Emang harusnya gitu kan?"
Gantian Delon yang di buat kaget. Tangapan gadis itu di luar prediksinya. Jadi Shila sama sekali tidak keberatan jika status mereka bukan hanya sebatas sahabat. Mendadak harapan baru muncul. Jangan - jangan gadis itu...
"Mana bisa loe nganggap gue sahabat. Kan kemaren dulu gue juga udah bilang gitu. Karena mulai sekarang kita adalah saingan. Kalau loe nggak mau kalah taruhan, loe harus bisa ngalahin gue."
Pupus. Shila benar - benar adalah sosok yang diluar dugaan. Cukup lama bersama ternyata bukan jaminan baginya untuk mengenali karakter gadis itu. Bagaimana bisa Shila menganggap kalau sikap marahnya karena taruhan konyol mereka. Astaga, ia bahkan sama sekali tidak keberatan jika pada akhirnya Shila lah yang menjadi juaranya.
"Lagian loe nyadar nggak sih," kata Shila, kali ini gadis itu mengucapkannya sambil mencatat karena sekilas ia melihat Pak Seno menoleh kearah mereka. "Selama ini hidup loe itu udah terlalu datar. Terlalu mudah. Loe bisa mendapatkan apa yang loe mau tanpa perlu telalu repot berusaha. Keren, baik, pinter, tinggi, terkenal, kaya. Loe udah punya itu semua. Jadi menurut gue, nggak ada salahnya kalau kini loe punya saingan. Gue yakin hidup loe pasti nanti lebih seru. Loe jadi ngerti gimana rasanya harus berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan apa yang loe punya."
Delon terdiam, ucapan Shila barusan tepat mengenai hatinya. Saingan? Jadi kini ia harus bersaing? Baiklah, itu bukan ide yang buruk. Setidaknya ia masih punya harapan.
"Kalau emang itu mau loe, Oke. Gue setuju. Gue akan bersaing sesuai saran loe. Gue akan berusaha semampu gue untuk jadi pemenangnya."
"Inget, tapi itu bukan hal yang mudah. Secara gue itu sebenernya pinter lho," bisik Shila setengah bercanda.
"Gue akui itu nggak mudah," Delon mengangguk setuju. "Tapi loe juga nggak pinter. Nggak sepintar yang loe bayangkan. Bahkan gue yakin kalau loe cewek bodoh. Cewek paling bodoh yang pernah gue kenal."
Shila mencibir. Kalau bukan karena Pak Seno kini sudah ada didekatnya, ingin sekali ia membalas perkataan pria itu. Enak saja ngatain dia bodoh, belum tau aja tu cowok gimana hasilnya kalau ia benar benar berusaha.
Sementara Delon sendiri juga terdiam. Sekilas ia melirik kearah gadis disampingnya yang sedang mendunduk, sibuk memindahkan tulisan di papan tulis kearah buku catatannya. Melihat keseriusan diwajah itu tak urung membuatnya tersenyum. Dalam hati ia bergumam.
"Gue janji gue akan berusaha Shila. Tapi sayangnya, bukan elo saingannya."
Next to You're My Girl ~ 07
Detail Cerpen
You're My Girl |
"Loe bener juga ya, selain lebih praktis dan hemat. Bawa bekel juga lebih sehat. Loe beruntung banget, nyokap loe pinter masak seenak ini," komentar Shila sambil menutup kotak bekal di hadapannya.
Pas jam istirahat tadi, Alfa menghampirinya. Mengajaknya makan siang sebagai permintaan maaf karena merasa menjadi penyebap luka di kakinya. Gadis itu menduga, ia akan di bawa kekantin. Tapi ternyata Alfa mengajaknya duduk di taman sekolah sembari menikmati bekal bawaannya.
"Loe suka?" tanya Alfa sambil mengamati raut gadis di hadapannya. Pria itu tak mampu menahan senyum ketika secara spontan Shila menganggukan kepalanya.
"Dulu pas gue SMP, gue juga sering bawa bekel masakan nyokap gue. Masakannya itu enak banget. Cuma biasanya sih gue makannya di kelas sendirian," aku gadis itu sambil menunduk.
"Kenapa? Loe takut di mintain temen temen loe ya?"
Shila tersenyum. Alfa segera menyadari kalau itu hanyalah senyum kamuflase belaka. "Dulu gue nggak punya banyak temen."
"Oh ya? Kok bisa?" Alfa tidak menutupi rasa herannya sama sekali. Melihat dari kepribadian Shila yang di kenalnya, sangat aneh jika gadis itu tidak memiliki banyak teman. Dia baik, cantik, dan sepertinya juga asik.
Shila angkat bahu. "Mareka nggak mau temenan sama gue. Karena..." tatapan Shila menerawang. Ia bukan sosok yang gampang terbuka pada orang lain. Tapi di dekat Alfa sepertinya ia bisa bercerita. "Yah, karena bagi mereka hidup gue udah terlalu sempurna. Nyokap bokap gue kaya. Seperti yang loe bilang, gue cantik," Shila tersenyum setengah bercanda kearah Alfa. "Dan otak gue juga pinter. Loe tau, dulu itu sebenernya sejak TK sampai SMP gue selalu juara umum lho. Dan gue selalu jadi kesayangan guru - guru. Gue bahkan jadi ketua OSIS."
"Dan karena itu, temen - temen loe jadi iri dan memilih menjauh," tebak Alfa yang sepertinya mulai mengerti kearah mana pembicaraan itu akan dibawa.
"Hidup itu aneh ya. Giliran guenya pinter, gue di jauhin. Giliran gue bodoh, gue dikatain."
Alfa hanya membalas dengan senyuman, dalam hati tak urung membenarkan.
"Terus kenapa loe sekarang mendadak pengen belajar lagi. Udah bosen di katain?" tanya Alfa setelah beberapa saat keduanya terdiam.
Shila mengeleng. "Gue sama sekali nggak keberatan di katain sama mereka. Seengaknya itu lebih baik dari pada gue di jauhin," sambung gadis itu sambil angkat bahu. "Cuma gue nggak bisa terima aja kalau sampai Delon ikut kena getahnya."
"Delon?"
Kali ini Shila mengangguk. "Cowok yang kemaren nyamperin kita," gadis itu menambahkan. "Yah emang sih tu anak seringnya nyebelin, terus suka ngatur orang seenaknya, bawel juga. Tapi pada dasarnya dia orang baik. Selalu perhatian. Dan dia adalah teman pertama yang gue dapat di sekolah ini. Walaupun dia pinter, terkenal, tapi dia sama sekali nggak keberatan temanan sama gue. Makanya gue jadi nggak rela waktu denger anak anak sering ngatain dia di belakang. Bilang kalau dia bodoh karena mau temenan sama orang kayak gue yang terkenal sebagai siswi paling bodoh."
Ucapan Shila membuat Alfa terdiam. Perlahan diamatinya raut gadis itu saat bercerita. Sampai kemudian sebuah senyum terukir di bibirnya.
"Kalau gitu Delon beneran beruntung ya?"
Kening Shila berkerut saat mendengar komentar pria disampingnya.
"Karena dia punya temen kayak loe," Alfa menambahkan.
Kali ini Shila tertawa. "Emangnya elo enggak? Loe kan temen gue juga."
"Oh iya, gue juga beruntung kalau gitu."
"Eh, udah mau bel tuh. Kekelas yuk," ajak Shila sambil bangkit berdiri. Alfa mengangguk. Kalau tidak ingin terlambat sebaiknya memang mereka harus langsung kekelas.
Sampai dikelas, Shila mengamati sekeliling. Teman - temannya sudah kumpul semua. Tapi ia belum melihat wujudnya Delon. Sejak tu orang pergi karena diledekin, ia memang belum ada bertemu dengannya. Jangan - jangan tu anak masih marah.
Seiring dengan kemunculan Pak Seno, Delon duduk disampingnya. Shila berniat untuk langsung menyapa ketika dilihatnya pria itu sama sekali tidak menoleh. Bahkan ia bersikap seolah dirinya tidak ada saja.
"Delon," bisik Shila lirih karena tidak ingin ketahuan mengobrol saat sedang belajar. "Loe masih marah ya?"
Delon tidak membalas. Pria itu lebih memilih menyibukan diri dengan catatannya.
"Soal yang tadi sorry deh. Tapi jangan diemin gue gini donk."
Masih tidak ada balasan.
"Gue janji gue nggak akan gitu lagi. Tapi loe jangan marah ya?"
Kali ini Delon menoleh, senyum Shila segera menyambutnya.
"Gue janji gue nggak akan ngeledekin loe kayak tadi. Oke?"
Delon terpaku. Kalau bukan karena ucapan gadis itu barusan, ia bahkan sudah lupa dengan kejadian di kelas tadi. Ia akui, saat ini ia memang sedang kesel, marah, frustasi, tapi bukan itu alasannya.
"Kenapa loe harus perduli gue marah atau enggak?" kalimat Delon terdengar sinis.
Shila tidak lantas menjawab. Delon tidak pernah marah padanya. Baiklah, sebenernya sering. Terutama jika ia dihukum oleh guru karena tidak mengerjakan tugas. Tapi pria itu tidak pernah mendiamkannya, apalagi bersikap sinis. Hal itu tak urung membuat Shila berpikir. Mungkin candaannya tadi memang sudah keterlaluan.
"Jelas aja gue perduli. Loe kan sahabat gue," bisik gadis itu lirih. Bukan hanya karena tak ingin pembicaraan mereka di dengar oleh sang guru, tapi juga karena... akh, entahlah. Yang jelas ia tidak ingin Delon marah padanya.
"Sahabat?" ulang Delon sinis. Belakangan entah mengapa satu kata itu benar benar di bencinya. Terutama jika kalimat itu keluar dari mulut gadis yang kini duduk tepat disampingnya. "Tapi gue nggak mau cuma jadi sahabat loe."
Shila mengangkat wajahnya. Matanya menatap lurus kearah Delon yang kini juga sedang menatapnya. Ada kesunguhan dari tatapan itu. Awalnya Shila merasa kaget, tapi perlahan kesadaran baru muncul. Sebuah senyum mengembang dari sudut bibirnya.
"Emang harusnya gitu kan?"
Gantian Delon yang di buat kaget. Tangapan gadis itu di luar prediksinya. Jadi Shila sama sekali tidak keberatan jika status mereka bukan hanya sebatas sahabat. Mendadak harapan baru muncul. Jangan - jangan gadis itu...
"Mana bisa loe nganggap gue sahabat. Kan kemaren dulu gue juga udah bilang gitu. Karena mulai sekarang kita adalah saingan. Kalau loe nggak mau kalah taruhan, loe harus bisa ngalahin gue."
Pupus. Shila benar - benar adalah sosok yang diluar dugaan. Cukup lama bersama ternyata bukan jaminan baginya untuk mengenali karakter gadis itu. Bagaimana bisa Shila menganggap kalau sikap marahnya karena taruhan konyol mereka. Astaga, ia bahkan sama sekali tidak keberatan jika pada akhirnya Shila lah yang menjadi juaranya.
"Lagian loe nyadar nggak sih," kata Shila, kali ini gadis itu mengucapkannya sambil mencatat karena sekilas ia melihat Pak Seno menoleh kearah mereka. "Selama ini hidup loe itu udah terlalu datar. Terlalu mudah. Loe bisa mendapatkan apa yang loe mau tanpa perlu telalu repot berusaha. Keren, baik, pinter, tinggi, terkenal, kaya. Loe udah punya itu semua. Jadi menurut gue, nggak ada salahnya kalau kini loe punya saingan. Gue yakin hidup loe pasti nanti lebih seru. Loe jadi ngerti gimana rasanya harus berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan apa yang loe punya."
Delon terdiam, ucapan Shila barusan tepat mengenai hatinya. Saingan? Jadi kini ia harus bersaing? Baiklah, itu bukan ide yang buruk. Setidaknya ia masih punya harapan.
"Kalau emang itu mau loe, Oke. Gue setuju. Gue akan bersaing sesuai saran loe. Gue akan berusaha semampu gue untuk jadi pemenangnya."
"Inget, tapi itu bukan hal yang mudah. Secara gue itu sebenernya pinter lho," bisik Shila setengah bercanda.
"Gue akui itu nggak mudah," Delon mengangguk setuju. "Tapi loe juga nggak pinter. Nggak sepintar yang loe bayangkan. Bahkan gue yakin kalau loe cewek bodoh. Cewek paling bodoh yang pernah gue kenal."
Shila mencibir. Kalau bukan karena Pak Seno kini sudah ada didekatnya, ingin sekali ia membalas perkataan pria itu. Enak saja ngatain dia bodoh, belum tau aja tu cowok gimana hasilnya kalau ia benar benar berusaha.
Sementara Delon sendiri juga terdiam. Sekilas ia melirik kearah gadis disampingnya yang sedang mendunduk, sibuk memindahkan tulisan di papan tulis kearah buku catatannya. Melihat keseriusan diwajah itu tak urung membuatnya tersenyum. Dalam hati ia bergumam.
"Gue janji gue akan berusaha Shila. Tapi sayangnya, bukan elo saingannya."
Next to You're My Girl ~ 07
Detail Cerpen
- Judul : You're My Girl
- Penulis : Ana Merya
- Twitter : @ana_merya
- Panjang Cerita : 1. 262 Words
- Genre : Remaja
Saran dari gue daripada di post ke blog, mending kamu ngepost di wattpad. Di sana pembacanya banyak loh. Dari berbagai genre lagi :)
ReplyDeleteKeren dah.... Tapi kebanyakan sambung menyambung, hehe...
ReplyDelete