Cerpen Terbaru Take My Heart ~ 08
Huwaaaaaa!!!. Kok cerpen terbaru take my heart nya ini jadi begini yak?. Ck ck ck, makin kacau bo'. Gara - gara siapa maren yang bilang, lupa saia. Pake nyuruh acara berantem segala. Hade....
Over all, ya sudah lah. Lanjutkan saja. ^_^
Untuk part sebelumnya bisa bace :
-} Cerpen terbaru Take My Heart part 7
Bus melaju dalam keheningan. Keduanya masih sibuk dengan jalan pikirannya masing masing. Bahkan tak terasa bus sudah berhenti di tempat tujuan. Dengan berlahan Vio melangkah turun. Di belakangnya Ivan masih setia mengikuti.
Sambil terus melangkah Vio melirik jam yang melingkar di tangannya. Masih terlalu dini untuk langsung mendekam di kostan. Lagi pula sejujurnya pikirannya masih kusut. Ia butuh sedikit penyegaran. Menatap langit sore sepertinya menyenangkan. Hanya saja menyadari kehadiaran makhluk yang tak di inginkan masih berada di sampingnya membuatnya merasa ragu.
"Loe boleh terus menganggap gue nggak ada kalau loe mau" Ivan akhinya bersuara saat mendapati lirikan risih Vio padanya.
"Ehem".
Vio hanya berdehem walau tak urung membenarkan ucapan Ivan barusan. Benar juga, ia hanya perlu berpura - pura kalau pria itu tidak ada. Tapi pertanyaannya sampai kapan ia akan terus berpura - pura sama seperti ia terus berpura - pura kalau ia baik - baik saja?.
"Huh" Tampa sadar ia menghembuskan nafas berat. Dadanya benar - benar terasa sesak.
"Dia mantan loe ya?".
Vio refleks menoleh. Sedikit mengernyit mendapati wajah Ivan yang lurus menatapnya. Menanti kalimat jawaban keluar dari mulut mungilnya.
"Herry, Gebetannya Silvi" Ivan menambahkan.
"heh, Gimana gue bisa menganggap loe nggak ada kalo loe jelas jelas bisa ngomong" balas Vio mencibir membuat Ivan tersenyum salah tingkah. Sejujurnya ia sendiri tidak tau kenapa ia bertanya.
"Kalau gitu loe nggak perlu menjawab".
Susana kembali hening. Keduanya kembali terdiam sambil terus melangkah. Saat sampai di dekat taman Vio membelokan langkahnyam. Duduk berdiam diri di bawah pohon sambil menatap langit.
"Bukan".
"Eh?".
"Dia bukan mantan gue" Sambung Vio tanpa menoleh walau ia tau Ivan sedang menatapnya heran. "Walau gue pernah suka sama dia".
"he?" Kali ini Ivan jelas melotot mendegar pengakuan lirih Vio barusan.
"Masih" Vio menegaskan.
Kali ini ia menoleh. Berhadapan langsung dengan wajah Ivan yang jelas heran sekaligus merasa tak percaya. Tapi yang di tatap hanya diam saja. Tidak bereaksi. Mungkin lebih tepatnya tidak tau harus bereaksi seperti apa. Membuat Vio mencibir sinis dan segera mengalihkan tatapannya kembali kearah langit. Menatap awan yang berarak dalam keheningan.
"Untuk menghindari dia, gue pindah kampus dengan harapan rasa sakit gue bisa sedikit terobati. Siapa yang menyangka, justru dikampus baru ini gue malah bertemu loe. Seseorang yang sudah terkenal sebagai playboy kelas kakap, yang jadiin gue taruhan sepuluh juta. Dan seolah itu belom cukup, Kenyataan baru muncul, sosok yang bikin gue patah hati ternyata gebetan baru sahabat gue. Menurut loe, kurang apa coba derita gue?" Sambung Vio lagi.
Ivan menunduk dalam dengan mulut terkunci. Tak tau perasaan apa yang merambati hatinya. Yang ia tau, ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Rasa bersalah secara berlahan namun pasti merasuk kerelung batinnya. Melihat raut terluka di wajah Vio, meyakinkannya. Gadis itu tidak sedang bercanda.
"Gue jadi berfikir, Kesalahan apa yang dulu pernah gue lakuin sampai sepahit ini takdir yang harus gue jalani?" Lanjut Vio membuat tangan Ivan terkepal erat.
"Leo punya jawabannya?".
"Glek".
Ivan tampak menelan ludah. Pertanyaan Vio jelas menohoknya. Memangnya jawaban seperti apa yang bisa ia berikan?.
"Jika tidak, Berdiam dirilah. Anggap aja loe nggak pernah denger cerita apapun dari mulut gue. Gue pengen menatap langit dalam keheningan. Leo sendiri bilang gue boleh nganggap loe nggak ada kan?".
Selesai berkata tangan vio terulur merogoh tas sandangnya. Mencari Ipod kesayanganya. Menyambungkan headset kekedua telinganya. Lagu Yang ku sayang miliknya letto mengalun lembut. Entah mengapa peperapa hari ini ia begitu menyukai dua bait lirik yang ada pada lagu itu. Bahkan tanpa sadar mulutnya sudah ikut mendendangkan.
"Hidup terlalu singkat untuk tak berbuat
hidup terlalu indah untuk tak berubah"
Selesai mengunci pintu pagar rumahnya dengan santai Vio melangkah. Menuju halte bus yang akan membawanya ke kampus. Namun belum juga lima langkah, sebuah klakson telah terlebih dahulu mengagetkannya. Membuatnya mau tak mau terpaksa menoleh. Menghembuskan nafas kesel saat mendapati cengiran lebar di wajah Ivan.
"Loe nggak keberatan motor gue parkir di depan kostan loe lagi?".
"Tentu saja gue keberatan" Balas Vio ketus.
"He he " Ivan tampak mengaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal.
Sementara Vio sendiri terdiam. Matanya mengawasi sosok yang berdiri di hadapanya dari atas kepala sampai ujung kaki. Ya ampun, ni orang makin hari kok makin keren aja si. Pujinya dalam hati.
"Dari pada loe parkir di sana, mendingan loe boncengin gue".
"Eh?" kening Ivan berkerut bingung. Ragu akan kalimat yang ia dengar barusan.
"Kalo loe keberatan, ya sudah. Gue naik bus aja" Vio angkat bahu sambil berniat berbalik pergi. Tapi dengan cepat Ivan menahannya.
"Tentu saja tidak. Ayo naik" Sahut Ivan cepat membuat senyum samar tergambar di wajah Vio.
"Kok tumben si, loe mau boncengan sama gue?" tanya Ivan setelah motor mereka mulai melaju.
"Bukan karena gue keberatan, tapi gue heran aja" Sambung Ivan lagi tak memberi kesempatan Vio untuk menyela ucapannya..
"Setelah gue pikir - pikir. Dari pada loe gue anggurin kayaknya mendingan gue manfaatin deh. Lagi pula kan lumayan . Gue bisa hemat juga. Nggak perlu lagi bayar biaya ongkos. Gue kan bukan anak orang kaya kalau loe belom tau" Sahut Vio santai namun jelas menyindir.
"Jawaban apa itu" Gerut Ivan kesel.
"Ha ha ha, Kenapa loe kesel. Asal tau aja ya, Sebaik - baik manusia itu adalah yang hidupnya bermanfaat" Tambah Vio sama sekali tak merasa bersalah." Jadi loe nggak boleh marah kalau di manfaatin"Sambungnya lagi.
"Tapi gue kan bukan orang baik" Gumam Ivan mengerutu tak jelas. Vio sendiri justru pura - pura tak mendengarnya.
Begitu sampai di kampus, tatapan tak bersahabat langsung Vio dapatkan. Tapi ia bersikap cuek saja. Tak terlalu mengambil pusing. Menurutnya hidupnya terlalu berharga untuk di habiskan memikirkan tanggapan negatif orang padanya bukan?.
"Vio".
Vio yang baru saja turun dari jog belakang Ivan langsung menoleh. Mendapati Silvi yang berdiri tak jauh darinya. Sepertinya ia juga baru tiba. Dan Vio hanya mampu menghela nafas saat menyadari kalau Silvi tidak sendiri. Herry masih duduk di atas motor di sampingnya. Bukti nyata kalau cowok itu datang bersamanya.
"Loe nggak papa kan?".
Vio hanya melirik sekilas kearah Ivan yang berbisik padanya. Hei memangnya dia kenapa?.
"Loe baru datang?" tanya Vio sambil melangkah menghampiri.
"Kok loe bareng sama IVan?" Silvi balik bertanya. Mengabaikan pertanyaan Vio yang terlontar duluan.
"Tadi dia jemut gue" balas Vio malas. Apalagi ia jelas menyadari tatapan tajam Herry yang terjurus padanya.
"Kalian pacaran?".
Mata Vio sontak membulat. Tempakan langsung dari Harry jelas menohoknya. Memangnya dia cewek apa an. Baru beberapa saat yang lalu ia di buat patah hati olehnya bisa langsung mendapatkan pengantinya.
"Tentu saja tidak" Jawab Vio kesel.
"Tapi gue suka sama dia".
Bukan hanya Silvi yang menoleh, Harry juga ikut mengalihkan tatapannya kearah Ivan yang kini berjalan menghampiri mereka dengan santainya padahal jelas - jelas Vio sedang melemarkan tatapan tajam padanya.
"Apa?" tanya Harry tak percaya. Ivan hanya angkat bahu sambil tersenyum manis kearah Vio.
"Sebagai taruhan sepuluh juta" Silvi menambahkan sambil mencibir sinis. Membuat kerutan bingung semakin bertambah di wajah Harry. Ditatapnya gebetannya itu yang kini tampak sedang adu tatapan bersama Ivan. Sementara Vio hanya mampu mengusap keningnya yang mendadak terasa pusing. Kacau...
"Maksut loe apa Silvi?" tanya Harry kemudian.
"Iya. Ivan ini playboy, Dan dia secara sengaja bikin taruhan sama teman - temannya buat macarin Vio dengan bayaran Sepuluh juta" Terang Silvi.
Dan semuanya terjadi begitu cepat. Vio sendiri tidak menyadari bagaimana kronologinya. Yang ia tau saat ini Ivan telah terdampari di tanah sambil mengusap wajahnya, sedikit darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Di hadapannya Harry berdiri dengan emosi. Kalau saja tidak di tahan dengan kuat oleh Silvi, bisa di pastikan pukulan selanjutnya akan melayang.
"Loe bener - bener berengsek. Leo tau nggak si, tindakan loe jelas bisa melukai hati Vio" Geram Harry kalap.
Berlahan Ivan berdiri. Menghadap langsung kearah Harry dengan tatapan jelas menantang.
"Leo yakin loe nggak lebih brengsek dari gue" Serang IVan balik.
"Maksut loe?" sambar Silvi bingung.
"Cukup. Ivan ayo kita pergi" Vio angkat bicara saat mencium situasi yang tak enak. Tidak, ia harus mencegahnya. Silvi tidak boleh tau masalah ini. Atau gadis itu juga akan terluka.
"Tapi...".
Plaks.
Sebuah tamparan mendarat di wajah Ivan. Membuat pria itu terbungkam seribu bahasa sambil menatap Vio tak percaya. Vio sendiri jadi merasa bersalah. Ya ampun, apa yang baru saja ia lakukan?. Menampar Ivan?.
"Ayo kita pergi".
Kali ini Vio gantian meraih tangan Ivan. Menyeretnya berlalu pergi. Meninggalkan tatapan kaget, bingung plus tak percaya. Bukan hanya di wajah Harry dan Silvi. Tapi juga di wajah hampri semua mahasiswa dan mahasiswi yang ikut menyaksikan adegan barusan.Can't Believe it.
To be continue....
Ha ha ha, Penulis no coment deh. Langsung umpetan di kolong meja. :p
Over all, ya sudah lah. Lanjutkan saja. ^_^
Untuk part sebelumnya bisa bace :
-} Cerpen terbaru Take My Heart part 7
Bus melaju dalam keheningan. Keduanya masih sibuk dengan jalan pikirannya masing masing. Bahkan tak terasa bus sudah berhenti di tempat tujuan. Dengan berlahan Vio melangkah turun. Di belakangnya Ivan masih setia mengikuti.
Sambil terus melangkah Vio melirik jam yang melingkar di tangannya. Masih terlalu dini untuk langsung mendekam di kostan. Lagi pula sejujurnya pikirannya masih kusut. Ia butuh sedikit penyegaran. Menatap langit sore sepertinya menyenangkan. Hanya saja menyadari kehadiaran makhluk yang tak di inginkan masih berada di sampingnya membuatnya merasa ragu.
"Loe boleh terus menganggap gue nggak ada kalau loe mau" Ivan akhinya bersuara saat mendapati lirikan risih Vio padanya.
"Ehem".
Vio hanya berdehem walau tak urung membenarkan ucapan Ivan barusan. Benar juga, ia hanya perlu berpura - pura kalau pria itu tidak ada. Tapi pertanyaannya sampai kapan ia akan terus berpura - pura sama seperti ia terus berpura - pura kalau ia baik - baik saja?.
"Huh" Tampa sadar ia menghembuskan nafas berat. Dadanya benar - benar terasa sesak.
"Dia mantan loe ya?".
Vio refleks menoleh. Sedikit mengernyit mendapati wajah Ivan yang lurus menatapnya. Menanti kalimat jawaban keluar dari mulut mungilnya.
"Herry, Gebetannya Silvi" Ivan menambahkan.
"heh, Gimana gue bisa menganggap loe nggak ada kalo loe jelas jelas bisa ngomong" balas Vio mencibir membuat Ivan tersenyum salah tingkah. Sejujurnya ia sendiri tidak tau kenapa ia bertanya.
"Kalau gitu loe nggak perlu menjawab".
Susana kembali hening. Keduanya kembali terdiam sambil terus melangkah. Saat sampai di dekat taman Vio membelokan langkahnyam. Duduk berdiam diri di bawah pohon sambil menatap langit.
"Bukan".
"Eh?".
"Dia bukan mantan gue" Sambung Vio tanpa menoleh walau ia tau Ivan sedang menatapnya heran. "Walau gue pernah suka sama dia".
"he?" Kali ini Ivan jelas melotot mendegar pengakuan lirih Vio barusan.
"Masih" Vio menegaskan.
Kali ini ia menoleh. Berhadapan langsung dengan wajah Ivan yang jelas heran sekaligus merasa tak percaya. Tapi yang di tatap hanya diam saja. Tidak bereaksi. Mungkin lebih tepatnya tidak tau harus bereaksi seperti apa. Membuat Vio mencibir sinis dan segera mengalihkan tatapannya kembali kearah langit. Menatap awan yang berarak dalam keheningan.
"Untuk menghindari dia, gue pindah kampus dengan harapan rasa sakit gue bisa sedikit terobati. Siapa yang menyangka, justru dikampus baru ini gue malah bertemu loe. Seseorang yang sudah terkenal sebagai playboy kelas kakap, yang jadiin gue taruhan sepuluh juta. Dan seolah itu belom cukup, Kenyataan baru muncul, sosok yang bikin gue patah hati ternyata gebetan baru sahabat gue. Menurut loe, kurang apa coba derita gue?" Sambung Vio lagi.
Ivan menunduk dalam dengan mulut terkunci. Tak tau perasaan apa yang merambati hatinya. Yang ia tau, ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Rasa bersalah secara berlahan namun pasti merasuk kerelung batinnya. Melihat raut terluka di wajah Vio, meyakinkannya. Gadis itu tidak sedang bercanda.
"Gue jadi berfikir, Kesalahan apa yang dulu pernah gue lakuin sampai sepahit ini takdir yang harus gue jalani?" Lanjut Vio membuat tangan Ivan terkepal erat.
"Leo punya jawabannya?".
"Glek".
Ivan tampak menelan ludah. Pertanyaan Vio jelas menohoknya. Memangnya jawaban seperti apa yang bisa ia berikan?.
"Jika tidak, Berdiam dirilah. Anggap aja loe nggak pernah denger cerita apapun dari mulut gue. Gue pengen menatap langit dalam keheningan. Leo sendiri bilang gue boleh nganggap loe nggak ada kan?".
Selesai berkata tangan vio terulur merogoh tas sandangnya. Mencari Ipod kesayanganya. Menyambungkan headset kekedua telinganya. Lagu Yang ku sayang miliknya letto mengalun lembut. Entah mengapa peperapa hari ini ia begitu menyukai dua bait lirik yang ada pada lagu itu. Bahkan tanpa sadar mulutnya sudah ikut mendendangkan.
"Hidup terlalu singkat untuk tak berbuat
hidup terlalu indah untuk tak berubah"
Selesai mengunci pintu pagar rumahnya dengan santai Vio melangkah. Menuju halte bus yang akan membawanya ke kampus. Namun belum juga lima langkah, sebuah klakson telah terlebih dahulu mengagetkannya. Membuatnya mau tak mau terpaksa menoleh. Menghembuskan nafas kesel saat mendapati cengiran lebar di wajah Ivan.
"Loe nggak keberatan motor gue parkir di depan kostan loe lagi?".
"Tentu saja gue keberatan" Balas Vio ketus.
"He he " Ivan tampak mengaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal.
Sementara Vio sendiri terdiam. Matanya mengawasi sosok yang berdiri di hadapanya dari atas kepala sampai ujung kaki. Ya ampun, ni orang makin hari kok makin keren aja si. Pujinya dalam hati.
"Dari pada loe parkir di sana, mendingan loe boncengin gue".
"Eh?" kening Ivan berkerut bingung. Ragu akan kalimat yang ia dengar barusan.
"Kalo loe keberatan, ya sudah. Gue naik bus aja" Vio angkat bahu sambil berniat berbalik pergi. Tapi dengan cepat Ivan menahannya.
"Tentu saja tidak. Ayo naik" Sahut Ivan cepat membuat senyum samar tergambar di wajah Vio.
"Kok tumben si, loe mau boncengan sama gue?" tanya Ivan setelah motor mereka mulai melaju.
"Bukan karena gue keberatan, tapi gue heran aja" Sambung Ivan lagi tak memberi kesempatan Vio untuk menyela ucapannya..
"Setelah gue pikir - pikir. Dari pada loe gue anggurin kayaknya mendingan gue manfaatin deh. Lagi pula kan lumayan . Gue bisa hemat juga. Nggak perlu lagi bayar biaya ongkos. Gue kan bukan anak orang kaya kalau loe belom tau" Sahut Vio santai namun jelas menyindir.
"Jawaban apa itu" Gerut Ivan kesel.
"Ha ha ha, Kenapa loe kesel. Asal tau aja ya, Sebaik - baik manusia itu adalah yang hidupnya bermanfaat" Tambah Vio sama sekali tak merasa bersalah." Jadi loe nggak boleh marah kalau di manfaatin"Sambungnya lagi.
"Tapi gue kan bukan orang baik" Gumam Ivan mengerutu tak jelas. Vio sendiri justru pura - pura tak mendengarnya.
Begitu sampai di kampus, tatapan tak bersahabat langsung Vio dapatkan. Tapi ia bersikap cuek saja. Tak terlalu mengambil pusing. Menurutnya hidupnya terlalu berharga untuk di habiskan memikirkan tanggapan negatif orang padanya bukan?.
"Vio".
Vio yang baru saja turun dari jog belakang Ivan langsung menoleh. Mendapati Silvi yang berdiri tak jauh darinya. Sepertinya ia juga baru tiba. Dan Vio hanya mampu menghela nafas saat menyadari kalau Silvi tidak sendiri. Herry masih duduk di atas motor di sampingnya. Bukti nyata kalau cowok itu datang bersamanya.
"Loe nggak papa kan?".
Vio hanya melirik sekilas kearah Ivan yang berbisik padanya. Hei memangnya dia kenapa?.
"Loe baru datang?" tanya Vio sambil melangkah menghampiri.
"Kok loe bareng sama IVan?" Silvi balik bertanya. Mengabaikan pertanyaan Vio yang terlontar duluan.
"Tadi dia jemut gue" balas Vio malas. Apalagi ia jelas menyadari tatapan tajam Herry yang terjurus padanya.
"Kalian pacaran?".
Mata Vio sontak membulat. Tempakan langsung dari Harry jelas menohoknya. Memangnya dia cewek apa an. Baru beberapa saat yang lalu ia di buat patah hati olehnya bisa langsung mendapatkan pengantinya.
"Tentu saja tidak" Jawab Vio kesel.
"Tapi gue suka sama dia".
Bukan hanya Silvi yang menoleh, Harry juga ikut mengalihkan tatapannya kearah Ivan yang kini berjalan menghampiri mereka dengan santainya padahal jelas - jelas Vio sedang melemarkan tatapan tajam padanya.
"Apa?" tanya Harry tak percaya. Ivan hanya angkat bahu sambil tersenyum manis kearah Vio.
"Sebagai taruhan sepuluh juta" Silvi menambahkan sambil mencibir sinis. Membuat kerutan bingung semakin bertambah di wajah Harry. Ditatapnya gebetannya itu yang kini tampak sedang adu tatapan bersama Ivan. Sementara Vio hanya mampu mengusap keningnya yang mendadak terasa pusing. Kacau...
"Maksut loe apa Silvi?" tanya Harry kemudian.
"Iya. Ivan ini playboy, Dan dia secara sengaja bikin taruhan sama teman - temannya buat macarin Vio dengan bayaran Sepuluh juta" Terang Silvi.
Dan semuanya terjadi begitu cepat. Vio sendiri tidak menyadari bagaimana kronologinya. Yang ia tau saat ini Ivan telah terdampari di tanah sambil mengusap wajahnya, sedikit darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Di hadapannya Harry berdiri dengan emosi. Kalau saja tidak di tahan dengan kuat oleh Silvi, bisa di pastikan pukulan selanjutnya akan melayang.
"Loe bener - bener berengsek. Leo tau nggak si, tindakan loe jelas bisa melukai hati Vio" Geram Harry kalap.
Berlahan Ivan berdiri. Menghadap langsung kearah Harry dengan tatapan jelas menantang.
"Leo yakin loe nggak lebih brengsek dari gue" Serang IVan balik.
"Maksut loe?" sambar Silvi bingung.
"Cukup. Ivan ayo kita pergi" Vio angkat bicara saat mencium situasi yang tak enak. Tidak, ia harus mencegahnya. Silvi tidak boleh tau masalah ini. Atau gadis itu juga akan terluka.
"Tapi...".
Plaks.
Sebuah tamparan mendarat di wajah Ivan. Membuat pria itu terbungkam seribu bahasa sambil menatap Vio tak percaya. Vio sendiri jadi merasa bersalah. Ya ampun, apa yang baru saja ia lakukan?. Menampar Ivan?.
"Ayo kita pergi".
Kali ini Vio gantian meraih tangan Ivan. Menyeretnya berlalu pergi. Meninggalkan tatapan kaget, bingung plus tak percaya. Bukan hanya di wajah Harry dan Silvi. Tapi juga di wajah hampri semua mahasiswa dan mahasiswi yang ikut menyaksikan adegan barusan.Can't Believe it.
To be continue....
Ha ha ha, Penulis no coment deh. Langsung umpetan di kolong meja. :p
Hayyy kak aku hari ini sudah tamatin beberapa cerbung kakak lohh ☺☺aku pembaca baru nih di web kakak
ReplyDelete+susan istiqomah, oh ya? Selamat datang kalau gitu.
ReplyDeleteMonggo di nikmati semuanya. Biar mudah, lewat daftar isi aja. Soalnya emang masih banyak yang belum di rapikan.