Cerpen Remaja Terbaru "That Girl is mine" ~ 09
Mumpung ada waktu, akhirnya bisa ngetik lanjutan dari cerpen Remaja That Girl is mine juga. Tolong, jangan ngeluh pendek ya. Secara ngetiknya butuh perjuangan yang sedikit lebih ekstra dari biasanya. Ck, kesian deh gue. Nah, buat yang penasaran bisa langsung lanjut baca ke bawah. Untuk reader baru, bagusan kalau baca dulu bagian sebelumnya disini. Happy reading guys.
Entah berlama lama Airi tengelam menatap kearah lapangan sekolah lewat jendela yang berada tepat di sampingnya. Matanya mengikuti tingkah teman temannya yang berlarian sembari mengejar bola untuk kemudian di tendang jauh jauh guna menciptakan gol. Sementara telinganya sendiri ia tutup dengan headset, suara merdu Taylor swift terdengar mengalun indah. Tak jarang, bibir Airi ikut melantunkan beberapa bait yang ia tau.
"Aduh," Airi mengusap kepalanya sambil mengalihkan tatapannya dari lapangan kearah sebuah penghabus yang baru saja mengelinding di bawah meja. Baru kemudian kepalanya refleks menoleh kearah belakang sembari tanganya melepaskan headset. Tatapan tajam segera ia lemparkan kearah Dika, rekan sekelasnya yang duduk di belakang yang ia yakini sebagai pelaku kezoliman pelemparan penghabus. Terlebih ketika jelas ia melihat cengiran tak bersalah di wajah pria itu. Airi dalam hati merutuk, sejak kapan penghapus bisa di jadikan sarana berkomunikasi?
"Anak perawan dilarang melamun. Awas, ntar jodohnya jauh lho."
"Apaan sih loe Dik, garing banget," kesel Airi sambil balik melemparkan penghapusnya. Berharap lemparannya bisa mengenai kepala Dika. Lagian hari gini ngomongin ngaco. Pake bawa bawa jodoh lagi.
"Nggak papa garing, yang penting ganteng."
Airi mencibir. Dika ganteng? Itu fitnah paling kejam yang ia dengar. Belum sempat ia membalas, Dika sudah terlebih dahulu kembali buka mulut.
"Dicariin pacar loe tuh?"
Airi mengernyit, Pacar? Emangnya sejak kapan dia punya. Dika yang melihat ekpresi bingungnya hanya memberi isarat pada Airi untuk menoleh ke luar. Bukannya mengerti, Airi justru makin bingung ketika mendapati sosok Kei yang entah sejak kapan berdiri menyender di pintu kelasnya sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya sendiri menatap lurus kearah Airi.
Mengabaikan tatapan Kei, Airi kembali mengalihkan pandangannya kearah Dika.
"Gue nggak punya pacar!"
Tak perlu menunggu kalimat balasan dari Dika, Airi kembali memasangkan headset di kedua telingannya. Baru kemudian tangannya meraih novel di dalam laci meja. Novel terbaru yang ia pinjam di tempat kerja barunya. Selang beberapa saat ia tengelam dalam bacaannya.
Konsentrasi Airi yang sedang asik membaca terpecah ketika menyadari kehadiaran seseorang yang duduk di sampingnya. Tak hanya itu, bahkan dengan semena mena headset di telinga kanannya di lepas. Gadis itu hanya mampu memutar mata ketika menyadari siapa yang melakukannya.
"Mau loe apa sih Kei?"
"Kenapa loe menghindari gue?"
Airi mengernyit. Itu bukan jawaban!
"Gue nggak ngerti loe ngomong apaan. Yang jelas mendingan pergi deh. Gue males banget liat muka loe."
"Jadi bener loe ngehindarin gue?"
Sejenak Airi menghela nafas. Di tutupnya Novel yang baru sebentar ia baca dengan keras. Sengaja memberikan efek dramatis pada sosok di sampingnya agar ia tau bahwa Airi merasa terganggu. Kepalanya menoleh kearah Kei yang duduk tepat di sampingnya.
"Kenapa gue harus menghindar dari loe?"
"Itu yang dari tadi gue tanyain," balas Kei balik. Bahkan Airi belum sempat membantah ia lebih dahulu menambahkan. "Gue beberapa kali datang ke tempat kerja loe, tapi nggak pernah ketemu. Dua hari yang lalu malah temen kerja loe bilang kalau loe udah nggak kerja lagi di sana. Di sekolah, gue juga nggak pernah liat loe kumpul bersama kedua sahabat loe itu. Beberapa kali gue samperin kekelas. Loe juga nggak ada. Gue pernah nungguin loe di halte, loe bahkan nggak nongol. Loe kemana?"
Airi melongo. Bukan saja karena fakta dari pengakuan Kei barusan, tapi juga karena ia sama sekali tidak menyangka kalau pria itu akan mencari dirinya sampai sebegitunya. Oke, baiklah ia ralat. Airi tau kalau Kei pasti akan mencarinya. Itu kan memang hal yang sering di lakukan oleh Kei terhitung sejak pria itu membantunya saat malam malam Airi berurusan dengan preman. Tapi terus terang Airi merasa risih. Apalagi setelah seminggu yang lalu ia tidak sengaja mendapati Kei yang kedapatan jalan bareng bersama seorang gadis yang ia yakini sebagai kekasihnya. Udah jelas jelas punya pacar, masih sok sokan ngejar dirinya. Oh, Airi tidak merasa cemburu. Tidak sama sekali. Sudah ia katakan bukan ia merasa risih. Itulah kenapa Airi memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengan Kei. Butuh usaha ekstra memang.Tapi buktinya ia berhasil. Terbukti dengan pengakuan dari pria itu barusan. Sekedar info, Airi memang sudah pindah kerja. Rekan kosnya menawarinya untuk bekerja di perpustakaan. Kebetulan jam dan tempatnya berada di sekitar kompleks tempat tinggalnya. Makanya ia setuju, hitung hitung hemat di ongkos sekalian ia juga bisa ikutan baca baca gratis.
"Kenapa malah bengong?" tanya Kei dengan sebelah alis terangkat.
Airi berkedip baru kemudian mengalihkan pandangan sembari mencibir. "Loe satpam ya sampe gue harus laporan ke elo gitu?"
"Bisa nggak sih, loe jawab pertanyaan gue bukannya balik nanya?"
"Enggak!" kata Airi datar. Ia sudah banyak belajar. Ngadepin manusia tipe tipe kayak Kei nggak bisa pake emosi, yang ada ia justru malah lebih emosi lagi. "Lagian ngapain sih loe nyariin gue. Udah punya pacar juga."
Kali ini Kei tidak segera menjawab. Pria itu tampak mencerna ucapan gadis di sampingnya. Beberapa saat kemudian sebuah senyum sama mangkir di bibir. "Jadi selama ini loe menghindar dari gue karena cemburu?"
"Duak"
"Aduh!" keluh kesakitan terdengar dari mulut Kei. Airi sendiri hanya menatapnya tajam tanpa merasa bersalah sama sekali karena baru saja menjadikan novel yang sedari tadi ia baca sebagai senjata untuk memukul kepala Kei. Sepertinya usahanya untuk bersikap datar akan percuma. Ia harus ganti nama jika berharap Kei tidak akan memancing emosinya. Apa tadi dia bilang, cemburu?
"Ngaca please. Emang siapa elo!" kesel Airi. "Ngaco aja bilang gue cemburu. Gue itu risih. Denger ya, RISIH! Loe yang single aja gue ogah, apalagi kalau udah punya pacar. Dan lagi...."
"Dia bukan pacar gue," potong Kei sebelum Airi sempat menyelesaikan ucapannya. "Dia sepupu gue yang kebetulan kemaren liburan kesini. Makanya gue temenin."
"Bodo. Nggak ada urusannya sama gue. Kenapa juga loe harus cape cape jelasin."
"Karena gue nggak mau loe ngindarin gue lagi. Sumpah Ar, dihindari sama orang yang kita suka itu rasanya nggak enak."
Mulut Airi sudah terbuka untuk membalas. Tapi kembali ia tutup lagi. Ia sendiri bingung mau ngomong apa. Malahan ia jadi merasa sangsi. Beneran nih pria yang duduk di sampingnya adalah sosok yang selama ini terkenal dingin?
"Jadi please, jangan gitu lagi ya. Gue nggak bisa kalau nggak ngeliat loe," sambung Kei sambil berdiri. Tangannya terulur mengusap kepala Airi dengan lembut. Tak lupa senyum manis ia pamerkan diwajahnya. Baru kemudian berlalu pergi.
Airi masih terpaku. Bahkan ia sama sekali tidak menyadari teman temannya sudah masuk kedalam kelas karena bel tanda istirahat berakhir telah terdengar. Bahkan Keira dan Iris sudah duduk manis di bangkunya.
"Airi, loe kenapa? Kesambet?"
"Eh?" Airi menoleh. Seperti orang linglung ia menatap keseliling. Kaget ketika menyadari kelasnya telah penuh. Apalagi Keira kini sedang menatapnya heran. Bahkan Iris juga.
"Jantung gue kenapa?" gumam Airi lirih. Tangannya sendiri kini terangkat menyentuh dada kirinya. Merasakan debaran jantungnya yang masih tidak berdetak senormal biasanya. Ini, aneh.
"Airi, loe sakit?" kali ini Kiara bertanya dengan raut cemas. Terlebih wajah Airi terlihat sedikit pucat.
Dengan cepat Airi mengeleng. Baru kemudian memberikan senyum paksa kearah Keira dan meminta sahabatnya untuk menatap kedepan kelas dimana Ibu Handini sudah berdiri disana. Walau terlihat tidak puas, tak urung Keira mengangguk. Iris sendiri hanya angkat bahu baru kemudian ikut mengeluarkan buku dari dalam laci mejanya. Bersiap untuk melanjutkan pelajaran.
Next Cerbung That Girl is Mine Part 10
Detail Cerbung
Entah berlama lama Airi tengelam menatap kearah lapangan sekolah lewat jendela yang berada tepat di sampingnya. Matanya mengikuti tingkah teman temannya yang berlarian sembari mengejar bola untuk kemudian di tendang jauh jauh guna menciptakan gol. Sementara telinganya sendiri ia tutup dengan headset, suara merdu Taylor swift terdengar mengalun indah. Tak jarang, bibir Airi ikut melantunkan beberapa bait yang ia tau.
"Aduh," Airi mengusap kepalanya sambil mengalihkan tatapannya dari lapangan kearah sebuah penghabus yang baru saja mengelinding di bawah meja. Baru kemudian kepalanya refleks menoleh kearah belakang sembari tanganya melepaskan headset. Tatapan tajam segera ia lemparkan kearah Dika, rekan sekelasnya yang duduk di belakang yang ia yakini sebagai pelaku kezoliman pelemparan penghabus. Terlebih ketika jelas ia melihat cengiran tak bersalah di wajah pria itu. Airi dalam hati merutuk, sejak kapan penghapus bisa di jadikan sarana berkomunikasi?
"Anak perawan dilarang melamun. Awas, ntar jodohnya jauh lho."
"Apaan sih loe Dik, garing banget," kesel Airi sambil balik melemparkan penghapusnya. Berharap lemparannya bisa mengenai kepala Dika. Lagian hari gini ngomongin ngaco. Pake bawa bawa jodoh lagi.
"Nggak papa garing, yang penting ganteng."
Airi mencibir. Dika ganteng? Itu fitnah paling kejam yang ia dengar. Belum sempat ia membalas, Dika sudah terlebih dahulu kembali buka mulut.
"Dicariin pacar loe tuh?"
Airi mengernyit, Pacar? Emangnya sejak kapan dia punya. Dika yang melihat ekpresi bingungnya hanya memberi isarat pada Airi untuk menoleh ke luar. Bukannya mengerti, Airi justru makin bingung ketika mendapati sosok Kei yang entah sejak kapan berdiri menyender di pintu kelasnya sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya sendiri menatap lurus kearah Airi.
Mengabaikan tatapan Kei, Airi kembali mengalihkan pandangannya kearah Dika.
"Gue nggak punya pacar!"
Tak perlu menunggu kalimat balasan dari Dika, Airi kembali memasangkan headset di kedua telingannya. Baru kemudian tangannya meraih novel di dalam laci meja. Novel terbaru yang ia pinjam di tempat kerja barunya. Selang beberapa saat ia tengelam dalam bacaannya.
Konsentrasi Airi yang sedang asik membaca terpecah ketika menyadari kehadiaran seseorang yang duduk di sampingnya. Tak hanya itu, bahkan dengan semena mena headset di telinga kanannya di lepas. Gadis itu hanya mampu memutar mata ketika menyadari siapa yang melakukannya.
"Mau loe apa sih Kei?"
"Kenapa loe menghindari gue?"
Airi mengernyit. Itu bukan jawaban!
"Gue nggak ngerti loe ngomong apaan. Yang jelas mendingan pergi deh. Gue males banget liat muka loe."
"Jadi bener loe ngehindarin gue?"
Sejenak Airi menghela nafas. Di tutupnya Novel yang baru sebentar ia baca dengan keras. Sengaja memberikan efek dramatis pada sosok di sampingnya agar ia tau bahwa Airi merasa terganggu. Kepalanya menoleh kearah Kei yang duduk tepat di sampingnya.
"Kenapa gue harus menghindar dari loe?"
"Itu yang dari tadi gue tanyain," balas Kei balik. Bahkan Airi belum sempat membantah ia lebih dahulu menambahkan. "Gue beberapa kali datang ke tempat kerja loe, tapi nggak pernah ketemu. Dua hari yang lalu malah temen kerja loe bilang kalau loe udah nggak kerja lagi di sana. Di sekolah, gue juga nggak pernah liat loe kumpul bersama kedua sahabat loe itu. Beberapa kali gue samperin kekelas. Loe juga nggak ada. Gue pernah nungguin loe di halte, loe bahkan nggak nongol. Loe kemana?"
Airi melongo. Bukan saja karena fakta dari pengakuan Kei barusan, tapi juga karena ia sama sekali tidak menyangka kalau pria itu akan mencari dirinya sampai sebegitunya. Oke, baiklah ia ralat. Airi tau kalau Kei pasti akan mencarinya. Itu kan memang hal yang sering di lakukan oleh Kei terhitung sejak pria itu membantunya saat malam malam Airi berurusan dengan preman. Tapi terus terang Airi merasa risih. Apalagi setelah seminggu yang lalu ia tidak sengaja mendapati Kei yang kedapatan jalan bareng bersama seorang gadis yang ia yakini sebagai kekasihnya. Udah jelas jelas punya pacar, masih sok sokan ngejar dirinya. Oh, Airi tidak merasa cemburu. Tidak sama sekali. Sudah ia katakan bukan ia merasa risih. Itulah kenapa Airi memutuskan untuk tidak bertemu lagi dengan Kei. Butuh usaha ekstra memang.Tapi buktinya ia berhasil. Terbukti dengan pengakuan dari pria itu barusan. Sekedar info, Airi memang sudah pindah kerja. Rekan kosnya menawarinya untuk bekerja di perpustakaan. Kebetulan jam dan tempatnya berada di sekitar kompleks tempat tinggalnya. Makanya ia setuju, hitung hitung hemat di ongkos sekalian ia juga bisa ikutan baca baca gratis.
"Kenapa malah bengong?" tanya Kei dengan sebelah alis terangkat.
Airi berkedip baru kemudian mengalihkan pandangan sembari mencibir. "Loe satpam ya sampe gue harus laporan ke elo gitu?"
"Bisa nggak sih, loe jawab pertanyaan gue bukannya balik nanya?"
"Enggak!" kata Airi datar. Ia sudah banyak belajar. Ngadepin manusia tipe tipe kayak Kei nggak bisa pake emosi, yang ada ia justru malah lebih emosi lagi. "Lagian ngapain sih loe nyariin gue. Udah punya pacar juga."
Kali ini Kei tidak segera menjawab. Pria itu tampak mencerna ucapan gadis di sampingnya. Beberapa saat kemudian sebuah senyum sama mangkir di bibir. "Jadi selama ini loe menghindar dari gue karena cemburu?"
"Duak"
"Aduh!" keluh kesakitan terdengar dari mulut Kei. Airi sendiri hanya menatapnya tajam tanpa merasa bersalah sama sekali karena baru saja menjadikan novel yang sedari tadi ia baca sebagai senjata untuk memukul kepala Kei. Sepertinya usahanya untuk bersikap datar akan percuma. Ia harus ganti nama jika berharap Kei tidak akan memancing emosinya. Apa tadi dia bilang, cemburu?
"Ngaca please. Emang siapa elo!" kesel Airi. "Ngaco aja bilang gue cemburu. Gue itu risih. Denger ya, RISIH! Loe yang single aja gue ogah, apalagi kalau udah punya pacar. Dan lagi...."
"Dia bukan pacar gue," potong Kei sebelum Airi sempat menyelesaikan ucapannya. "Dia sepupu gue yang kebetulan kemaren liburan kesini. Makanya gue temenin."
"Bodo. Nggak ada urusannya sama gue. Kenapa juga loe harus cape cape jelasin."
"Karena gue nggak mau loe ngindarin gue lagi. Sumpah Ar, dihindari sama orang yang kita suka itu rasanya nggak enak."
Mulut Airi sudah terbuka untuk membalas. Tapi kembali ia tutup lagi. Ia sendiri bingung mau ngomong apa. Malahan ia jadi merasa sangsi. Beneran nih pria yang duduk di sampingnya adalah sosok yang selama ini terkenal dingin?
"Jadi please, jangan gitu lagi ya. Gue nggak bisa kalau nggak ngeliat loe," sambung Kei sambil berdiri. Tangannya terulur mengusap kepala Airi dengan lembut. Tak lupa senyum manis ia pamerkan diwajahnya. Baru kemudian berlalu pergi.
Airi masih terpaku. Bahkan ia sama sekali tidak menyadari teman temannya sudah masuk kedalam kelas karena bel tanda istirahat berakhir telah terdengar. Bahkan Keira dan Iris sudah duduk manis di bangkunya.
"Airi, loe kenapa? Kesambet?"
"Eh?" Airi menoleh. Seperti orang linglung ia menatap keseliling. Kaget ketika menyadari kelasnya telah penuh. Apalagi Keira kini sedang menatapnya heran. Bahkan Iris juga.
"Jantung gue kenapa?" gumam Airi lirih. Tangannya sendiri kini terangkat menyentuh dada kirinya. Merasakan debaran jantungnya yang masih tidak berdetak senormal biasanya. Ini, aneh.
"Airi, loe sakit?" kali ini Kiara bertanya dengan raut cemas. Terlebih wajah Airi terlihat sedikit pucat.
Dengan cepat Airi mengeleng. Baru kemudian memberikan senyum paksa kearah Keira dan meminta sahabatnya untuk menatap kedepan kelas dimana Ibu Handini sudah berdiri disana. Walau terlihat tidak puas, tak urung Keira mengangguk. Iris sendiri hanya angkat bahu baru kemudian ikut mengeluarkan buku dari dalam laci mejanya. Bersiap untuk melanjutkan pelajaran.
Next Cerbung That Girl is Mine Part 10
Detail Cerbung
- Judul Cerbung : That Girl is Mine
- Penulis : Ana Merya
- Twitter : @ana_merya
- Fanpage : Star night
- Genre : Cerbung, Cerpen Remaja
- Status : Ongoing
- Words : 1.155 Kata
lanjutin dong kak part 11 nya, udah baper ini :v
ReplyDeleteAaaa baru sempat baca lagi... dan bow! Daku baper kak Ana. Please.. itu Kei bisa banget sih ngaku suka begitu? Duh. Mau satu yang kayak Keiiiii!!!
ReplyDelete