Cerpen Remaja Terbaru "That Girl is mine" ~ 06
Hallo felas, admin muncul lagi nih. Masih nungguin lanjutan dari cerpen That Girl is mine kah? Kebetulan part 6 udah bisa langsung di nikmati. Seperti biasa, biar nyambung sama jalan ceritanya bagusan kalau baca dulu bagian sebelumnya disini.
"Sampai kapan loe mau ngikutin gue sih?!"
Airi tidak bercanda. Ia benar benar kesel melihat Kei yang kini duduk santai di sampingnya. Padahal ia sudah menuruti saran pria itu. Ia sudah meminta izin pada managernya untuk istriahat hari ini. Dan manager juga langsung setuju. Apalagi selama bekerja Airi memang belum pernah alpa. Namun begitu, kenapa pria itu masih duduk disampingnya.
"Gue mau nganterin loe pulang."
Airi mencibir. "Akh, gue terharu," nyinyirnya. Kei hanya angkat bahu. Dan sepanjang perjalanan kembali diisi dengan keheningan.
Begitu turun dari halte, Airi menghela nafas. Kostannya masih jauh masuk kelorong. Ditambah dengan kondisi kakinya saat ini, jadi terasa makin jauh.
"Loe nggak akan sefrustasi ini kalau seandainya loe mau gue antar pake motor."
Airi menoleh. Hampir saja ia lupa kalau masih ada Kei di sampingnya jika tidak mendengar komentar dari pria itu barusan. Melihat tatapan pria itu, Airi segera membuang pandangan. Nggak sudi banget dia. Namun begitu ia sedikit heran. Kei tadi berangkat pake motor, terus sekarang mengikutinya pake bus. Jangan bilang kalau motornya di tinggal.
"Motor gue terpaksa gue tinggal karena gue tau loe nggak mau gue anterin."
Seolah bisa membaca pikirannya, Kei menjawab tanpa di tanya. Membuat Airi hanya mendengus kesel. Ia sudah bersiap akan melangkah turun dari halte untuk langsung pulang ketika sebuah pemikiran baru muncul di benaknya.
"Kenapa?" tanya Kei heran.
Airi tidak menjawab. Bersikap seolah Kei tidak ada di dekatnya. Sebaliknya ia mengedarkan pandangan kesekeliling. Tak jauh dari halte ada pangkalan ojek. Dan sepertinya juga banyak abang abang tukang ojek yang sedang mangkal. Melihat itu tak urung Airi tersenyum. Rumahnya tidak terlalu jauh, ditawar 5.000 an juga bisa, atau paling mahal 10.000 juga boleh. Dari pada kakinya makin sakit.
"Loe mau kemana?" langkah Airi menjadi tertahan ketika Kei tiba tiba menahan tangannya.
"Loe apa banget sih," geram Airi sambil menepis tangan Kei. "Gue mau pulang naik ojek. Kenapa rupanya?"
"Nggak bisa!" kali ini Kei berdiri tepat di depan Airi. Menghalangi gadis itu untuk melangkah.
"Loe nolak bareng gue pake motor yang jelas lebih bagus, tapi loe malah niat mau naik ojek. Gue ngerasa terhina tau nggak sih."
"Ya bagus donk. Gue malah seneng kalau loe emang ngerasa gitu," Airi berniat untuk melangkah, tapi Kei masih tidak memberinya jalan. Bahkan kini pria itu menatapnya tajam. Tapi Airi sama sekali tidak takut. Tidak ada alasan untuknya merasa takut.
"Mending loe gue gendong."
Airi melotot. Ide gila. Digendong sama Kei? Sampai lebaran monyet juga dia nggak akan sudi.
Kei sendiri hanya menatapnya sesaat, baru kemudian turun dari halte dan berbalik. "Ayo naik," ujar Kei sambil menepuk - nebuk pundaknya.
Airi memutar mata. Dosa apa dia sampai harus berurusan sama orang kayak gini. Tak ingin meladeninya Airi kembali menoleh kearah pangkalan ojek. Tak perlu berpikir lama tangannya segera melambai sembari mulutnya berteriak nyaring. "Bang, ojek bang."
Menyadari Airi sama sekali tidak mendengarkan perintahnya, Kei berbalik. Matanya menatap tajam kearah gadis yang sedari tadi ia temanni. Tapi Airi sama sekali tidak menoleh. Justru malah ia memberikan perhatian kearah tukang ojek yang kini sudah menghampiri.
"Ojek neng?" tanya abang tukang ojek yang kini telah tiba.
"Iya bang. Deket kok. Kecendana depan ini aja. Biasanya juga jalan kaki. Cuma kebetulan lagi sakit."
Abang tukang ojek mengangguk sambil mengamati kaki Airi. Baru kemudian kembali menatap lawan bicaranya.
"Kemana neng?"
"Cendana tahap satu nomor satu kosong satu," balas Airi cepat. "Lima ribu bisa yang bang?" sambung Airi lagi.
"50.000 tapi dua motor. Dan motornya saya yang bawa. Boleh ya bang?"
Tak hanya Airi, abang tukang ojek kini juga mengalihkan tatapannya kearah Kei. Dilain sisi, pria itu hanya angkat bahu sambil menyodorkan selembar uang limapuluh ribuan.
"Tenang bang. Saya udah biasa pake motor kok. Cuma kebetulan hari ini aja enggak. Entar juga kan abang ikutin sama temennya. Lumayan deket tapi 50 ribu bisa di bagi dua. Gimana? Lagian, saya cuma nggak mau pacar saya di bonceng cowok lain aja. Biasalah bang, namanya juga anak muda," tawar Kei sambil tersenyum.
"Boleh deh," abang tukang ojek tersebut langsung setuju. Segera di panggilanya temannya untuk mendekat.
"Loe apa banget sih," geram Airi. Ia sudah tidak tahan, Kei memang sosok yang suka seenaknya.
"Salah sendiri, di anterin gue nggak mau. Di gendong, nolak. Sekarang ayo naik."
Airi tentu saja menolak melakukan hal itu kalau saia ia bisa. Sayangnya, Kei sudah terlebih dahulu menariknya mendekat. Membisikan kata tepat di telinganya "Atau kalau loe masih menolak, gue cium loe sekarang."
Mata Airi membulat sempurana. Ragu kalau ada sosok lain yang lebih resek dari Kei. Pada akhirnya ia lebih memilih manut. Bukan saja karena bisikan kurang ajar Kei barusan, tapi karena ia pikir. Semakin cepat ia pulang semakin baik untuk jantungnya.
"Ma kasih ya bang," kata Kei begitu menyerahkan kunci motor kepada tukang ojek yang sedari tadi mengikutinya. Setelah mengiyakan, tukang ojek itu langsung pergi meninggalkan Airi dan Kei yang masih berdiri di depan gerbang.
"Loe kenapa nggak sekalian pulang, gue kan sudah sampe," usir Airi tanpa tedeng aling
"Dan jangan harap gue nawarin loe masuk. Tuh, loe sendiri bisa liat kan?" sambung Airi lagi. Tangannya menujuk kearah tulisan yang di tempel oleh ibu kost ditembok samping pintu. "Kostan Khusus Putri"
"Oke kalau gitu. Gue pulang dulu, dan loe..." Airi refleks memundurkan wajahnya sambil menelan ludah, hanya wajah karena ia tidak mau mengerakan kakinya yang sakit. Lagi, pula Kei kebiasan banget kalau ngomong pake mendekatkan diri. Memangnya ia budek. "Pastikan nggak akan terluka lagi. Ngerti," selesai berkata Kei balik kanan. Berjalan menjauh meninggalkan Airi yang masih mematung di tempat.
Selama pelajaran berlangsung, Airi sama sekali tidak bisa konsentrasi. Pikirannya sibuk melalang buana. Ia masih tidak habis pikir dengan tingkah laku aneh dari si Kei Takesima. Sudah hampir seminggu ini pria tersebut membuatnya risih. Selalu mengekor kemanapun ia berada. Tak hanya Iris dan Kiara yang tidak percaya ketika ia katakan bahwa ia sama sekali tidak punya hubungan dengan pria itu, bahkan rekan rekan kerjanya juga. Membuatnya makin frustasi.
"Hufh," Airi menghembuskan nafas kesel. Bahkan tanpa sadar tangannya mendorong bukunya dengan gaya super lebay. Dalam hati ia memaki Kei, semua itu gara gara dia. Sampai kemudian tiba - tiba ia merasakan perutnya disikut. Dengan heran ia menoleh kearah Kiara, sahabatnya itu kini juga sedang menatapnya dengan cara yang sama.
"Ada apa Airi? Apa pelajaran ibu terasa membosankan?"
"Eh?" Airi menoleh. Tatapan Ibu Sitah, guru bahasa Indonesianya kini sedang terhunjam kepada dirinya. Bahkan teman teman yang lain juga. Membuat Airi makin kelabakan. Bisa - bisanya ia lupa kalau saat ini ia sedang berada di kelas.
"Eh enggak buk. Maaf," Airi terlihat serba salah.
Bu Sitah masih menatapnya. Airi sendiri hanya menunduk malu sehingga gadis itu tidak menyadari ketika gurunya tampak memutar mata sembari mengelengkan kepala akan tingkahnya. Namun begitu, ia tidak mempermasalahkan lagi hal itu. Terbukti dengan penjelasan soal pelajaran yang kembali ia lontarkan. Setelah memastikan kalau gurunya sudah tidak lagi meperhatikan dirinya barulah Airi berani mengangkat wajah.
"Loe kenapa sih? Kacau banget perasaan?" tanya Iris. Bukannya menarik bangkunya mendekat, gadis itu justru dengan santai duduk diatas meja Airi. Waktu istirahat sudah tiba. Jadi tidak ada guru yang akan melarangnya melakukan tindakan tidak sopan itu. Lebih tepatnya bukan karena waktu istirahat, tapi kebetulan tidak ada guru yang melihat.
"Ini semua itu gara gara Kei tau nggak"
"Kei?" ulang Iris. Kepalanya menoleh kearah Kiara, mencari tau apakah sahabatnya sudah mendapatkan info lebih lengkap. Tapi tatapan heran yang diberikan sudah cukup untuk menjadi petunjuk bahwa gadis itu juga sama sepertinya. Sama sama tidak tahu.
"Emangnya tu anak mau apa?" Kiara ikut menambahkan ketika melihat Airi yang masih bungkam.
"Itu dia yang bikin gue bingung. Maunya dia apa sih sebenernya? Perasaan ngerecokin gue mulu. Malah kalian tau nggak, dia sampe sampe ngekorin gue ke tempat kerja gue segala."
"Oh ya?" wajah Iris tampak berbinar. Tanpa di perintah ia segera turun dari atas meja, menarik kursinya mendekat kearah Airi _ sesuatu yang harusnya ia lakukan sejak awal _ menatap kearah sahabatnya penuh minat. "Jangan - jangan bener lagi dia suka sama loe?" sambung Iris.
Airi menatapnya sekilas, baru kemudian memutar mata. Kalimat Iris barusan tak urung mengingatkanya pada pengakuan Kei beberapa waktu yang lalu. Memang sih pria itu terang terangan mengatakan kemungkinan itu. Tapi tetap, ia menolak mentah mentah untuk percaya.
"Gue curiga dia mau ngerjain gue deh."
"Lho, kenapa loe mikir gitu?"
Airi mengeleng tanpa jawaban dengan pikiran yang makin melayang. Ia tidak tau kenapa ia bisa berpikir begitu, hanya saja ide itu tiba tiba terlintas di kepalanya. Mungkin isarat dari hatinya. Ia juga tidak tahu.
"Udah deh, loe jangan berprasangka buruk gitu. Inget, sebagian dari prasangka itu dosa," Kiara sok member nasehat. "Dari pada loe pusing, kenapa nggak loe nikmatin aja. Secara loe nyadar nggak sih. Loe itu udah berhasil membuat hampir seluruh penghuni sekolah kita iri. Kan loe tau sendiri, Kei itu idola. Banyak banget yang berusaha bisa deket sama dia tau taunya malah doi nempelnya ke elo," imbuhnya lagi.
"Gue setuju," Iris membenarkan.
Sementara Airi hanya mampu melemparkan pandang secara bergantian kepada kedua sahabatnya dengan tatapan lelah. Percuma ia bercerita panjang lebar, kedua gadis itu tidak akan mengerti. Secara bagaimana bisa ia nikmati kalau keberadaan Kei saja sudah cukup membuatnya gusar. Akhirnya, tanpa kata ia bangkit berdiri. Sebelum jam istirahat selesai, sebaiknya ia mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Siapa tau dengan menikmati es gunung yang menjadi salah satu menu andalan di kantinnya bisa membantu.
Sempat saling pandang tidak mengerti, Iris dan Kiara tetap di tempat. Membiarkan sahabatnya berlalu begitu saja. Tanpa kata keduanya kompakan untuk tinggal di kelas. Melanjutkan obrolan lebih lanjut berdua.
Next Cerbung That Girl is Mine Part 7
Detail Cerbung
"Sampai kapan loe mau ngikutin gue sih?!"
Airi tidak bercanda. Ia benar benar kesel melihat Kei yang kini duduk santai di sampingnya. Padahal ia sudah menuruti saran pria itu. Ia sudah meminta izin pada managernya untuk istriahat hari ini. Dan manager juga langsung setuju. Apalagi selama bekerja Airi memang belum pernah alpa. Namun begitu, kenapa pria itu masih duduk disampingnya.
"Gue mau nganterin loe pulang."
Airi mencibir. "Akh, gue terharu," nyinyirnya. Kei hanya angkat bahu. Dan sepanjang perjalanan kembali diisi dengan keheningan.
Begitu turun dari halte, Airi menghela nafas. Kostannya masih jauh masuk kelorong. Ditambah dengan kondisi kakinya saat ini, jadi terasa makin jauh.
"Loe nggak akan sefrustasi ini kalau seandainya loe mau gue antar pake motor."
Airi menoleh. Hampir saja ia lupa kalau masih ada Kei di sampingnya jika tidak mendengar komentar dari pria itu barusan. Melihat tatapan pria itu, Airi segera membuang pandangan. Nggak sudi banget dia. Namun begitu ia sedikit heran. Kei tadi berangkat pake motor, terus sekarang mengikutinya pake bus. Jangan bilang kalau motornya di tinggal.
"Motor gue terpaksa gue tinggal karena gue tau loe nggak mau gue anterin."
Seolah bisa membaca pikirannya, Kei menjawab tanpa di tanya. Membuat Airi hanya mendengus kesel. Ia sudah bersiap akan melangkah turun dari halte untuk langsung pulang ketika sebuah pemikiran baru muncul di benaknya.
"Kenapa?" tanya Kei heran.
Airi tidak menjawab. Bersikap seolah Kei tidak ada di dekatnya. Sebaliknya ia mengedarkan pandangan kesekeliling. Tak jauh dari halte ada pangkalan ojek. Dan sepertinya juga banyak abang abang tukang ojek yang sedang mangkal. Melihat itu tak urung Airi tersenyum. Rumahnya tidak terlalu jauh, ditawar 5.000 an juga bisa, atau paling mahal 10.000 juga boleh. Dari pada kakinya makin sakit.
"Loe mau kemana?" langkah Airi menjadi tertahan ketika Kei tiba tiba menahan tangannya.
"Loe apa banget sih," geram Airi sambil menepis tangan Kei. "Gue mau pulang naik ojek. Kenapa rupanya?"
"Nggak bisa!" kali ini Kei berdiri tepat di depan Airi. Menghalangi gadis itu untuk melangkah.
"Loe nolak bareng gue pake motor yang jelas lebih bagus, tapi loe malah niat mau naik ojek. Gue ngerasa terhina tau nggak sih."
"Ya bagus donk. Gue malah seneng kalau loe emang ngerasa gitu," Airi berniat untuk melangkah, tapi Kei masih tidak memberinya jalan. Bahkan kini pria itu menatapnya tajam. Tapi Airi sama sekali tidak takut. Tidak ada alasan untuknya merasa takut.
"Mending loe gue gendong."
Airi melotot. Ide gila. Digendong sama Kei? Sampai lebaran monyet juga dia nggak akan sudi.
Kei sendiri hanya menatapnya sesaat, baru kemudian turun dari halte dan berbalik. "Ayo naik," ujar Kei sambil menepuk - nebuk pundaknya.
Airi memutar mata. Dosa apa dia sampai harus berurusan sama orang kayak gini. Tak ingin meladeninya Airi kembali menoleh kearah pangkalan ojek. Tak perlu berpikir lama tangannya segera melambai sembari mulutnya berteriak nyaring. "Bang, ojek bang."
Menyadari Airi sama sekali tidak mendengarkan perintahnya, Kei berbalik. Matanya menatap tajam kearah gadis yang sedari tadi ia temanni. Tapi Airi sama sekali tidak menoleh. Justru malah ia memberikan perhatian kearah tukang ojek yang kini sudah menghampiri.
"Ojek neng?" tanya abang tukang ojek yang kini telah tiba.
"Iya bang. Deket kok. Kecendana depan ini aja. Biasanya juga jalan kaki. Cuma kebetulan lagi sakit."
Abang tukang ojek mengangguk sambil mengamati kaki Airi. Baru kemudian kembali menatap lawan bicaranya.
"Kemana neng?"
"Cendana tahap satu nomor satu kosong satu," balas Airi cepat. "Lima ribu bisa yang bang?" sambung Airi lagi.
"50.000 tapi dua motor. Dan motornya saya yang bawa. Boleh ya bang?"
Tak hanya Airi, abang tukang ojek kini juga mengalihkan tatapannya kearah Kei. Dilain sisi, pria itu hanya angkat bahu sambil menyodorkan selembar uang limapuluh ribuan.
"Tenang bang. Saya udah biasa pake motor kok. Cuma kebetulan hari ini aja enggak. Entar juga kan abang ikutin sama temennya. Lumayan deket tapi 50 ribu bisa di bagi dua. Gimana? Lagian, saya cuma nggak mau pacar saya di bonceng cowok lain aja. Biasalah bang, namanya juga anak muda," tawar Kei sambil tersenyum.
"Boleh deh," abang tukang ojek tersebut langsung setuju. Segera di panggilanya temannya untuk mendekat.
"Loe apa banget sih," geram Airi. Ia sudah tidak tahan, Kei memang sosok yang suka seenaknya.
"Salah sendiri, di anterin gue nggak mau. Di gendong, nolak. Sekarang ayo naik."
Airi tentu saja menolak melakukan hal itu kalau saia ia bisa. Sayangnya, Kei sudah terlebih dahulu menariknya mendekat. Membisikan kata tepat di telinganya "Atau kalau loe masih menolak, gue cium loe sekarang."
Mata Airi membulat sempurana. Ragu kalau ada sosok lain yang lebih resek dari Kei. Pada akhirnya ia lebih memilih manut. Bukan saja karena bisikan kurang ajar Kei barusan, tapi karena ia pikir. Semakin cepat ia pulang semakin baik untuk jantungnya.
"Ma kasih ya bang," kata Kei begitu menyerahkan kunci motor kepada tukang ojek yang sedari tadi mengikutinya. Setelah mengiyakan, tukang ojek itu langsung pergi meninggalkan Airi dan Kei yang masih berdiri di depan gerbang.
"Loe kenapa nggak sekalian pulang, gue kan sudah sampe," usir Airi tanpa tedeng aling
"Dan jangan harap gue nawarin loe masuk. Tuh, loe sendiri bisa liat kan?" sambung Airi lagi. Tangannya menujuk kearah tulisan yang di tempel oleh ibu kost ditembok samping pintu. "Kostan Khusus Putri"
"Oke kalau gitu. Gue pulang dulu, dan loe..." Airi refleks memundurkan wajahnya sambil menelan ludah, hanya wajah karena ia tidak mau mengerakan kakinya yang sakit. Lagi, pula Kei kebiasan banget kalau ngomong pake mendekatkan diri. Memangnya ia budek. "Pastikan nggak akan terluka lagi. Ngerti," selesai berkata Kei balik kanan. Berjalan menjauh meninggalkan Airi yang masih mematung di tempat.
Selama pelajaran berlangsung, Airi sama sekali tidak bisa konsentrasi. Pikirannya sibuk melalang buana. Ia masih tidak habis pikir dengan tingkah laku aneh dari si Kei Takesima. Sudah hampir seminggu ini pria tersebut membuatnya risih. Selalu mengekor kemanapun ia berada. Tak hanya Iris dan Kiara yang tidak percaya ketika ia katakan bahwa ia sama sekali tidak punya hubungan dengan pria itu, bahkan rekan rekan kerjanya juga. Membuatnya makin frustasi.
"Hufh," Airi menghembuskan nafas kesel. Bahkan tanpa sadar tangannya mendorong bukunya dengan gaya super lebay. Dalam hati ia memaki Kei, semua itu gara gara dia. Sampai kemudian tiba - tiba ia merasakan perutnya disikut. Dengan heran ia menoleh kearah Kiara, sahabatnya itu kini juga sedang menatapnya dengan cara yang sama.
"Ada apa Airi? Apa pelajaran ibu terasa membosankan?"
"Eh?" Airi menoleh. Tatapan Ibu Sitah, guru bahasa Indonesianya kini sedang terhunjam kepada dirinya. Bahkan teman teman yang lain juga. Membuat Airi makin kelabakan. Bisa - bisanya ia lupa kalau saat ini ia sedang berada di kelas.
"Eh enggak buk. Maaf," Airi terlihat serba salah.
Bu Sitah masih menatapnya. Airi sendiri hanya menunduk malu sehingga gadis itu tidak menyadari ketika gurunya tampak memutar mata sembari mengelengkan kepala akan tingkahnya. Namun begitu, ia tidak mempermasalahkan lagi hal itu. Terbukti dengan penjelasan soal pelajaran yang kembali ia lontarkan. Setelah memastikan kalau gurunya sudah tidak lagi meperhatikan dirinya barulah Airi berani mengangkat wajah.
"Loe kenapa sih? Kacau banget perasaan?" tanya Iris. Bukannya menarik bangkunya mendekat, gadis itu justru dengan santai duduk diatas meja Airi. Waktu istirahat sudah tiba. Jadi tidak ada guru yang akan melarangnya melakukan tindakan tidak sopan itu. Lebih tepatnya bukan karena waktu istirahat, tapi kebetulan tidak ada guru yang melihat.
"Ini semua itu gara gara Kei tau nggak"
"Kei?" ulang Iris. Kepalanya menoleh kearah Kiara, mencari tau apakah sahabatnya sudah mendapatkan info lebih lengkap. Tapi tatapan heran yang diberikan sudah cukup untuk menjadi petunjuk bahwa gadis itu juga sama sepertinya. Sama sama tidak tahu.
"Emangnya tu anak mau apa?" Kiara ikut menambahkan ketika melihat Airi yang masih bungkam.
"Itu dia yang bikin gue bingung. Maunya dia apa sih sebenernya? Perasaan ngerecokin gue mulu. Malah kalian tau nggak, dia sampe sampe ngekorin gue ke tempat kerja gue segala."
"Oh ya?" wajah Iris tampak berbinar. Tanpa di perintah ia segera turun dari atas meja, menarik kursinya mendekat kearah Airi _ sesuatu yang harusnya ia lakukan sejak awal _ menatap kearah sahabatnya penuh minat. "Jangan - jangan bener lagi dia suka sama loe?" sambung Iris.
Airi menatapnya sekilas, baru kemudian memutar mata. Kalimat Iris barusan tak urung mengingatkanya pada pengakuan Kei beberapa waktu yang lalu. Memang sih pria itu terang terangan mengatakan kemungkinan itu. Tapi tetap, ia menolak mentah mentah untuk percaya.
"Gue curiga dia mau ngerjain gue deh."
"Lho, kenapa loe mikir gitu?"
Airi mengeleng tanpa jawaban dengan pikiran yang makin melayang. Ia tidak tau kenapa ia bisa berpikir begitu, hanya saja ide itu tiba tiba terlintas di kepalanya. Mungkin isarat dari hatinya. Ia juga tidak tahu.
"Udah deh, loe jangan berprasangka buruk gitu. Inget, sebagian dari prasangka itu dosa," Kiara sok member nasehat. "Dari pada loe pusing, kenapa nggak loe nikmatin aja. Secara loe nyadar nggak sih. Loe itu udah berhasil membuat hampir seluruh penghuni sekolah kita iri. Kan loe tau sendiri, Kei itu idola. Banyak banget yang berusaha bisa deket sama dia tau taunya malah doi nempelnya ke elo," imbuhnya lagi.
"Gue setuju," Iris membenarkan.
Sementara Airi hanya mampu melemparkan pandang secara bergantian kepada kedua sahabatnya dengan tatapan lelah. Percuma ia bercerita panjang lebar, kedua gadis itu tidak akan mengerti. Secara bagaimana bisa ia nikmati kalau keberadaan Kei saja sudah cukup membuatnya gusar. Akhirnya, tanpa kata ia bangkit berdiri. Sebelum jam istirahat selesai, sebaiknya ia mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Siapa tau dengan menikmati es gunung yang menjadi salah satu menu andalan di kantinnya bisa membantu.
Sempat saling pandang tidak mengerti, Iris dan Kiara tetap di tempat. Membiarkan sahabatnya berlalu begitu saja. Tanpa kata keduanya kompakan untuk tinggal di kelas. Melanjutkan obrolan lebih lanjut berdua.
Next Cerbung That Girl is Mine Part 7
Detail Cerbung
- Judul Cerbung : That Girl is Mine
- Penulis : Ana Merya
- Twitter : @ana_merya
- Fanpage : Star night
- Genre : Cerbung, Cerpen Remaja
- Status : Ongoing
- Words : 1.561 Kata
kapan nihh kak lanjutan ceritanya???
ReplyDeleteseharian full q bca semua yg ada di dftar isi,, uhhhh suka bngett..
jadi baper bacanya sambil snyum" sndiri..
hhehe,, maaf klo lebay..
LOL. ����
Kalau part 7 kayaknya udah nongol deh.
DeleteUntuk part 8, sekarang masih otw alias di draf dulu.
Kali aja nanti ujug ujug ide berubah... #ekh