Cerpen Remaja Terbaru "That Girl is mine" ~ 10
Jadi gimana? Masih betah nungguin lanjutan cerpen Remaja That Girl is mine? Kalau iya, monggo langsung simak kebawah. Berhubung updatenya jarang jarang, kali aja udah lupa sama cerita sebelumnya bisa dicek dulu disini. Happy reading ya....
Bahkan bel belum terdengar, tapi Airi sudah bergegas membereskan buku - bukunya. Kiara yang berada tepat disampingnya hanya mampu membisikkan tanya bernada heran yang hanya ia balas dengan angkat bahu. Dan begitu bel terdengar, seiring dengan Bu Lasma yang melangkah keluar kelas, Airi juga langsung melesat mengikutinya. Matanya secara nyalang meneliti sekeliling baru kemudian berlari dengan cepat meninggalkan kelas.
Tepat di depan gerbang sekolah, Airi kembali memperhatikan situasi. Memastikan semuanya aman, tepatnya, ia tidak melihat sosok Kei. Perduli amat dengan permintaan pria itu untuk tidak menghindarinya, yang jelas Airi tidak mau lagi berurusan dengannya lagi. Maka dari itu, seminggu ini ia memang memutuskan untuk pulang lebih dulu meninggalkan kelas. Percuma Kei menunggunya di halte tempat biasanya, ia pasti tidak akan muncul. Secara sejak ganti kerja, Airi memang tidak menunggu di halte itu lagi. Sebaliknya, ia justru malah harus menyeberang jalan lebih dahulu, karena arahnya berlawanan.
Tak lama berselang, bus yang Airi tunggu muncul. Tanpa ba bi bu, gadis itu segera melangkah masuk. Kebetulan penumpangnya tidak terlalu ramai, untuk itu ia bisa memilih duduk dimana pun yang ia suka. Kusi pojok di belakang sengaja ia jadikan pilihan. Selain karena rumahnya lumayan jauh, posisi itu juga merupakan posisi bebas hambatan dari orang orang yang bergantian keluar masuk. Posisi yang paling pas untuk mendengarkan musik sambil membaca tanpa gangguan.
Suara gaduh serta obrolan penumpang lain sama sekali tidak terdengar. Yang Airi tau hanyalah suara Taylor Swift yang mengalun merdu lewat headset yang terpasang di kedua telinganya. Novel yang sudah ia keluarkan untuk di baca kini telah berpindah posisi menutupi wajah. Kondisi bus yang dingin oleh AC membuat mata Airi terasa berat. Tanpa sadar ia benar benar terlelap.
"Ar, bangun..."
Samar Airi merasa ada tangan yang menepuk nemuk pipinya pelan. Sembari menguap lebar secara perlahan matanya terbuka. Merasa silau oleh cahaya yang masuk membuatnya kembali memejamkan mata baru kemudian membukanya kembali secara perlahan. Saat itu juga, matanya langsung terbuka sempurna ketika mendapati wajah Kei yang berada begitu dekat dengannya. Bahkan Airi baru menyadari jika tangan pria itu masih berada di pipinya.
"Kei?” gumam Airi seolah masih belum mempercayai penglihatannya. Refleks tangannya terulur guna menyingkirkan tangan Kei dari wajahnya dan beringsut sedikit menjauh. Baru kemudian perhatiannya ia tolehkan pada sekeliling. "Ini kita ada dimana?"
"Justru gue yang mau nanya. Loe mau kemana sih? Ini kita udah di pemberhentian bus yang terakhir lho," terang Kei.
"Kenapa loe baru bangunin gue sekarang? Ini mah gue udah kelewatan jauh. Mampus deh, gue pasti terlambat masuk kerja."
Bukannya membalas, Kei justru malah mengernyit sembari memperhatikan raut panik Airi yang kini memberikannya pelototan tajam.
"Jadi, ini salah gue?" tanya Kei dengan nada geli.
Dari pada pertanyaan, Airi lebih merasa bahwa kalimat itu adalah sebuah pernyataan. Pernyataan yang menyindir. Apalagi ketika melihat senyum geli diwajah Kei. Membuat otak Airi yang sepertinya jadi lemot efek panik kini bisa mulai kembali berkerja. Pernyataannya salah redaksi. Harusnya ia bertanya kenapa Kei bisa ada disampingnya kan?
"Lho, kenapa mbak. Bukannya mbak yang biasanya turun di halte cendana? Ketiduran ya?"
Sebelum Airi sempat meralat pernyataanya pada Kei, suara seseorang dengan seragam dishub menginterupsi. Nama Andi Prasetyo tertera di atas saku dadanya. Nama dan wajah yang tidak asing karena Airi memang sudah sering naik turun bus tersebut. Berberapa kali petugas tersebut yang memberikan karcis pembayaran padanya.
"He he he, iya Pak. Ini kita udah di halte paling ujung ya?" tanya Airi sedikit berbasa basi untuk menutupi rasa malunya. Tumben - tumbenan ia bisa ketiduran sejauh ini.
"Iya mbak. Haduh maaf ya, tadi nggak enak mau bangunin. Dan lagi juga, saya nggak tau itu mbak. Kirain memang mau kesini, apalagi temen mbak juga diem saja sedari tadi."
Airi melirik kearah Kei yang kini hanya angkat bahu. Hanya karena seragam mereka sama enak saja ni Pak Andi main tuduh ia temenan. Nggak sudi ia. Namun walaupun keberatan, Airi hanya melemparkan seulas senyum.
"Jadi ini gimana? Mau nunggu bus ini balik lagi atau turun nyari angkutan lain?" tanya Pak Andi.
"Ini biasanya berhenti disini lama nggak pak?"
"Kalau di pemberhentian terakhir memang lumayan lama sih mbak. Setengah jam'an biasanya. Atau naik bus yang itu aja," tunjuk Pak Andi kearah Bus yang berhenti di depan. "Bus yang itu udah mau berangkat harusnya," sambungnya lagi.
Airi mengangguk. Tangannya merogoh saku bajunya. Mengeluarkan uang dua ribuan, tarif khusus untuk pelajar. Tapi bukannya menerima, bapak itu justru malah mengeleng. "Kan udah dibayarin sama temennya mbak."
Dengan ekor matanya Airi melirik kearah Kei yang ternyata sedari tadi masih menatapnya. Membuat Airi merasa risih namun ia malas berdebat. Karena itu ia segera bangkit berdiri dan melangkah keluar baru kemudian kembali masuk kedalam bus yang berhenti di depannya. Tentu saja setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada Pak Andi.
Airi sudah akan mendaratkan tubuhnya di bangku belakang sopir yang kebetulan kosong ketika sebuah tangan menahan tindakannya. Bahkan sedikit mendorongnya untuk melangkah masuk lebih kedalam baru kemudian duduk disamping jendela yang agak di tengah. Ulah siapa lagi kalau bukan Kei yang kini juga mendaratkan tubuhnya tepat disampingnya.
"Di depan kursi yang kosong cuma satu, nggak mungkin kan kita duduk berpangku pangkuan sementara kursi yang kosong masih banyak?"
Kei ngigo! Ngomong nggak pake disaring. Memangnya kenapa ia harus pangku pangkuan? Ya elah, tolooong...
"Cukup sedari tadi gue yang nemenin loe tidur. Terus terang, bahu gue masih pegel. Sudah seharusnya gue dapat kompensasi dari loe," sambung Kei. Bahkan dengan dramanya tangan pria itu tampak memijat mijat bahu kirinya. Membuat Airi mengernyit. Jangan bilang kalau tadi ia tidur menyender disana?. Sialan, pantas saja ia ketiduran sampai sejauh ini tanpa terbangun. Secara, posisinya keliatan nyaman gitu.
Ekh...
Airi dengan cepat mengeleng. Menyingkirkan pikiran ngaco itu sejauh mungkin. Ide gila mana sih yang bisa menganggap kalau bahu Kei nyaman di senderin?
"Loe ngikutin gue?" akhirnya Airi melontarkan pertanyaan yang seharusnya sudah ia lemparkan begitu mendapati Kei disampingnya.
"Kenapa heran. Bukannya sebelum sebelumnya juga gitu?"
Pertanyaan balik dari Kei membuat tangan Airi gatal. Karena itulah tanpa bisa ia cegah sebuah cubitan segera ia daratkan ke perut Kei. Membuat pria itu merintih kesakitan, sembari berusaha untuk melepaskannya.
"Aduh Airi. Sakit. Lepasin," Kei memang berhasil melepaskan cubitan Airi, tapi gadis itu dengan tangkas melemparkan serangan lainnya.
"Airi, gue bilang lepasin," perintah Kei sembari menahan erangan kesakitannya. Bukannya apa, saat ini mereka sedang berada di bus yang sudah mulai berjalan. Penumpang yang lain bisa menatapnya aneh jika sampai ia berteriak kesakitan sementara tangan Airi masih bersarang di perut sampingnya.
"Biar loe kapok. Makanya jangan main main sama gue," bukannya melepaskan tangannya, Airi justru malah menambahkan tenaga. Sebodo amat jika ulahnya bisa membuat perut Kei pasti akan membekas kemerahan.
Tak tahan dengan sakit yang di deritanya, Kei berkelit sampai cubitan Airi lepas. Sebelum gadis itu kembali menyerangnya, tangan Kei sudah terlebih dahulu menarik tangan Airi baru kemudian mengengamnya erat. Membuat usaha Airi untuk melepaskannya menjadi sia sia.
"Apaan sih Kei? Lepasin nggak?" geram Airi sambil berusaha menarik kembali tangannya namun gagal.
"Kalau loe belum lupa, itu kalimat yang sama dari gue yang udah loe acuhkan beberapa detik yang lalu."
"Kei!" desis Airi penuh ancaman.
Tapi Kei justru malah pasang wajah santai. Ia hanya membalas dengan angkat bahu. Sampai kemudian dengan sedikit sentakan, Kei justru menarik tangan Airi hingga berada tepat di depan perutnya baru kemudian kepalanya rebahan ke kiri. Mendarat tepat di pundak gadis itu.
"Gantian. Loe yang jagain gue tidur ya? Gue juga ngantuk," bisik Kei lirih.
Airi mematung. Perutnya bahkan mendadak terasa seperti di aduk aduk. Gadis itu bahkan sampai harus menelan ludahnya yang entah kenapa terasa kelu. Pasalnya, Kei tanpa aba aba dengan seenak jidatnya telah menjadikan bahunya sebagai sandaran. Ditambah ia yang secara tiba tiba berbisik di dekat telinganya. Desahan hangat nafas Kei saja terasa dilehernya. Membuat bulu kuduknya mendadak berdiri.
Yang Airi tau, ia harusnya segera mendorong pria itu menjauh. Benar, harusnya memang itu yang ia lakukan. Namun, bahkan lebih dari lima menit telah berlalu, nyatanya Airi masih berada dalam posisinya tanpa bergerak seujung kuku sekali pun.
"Loe kenapa jadi diem aja?" gumam Kei dengan mata terpejam.
Perut Airi kembali terasa bergejolak. Demi apa, kenapa Kei harus ngomong tepat dilehernya sih?
"Ehm... Kei... tolong lepas..." Airi bahkan tidak percaya mulutnya sendiri bisa ngomong selirih itu. Malah nyaris memohon yang jelas sama sekali bukan gayanya. Tapi Kei, tetap acuh.
"Jantung loe kenapa detakannya kuat gini sih Ar? Kayak main drumer gitu. Gue aja sampe denger lho."
Triple S. Sial sial suka, ekh. Ralat, Sial sial shit. Kurang ajar. Kei sengaja meledeknya. Lagian siapa yang nggak deg deg an coba. Seumur umur Airi hidup, ia tidak pernah melakukan kontak fisik sedekat ini dengan seseorang. Apalagi dengan orang yang notabenenya paling ia benci. Membuat rasa marah Airi langsung melonjak.
Menyadari Airi siap berontak, Kei justru malah semakin merapatkan tubuhnya. Sementara tangannya sendiri menuntun tangan Airi yang berada dalam gengamannya naik kearah dada kirinya dimana terdapat organ dengan empat katup bekerja.
"Tapi masalahnya, jantung gue juga gitu. Loe bisa ngerasain kan?"
Glek, Airi menelan ludahnya dengan susah payah. Niatnya untuk berontak perlahan surut seiring dengan rasa marah yang mendadak menguap di gantikan oleh rasa asing yang tiba - tiba mampir. Rasa asing yang masih belum Airi kenali. Apalagi ketika Airi menyadari pengakuan Kei barusan adalah benar. Debaran jantung pria itu memang terasa sama kencangnya dengan dirinya.
"Dan jantung gue selalu kayak gini kalau gue deket deket sama loe."
Kalimat penjelas yang sama sekali tidak membantu!
"Ke... kenapa?"
Pertanyaan Airi tidak lantas Kei jawab. Pria itu kini justru menarik wajahnya agar bisa menatap kearah Airi yang kini juga sedang menatapnya. Sedikit terkejut menyadari bahwa Airi bisa gugup juga.
"Itu yang sedang gue cari tau. Menurut loe kenapa?"
Suara bising dari penumpang lain, nyaris tidak Airi dengar. Justru telinganya malah menangkap suara debaran jantungnya yang semakin mengila. Debaran yang semakin familiar ia rasakan baru baru ini. Jangan - jangan benar dugaannya. Bahwa ia...
"Sakit jantung?"
Iya kali, sakit jantung bisa menular.
Sebelah alis Kei terangkat. Walaupun lirih, ia masih bisa mendengar gumaman Airi barusan. Kalimat yang sama sekali di luar prediksinya. Membuat sebuah senyum secara perlahan mangkir di wajah Kei.
"Loe bener bener bikin gue gemes tau nggak..." komentar Kei. Sebelah tangannya yang bebas terangkat guna mengacak acak rambut Airi yang hari ini kesambet entah setan apa sehingga membiarkan pria itu melakukannya. Bahkan, Airi juga sama sekali tidak menolak ketika Kei kembali mencondongkan tubuhnya. Mendaratkan kepalanya untuk kembali menyender di bahunya.
Next Cerbung That Girl is Mine Part 11
Detail Cerbung
Bahkan bel belum terdengar, tapi Airi sudah bergegas membereskan buku - bukunya. Kiara yang berada tepat disampingnya hanya mampu membisikkan tanya bernada heran yang hanya ia balas dengan angkat bahu. Dan begitu bel terdengar, seiring dengan Bu Lasma yang melangkah keluar kelas, Airi juga langsung melesat mengikutinya. Matanya secara nyalang meneliti sekeliling baru kemudian berlari dengan cepat meninggalkan kelas.
Tepat di depan gerbang sekolah, Airi kembali memperhatikan situasi. Memastikan semuanya aman, tepatnya, ia tidak melihat sosok Kei. Perduli amat dengan permintaan pria itu untuk tidak menghindarinya, yang jelas Airi tidak mau lagi berurusan dengannya lagi. Maka dari itu, seminggu ini ia memang memutuskan untuk pulang lebih dulu meninggalkan kelas. Percuma Kei menunggunya di halte tempat biasanya, ia pasti tidak akan muncul. Secara sejak ganti kerja, Airi memang tidak menunggu di halte itu lagi. Sebaliknya, ia justru malah harus menyeberang jalan lebih dahulu, karena arahnya berlawanan.
Tak lama berselang, bus yang Airi tunggu muncul. Tanpa ba bi bu, gadis itu segera melangkah masuk. Kebetulan penumpangnya tidak terlalu ramai, untuk itu ia bisa memilih duduk dimana pun yang ia suka. Kusi pojok di belakang sengaja ia jadikan pilihan. Selain karena rumahnya lumayan jauh, posisi itu juga merupakan posisi bebas hambatan dari orang orang yang bergantian keluar masuk. Posisi yang paling pas untuk mendengarkan musik sambil membaca tanpa gangguan.
Suara gaduh serta obrolan penumpang lain sama sekali tidak terdengar. Yang Airi tau hanyalah suara Taylor Swift yang mengalun merdu lewat headset yang terpasang di kedua telinganya. Novel yang sudah ia keluarkan untuk di baca kini telah berpindah posisi menutupi wajah. Kondisi bus yang dingin oleh AC membuat mata Airi terasa berat. Tanpa sadar ia benar benar terlelap.
"Ar, bangun..."
Samar Airi merasa ada tangan yang menepuk nemuk pipinya pelan. Sembari menguap lebar secara perlahan matanya terbuka. Merasa silau oleh cahaya yang masuk membuatnya kembali memejamkan mata baru kemudian membukanya kembali secara perlahan. Saat itu juga, matanya langsung terbuka sempurna ketika mendapati wajah Kei yang berada begitu dekat dengannya. Bahkan Airi baru menyadari jika tangan pria itu masih berada di pipinya.
"Kei?” gumam Airi seolah masih belum mempercayai penglihatannya. Refleks tangannya terulur guna menyingkirkan tangan Kei dari wajahnya dan beringsut sedikit menjauh. Baru kemudian perhatiannya ia tolehkan pada sekeliling. "Ini kita ada dimana?"
"Justru gue yang mau nanya. Loe mau kemana sih? Ini kita udah di pemberhentian bus yang terakhir lho," terang Kei.
"Kenapa loe baru bangunin gue sekarang? Ini mah gue udah kelewatan jauh. Mampus deh, gue pasti terlambat masuk kerja."
Bukannya membalas, Kei justru malah mengernyit sembari memperhatikan raut panik Airi yang kini memberikannya pelototan tajam.
"Jadi, ini salah gue?" tanya Kei dengan nada geli.
Dari pada pertanyaan, Airi lebih merasa bahwa kalimat itu adalah sebuah pernyataan. Pernyataan yang menyindir. Apalagi ketika melihat senyum geli diwajah Kei. Membuat otak Airi yang sepertinya jadi lemot efek panik kini bisa mulai kembali berkerja. Pernyataannya salah redaksi. Harusnya ia bertanya kenapa Kei bisa ada disampingnya kan?
"Lho, kenapa mbak. Bukannya mbak yang biasanya turun di halte cendana? Ketiduran ya?"
Sebelum Airi sempat meralat pernyataanya pada Kei, suara seseorang dengan seragam dishub menginterupsi. Nama Andi Prasetyo tertera di atas saku dadanya. Nama dan wajah yang tidak asing karena Airi memang sudah sering naik turun bus tersebut. Berberapa kali petugas tersebut yang memberikan karcis pembayaran padanya.
"He he he, iya Pak. Ini kita udah di halte paling ujung ya?" tanya Airi sedikit berbasa basi untuk menutupi rasa malunya. Tumben - tumbenan ia bisa ketiduran sejauh ini.
"Iya mbak. Haduh maaf ya, tadi nggak enak mau bangunin. Dan lagi juga, saya nggak tau itu mbak. Kirain memang mau kesini, apalagi temen mbak juga diem saja sedari tadi."
Airi melirik kearah Kei yang kini hanya angkat bahu. Hanya karena seragam mereka sama enak saja ni Pak Andi main tuduh ia temenan. Nggak sudi ia. Namun walaupun keberatan, Airi hanya melemparkan seulas senyum.
"Jadi ini gimana? Mau nunggu bus ini balik lagi atau turun nyari angkutan lain?" tanya Pak Andi.
"Ini biasanya berhenti disini lama nggak pak?"
"Kalau di pemberhentian terakhir memang lumayan lama sih mbak. Setengah jam'an biasanya. Atau naik bus yang itu aja," tunjuk Pak Andi kearah Bus yang berhenti di depan. "Bus yang itu udah mau berangkat harusnya," sambungnya lagi.
Airi mengangguk. Tangannya merogoh saku bajunya. Mengeluarkan uang dua ribuan, tarif khusus untuk pelajar. Tapi bukannya menerima, bapak itu justru malah mengeleng. "Kan udah dibayarin sama temennya mbak."
Dengan ekor matanya Airi melirik kearah Kei yang ternyata sedari tadi masih menatapnya. Membuat Airi merasa risih namun ia malas berdebat. Karena itu ia segera bangkit berdiri dan melangkah keluar baru kemudian kembali masuk kedalam bus yang berhenti di depannya. Tentu saja setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada Pak Andi.
Airi sudah akan mendaratkan tubuhnya di bangku belakang sopir yang kebetulan kosong ketika sebuah tangan menahan tindakannya. Bahkan sedikit mendorongnya untuk melangkah masuk lebih kedalam baru kemudian duduk disamping jendela yang agak di tengah. Ulah siapa lagi kalau bukan Kei yang kini juga mendaratkan tubuhnya tepat disampingnya.
"Di depan kursi yang kosong cuma satu, nggak mungkin kan kita duduk berpangku pangkuan sementara kursi yang kosong masih banyak?"
Kei ngigo! Ngomong nggak pake disaring. Memangnya kenapa ia harus pangku pangkuan? Ya elah, tolooong...
"Cukup sedari tadi gue yang nemenin loe tidur. Terus terang, bahu gue masih pegel. Sudah seharusnya gue dapat kompensasi dari loe," sambung Kei. Bahkan dengan dramanya tangan pria itu tampak memijat mijat bahu kirinya. Membuat Airi mengernyit. Jangan bilang kalau tadi ia tidur menyender disana?. Sialan, pantas saja ia ketiduran sampai sejauh ini tanpa terbangun. Secara, posisinya keliatan nyaman gitu.
Ekh...
Airi dengan cepat mengeleng. Menyingkirkan pikiran ngaco itu sejauh mungkin. Ide gila mana sih yang bisa menganggap kalau bahu Kei nyaman di senderin?
"Loe ngikutin gue?" akhirnya Airi melontarkan pertanyaan yang seharusnya sudah ia lemparkan begitu mendapati Kei disampingnya.
"Kenapa heran. Bukannya sebelum sebelumnya juga gitu?"
Pertanyaan balik dari Kei membuat tangan Airi gatal. Karena itulah tanpa bisa ia cegah sebuah cubitan segera ia daratkan ke perut Kei. Membuat pria itu merintih kesakitan, sembari berusaha untuk melepaskannya.
"Aduh Airi. Sakit. Lepasin," Kei memang berhasil melepaskan cubitan Airi, tapi gadis itu dengan tangkas melemparkan serangan lainnya.
"Airi, gue bilang lepasin," perintah Kei sembari menahan erangan kesakitannya. Bukannya apa, saat ini mereka sedang berada di bus yang sudah mulai berjalan. Penumpang yang lain bisa menatapnya aneh jika sampai ia berteriak kesakitan sementara tangan Airi masih bersarang di perut sampingnya.
"Biar loe kapok. Makanya jangan main main sama gue," bukannya melepaskan tangannya, Airi justru malah menambahkan tenaga. Sebodo amat jika ulahnya bisa membuat perut Kei pasti akan membekas kemerahan.
Tak tahan dengan sakit yang di deritanya, Kei berkelit sampai cubitan Airi lepas. Sebelum gadis itu kembali menyerangnya, tangan Kei sudah terlebih dahulu menarik tangan Airi baru kemudian mengengamnya erat. Membuat usaha Airi untuk melepaskannya menjadi sia sia.
"Apaan sih Kei? Lepasin nggak?" geram Airi sambil berusaha menarik kembali tangannya namun gagal.
"Kalau loe belum lupa, itu kalimat yang sama dari gue yang udah loe acuhkan beberapa detik yang lalu."
"Kei!" desis Airi penuh ancaman.
Tapi Kei justru malah pasang wajah santai. Ia hanya membalas dengan angkat bahu. Sampai kemudian dengan sedikit sentakan, Kei justru menarik tangan Airi hingga berada tepat di depan perutnya baru kemudian kepalanya rebahan ke kiri. Mendarat tepat di pundak gadis itu.
"Gantian. Loe yang jagain gue tidur ya? Gue juga ngantuk," bisik Kei lirih.
Airi mematung. Perutnya bahkan mendadak terasa seperti di aduk aduk. Gadis itu bahkan sampai harus menelan ludahnya yang entah kenapa terasa kelu. Pasalnya, Kei tanpa aba aba dengan seenak jidatnya telah menjadikan bahunya sebagai sandaran. Ditambah ia yang secara tiba tiba berbisik di dekat telinganya. Desahan hangat nafas Kei saja terasa dilehernya. Membuat bulu kuduknya mendadak berdiri.
Yang Airi tau, ia harusnya segera mendorong pria itu menjauh. Benar, harusnya memang itu yang ia lakukan. Namun, bahkan lebih dari lima menit telah berlalu, nyatanya Airi masih berada dalam posisinya tanpa bergerak seujung kuku sekali pun.
"Loe kenapa jadi diem aja?" gumam Kei dengan mata terpejam.
Perut Airi kembali terasa bergejolak. Demi apa, kenapa Kei harus ngomong tepat dilehernya sih?
"Ehm... Kei... tolong lepas..." Airi bahkan tidak percaya mulutnya sendiri bisa ngomong selirih itu. Malah nyaris memohon yang jelas sama sekali bukan gayanya. Tapi Kei, tetap acuh.
"Jantung loe kenapa detakannya kuat gini sih Ar? Kayak main drumer gitu. Gue aja sampe denger lho."
Triple S. Sial sial suka, ekh. Ralat, Sial sial shit. Kurang ajar. Kei sengaja meledeknya. Lagian siapa yang nggak deg deg an coba. Seumur umur Airi hidup, ia tidak pernah melakukan kontak fisik sedekat ini dengan seseorang. Apalagi dengan orang yang notabenenya paling ia benci. Membuat rasa marah Airi langsung melonjak.
Menyadari Airi siap berontak, Kei justru malah semakin merapatkan tubuhnya. Sementara tangannya sendiri menuntun tangan Airi yang berada dalam gengamannya naik kearah dada kirinya dimana terdapat organ dengan empat katup bekerja.
"Tapi masalahnya, jantung gue juga gitu. Loe bisa ngerasain kan?"
Glek, Airi menelan ludahnya dengan susah payah. Niatnya untuk berontak perlahan surut seiring dengan rasa marah yang mendadak menguap di gantikan oleh rasa asing yang tiba - tiba mampir. Rasa asing yang masih belum Airi kenali. Apalagi ketika Airi menyadari pengakuan Kei barusan adalah benar. Debaran jantung pria itu memang terasa sama kencangnya dengan dirinya.
"Dan jantung gue selalu kayak gini kalau gue deket deket sama loe."
Kalimat penjelas yang sama sekali tidak membantu!
"Ke... kenapa?"
Pertanyaan Airi tidak lantas Kei jawab. Pria itu kini justru menarik wajahnya agar bisa menatap kearah Airi yang kini juga sedang menatapnya. Sedikit terkejut menyadari bahwa Airi bisa gugup juga.
"Itu yang sedang gue cari tau. Menurut loe kenapa?"
Suara bising dari penumpang lain, nyaris tidak Airi dengar. Justru telinganya malah menangkap suara debaran jantungnya yang semakin mengila. Debaran yang semakin familiar ia rasakan baru baru ini. Jangan - jangan benar dugaannya. Bahwa ia...
"Sakit jantung?"
Iya kali, sakit jantung bisa menular.
Sebelah alis Kei terangkat. Walaupun lirih, ia masih bisa mendengar gumaman Airi barusan. Kalimat yang sama sekali di luar prediksinya. Membuat sebuah senyum secara perlahan mangkir di wajah Kei.
"Loe bener bener bikin gue gemes tau nggak..." komentar Kei. Sebelah tangannya yang bebas terangkat guna mengacak acak rambut Airi yang hari ini kesambet entah setan apa sehingga membiarkan pria itu melakukannya. Bahkan, Airi juga sama sekali tidak menolak ketika Kei kembali mencondongkan tubuhnya. Mendaratkan kepalanya untuk kembali menyender di bahunya.
Next Cerbung That Girl is Mine Part 11
Detail Cerbung
- Judul Cerbung : That Girl is Mine
- Penulis : Ana Merya
- Twitter : @ana_merya
- Fanpage : Star night
- Genre : Cerbung, Cerpen Remaja
- Status : Ongoing
- Words : 1.689 Kata
Baper bangeett :')
ReplyDeleteHayooo.. Pasti ngarep jadi Airi ini kan?
DeleteDi tunggu lanjutaannya...smangat nulisnya ka
ReplyDeleteSyiiip, di usahain yooo...
Deleteaduh kok aku jadi baper ya
ReplyDeleteBaper kenapa? Ngarep bisa di taksir cowok kayak Kei gitu ya?
Delete. .kak lanjut bacanya kog gag bisa dbuka kenapa ya???
ReplyDeleteMasa sih?
DeleteKok disini bisa ya?
Kak da lanjut belum ... AQ suka cerita kakk .. ampek brulang ulang Kali AQ baca kagak Ada yg ngebosenin ... Ada Whappatc nggak kak ...
ReplyDelete