Cerpen The Prince, The Princess & Mis. Cinderella~12 {Update}
Ehem, Tes tes tes.. satu dua tiga.... Baiklah sound systemnya sepertinya oke. #diinjek. Oke All, gue minta di hajar ya? Ah sepertinya si begitu. #kipasin muka. Secara banyak banget yang kompline kenapa cerpennya banyak yang gantung? Atau lanjutannya lama? Ah sebodo amad deh. Aku juga gak protes saat cinta ku di gantungin and happy ku belom di lanjutin (????) #Ora nyambung. Yang pasti buat yang nungguin lanjutan dari kisah The Prince, The princess and Mis. Cinderella bisa langsung simak kebawah. Sementara untuk cerita sebelumnya bisa dicek disini. Happy reading...
Sepi, hening dan sunyi. Aku terus menunduk dalam. Sama sekali tidak berani menatap kearah Kevin yang aku tau pasti saat ini sedang menatap tajam kearah ku. Sementara Revan juga terdiam. Ia juga sama sekali tidak membantah saat Kevin men’gusir’ pelayan yang menanyakan makanan apa yang akan kami pesan. Yups, saat ini kami bertiga memang sedang berada di kaffe depan toko buku tempat ku berkerja. Kevin dengan seenak jidatnya telah menarik Revan keluar dari arena kerjanya. Memaksa kami untuk menjelaskan apa yang tidak bisa ku jelaskan. (???).
“Sampai kapan kalian akan terus diam gini?” terdengar tanya dengan nada dingin dari mulut Kevin.
“Ehem... Sebenarnya untuk apa sih loe ngumpulin kita di sini. Sampai – sampai gue harus bolos kerja segala?” bukannya menjawab Revan justru malah balik bertanya.
“Loe masih berani nanya kenapa?” tanya Kevin balik.
“Gue kan udah bilang kalau gue nggak kenal sama Andre yang loe maksut. Gue emang kenal sama Revan karena kebetulan kita dulu pernah sekelas bareng,” sambung ku untuk kesekian kalinya.
“Heh,” Kevin mencibir. “Bukannya dulu Revan sekolah di SMA khusus cowok?"
Busyed, aku kena jebakan batman. Kenapa aku bisa lupa kalau Revan sekolah di SMA khusus cowok. Dan lagi, ini Kevin tau dari mana sih? Saat aku menoleh kearah Revan, ia juga hanya angkat bahu.
“Loe mungkin nggak tau, tapi toko buku itu punya kakak gue. So, pikirkan sendiri dari mana gue bisa tau soal dia,” terang Kevin seolah mengerti arti raut bingung di wajahku.
“Ehem, kita memang nggak sekelas waktu SMA tapi dulu waktu SMP."
Lagi – lagi Kevin mencibir. Apa lagi aku memang jelas – jelas terlihat gugup di hadapannya.
“Telfon Andre sekarang!” perintah Kevin kearah Revan.
“Apa?”
“Pastikan dia kesini sekarang juga,” sambung Kevin lagi.
Sekilas aku menatap kearah Revan yang juga terlihat bingung. Kevin beneran suka bersikap seenak jidatnya. Ayolah, bagaimana ceritanya aku harus berada dalam satu tempat dengan kepribadian yang berbeda. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan sekaran?
“Memangnya kenapa dia harus kesini?” aku masih mencoba keberuntunganku untuk menyelamatkan diri dari situasi ini.
“Untuk memastikan kalau kalian memang nggak saling kenal. Jujur saja gue jadi curiga kenapa dari dulu gue nggak pernah berhasil ngerjain loe," tunjuk Kevin ke arah ku dengan sinis. "Tidak mustahilkan kalau Andre ikut andil dalam hal ini. Secara gue memang selalu cerita sama dia. Yang ternyata diam – diam dia malah membocorkan nya sama loe. Dan kalian dengan santainya menertawakan kebodohan gue di belakang. Apalagi..."
“Cukup,” potong ku bangkit berdiri. “Tuduhan loe sama sekali nggak beralasan. Dan gue benar –benar merasa tersingung karenanya. Kalau loe emang masih nggak percaya sama gue, terserah,” selasai berkata aku segera bangkit berdiri.
Berlalu meninggalkan mereka berdua. Begitu melihat taxsi yang lewat tanpa pikir panjang aku segera menyetopnya. Gimanapun ceritanya aku harus segera pergi dari sini. Dan aku baru bisa bernafas lega saat menyadari kalau Kevin tidak menahan ataupun mengikutiku. Astaga, kali ini jantungku benar – benar terasa hampir copot. Mungkin kali ini aku bisa selamat. Tapi bagaimana kalau situasi seperti tadi kembali terulang?
Baiklah, pikirkan itu semua nanti saat hal itu benar – benar menjadi kenyataan. -__________-
Sepi, hening dan sunyi. Aku terus menunduk dalam. Sama sekali tidak berani menatap kearah Kevin yang aku tau pasti saat ini sedang menatap tajam kearah ku. Sementara Revan juga terdiam. Ia juga sama sekali tidak membantah saat Kevin men’gusir’ pelayan yang menanyakan makanan apa yang akan kami pesan. Yups, saat ini kami bertiga memang sedang berada di kaffe depan toko buku tempat ku berkerja. Kevin dengan seenak jidatnya telah menarik Revan keluar dari arena kerjanya. Memaksa kami untuk menjelaskan apa yang tidak bisa ku jelaskan. (???).
“Sampai kapan kalian akan terus diam gini?” terdengar tanya dengan nada dingin dari mulut Kevin.
“Ehem... Sebenarnya untuk apa sih loe ngumpulin kita di sini. Sampai – sampai gue harus bolos kerja segala?” bukannya menjawab Revan justru malah balik bertanya.
“Loe masih berani nanya kenapa?” tanya Kevin balik.
“Gue kan udah bilang kalau gue nggak kenal sama Andre yang loe maksut. Gue emang kenal sama Revan karena kebetulan kita dulu pernah sekelas bareng,” sambung ku untuk kesekian kalinya.
“Heh,” Kevin mencibir. “Bukannya dulu Revan sekolah di SMA khusus cowok?"
Busyed, aku kena jebakan batman. Kenapa aku bisa lupa kalau Revan sekolah di SMA khusus cowok. Dan lagi, ini Kevin tau dari mana sih? Saat aku menoleh kearah Revan, ia juga hanya angkat bahu.
“Loe mungkin nggak tau, tapi toko buku itu punya kakak gue. So, pikirkan sendiri dari mana gue bisa tau soal dia,” terang Kevin seolah mengerti arti raut bingung di wajahku.
“Ehem, kita memang nggak sekelas waktu SMA tapi dulu waktu SMP."
Lagi – lagi Kevin mencibir. Apa lagi aku memang jelas – jelas terlihat gugup di hadapannya.
“Telfon Andre sekarang!” perintah Kevin kearah Revan.
“Apa?”
“Pastikan dia kesini sekarang juga,” sambung Kevin lagi.
Sekilas aku menatap kearah Revan yang juga terlihat bingung. Kevin beneran suka bersikap seenak jidatnya. Ayolah, bagaimana ceritanya aku harus berada dalam satu tempat dengan kepribadian yang berbeda. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan sekaran?
“Memangnya kenapa dia harus kesini?” aku masih mencoba keberuntunganku untuk menyelamatkan diri dari situasi ini.
“Untuk memastikan kalau kalian memang nggak saling kenal. Jujur saja gue jadi curiga kenapa dari dulu gue nggak pernah berhasil ngerjain loe," tunjuk Kevin ke arah ku dengan sinis. "Tidak mustahilkan kalau Andre ikut andil dalam hal ini. Secara gue memang selalu cerita sama dia. Yang ternyata diam – diam dia malah membocorkan nya sama loe. Dan kalian dengan santainya menertawakan kebodohan gue di belakang. Apalagi..."
“Cukup,” potong ku bangkit berdiri. “Tuduhan loe sama sekali nggak beralasan. Dan gue benar –benar merasa tersingung karenanya. Kalau loe emang masih nggak percaya sama gue, terserah,” selasai berkata aku segera bangkit berdiri.
Berlalu meninggalkan mereka berdua. Begitu melihat taxsi yang lewat tanpa pikir panjang aku segera menyetopnya. Gimanapun ceritanya aku harus segera pergi dari sini. Dan aku baru bisa bernafas lega saat menyadari kalau Kevin tidak menahan ataupun mengikutiku. Astaga, kali ini jantungku benar – benar terasa hampir copot. Mungkin kali ini aku bisa selamat. Tapi bagaimana kalau situasi seperti tadi kembali terulang?
Baiklah, pikirkan itu semua nanti saat hal itu benar – benar menjadi kenyataan. -__________-