Cerpen Terbaru Si Ai En Ti A ~ 04
Lagi mau nulis cerita yang datar – datar aja nih. Yah sedatar kisah and hidup admin saat ini lah #curcol. Lagian, gak tau mau nulis apa. Gara – gara kemaren niatnya mau santai, eh malah keterusan. #Cabe deh. Ide buat nulis, mentok. Gak tau ada dimana. Kemudian lirik cerpen yang ada di star night, terhenti pada cerpen Si Ai En Ti E. Ini cerpen satu mana lanjutannya yak? #gubrag.
Okelah, kemudian admin pun open Ms. Word. And then jadilah part ~ 04 berikut ini. Hahahai.. Happy reading aja deh ya. Untuk mempermudah pembaca part sebelumnya bisa di baca pada cerpen Si Ai En Ti E ~ 03.
Langit sore yang cerah, namun tidak secerah hati Acha saat ini. Pikirannya kusut sekusut rambutnya yang belum sempet ia kramas sejak kemaren sore. Pikirannya melayang entah kemana.Tentang kuliahnya. Tentang kebutuhannya sehari hari. Juga tentang kondisi keuangan keluarga saat ini.
“Atau gue kuliah sambil kerja aja kali ya?” gumam Acha sambil mengetuk – ketukan pena di kepalanya. Kebiasaan yang sering ia lakukan saat sedang berfikir di kala belajar.
Kalau di pikir lagi, itu ide yang bagus. Toh ia kuliah hanya setengah hari. Siang sampai malam ia nganggur. Dari pada waktu terbuang percuma dan hanya di isi dengan tidur – tiduran ataupun jalan jalan bersama teman – teman nya sepertinya akan lebih bagus lagi kalau ia isi dengan berkerja.
“Ngelamun mulu. Nggak bakal kaya loe.”
Lamunan Acha buyar seiring dengan denyutan yang terasa di kepalannya. Saat menoleh tatapan kesel segera ia lemparkan kearah wajah Malvin yang tersenyum tanpa rasa bersalah. Astaga, sepertinya ia mulai tau kenapa otaknya belakangan ini sering sulit untuk di gunakan berfikir. Ah itu pasti karena ulah sahabatnya yang suka asal menjitak.
“Ya ampun Malvin. Dimana – mana orang kalau datang itu ngucapin salam tau, bukan menjitak. Kalau gue jadi bodoh emang loe mau tanggung jawab?” kata Acha kesel.
Malvin hanya nyegir sambil pasang senyum tiga jari andalannya. Sementara tangannya terangkat dengan jari membentuk huruf ‘V’. Lambang perdamaian.
“Ngapain aja loe dari tadi?” tanya Malvin santai sambil duduk di samping Acha yang kini mengeser posisinya.
Memang hampir setiap sore ia selalu duduk disantai di sana. Di bangku bawah pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahnya. Bangku yang sengaja di buat oleh ayahnya untuk bersantai memang sudah di jadikan tempat faforit bagi Acha setiap sorenya. Tak heran jika Malvin bisa langsung menghampirinya. Terlebih sosok itu memang tinggal di samping rumahnya.
“Nggak liat loe buku semua dihadapan gue. Ya tentu aja lagi belajar,” balas Acha tanpa ada niatan untuk bersikap ramah tamah. Toh ia tau. Sahabatnya tidak mungkin tersinggung dengan sikapnya.
“Belajar apaan? Perasaan sedari tadi gue perhatiin loe Cuma ngelamun aja.”
Kali ini Acha meletakan pena di hadapannya sembari menutup bukunya. Kepalanya ia tolehkan kearah Malvin tanpa sepatah katapun yang terlontar dari mulutnya.
“Kenapa?” tanya Malvin heran.
“Kalau loe udah tau gue sedari tadi ngapain kenapa masih nanya?”
“Biasalah, basa basi,” balas Malvin angkat bahu.
“Terus loe sendiri ngapain nyariin gue?” tanya Acha beberapa saat kemudian.
Malvin tidak langsung menjawab. Justru pria itu malah terlihat menghebuskan nafas dengan tatapan menerawan. Kakinya yang mengantung sengaja ia goyang – goyang kan kedepan. Berhubung mereka sudah kenal cukup lama, Acha langsung bisa menebak kalau ada hal yang mengganggu pikiran sahabatnnya.
“Loe bisa cerita sama gue ada apa.”
“Acha,” panggil Malvin tanpa menoleh. “Loe yakin kalau loe cuma nganggap gue sahabat?”
“Ya?” tanya Acha dengan kening berkerut. Terkejut sekaligus heran mendengar pertanyaan aneh yang baru saja terlontar dari mulut sahabatnnya.
“Maksut loe? Kenapa loe tiba tiba-tiba nanya kaya gitu?” sambung Acha lagi karena Malvin masih terdiam.
Kali ini kepala Malvin mengeleng berlahan. “Nggak. Gue cuma tiba – tiba kepikiran aja. Mungkin nggak sih loe naksir sama gue?”
Acha tersenyum. Ditatapnya wajah sahabatnya lekat lekat. “Loe lagi ada masalah ya sama Grescy?”
Malvin langsung menoleh. Berhadapan langsung dengan wajah Acha yang ternyata juga sedang menatapnya. Tiba – tiba saja rasa bersalah merambati hatinya. Terlebih saat melihat senyum tulus di bibir Acha. Walau tak urung ia juga merasa heran, kenapa sahabatnya bisa menebak dengan benar apa yang terjadi pada dirinya.
“Harusnya gue yang heran kenapa tiba – tiba loe nanyain hal yang aneh,” komentar Acha lagi. “Udah jelas – jelas gue cuma nganggep loe sahabat kenapa loe masih nanyain hal itu lagi. Jadi, jangan salahin gue kalau gue langsung nebaknya ke masalah Grescy. Terlebih tadi siang keliatannya doi marah.”
“Loe bener,” Malvin mengangguk lemah. “Dia marah sama gue. Dia nggak percaya waktu gue bilang kalau kita cuma temenan. Buat dia nggak ada istilah seorang cewek dan cowok itu murni berteman. Pasti ada rasa suka di antara salah satunya.”
“Dan menurut loe gue suka sama loe?” tembak Acha langsung.
“Atau loe yang suka sama gue?” sambung Acha lagi yang membuat Malvin makin pasang tampang kaget plus bingungnya.
“Tentu saja tidak.”
“Ya sudah, jadi kenapa loe masih harus menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya?” tanya Acha halus.
“Gue cuma kepikiran apa yang Grescy katakan. Waktu kita jalan ke mall kemaren, ternyata dia mergokin kita. Dan dia pikir hubungan kita ada apa apanya. Dia pikir bisa ajakan, loe berusaha nutupin semuanya dari gue. Loe pura – pura baik, padahal ternyata dalam hati loe terluka. Dan seperti yang loe sering katakan selama ini, gue bisa jadi orang yang paling jahat kalau itu benar adanya”
“Ha ha ha,” tawa Acha pecah karenannya. Walau ia sudah berusaha untuk menahannya dengan menutup mulut mengunakan tangan, tapi sepertinya itu tidak berhasil. Terlebih saat melihat tampang lesu Malvin saat mengucapkannya. Tanpa kata ia melepaskan liontin yang di kenakannya selama ini sebelum kemudian menyodorkanya kearah Malvin.
“Ini apa?” tanya Malvin tak mampu menutupi rasa herannya.
“Itu liontin yang di berikan sama sahabat gue dulu waktu SMP. Sama kayak loe, dia tetangga gue juga. Bedanya rumah dia tepat di depan rumah gue. Dan dia juga cowok. Waktu di sekolah, kita sering di ledekin kalau kita itu pacaran. Tapi nyatanya, kita cuma temenan. Karena buat gue, kalau yang namanya sahabat ya sahabat, pacar ya pacar. Nggak ada istilahnya ‘Sahabat jadi pacar’ karena mustahil ‘pacar jadi sahabat’. Bener nggak sih?”
“Terus dia sekarang dimana?” bukannya menjawab Malvin justru malah lebih tertarik untuk mengetahui kelanjutan ceritannya.
Kepala Acha menggeleng berlahan. “Gue juga nggak tau. Sebenernya gue kasihan sama dia. Orang tuanya dia emang sering berantem. Bahkan kemudian mereka cerai. Waktu itu kelas 2 SMP dan dia harus milih untuk tinggal sama papa atau mamanya. Gue nggak tau dia milih siapa tapi yang jelas setelah itu mereka pindah entah kemana. Dan sejak saat itu, gue nggak pernah ketemu dia lagi.”
“Terus kenapa lionin ini bisa ada sama loe?”
Kali ini Acha tersenyum. Pertanyaan itu mengingatkannya kembali akan sahabatnya dulu. “Gue suka nonton drama itu sejak dari dulu. Dan berbeda sama loe, dia juga suka sama drama. Jadi kita sering nonton bareng. Nah, didrama yang gue tonton itu kebetulan menceritakan tentang cinta segitiga. Antara satu cewek dan dua cowok. Yang satu sahabatnya dan satu lagi kekasihnya. Entah gimana ceritanya gue lupa, yang jelas sahabat dan kekasihnya itu berantem. Yang ujung – ujungnya kekasihnya meminta sang cewek buat milih. Antara dia dan sahabatnya?”
“Dan tu cewek milih yang mana?”
“Kekasihnya,” jawab Acha menerawang. “Dan setelah nonton itulah, temen gue nanya ke gue. Kalau seandainya gue berada di posisi itu, gue akan pilih yang mana. Sahabat gue atau kekasih gue.”
“Loe jawab apa?”
“Sahabat,” sahut Acha singkat.
“Yakin loe kalau seandainya itu beneran kejadian loe bakal milih sahabat?”
“Sebenernya gue nggak yakin sih,” sahut Acha terlihat lemes. “Tapi waktu itu doi maksa. Kalau seandainya itu beneran kejadian, apa pun alasannya gue harus milih dia. Yah akhirnya gue setuju, dengan catatan dia harus janji kalau seandainya gue tetep milih dia, dia harus bantuin gue buat balikan sama pacar gue sekiranya doi marah.”
“Ha ha ha, bisa gitu?”
“Ya bisa donk. Nah, sebagai buktinya kalau seandainya di lupa, dia ngasih gue liontin itu. Sekedar pengingat janji. Makanya sekarang liontin itu ada di gue.”
Malvin mengangguk – angguk paham. Matanya memerhatikan dengan seksama benda mungil yang ada ditangannya sebelum kemudian menyerahkannya kembali kearah Acha yang langsung di sambut oleh gadis itu.
“Jadi Malvin, alasan kenapa gue nyeritain ini ke elo adalah cuma sebagai pengingat dan penjelas aja. Bahwa menurut gue, sekali sahabat tetep sahabat. Karena nggak ada dalam kamus hidup gue, naksir sama sahabat gue sendiri. Dan kalau loe memang masih ragu, kita bisa kok menjaga jarak.”
“Tunggu, bukan itu maksut gue,” potong Malvin cepat.
“Tapi itu yang Grescy mau. Loe nggak mau kan putus sama dia?” pertanyaan Acha langsung membuat Malvin bungkam. Putus dengan Grescy. Tidak, ia tidak akan sanggup. Demi apa dia sangat mencintai gadis itu, tapi disisi lain Acha adalah sahabatnya.
“Tenang aja. Gue nggak bilang kalau persahabatan kita putus kok. Gue cuma berusaha menyarankan jalan tengah di antara kita biar nggak ada yang tersakiti. Dan selama loe masih ngangep dan masih mau gue jadi sahabat loe, kita akan tetap bersahabat.”
“Janji?” tanya Malvin sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
“Janji.”
Dan jawaban tegas Acha sudah lebih dari cukup untuk menyakinkannya.
To be continue
Bersambung dulu ya, Ni cerita mau di bawa kemana juga belom tau #lemes. Secara ajang buat nyari ide itu udah beneran nggak ada. Kalau dulu sih masi bisa ngandelin ‘youtube’, lah sekarang apa – apa terhalang ‘quota’ #gubrag #curcol_again. Oke deh, ketemu di next part aja lah ya.
See you… ~ Admin ~ Lovely Star Night
Okelah, kemudian admin pun open Ms. Word. And then jadilah part ~ 04 berikut ini. Hahahai.. Happy reading aja deh ya. Untuk mempermudah pembaca part sebelumnya bisa di baca pada cerpen Si Ai En Ti E ~ 03.
Cerpen si ai en ti e |
Langit sore yang cerah, namun tidak secerah hati Acha saat ini. Pikirannya kusut sekusut rambutnya yang belum sempet ia kramas sejak kemaren sore. Pikirannya melayang entah kemana.Tentang kuliahnya. Tentang kebutuhannya sehari hari. Juga tentang kondisi keuangan keluarga saat ini.
“Atau gue kuliah sambil kerja aja kali ya?” gumam Acha sambil mengetuk – ketukan pena di kepalanya. Kebiasaan yang sering ia lakukan saat sedang berfikir di kala belajar.
Kalau di pikir lagi, itu ide yang bagus. Toh ia kuliah hanya setengah hari. Siang sampai malam ia nganggur. Dari pada waktu terbuang percuma dan hanya di isi dengan tidur – tiduran ataupun jalan jalan bersama teman – teman nya sepertinya akan lebih bagus lagi kalau ia isi dengan berkerja.
“Ngelamun mulu. Nggak bakal kaya loe.”
Lamunan Acha buyar seiring dengan denyutan yang terasa di kepalannya. Saat menoleh tatapan kesel segera ia lemparkan kearah wajah Malvin yang tersenyum tanpa rasa bersalah. Astaga, sepertinya ia mulai tau kenapa otaknya belakangan ini sering sulit untuk di gunakan berfikir. Ah itu pasti karena ulah sahabatnya yang suka asal menjitak.
“Ya ampun Malvin. Dimana – mana orang kalau datang itu ngucapin salam tau, bukan menjitak. Kalau gue jadi bodoh emang loe mau tanggung jawab?” kata Acha kesel.
Malvin hanya nyegir sambil pasang senyum tiga jari andalannya. Sementara tangannya terangkat dengan jari membentuk huruf ‘V’. Lambang perdamaian.
“Ngapain aja loe dari tadi?” tanya Malvin santai sambil duduk di samping Acha yang kini mengeser posisinya.
Memang hampir setiap sore ia selalu duduk disantai di sana. Di bangku bawah pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahnya. Bangku yang sengaja di buat oleh ayahnya untuk bersantai memang sudah di jadikan tempat faforit bagi Acha setiap sorenya. Tak heran jika Malvin bisa langsung menghampirinya. Terlebih sosok itu memang tinggal di samping rumahnya.
“Nggak liat loe buku semua dihadapan gue. Ya tentu aja lagi belajar,” balas Acha tanpa ada niatan untuk bersikap ramah tamah. Toh ia tau. Sahabatnya tidak mungkin tersinggung dengan sikapnya.
“Belajar apaan? Perasaan sedari tadi gue perhatiin loe Cuma ngelamun aja.”
Kali ini Acha meletakan pena di hadapannya sembari menutup bukunya. Kepalanya ia tolehkan kearah Malvin tanpa sepatah katapun yang terlontar dari mulutnya.
“Kenapa?” tanya Malvin heran.
“Kalau loe udah tau gue sedari tadi ngapain kenapa masih nanya?”
“Biasalah, basa basi,” balas Malvin angkat bahu.
“Terus loe sendiri ngapain nyariin gue?” tanya Acha beberapa saat kemudian.
Malvin tidak langsung menjawab. Justru pria itu malah terlihat menghebuskan nafas dengan tatapan menerawan. Kakinya yang mengantung sengaja ia goyang – goyang kan kedepan. Berhubung mereka sudah kenal cukup lama, Acha langsung bisa menebak kalau ada hal yang mengganggu pikiran sahabatnnya.
“Loe bisa cerita sama gue ada apa.”
“Acha,” panggil Malvin tanpa menoleh. “Loe yakin kalau loe cuma nganggap gue sahabat?”
“Ya?” tanya Acha dengan kening berkerut. Terkejut sekaligus heran mendengar pertanyaan aneh yang baru saja terlontar dari mulut sahabatnnya.
“Maksut loe? Kenapa loe tiba tiba-tiba nanya kaya gitu?” sambung Acha lagi karena Malvin masih terdiam.
Kali ini kepala Malvin mengeleng berlahan. “Nggak. Gue cuma tiba – tiba kepikiran aja. Mungkin nggak sih loe naksir sama gue?”
Acha tersenyum. Ditatapnya wajah sahabatnya lekat lekat. “Loe lagi ada masalah ya sama Grescy?”
Malvin langsung menoleh. Berhadapan langsung dengan wajah Acha yang ternyata juga sedang menatapnya. Tiba – tiba saja rasa bersalah merambati hatinya. Terlebih saat melihat senyum tulus di bibir Acha. Walau tak urung ia juga merasa heran, kenapa sahabatnya bisa menebak dengan benar apa yang terjadi pada dirinya.
“Harusnya gue yang heran kenapa tiba – tiba loe nanyain hal yang aneh,” komentar Acha lagi. “Udah jelas – jelas gue cuma nganggep loe sahabat kenapa loe masih nanyain hal itu lagi. Jadi, jangan salahin gue kalau gue langsung nebaknya ke masalah Grescy. Terlebih tadi siang keliatannya doi marah.”
“Loe bener,” Malvin mengangguk lemah. “Dia marah sama gue. Dia nggak percaya waktu gue bilang kalau kita cuma temenan. Buat dia nggak ada istilah seorang cewek dan cowok itu murni berteman. Pasti ada rasa suka di antara salah satunya.”
“Dan menurut loe gue suka sama loe?” tembak Acha langsung.
“Atau loe yang suka sama gue?” sambung Acha lagi yang membuat Malvin makin pasang tampang kaget plus bingungnya.
“Tentu saja tidak.”
“Ya sudah, jadi kenapa loe masih harus menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya?” tanya Acha halus.
“Gue cuma kepikiran apa yang Grescy katakan. Waktu kita jalan ke mall kemaren, ternyata dia mergokin kita. Dan dia pikir hubungan kita ada apa apanya. Dia pikir bisa ajakan, loe berusaha nutupin semuanya dari gue. Loe pura – pura baik, padahal ternyata dalam hati loe terluka. Dan seperti yang loe sering katakan selama ini, gue bisa jadi orang yang paling jahat kalau itu benar adanya”
“Ha ha ha,” tawa Acha pecah karenannya. Walau ia sudah berusaha untuk menahannya dengan menutup mulut mengunakan tangan, tapi sepertinya itu tidak berhasil. Terlebih saat melihat tampang lesu Malvin saat mengucapkannya. Tanpa kata ia melepaskan liontin yang di kenakannya selama ini sebelum kemudian menyodorkanya kearah Malvin.
“Ini apa?” tanya Malvin tak mampu menutupi rasa herannya.
“Itu liontin yang di berikan sama sahabat gue dulu waktu SMP. Sama kayak loe, dia tetangga gue juga. Bedanya rumah dia tepat di depan rumah gue. Dan dia juga cowok. Waktu di sekolah, kita sering di ledekin kalau kita itu pacaran. Tapi nyatanya, kita cuma temenan. Karena buat gue, kalau yang namanya sahabat ya sahabat, pacar ya pacar. Nggak ada istilahnya ‘Sahabat jadi pacar’ karena mustahil ‘pacar jadi sahabat’. Bener nggak sih?”
“Terus dia sekarang dimana?” bukannya menjawab Malvin justru malah lebih tertarik untuk mengetahui kelanjutan ceritannya.
Kepala Acha menggeleng berlahan. “Gue juga nggak tau. Sebenernya gue kasihan sama dia. Orang tuanya dia emang sering berantem. Bahkan kemudian mereka cerai. Waktu itu kelas 2 SMP dan dia harus milih untuk tinggal sama papa atau mamanya. Gue nggak tau dia milih siapa tapi yang jelas setelah itu mereka pindah entah kemana. Dan sejak saat itu, gue nggak pernah ketemu dia lagi.”
“Terus kenapa lionin ini bisa ada sama loe?”
Kali ini Acha tersenyum. Pertanyaan itu mengingatkannya kembali akan sahabatnya dulu. “Gue suka nonton drama itu sejak dari dulu. Dan berbeda sama loe, dia juga suka sama drama. Jadi kita sering nonton bareng. Nah, didrama yang gue tonton itu kebetulan menceritakan tentang cinta segitiga. Antara satu cewek dan dua cowok. Yang satu sahabatnya dan satu lagi kekasihnya. Entah gimana ceritanya gue lupa, yang jelas sahabat dan kekasihnya itu berantem. Yang ujung – ujungnya kekasihnya meminta sang cewek buat milih. Antara dia dan sahabatnya?”
“Dan tu cewek milih yang mana?”
“Kekasihnya,” jawab Acha menerawang. “Dan setelah nonton itulah, temen gue nanya ke gue. Kalau seandainya gue berada di posisi itu, gue akan pilih yang mana. Sahabat gue atau kekasih gue.”
“Loe jawab apa?”
“Sahabat,” sahut Acha singkat.
“Yakin loe kalau seandainya itu beneran kejadian loe bakal milih sahabat?”
“Sebenernya gue nggak yakin sih,” sahut Acha terlihat lemes. “Tapi waktu itu doi maksa. Kalau seandainya itu beneran kejadian, apa pun alasannya gue harus milih dia. Yah akhirnya gue setuju, dengan catatan dia harus janji kalau seandainya gue tetep milih dia, dia harus bantuin gue buat balikan sama pacar gue sekiranya doi marah.”
“Ha ha ha, bisa gitu?”
“Ya bisa donk. Nah, sebagai buktinya kalau seandainya di lupa, dia ngasih gue liontin itu. Sekedar pengingat janji. Makanya sekarang liontin itu ada di gue.”
Malvin mengangguk – angguk paham. Matanya memerhatikan dengan seksama benda mungil yang ada ditangannya sebelum kemudian menyerahkannya kembali kearah Acha yang langsung di sambut oleh gadis itu.
“Jadi Malvin, alasan kenapa gue nyeritain ini ke elo adalah cuma sebagai pengingat dan penjelas aja. Bahwa menurut gue, sekali sahabat tetep sahabat. Karena nggak ada dalam kamus hidup gue, naksir sama sahabat gue sendiri. Dan kalau loe memang masih ragu, kita bisa kok menjaga jarak.”
“Tunggu, bukan itu maksut gue,” potong Malvin cepat.
“Tapi itu yang Grescy mau. Loe nggak mau kan putus sama dia?” pertanyaan Acha langsung membuat Malvin bungkam. Putus dengan Grescy. Tidak, ia tidak akan sanggup. Demi apa dia sangat mencintai gadis itu, tapi disisi lain Acha adalah sahabatnya.
“Tenang aja. Gue nggak bilang kalau persahabatan kita putus kok. Gue cuma berusaha menyarankan jalan tengah di antara kita biar nggak ada yang tersakiti. Dan selama loe masih ngangep dan masih mau gue jadi sahabat loe, kita akan tetap bersahabat.”
“Janji?” tanya Malvin sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
“Janji.”
Dan jawaban tegas Acha sudah lebih dari cukup untuk menyakinkannya.
To be continue
Bersambung dulu ya, Ni cerita mau di bawa kemana juga belom tau #lemes. Secara ajang buat nyari ide itu udah beneran nggak ada. Kalau dulu sih masi bisa ngandelin ‘youtube’, lah sekarang apa – apa terhalang ‘quota’ #gubrag #curcol_again. Oke deh, ketemu di next part aja lah ya.
See you… ~ Admin ~ Lovely Star Night
Post a Comment for "Cerpen Terbaru Si Ai En Ti A ~ 04"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...