Cerpen Cinta Romantis "Take My Heart" ~ 13
Buat yang udah nungguin lanjutan Take My Heart silahkan di baca. Lanjutannya udah muncul nih. Silahkan tinggalkan kritik dan sarannya buat lanjutan kedepannya yang masih belum tau kapan munculnya.
Kalau ada waktu buat ngetik sama modnya bagus mudah - mudahan lanjutannya bisa cepet. Abisnya jujur aja ya, sekarang jadi males banget buat nulis cerpen. Abisnya endnya udah jelas si. Ujung ujungnya paling cuma nanyain lanjutannya doank. Sama sekali nggak ada masukan buat nulis lagi.
Tapi yah, berhubung Drama jepang Itazura na kiss - Love In Tokyo yang sedari kemaren kemaren penulis tunggu udah muncul, yah walaupun cuma "Makeing" doank nggak papa deh, kayaknya bikin mod nulis balik. Lanjutan Cerpen Cinta Romantis "Take My Heart" ~ 13 bisa tercipta juga.
PS: Gini lah nasipnya kalau baca karya penulis amatiran. Sama sekali nggak profesional #Ngomong sama cermin.
Mulut Vio terbuka tanpa suara. Saat menoleh kesamping, Ivan sama sekali tidak menoleh kearahnya. Bahkan dengan santai melangkah meninggalkannya. Duduk santai di bawah pohon sambil memandang lautan lepas. Pertanyaannya sejak kapan kampusnya berubah jadi pantai?.
Merasa percuma untuk protes, terlebih tempatnya memang bagus. Tanpa kata Vio ikut melangkah. Menghampiri Ivan dan dengan santai duduk di sampingnya.
Kali ini gantian kening ivan yang mengkerut bingung saat melihat Vio yang tampak memjamkan mata. Menghirup nafas dalam dalam. Sepertinya gadis itu benar - benar menikmati suasana damai saat itu.
"Nggak usah liatin gue sampe segitunya. Yang ada entar loe jatuh cinta lagi sama gue" Mulut vio terbuka walau matanya masih terpejam.
Ivan hanya mencibir sinis. Kemudian kembali mengalihkan tatapannya kearah laut.
"Loe itu ternyata bener - bener sesuatu ya?".
"Maksutnya?" Ivan menoleh. Menatap lurus kearah mata Vio yang kini sedang menatapnya.
"Em" Kepala Vio mengangguk membenarkan. "Tau nggak si, sejak kenal sama loe hidup gue mulai terasa berubah. Masa selaku mahasiswi baru gue sering banget bolos" Sambung Vio sambil menegakan duduknya.
"Tapi loe menikmatinya kan?".
"Sedikit" Aku Vio jujur. Yang mau tak mau membuat Ivan tersenyum samar.
"Sepertinya loe bisa memberikan pengaruh buruk sama gue".
"Jiah, Kalimat apa itu. Gue ngajak loe kesini karena.... e.... Karena.." Ivan sendiri tampak bingung dengan kalimat apa yang akan ia ucapkan.
"Karena loe pengen ngambil hati gue supaya gue bisa jatuh cinta sama loe kan?" Tembak Vio langsung.
"Tapi baiklah, Sepertinya kali ini usaha loe sedikit berhasil. Gue suka laut, Gue juga suka udara bebas, gue suka suasana damai ini sambil Menatap birunya langit di bawah pohon. Ma kasih ya".
Mulut Ivan yang siap terbuka untuk protes kembali mingkem mendengar kalimat yang keluar dari mulut Vio barusan. Ah, Gadis itu.
"Jadi gimana sama tawaran loe kemaren. Masih berlaku kan?".
"Maksutnya?" Tanya Vio tidak mengerti.
"Tentang loe yang pengen jatuh cinta sama gue".
"Ha ha ha" Vio tak mampu menahan tawanya. Terlebih saat melihat raut serius di wajah Ivan.
"Loe masih tertarik?".
"Tentu saja" Balas Ivan Cepat.
"Kenapa?" Tanya Vio menyelidik.
Ivan tidak langsung menjawab. Kenapa?. Entah lah ia juga bingung. Yang ia tau ia ingin gadis itu selalu berada di sampingnya. Terlebih tawaran itu menarik untuknya. Selain itu ia juga tidak menyukai kenyataan kalau Vio menyukai calon pacar sahabatnya. Namun belum sempat ia mengutarakan alasannya mulut Vio sudah terlebih dahulu terbuka.
"Tentu saja karena loe nggak mau gelar playboy yang loe punya sirna. Terlebih taruahannya lumayan juga".
"Eh" Ivan menoleh. Ah benar juga. Soal taruhan itu. Kenapa ia sampai lupa ya?.
"Tapi baiklah. Berhubung dalam hal ini gue juga di untungkan. Oke, tu tawaran masih berlaku".
"Di untungkan?. Maksut loe masalah herry?" Tanya Ivan terlihat tak suka.
Vio hanya angkat bahu sebagai jawabannya. Bukannya itu sudah jelas ya?. Jadi kenapa masih harus di tanyakan lagi?.
"Terus gimana kalau seandainya loe beneran jatuh cinta sama gue, Terus gue tinggalin gitu aja. Loe nggak takut loe bakal sakit hati nantinya?" Tanya Ivan lagi.
"Kan gue udah bilang kalau loe yang ninggalin gue mungkin rasa sakitnya nggak akan seperti saat ini. Secara dari awal gue emang udah tau kalau gue bakal tersakit. Lain ceritanya kalau loe itu cowok baik - baik".
"Seperti Herry?" Tanya Ivan terdengar sinis.
"Bisa nggak si, loe nggak usah nyebut nyebut nama dia?".
Ivan terdiam sambil angkat bahu. Terlihat cuek atas tatapan tegas Vio padanya.
Tak hanya mata yang melotot, namun juga mulut yang terbuka. Melongo sebelum kemudian saling berbisik bisik sesama mereka. Tapi Vio tetap santai. Ralat, Mencoba bersikap santai. Ia tidak yakin kalau apa yang ia lakukan itu benar. Tapi sungguh, ia tidak mau kalau harus di salahkan.
Saat Vio melirik kesamping, Senyum Ivan langsung menyambutnya. Semakin erat mengengam tangannya. Sebagai penegasan kalau semuanya akan baik baik saja.
"Oke, Kita sudah sampai. Jangan lupa ntar siang gue jemput loe disini. Kita pulang bareng. Oke".
Vio hanya mengangguk sebagai balasan. Setelah melihat Ivan benar - benar berlalu dari hadapannya ia segera melangkah ke kelasnya. Walau terlihat santai, jantungnya justru berdetak keras. Apalagi tatapan seisi kelas tertuju padanya. Menjadi sorotan orang - orang ternyata bukan hal yang menyenangkan.
"Katakan kalau semua yang gue denger itu bohong!".
Refleks Vio menoleh. Sedikit mengernyit bingung ketika mendapati pertanyaan sahabat nya yang baru muncul. Lagian mana ia tau kabar apa yang di dengar Silvi.
"Maksut gue Ivan. Anak anak pada heboh. Katanya tadi pagi kalian berdua datang bareng. Bahkan gandengan tangan segala. Itu nggak bener kan?" Terang Silvi seolah mengerti arti raut di wajah Vio.
"O... soal itu" Vio kembali mengalihkan tatapannya kearah buku yang ia baca sedari tadi. "Tu kabar bener kok. Gue tadi emang bareng sama dia".
"What the hell".
Raut kesel jelas tergambar di wajah keduannya. Bedanya Silvi kesel karena Vio cuek, sementara Vio kesel karena Silvi dengan santai merebut buku bacaannya. Omigot, Ini masih pagi. Emang harus yang diawali dengan ribut ribut.
"Ya ampun Silvi. Please deh jangan lebai".
"Lebai apanya. Astaga Vio. Kepala gue sakit ni. Tolong deh ya. Loe tau dengan pasti Ivan itu gimana. Dia itu playboy. So kasi gue alasan yang masuk akal kenapa loe mau jalan bereng dia".
"Kita pacaran. So wajar donk kalau kita barengan".
Kali ini bukan teriakan tapi mulut Silvi jelas melongo. Yakin kalau pendengarannya tidak salah, namun tidak yakin apa yang ia dengar itu masuk akal.
"Kenapa?".
Vio terdiam. Tidak langsung menjawab. Secara mustahilkan ia bilang kalau ia mau jadian untuk melupakan Herry yang jelas jelas sudah jadi gebetan sahabatnya. Tapi untuk berbohong, Sungguh itu bukan gayanya. Akhirnya ia hanya memilih angkat bahu. Membuat Silvi semakin kesel di buatnya.
"Tapi loe tenang aja. Gue janji gue akan baik baik saja. Lagi pula gue tau kok apa yang gue lakukan. Oke".
Bukan karena setuju akan pendapat Vio kepala Silvi mengangguk. Tapi ia mengangguk karena ia tau kalau ia tiada pilihan lain selain percaya padanya. Lagi pula tugas seorang sahabat itu hanya mengingatkan, bukan mengatur. So mungkin benar, Vio tau apa yang ia lakukan.
"Baiklah jika emang itu pilihan loe. Gue berharap loe akan baik baik saja".
Kali ini Vio hanya membalas dengan senyuman.
“Loe nggak sekalian nawarin gue masuk” Tanya Ivan sambil meraih helm yang Vio sodorkan padanya. Saat itu mereka berdua telah sampai di depan rumah Vio. Sesuai janjinya tadi pagi, Ivan akan mengantar kepulangannya.
“Tentu saja tidak. Gue kan Cewek. Mana di kost tinggal sendirian lagi. Ntar apa coba kata tetangga kalau gue sembarangan bawa cowok keluar masuk kostan”.
“Cowok Sembarangan?” Tanya Ivan mengulang kalimat Vio yang menurutnya terdengar janggal. “Gue kan pacar loe sekarang”.
“Terus kalau kita pacaran kenapa?. Memangnya mereka bakal tau. Kan nggak ada tulisannya di jidat loe. Lagian kalau pun mereka tau juga itu nggak akan membantu banyak. Yang ada mereka mungkin justru akan berfikir kalau kita malah melakukan hal yang ‘iya – iya’ lagi”.
“Ha ha ha” Ivan tak mampu menahan tawanya saat mendengar penjelasan panjang lebar yang keluar dari mulut gadis di hadapannya.
“Itu mah dasar pikiran elo nya aja yang ngeres. Bilang aja loe takut kalau sebenernya loe yang malah akan tergoda karena berdekatan sama gue” Tambah Ivan lagi sambil mengacak acak kepala Vio. Membuat gadis itu memberengut sebel karena kini tatanan rambutnya terlihat berantakan.
“Oke deh, Kalau gitu gue pulang dulu ya. Hati hati loe di rumah” Pami Ivan kemudian. Kepala Vio hanya mengangguk mengiyakan. Begitu Ivan hilang dari pandangan ia segera melangkah kaki masuk kedalam rumahnya.
“Wah, Kayaknya mulai ada perkembangan pesat nih” Kata Andra sambil melirik kearah Ivan yang duduk di sampingnya sambil membolak balikan daftar menu yang ada di hadapannya. Bersikap cuek.
“Iya di luar dugaan banget” Tambah Renold.
“Ternyata loe beneran playboy Van. Masa baru seminggu Vio langsung takluk. Ah tu cewek tidak sehebat yang gue kira sebelumnya ternyata. Tetep aja payah. Masa dia juga mempan sama jurus pesona loe” Aldy menambahkan sambil menepuk nepuk pundak Ivan.
“Gue yang payah atau sebenernya kalian yang takut kalah?”.
“Eh”.
Empat sekawan itu reflex langsung menoleh kearah sumber suara. Tersenyum salah tingkah saat mendapati tatapan santai Vio yang entah sejak kapan sudah muncul di samping mejanya.
“Gue boleh ikutan gabung nggak. Hari ini Selvi nggak masuk. Dan makan sendirian itu nggak asik” Tambah Vio lagi.
“Oh.., Tentu saja boleh” Sahut Renold terlihat sedikit gugup. Tanpa di komando ia segera mengeser tempat duduknya. Memberikan kesempatan untuk Vio mengantikan posisinya sebelum kemudian ia beralih kearah kursi yang ada di belahan lainya.
Awalnya Vio merasa heran, namun tak urung ia mengangguk saat melihat Ivan yang menatapnya. Yang menduduki kursi tepat di sampingnya.
“Loe mau makan apa?” Tanya Ivan beberapa saat kemudian.
Vio segera menyebutkan pesanannya. Begitu juga dengan yang lain. Tak menunggu lama, semua yang mereka pesan sudah terhidang di atas meja.
“Oh ya tadi itu kalian lagi ngegosipin gue ya?”.
“Uhuk uhuk uhuk” Aldy yang sedang menyeruput kuah bakso pesanannya kontan langsung tersedak. Mengalihkan tatapannya kearah Vio yang terlihat santai mengaduk aduk mie Ayam pesannya. Terlihat sama sekali tidat terpengaruh.
“Bukan mengosip kita hanya mengobrol, karena yang identik dengan gossip itu biasanya cewek” ujar Andra meralat.
Vio menghentikan aktifitasnya, mengalihkan tatapan keaarah Andra yang juga sedang menatapnya. Untuk beberapa saat mata mereka saling beradu. Tak urung membuat Aldy, Renold dan Ivan saling menoleh heran.
“O” mulut Vio sedikit maju sebelum kemudian melepaskan kontak mata dengan Andra. Kembali beralih kearah Mangkuk makanannya. Mencicipi sedikit demi sedikit. Tangannya terulur meraih botol kecap yang ada di hadapannya. Menambahkan sedikit rasa manis untuk Mie ayam kesukaannya.
Mata Ivan tak lepas dari semua gerak gerik Vio. Keningnya sedikit berkerut bingung akan ulang gadis itu. Sementara Andre terlihat tersenyum misterius.
“Sudah gue duga” Gumam Andre dalam hati. Sebelum kemudian mulutnya berujar.
“Jadi Vio, Bisa loe jalasin ke kita kenapa loe mau membantu Ivan?”.
Pertanyaan Andra sukses menarik perhatian semuanya. Menatapnya penuh Tanya. Sementara yang di tatap justru tidak melepaskan pandangannya dari Vio. Merasa menjadi sorot perhatian Vio melepaskan sendoknya. Melipat kedua tanganya di meja sembari membalas tatapan Andra sambil tersenyum.
Hanya tersenyum…
To Be Continue
Next to Part selanjutanya aja ya…..
Kalau ada waktu buat ngetik sama modnya bagus mudah - mudahan lanjutannya bisa cepet. Abisnya jujur aja ya, sekarang jadi males banget buat nulis cerpen. Abisnya endnya udah jelas si. Ujung ujungnya paling cuma nanyain lanjutannya doank. Sama sekali nggak ada masukan buat nulis lagi.
Tapi yah, berhubung Drama jepang Itazura na kiss - Love In Tokyo yang sedari kemaren kemaren penulis tunggu udah muncul, yah walaupun cuma "Makeing" doank nggak papa deh, kayaknya bikin mod nulis balik. Lanjutan Cerpen Cinta Romantis "Take My Heart" ~ 13 bisa tercipta juga.
PS: Gini lah nasipnya kalau baca karya penulis amatiran. Sama sekali nggak profesional #Ngomong sama cermin.
Mulut Vio terbuka tanpa suara. Saat menoleh kesamping, Ivan sama sekali tidak menoleh kearahnya. Bahkan dengan santai melangkah meninggalkannya. Duduk santai di bawah pohon sambil memandang lautan lepas. Pertanyaannya sejak kapan kampusnya berubah jadi pantai?.
Merasa percuma untuk protes, terlebih tempatnya memang bagus. Tanpa kata Vio ikut melangkah. Menghampiri Ivan dan dengan santai duduk di sampingnya.
Kali ini gantian kening ivan yang mengkerut bingung saat melihat Vio yang tampak memjamkan mata. Menghirup nafas dalam dalam. Sepertinya gadis itu benar - benar menikmati suasana damai saat itu.
"Nggak usah liatin gue sampe segitunya. Yang ada entar loe jatuh cinta lagi sama gue" Mulut vio terbuka walau matanya masih terpejam.
Ivan hanya mencibir sinis. Kemudian kembali mengalihkan tatapannya kearah laut.
"Loe itu ternyata bener - bener sesuatu ya?".
"Maksutnya?" Ivan menoleh. Menatap lurus kearah mata Vio yang kini sedang menatapnya.
"Em" Kepala Vio mengangguk membenarkan. "Tau nggak si, sejak kenal sama loe hidup gue mulai terasa berubah. Masa selaku mahasiswi baru gue sering banget bolos" Sambung Vio sambil menegakan duduknya.
"Tapi loe menikmatinya kan?".
"Sedikit" Aku Vio jujur. Yang mau tak mau membuat Ivan tersenyum samar.
"Sepertinya loe bisa memberikan pengaruh buruk sama gue".
"Jiah, Kalimat apa itu. Gue ngajak loe kesini karena.... e.... Karena.." Ivan sendiri tampak bingung dengan kalimat apa yang akan ia ucapkan.
"Karena loe pengen ngambil hati gue supaya gue bisa jatuh cinta sama loe kan?" Tembak Vio langsung.
"Tapi baiklah, Sepertinya kali ini usaha loe sedikit berhasil. Gue suka laut, Gue juga suka udara bebas, gue suka suasana damai ini sambil Menatap birunya langit di bawah pohon. Ma kasih ya".
Mulut Ivan yang siap terbuka untuk protes kembali mingkem mendengar kalimat yang keluar dari mulut Vio barusan. Ah, Gadis itu.
"Jadi gimana sama tawaran loe kemaren. Masih berlaku kan?".
"Maksutnya?" Tanya Vio tidak mengerti.
"Tentang loe yang pengen jatuh cinta sama gue".
"Ha ha ha" Vio tak mampu menahan tawanya. Terlebih saat melihat raut serius di wajah Ivan.
"Loe masih tertarik?".
"Tentu saja" Balas Ivan Cepat.
"Kenapa?" Tanya Vio menyelidik.
Ivan tidak langsung menjawab. Kenapa?. Entah lah ia juga bingung. Yang ia tau ia ingin gadis itu selalu berada di sampingnya. Terlebih tawaran itu menarik untuknya. Selain itu ia juga tidak menyukai kenyataan kalau Vio menyukai calon pacar sahabatnya. Namun belum sempat ia mengutarakan alasannya mulut Vio sudah terlebih dahulu terbuka.
"Tentu saja karena loe nggak mau gelar playboy yang loe punya sirna. Terlebih taruahannya lumayan juga".
"Eh" Ivan menoleh. Ah benar juga. Soal taruhan itu. Kenapa ia sampai lupa ya?.
"Tapi baiklah. Berhubung dalam hal ini gue juga di untungkan. Oke, tu tawaran masih berlaku".
"Di untungkan?. Maksut loe masalah herry?" Tanya Ivan terlihat tak suka.
Vio hanya angkat bahu sebagai jawabannya. Bukannya itu sudah jelas ya?. Jadi kenapa masih harus di tanyakan lagi?.
"Terus gimana kalau seandainya loe beneran jatuh cinta sama gue, Terus gue tinggalin gitu aja. Loe nggak takut loe bakal sakit hati nantinya?" Tanya Ivan lagi.
"Kan gue udah bilang kalau loe yang ninggalin gue mungkin rasa sakitnya nggak akan seperti saat ini. Secara dari awal gue emang udah tau kalau gue bakal tersakit. Lain ceritanya kalau loe itu cowok baik - baik".
"Seperti Herry?" Tanya Ivan terdengar sinis.
"Bisa nggak si, loe nggak usah nyebut nyebut nama dia?".
Ivan terdiam sambil angkat bahu. Terlihat cuek atas tatapan tegas Vio padanya.
Tak hanya mata yang melotot, namun juga mulut yang terbuka. Melongo sebelum kemudian saling berbisik bisik sesama mereka. Tapi Vio tetap santai. Ralat, Mencoba bersikap santai. Ia tidak yakin kalau apa yang ia lakukan itu benar. Tapi sungguh, ia tidak mau kalau harus di salahkan.
Saat Vio melirik kesamping, Senyum Ivan langsung menyambutnya. Semakin erat mengengam tangannya. Sebagai penegasan kalau semuanya akan baik baik saja.
"Oke, Kita sudah sampai. Jangan lupa ntar siang gue jemput loe disini. Kita pulang bareng. Oke".
Vio hanya mengangguk sebagai balasan. Setelah melihat Ivan benar - benar berlalu dari hadapannya ia segera melangkah ke kelasnya. Walau terlihat santai, jantungnya justru berdetak keras. Apalagi tatapan seisi kelas tertuju padanya. Menjadi sorotan orang - orang ternyata bukan hal yang menyenangkan.
"Katakan kalau semua yang gue denger itu bohong!".
Refleks Vio menoleh. Sedikit mengernyit bingung ketika mendapati pertanyaan sahabat nya yang baru muncul. Lagian mana ia tau kabar apa yang di dengar Silvi.
"Maksut gue Ivan. Anak anak pada heboh. Katanya tadi pagi kalian berdua datang bareng. Bahkan gandengan tangan segala. Itu nggak bener kan?" Terang Silvi seolah mengerti arti raut di wajah Vio.
"O... soal itu" Vio kembali mengalihkan tatapannya kearah buku yang ia baca sedari tadi. "Tu kabar bener kok. Gue tadi emang bareng sama dia".
"What the hell".
Raut kesel jelas tergambar di wajah keduannya. Bedanya Silvi kesel karena Vio cuek, sementara Vio kesel karena Silvi dengan santai merebut buku bacaannya. Omigot, Ini masih pagi. Emang harus yang diawali dengan ribut ribut.
"Ya ampun Silvi. Please deh jangan lebai".
"Lebai apanya. Astaga Vio. Kepala gue sakit ni. Tolong deh ya. Loe tau dengan pasti Ivan itu gimana. Dia itu playboy. So kasi gue alasan yang masuk akal kenapa loe mau jalan bereng dia".
"Kita pacaran. So wajar donk kalau kita barengan".
Kali ini bukan teriakan tapi mulut Silvi jelas melongo. Yakin kalau pendengarannya tidak salah, namun tidak yakin apa yang ia dengar itu masuk akal.
"Kenapa?".
Vio terdiam. Tidak langsung menjawab. Secara mustahilkan ia bilang kalau ia mau jadian untuk melupakan Herry yang jelas jelas sudah jadi gebetan sahabatnya. Tapi untuk berbohong, Sungguh itu bukan gayanya. Akhirnya ia hanya memilih angkat bahu. Membuat Silvi semakin kesel di buatnya.
"Tapi loe tenang aja. Gue janji gue akan baik baik saja. Lagi pula gue tau kok apa yang gue lakukan. Oke".
Bukan karena setuju akan pendapat Vio kepala Silvi mengangguk. Tapi ia mengangguk karena ia tau kalau ia tiada pilihan lain selain percaya padanya. Lagi pula tugas seorang sahabat itu hanya mengingatkan, bukan mengatur. So mungkin benar, Vio tau apa yang ia lakukan.
"Baiklah jika emang itu pilihan loe. Gue berharap loe akan baik baik saja".
Kali ini Vio hanya membalas dengan senyuman.
“Loe nggak sekalian nawarin gue masuk” Tanya Ivan sambil meraih helm yang Vio sodorkan padanya. Saat itu mereka berdua telah sampai di depan rumah Vio. Sesuai janjinya tadi pagi, Ivan akan mengantar kepulangannya.
“Tentu saja tidak. Gue kan Cewek. Mana di kost tinggal sendirian lagi. Ntar apa coba kata tetangga kalau gue sembarangan bawa cowok keluar masuk kostan”.
“Cowok Sembarangan?” Tanya Ivan mengulang kalimat Vio yang menurutnya terdengar janggal. “Gue kan pacar loe sekarang”.
“Terus kalau kita pacaran kenapa?. Memangnya mereka bakal tau. Kan nggak ada tulisannya di jidat loe. Lagian kalau pun mereka tau juga itu nggak akan membantu banyak. Yang ada mereka mungkin justru akan berfikir kalau kita malah melakukan hal yang ‘iya – iya’ lagi”.
“Ha ha ha” Ivan tak mampu menahan tawanya saat mendengar penjelasan panjang lebar yang keluar dari mulut gadis di hadapannya.
“Itu mah dasar pikiran elo nya aja yang ngeres. Bilang aja loe takut kalau sebenernya loe yang malah akan tergoda karena berdekatan sama gue” Tambah Ivan lagi sambil mengacak acak kepala Vio. Membuat gadis itu memberengut sebel karena kini tatanan rambutnya terlihat berantakan.
“Oke deh, Kalau gitu gue pulang dulu ya. Hati hati loe di rumah” Pami Ivan kemudian. Kepala Vio hanya mengangguk mengiyakan. Begitu Ivan hilang dari pandangan ia segera melangkah kaki masuk kedalam rumahnya.
“Wah, Kayaknya mulai ada perkembangan pesat nih” Kata Andra sambil melirik kearah Ivan yang duduk di sampingnya sambil membolak balikan daftar menu yang ada di hadapannya. Bersikap cuek.
“Iya di luar dugaan banget” Tambah Renold.
“Ternyata loe beneran playboy Van. Masa baru seminggu Vio langsung takluk. Ah tu cewek tidak sehebat yang gue kira sebelumnya ternyata. Tetep aja payah. Masa dia juga mempan sama jurus pesona loe” Aldy menambahkan sambil menepuk nepuk pundak Ivan.
“Gue yang payah atau sebenernya kalian yang takut kalah?”.
“Eh”.
Empat sekawan itu reflex langsung menoleh kearah sumber suara. Tersenyum salah tingkah saat mendapati tatapan santai Vio yang entah sejak kapan sudah muncul di samping mejanya.
“Gue boleh ikutan gabung nggak. Hari ini Selvi nggak masuk. Dan makan sendirian itu nggak asik” Tambah Vio lagi.
“Oh.., Tentu saja boleh” Sahut Renold terlihat sedikit gugup. Tanpa di komando ia segera mengeser tempat duduknya. Memberikan kesempatan untuk Vio mengantikan posisinya sebelum kemudian ia beralih kearah kursi yang ada di belahan lainya.
Awalnya Vio merasa heran, namun tak urung ia mengangguk saat melihat Ivan yang menatapnya. Yang menduduki kursi tepat di sampingnya.
“Loe mau makan apa?” Tanya Ivan beberapa saat kemudian.
Vio segera menyebutkan pesanannya. Begitu juga dengan yang lain. Tak menunggu lama, semua yang mereka pesan sudah terhidang di atas meja.
“Oh ya tadi itu kalian lagi ngegosipin gue ya?”.
“Uhuk uhuk uhuk” Aldy yang sedang menyeruput kuah bakso pesanannya kontan langsung tersedak. Mengalihkan tatapannya kearah Vio yang terlihat santai mengaduk aduk mie Ayam pesannya. Terlihat sama sekali tidat terpengaruh.
“Bukan mengosip kita hanya mengobrol, karena yang identik dengan gossip itu biasanya cewek” ujar Andra meralat.
Vio menghentikan aktifitasnya, mengalihkan tatapan keaarah Andra yang juga sedang menatapnya. Untuk beberapa saat mata mereka saling beradu. Tak urung membuat Aldy, Renold dan Ivan saling menoleh heran.
“O” mulut Vio sedikit maju sebelum kemudian melepaskan kontak mata dengan Andra. Kembali beralih kearah Mangkuk makanannya. Mencicipi sedikit demi sedikit. Tangannya terulur meraih botol kecap yang ada di hadapannya. Menambahkan sedikit rasa manis untuk Mie ayam kesukaannya.
Mata Ivan tak lepas dari semua gerak gerik Vio. Keningnya sedikit berkerut bingung akan ulang gadis itu. Sementara Andre terlihat tersenyum misterius.
“Sudah gue duga” Gumam Andre dalam hati. Sebelum kemudian mulutnya berujar.
“Jadi Vio, Bisa loe jalasin ke kita kenapa loe mau membantu Ivan?”.
Pertanyaan Andra sukses menarik perhatian semuanya. Menatapnya penuh Tanya. Sementara yang di tatap justru tidak melepaskan pandangannya dari Vio. Merasa menjadi sorot perhatian Vio melepaskan sendoknya. Melipat kedua tanganya di meja sembari membalas tatapan Andra sambil tersenyum.
Hanya tersenyum…
To Be Continue
Next to Part selanjutanya aja ya…..
Cerpen Kak Mer emang dari part ke part bagus" :)
ReplyDelete