Cerpen Cinta Kenalkan Aku Pada Cinta ~ 14
Lama nggak ngetik cerpen, jadi cangung sama lanjutannya. Apalagi untuk cerpen cinta kenalkan aku pada cinta. Busyed banget dah, ni cerpen udah dari sekian lama kenapa nggak ending – ending juga yak? Ribet amat kayaknya. Ide kerasa mahal pisan euy. Sampe sampe admin jadi bingun sendiri. #Ciuuusss
And then, kalo emang nggak ada aral melintang (???) kayaknya, cerpen yang satu ini hanya tinggal 2 atau 3 part lagi nemu ending deh. Pake voting yuks, kalau di bikin sad ending gimana? Secara lamaaaaaaa bangets adminnya nggak bikin cerpen yang sad sad. Bener nggak sih? Ke ke. Eh, biar nggak kebanyakan bacod langsung baca lajutannya aja yuks. And untuk part sebelumnya bisa di baca disini.
Astri sesekali melirik jam yang melingkar di tangannya sembari matanya melirik kearah pintu kantin, menanti sosok kemunculan sahabatnya. Sudah lebih dari 15 menit ia menunggu, tapi gadis itu masih belum menunjukan batang hidung nya. Padahal tadi katanya hanya sebentar. Ia kan paling malas kalau harus makan sendirian.
“Kok sendirian?”
Astri menoleh. Wajah Andre langsung menyambutnya. Ia sendiri heran, kapan pria itu muncul? Kenapa ia tidak menyadari kehadirannya?
“Alya mana?” pertanyaan selanjutnya menyadarkan Astri dari lamunannya. Entah kenapa ia merasa sedikit kesel mendengar pertanyaan itu. Ia tau, ia memang bersahabat cukup erat dengan Alya, tapi mendengar nama gadis itu yang keluar dari mulut Andre membuatnya merasa sedikit terganggu. Jangan di tanya kenapa, karena ia juga tidak tau.
“Ehem, Alya. Nggak tau, tadi katanya ada urusan sama dosen,” balas Astri datar. Perhatiannya kembali ia alihkan kearah minuman pesanannya, mengaduk – aduknya dengan berlahan.
“O…” Andre tampak mengangguk. “Gue boleh duduk disini bentar nggak?”
Astri hanya mengangguk. Untuk beberapa saat keduannya terdiam.
“Oh ya As, ngomong – ngomong besok kan hari minggu. Kita libur. Loe ada acara nggak?”
Astri menoleh dengan tatapan menyelidik. Sibuk menebak kearah mana pembicaraan ini akan di bawa. Setelah mikir beberapa saat kepalanya mengeleng sembari mulutnya bergumam “Enggak ada. Emang kenapa?”
Andre tidak langsung menjawap, hanya bibirnya yang tampak melengkung membentuk senyuman indah. “Kalau gue ajak jalan loe mau nggak?”
“Jalan?” ulang Astri seolah tak yakin dengan kalimat yang baru saja di dengarnnya.
Andre mengangguk mantap sebagai jawaban. “Tapi cuma kita berdua. Nggak ada Alya apalagi Rendy,” sambung Andre lagi.
Astri makin bungkam. Diajak jalan saja ia sudah merasa heran, apalagi tanpa Rendi dan Alya. Merasa sedikit salah tingkah, tangan Astri terulur meraih pipet minumannya. Menyeruput jus jeruk yang sedari tadi hanya ia aduk aduk. Kepalanya kembali menelaah tawaran Andre barusan. Jalan – jalan? Hanya berdua? Jangan bilang kalau Andre mengajak ia untuk ken…
“Kita kencan,” sambung Andre seolah mampu membaca pikiran Astri.
“Uhuk – uhuk,” kalau biasanya orang tersedak karena bakos, kali ini Astri tersedak minumannya sendiri. Ketika batuknya reda, matanya langsung menatap lurus kearah Andre yang ternyata juga sedang menatapnya. Menanti jawaban lebih tepatnya.
“Loe mau kan?”
“Tentu saja tidak,” itu adalah jawab yang seharusnya dan ingin Astri lontarkan. Ayolah, ia tau pasti kalau sosok yang mengajaknya itu adalah orang yang di taksir sahabatnya sendiri. Tapi…. Entah bagaimana ceritanya, ia merasa kalimat itu terlalu berat untuk di lontarkan. Bahkan seolah itu belum cukup, tubuhnya juga memberikan reaksi yang berbeda. Kepalanya mengangguk berlahan, sembari mulutnya bergumam lirih. “Boleh.”
“Ya?” gantian Andre yang tampak heran. Seolah tak yakin dengan jawaban yang di dapatkannya. Matanya menatap lurus kearah Astri, menanti kalimat lanjutan. Tapi gadis itu hanya terdiam tanpa berani menoleh kearah dirinya. Tanpa bisa di cegah, senyum kembali mengembang di bibir Andre.
“Baiklah, kalau gitu besok gue jemput loe jam 08:00 pagi. Gimana?”
“Ya sudah kalau gitu. Sekarang gue pergi dulu ya. Kebetulan gue ada urusan. Jangan lupa besok gue jemput loe. Oke,” kata Andre sambil bangkit berdiri.
Astri menoleh. Walau sejujurnya ia bingung, tapi mulutnya tetap bungkam. Hanya anggukan kepala yang lagi lagi ia berikan sebagai jawaban. Mengantakan kepergian Andre yang berlalu meninggalkannya.
Setelah Andre benar – benar berlalu, Astri terdiam sediri. Sibuk mencerna apa yang baru saja di lakukannya. Mendadak ia merasa ragu. Bahkan tak urung sedikit merasa bersalah pada sahabatnya. Apa yang telah ia lakukan? Kenapa ia menyetujui ajakan itu?
“Ngelamun aja loe. Nggak bakal kaya tau.”
Astri terlonjak seiring dengan kalimat sapaan yang mampir di gendang telingannya. Terlebih tambahan kontak fisik pada tepukan pundaknya. Saat menoleh, Alya sudah berdiri disampingnya. Tanpa kata, gadis itu segera duduk di hadapannya. Mengantikan tempat Andre sebelumnya.
“Apaan sih loe. Ngagetin aja,” gerut Astri. Secara refleks ia menoleh kekanan kiri. Memastikan tiada bayangan Andre di sekitarnnya.
“Yee… gitu aja kaget. Makanya jangan ngelamun aja. Ayam tetangga pada mati tau,” nasehat Alya yang hanya di balas cibiran.
“Ngomong – ngomong loe lama banget sih. Emang ada urusan apaan?”
“Gue kan tadi udah bilang, gue keruangan dosen. Gue mau minta izin. Soalnya gue mau libur seminggu kedepan.”
“HA? Kenapa?” Astri jelas kaget mendengarnnya.
“Biasalah. Gue ada urusan keluarga gitu. Gue, sama nyokap gue mau keluar kota. Ada acara gitu di tempat kerabat gue. Karena bokap gue nggak bisa ikut, yah terpaksa deh gue yang gantiin temenin nyokap buat kesana.”
“Tapi kok harus seminggu segala. Lama amat?”
“Itu karena acarannya bukan cuma di luar kota. Tapi udah luar provinsi juga. Jauh. Kalau cuma sebentar, sayang di ongkos. Lagian, nyokap gue udah lama banget nggak kesana. Jadi, gitu deh.”
“Dimana? Emang sejauh apa sih?” tanya Astri lagi.
“Bokor ~ Selatpanjang ~ Riau ~ Indonesi. Sebenernya gue ngerasa percuma aja sih gue ngasih tau. Loe juga nggak bakal tau. Secara daerahnya nggak ada di peta,” sahut Alya ngasal, Astri sedikit mengernyit mendengarnya. Dan sebelum mulutnya kembali terlontar untuk melemparkan pertanyaan, Alya sudah terlebih dahulu mendahuluinya.
“Nah, karena itu. Besok loe temenin gue ya. Gue mau cari oleh – oleh buat di bawa kesana. Loe bisa kan?”
“Ya?”
“Tampangnya biasa aja kali. Nggak usah kaget segala.”
Astri terdiam. Merasa bingung dengan apa yang akan di lakukannya. Bagaimana donk, ia kan sudah berjanji pada Andre untuk jalan bersama.
“Aduh, gimana ya? Besok kayaknya gue nggak bisa.”
“Nggak bisa? Kenapa?” tanya Alya heran.
“Besok gue udah ada janji soalnya.”
“Janji? Sama siapa ? Nggak bisa di batalin ya?”
Lagi – lagi Astri terdiam. Nggak mungkin kan ia harus bilang kalau ia mau jalan sama Andre. Apa nanti tangapan Alya padanya? Tapi kalau nggak di kasih tau, ia mau pake alasan apa?
“Sama temen.”
Alya menyipitkan matanya. Menatap penuh selidik kearah Astri. Merasa kalau ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya itu. Tidak biasanya Astri begitu. Sepertinya ada yang di sembunyikan darinya.
“Ya udah. Gimana kalau kita nyari oleh – olehnya hari ini aja. Abis pulang kuliah kita langsung pergi. Oke?” tawar Astri cepat. Tak memberi kesempatan pada Alya untuk bertanya lebih lanjut.
Untuk sejenak Alya tampak memikirkan tawaran sahabatnya itu. Dan beberapa saat kemudian kepalanya mengangguk berlahan. Isarat bahwa ia setuju. Lagipula kalau di pikir – pikir siang ini ia tidak acara. Besok juga ia masih harus paking barang. Di tambah lagi, ia juga malas kalau besok harus keluar sendirian.
“Oke deh kalau gitu. Abis ini kita langsung pergi.”
Astri tersenyum mendengarnya. Walau tak urung ia merasa sedikit bersalah karena telah membohongi sahabatnya, namun sebagian hatinya justru merasa lega dan senang. Karena sepertinya Alya sudah tidak mempermasalahkan alasannya.
Keesokan harinya, Astri tampak sibuk merapikan diri. Walau ia sudah mati – matian meyakinkan dirinya sendiri kalau itu bukan kencan tapi hanya untuk memenuhi undangan jalan sekaligus mengisi hari liburnya, tapi tetap saja ia berdandan. Bahkan kacamata yang biasa menemani hari harinya di kampus kini telah digantikan dengan kontak lens. Rambutnya juga sengaja ia gerai bebas. Tak lupa polesan sedikit make up di wajahnya yang di padukan dengan gaun yang baru ia beli minggu kemaren.
“Eh busyed, cantik banget loe. Mau kemana?”
Tak tau datangnya dari mana, alih – alih Rendy tampak melangkah menghampiri dengan raut heran plus kagum dengan penampilannya.
“Kakak apaan sih. Kalau mau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu. Kebiasaan deh.”
Langkah Rendy langsung terhenti dengan tatapan menatap lurus kearah bayangan Astri pada cermin. Wajahnya menampilkan sosok seseorang yang sedang berfikir, kemudian tanpa kata ia segera berbalik. Tepat di daun pintu yang masih terbuka, tangannya terulur mengetuk tiga kali baru kemudian kembali melangkah menghampiri Astri yang terlihat cengo memperhatikan ulahnya.
“Nggak gitu juga kali. Maksut gue itu ketuk pintu sebelum masuk. Bukan setelah ataupun pake tayang ulang segala.”
“Akh bawel loe. Yang penting kan gue udah ketuk pintu,” balas Rendy. “Tapi ngomong – ngomong loe mau kemana si?” tanya Rendy mengulang pertanyaannya yang belum terjawab.
“Jalan,” sahut Astri singkat.
“Sama siapa?” tanya Rendy lagi dengan tampang menyelidik.
“Yee, gue mau jalan sama siapa suka – suka gue donk. Lagian sejak kapan coba gue mau jalan harus laporan dulu,” elak Astri.
“Emang nggak harus sih. Tapi paling nggak kan gue kakak loe. Entar kalau sampe ada apa – apa sama loe siapa coba yang repot. Gue juga…”
Astri mencibir sinis mendengarnya. Sejak kapan kakaknya perhatian gitu. Akh, ia jadi merasa curiga.
“Ekh, tapi ngomong – ngomong. Loe mau kencan ya? Sama siapa? Soalnya bukan cuma cantik, tapi wangi banget kayaknya?” tanya Rendy lagi sambil mendendus endus bau dengan hidunnya.
“Nggak usah kepo deh ya. Mau kencan kek, sama siapa kek, cantik kek, wangi kek. Suka – suka gue donk.”
“Lah, sejak kapan adik gue jadi galak gini? Wah, ada yang nggak beres nih. Pasti loe mau kencan sama orang yang nggak jelas,” komentar Rendy.
“Loe yang nggak beres. Sama nggak jelas juga. Udah keluar sana. Ini kan kamar cewek,” balas Astri sambil mendorong tubuh kakaknya keluar melewati pintu kamarnya sebelum kemudian ia kunci dari dalam. Tak ingin mendapatkan gangguan lebih dari makhluk itu. Lagipula tumben tu orang jam segini sudah bangun. Padahal kan ini hari libur. Biasanya juga masih keasikan molor.
Setelah kakaknya keluar Astri kembali menautkan dirinya pada cermin di hadapan. Memastikan kalau dandananya tidak terlalu berlebihan. Setelah yakin semuanya oke, Astri melirik jam di tangan, tinggal menunggu kedatangan Andre yang menjemputnya, dan ia bisa langsung pergi sesuai yang di rencanakan.
Memenuhi ajakan _kencan_ Andre.
To Be Continue…
With Love ~ Ana Merya ~
And then, kalo emang nggak ada aral melintang (???) kayaknya, cerpen yang satu ini hanya tinggal 2 atau 3 part lagi nemu ending deh. Pake voting yuks, kalau di bikin sad ending gimana? Secara lamaaaaaaa bangets adminnya nggak bikin cerpen yang sad sad. Bener nggak sih? Ke ke. Eh, biar nggak kebanyakan bacod langsung baca lajutannya aja yuks. And untuk part sebelumnya bisa di baca disini.
Cerpen Cinta Kenalkan Aku Pada Cinta |
Astri sesekali melirik jam yang melingkar di tangannya sembari matanya melirik kearah pintu kantin, menanti sosok kemunculan sahabatnya. Sudah lebih dari 15 menit ia menunggu, tapi gadis itu masih belum menunjukan batang hidung nya. Padahal tadi katanya hanya sebentar. Ia kan paling malas kalau harus makan sendirian.
“Kok sendirian?”
Astri menoleh. Wajah Andre langsung menyambutnya. Ia sendiri heran, kapan pria itu muncul? Kenapa ia tidak menyadari kehadirannya?
“Alya mana?” pertanyaan selanjutnya menyadarkan Astri dari lamunannya. Entah kenapa ia merasa sedikit kesel mendengar pertanyaan itu. Ia tau, ia memang bersahabat cukup erat dengan Alya, tapi mendengar nama gadis itu yang keluar dari mulut Andre membuatnya merasa sedikit terganggu. Jangan di tanya kenapa, karena ia juga tidak tau.
“Ehem, Alya. Nggak tau, tadi katanya ada urusan sama dosen,” balas Astri datar. Perhatiannya kembali ia alihkan kearah minuman pesanannya, mengaduk – aduknya dengan berlahan.
“O…” Andre tampak mengangguk. “Gue boleh duduk disini bentar nggak?”
Astri hanya mengangguk. Untuk beberapa saat keduannya terdiam.
“Oh ya As, ngomong – ngomong besok kan hari minggu. Kita libur. Loe ada acara nggak?”
Astri menoleh dengan tatapan menyelidik. Sibuk menebak kearah mana pembicaraan ini akan di bawa. Setelah mikir beberapa saat kepalanya mengeleng sembari mulutnya bergumam “Enggak ada. Emang kenapa?”
Andre tidak langsung menjawap, hanya bibirnya yang tampak melengkung membentuk senyuman indah. “Kalau gue ajak jalan loe mau nggak?”
“Jalan?” ulang Astri seolah tak yakin dengan kalimat yang baru saja di dengarnnya.
Andre mengangguk mantap sebagai jawaban. “Tapi cuma kita berdua. Nggak ada Alya apalagi Rendy,” sambung Andre lagi.
Astri makin bungkam. Diajak jalan saja ia sudah merasa heran, apalagi tanpa Rendi dan Alya. Merasa sedikit salah tingkah, tangan Astri terulur meraih pipet minumannya. Menyeruput jus jeruk yang sedari tadi hanya ia aduk aduk. Kepalanya kembali menelaah tawaran Andre barusan. Jalan – jalan? Hanya berdua? Jangan bilang kalau Andre mengajak ia untuk ken…
“Kita kencan,” sambung Andre seolah mampu membaca pikiran Astri.
“Uhuk – uhuk,” kalau biasanya orang tersedak karena bakos, kali ini Astri tersedak minumannya sendiri. Ketika batuknya reda, matanya langsung menatap lurus kearah Andre yang ternyata juga sedang menatapnya. Menanti jawaban lebih tepatnya.
“Loe mau kan?”
“Tentu saja tidak,” itu adalah jawab yang seharusnya dan ingin Astri lontarkan. Ayolah, ia tau pasti kalau sosok yang mengajaknya itu adalah orang yang di taksir sahabatnya sendiri. Tapi…. Entah bagaimana ceritanya, ia merasa kalimat itu terlalu berat untuk di lontarkan. Bahkan seolah itu belum cukup, tubuhnya juga memberikan reaksi yang berbeda. Kepalanya mengangguk berlahan, sembari mulutnya bergumam lirih. “Boleh.”
“Ya?” gantian Andre yang tampak heran. Seolah tak yakin dengan jawaban yang di dapatkannya. Matanya menatap lurus kearah Astri, menanti kalimat lanjutan. Tapi gadis itu hanya terdiam tanpa berani menoleh kearah dirinya. Tanpa bisa di cegah, senyum kembali mengembang di bibir Andre.
“Baiklah, kalau gitu besok gue jemput loe jam 08:00 pagi. Gimana?”
“Ya sudah kalau gitu. Sekarang gue pergi dulu ya. Kebetulan gue ada urusan. Jangan lupa besok gue jemput loe. Oke,” kata Andre sambil bangkit berdiri.
Astri menoleh. Walau sejujurnya ia bingung, tapi mulutnya tetap bungkam. Hanya anggukan kepala yang lagi lagi ia berikan sebagai jawaban. Mengantakan kepergian Andre yang berlalu meninggalkannya.
Setelah Andre benar – benar berlalu, Astri terdiam sediri. Sibuk mencerna apa yang baru saja di lakukannya. Mendadak ia merasa ragu. Bahkan tak urung sedikit merasa bersalah pada sahabatnya. Apa yang telah ia lakukan? Kenapa ia menyetujui ajakan itu?
“Ngelamun aja loe. Nggak bakal kaya tau.”
Astri terlonjak seiring dengan kalimat sapaan yang mampir di gendang telingannya. Terlebih tambahan kontak fisik pada tepukan pundaknya. Saat menoleh, Alya sudah berdiri disampingnya. Tanpa kata, gadis itu segera duduk di hadapannya. Mengantikan tempat Andre sebelumnya.
“Apaan sih loe. Ngagetin aja,” gerut Astri. Secara refleks ia menoleh kekanan kiri. Memastikan tiada bayangan Andre di sekitarnnya.
“Yee… gitu aja kaget. Makanya jangan ngelamun aja. Ayam tetangga pada mati tau,” nasehat Alya yang hanya di balas cibiran.
“Ngomong – ngomong loe lama banget sih. Emang ada urusan apaan?”
“Gue kan tadi udah bilang, gue keruangan dosen. Gue mau minta izin. Soalnya gue mau libur seminggu kedepan.”
“HA? Kenapa?” Astri jelas kaget mendengarnnya.
“Biasalah. Gue ada urusan keluarga gitu. Gue, sama nyokap gue mau keluar kota. Ada acara gitu di tempat kerabat gue. Karena bokap gue nggak bisa ikut, yah terpaksa deh gue yang gantiin temenin nyokap buat kesana.”
“Tapi kok harus seminggu segala. Lama amat?”
“Itu karena acarannya bukan cuma di luar kota. Tapi udah luar provinsi juga. Jauh. Kalau cuma sebentar, sayang di ongkos. Lagian, nyokap gue udah lama banget nggak kesana. Jadi, gitu deh.”
“Dimana? Emang sejauh apa sih?” tanya Astri lagi.
“Bokor ~ Selatpanjang ~ Riau ~ Indonesi. Sebenernya gue ngerasa percuma aja sih gue ngasih tau. Loe juga nggak bakal tau. Secara daerahnya nggak ada di peta,” sahut Alya ngasal, Astri sedikit mengernyit mendengarnya. Dan sebelum mulutnya kembali terlontar untuk melemparkan pertanyaan, Alya sudah terlebih dahulu mendahuluinya.
“Nah, karena itu. Besok loe temenin gue ya. Gue mau cari oleh – oleh buat di bawa kesana. Loe bisa kan?”
“Ya?”
“Tampangnya biasa aja kali. Nggak usah kaget segala.”
Astri terdiam. Merasa bingung dengan apa yang akan di lakukannya. Bagaimana donk, ia kan sudah berjanji pada Andre untuk jalan bersama.
“Aduh, gimana ya? Besok kayaknya gue nggak bisa.”
“Nggak bisa? Kenapa?” tanya Alya heran.
“Besok gue udah ada janji soalnya.”
“Janji? Sama siapa ? Nggak bisa di batalin ya?”
Lagi – lagi Astri terdiam. Nggak mungkin kan ia harus bilang kalau ia mau jalan sama Andre. Apa nanti tangapan Alya padanya? Tapi kalau nggak di kasih tau, ia mau pake alasan apa?
“Sama temen.”
Alya menyipitkan matanya. Menatap penuh selidik kearah Astri. Merasa kalau ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya itu. Tidak biasanya Astri begitu. Sepertinya ada yang di sembunyikan darinya.
“Ya udah. Gimana kalau kita nyari oleh – olehnya hari ini aja. Abis pulang kuliah kita langsung pergi. Oke?” tawar Astri cepat. Tak memberi kesempatan pada Alya untuk bertanya lebih lanjut.
Untuk sejenak Alya tampak memikirkan tawaran sahabatnya itu. Dan beberapa saat kemudian kepalanya mengangguk berlahan. Isarat bahwa ia setuju. Lagipula kalau di pikir – pikir siang ini ia tidak acara. Besok juga ia masih harus paking barang. Di tambah lagi, ia juga malas kalau besok harus keluar sendirian.
“Oke deh kalau gitu. Abis ini kita langsung pergi.”
Astri tersenyum mendengarnya. Walau tak urung ia merasa sedikit bersalah karena telah membohongi sahabatnya, namun sebagian hatinya justru merasa lega dan senang. Karena sepertinya Alya sudah tidak mempermasalahkan alasannya.
Cerpen Cinta Kenalkan Aku Pada Cinta
Keesokan harinya, Astri tampak sibuk merapikan diri. Walau ia sudah mati – matian meyakinkan dirinya sendiri kalau itu bukan kencan tapi hanya untuk memenuhi undangan jalan sekaligus mengisi hari liburnya, tapi tetap saja ia berdandan. Bahkan kacamata yang biasa menemani hari harinya di kampus kini telah digantikan dengan kontak lens. Rambutnya juga sengaja ia gerai bebas. Tak lupa polesan sedikit make up di wajahnya yang di padukan dengan gaun yang baru ia beli minggu kemaren.
“Eh busyed, cantik banget loe. Mau kemana?”
Tak tau datangnya dari mana, alih – alih Rendy tampak melangkah menghampiri dengan raut heran plus kagum dengan penampilannya.
“Kakak apaan sih. Kalau mau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu. Kebiasaan deh.”
Langkah Rendy langsung terhenti dengan tatapan menatap lurus kearah bayangan Astri pada cermin. Wajahnya menampilkan sosok seseorang yang sedang berfikir, kemudian tanpa kata ia segera berbalik. Tepat di daun pintu yang masih terbuka, tangannya terulur mengetuk tiga kali baru kemudian kembali melangkah menghampiri Astri yang terlihat cengo memperhatikan ulahnya.
“Nggak gitu juga kali. Maksut gue itu ketuk pintu sebelum masuk. Bukan setelah ataupun pake tayang ulang segala.”
“Akh bawel loe. Yang penting kan gue udah ketuk pintu,” balas Rendy. “Tapi ngomong – ngomong loe mau kemana si?” tanya Rendy mengulang pertanyaannya yang belum terjawab.
“Jalan,” sahut Astri singkat.
“Sama siapa?” tanya Rendy lagi dengan tampang menyelidik.
“Yee, gue mau jalan sama siapa suka – suka gue donk. Lagian sejak kapan coba gue mau jalan harus laporan dulu,” elak Astri.
“Emang nggak harus sih. Tapi paling nggak kan gue kakak loe. Entar kalau sampe ada apa – apa sama loe siapa coba yang repot. Gue juga…”
Astri mencibir sinis mendengarnya. Sejak kapan kakaknya perhatian gitu. Akh, ia jadi merasa curiga.
“Ekh, tapi ngomong – ngomong. Loe mau kencan ya? Sama siapa? Soalnya bukan cuma cantik, tapi wangi banget kayaknya?” tanya Rendy lagi sambil mendendus endus bau dengan hidunnya.
“Nggak usah kepo deh ya. Mau kencan kek, sama siapa kek, cantik kek, wangi kek. Suka – suka gue donk.”
“Lah, sejak kapan adik gue jadi galak gini? Wah, ada yang nggak beres nih. Pasti loe mau kencan sama orang yang nggak jelas,” komentar Rendy.
“Loe yang nggak beres. Sama nggak jelas juga. Udah keluar sana. Ini kan kamar cewek,” balas Astri sambil mendorong tubuh kakaknya keluar melewati pintu kamarnya sebelum kemudian ia kunci dari dalam. Tak ingin mendapatkan gangguan lebih dari makhluk itu. Lagipula tumben tu orang jam segini sudah bangun. Padahal kan ini hari libur. Biasanya juga masih keasikan molor.
Setelah kakaknya keluar Astri kembali menautkan dirinya pada cermin di hadapan. Memastikan kalau dandananya tidak terlalu berlebihan. Setelah yakin semuanya oke, Astri melirik jam di tangan, tinggal menunggu kedatangan Andre yang menjemputnya, dan ia bisa langsung pergi sesuai yang di rencanakan.
Memenuhi ajakan _kencan_ Andre.
To Be Continue…
With Love ~ Ana Merya ~
Post a Comment for "Cerpen Cinta Kenalkan Aku Pada Cinta ~ 14"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...