Halooo semuanya? #LambaiCantik. Tadinya mau lanjutin
cerpen kazua mencari cinta, eh yang udah di ketik scene endingnya duluan #ditabok. Ya gitu deh, sang admin kalau nulis emang suka gitu. Loncat loncat, bagian mana yang ada ide mampir duluan itu yang di ketik. Jadi sebagai gantinya kita lanjut ke
cerpen persahabatan aku cinta kamu, bodoh! aja ya. Kali ini bagian ke 3, bagian keempat adalah ending. Nah dari pada admin makin ngaco nggak jelas mendingan kita langsung simak ke bawah aja deh yuk guys. Dan biar nyambung sama ceritanya bagusnya baca dulu bagian sebelumnya
disini.
|
Aku cinta kamu, Bodoh! |
Seiring berjalannya hari, waktu pun terus berlalu. Rasya sedang clingak clinguk sendiri ketika Alin tiba - tiba mengagetkannya.
"Loe lagi ngapain?" tanya Alin heran.
"Gue lagi nyariin si Fahrizi. Heran gue, belakangan susah banget nemuin tu anak."
"Bukannya kalian tiap hari pulang pergi bareng ya?"
Rasya mengeleng berlahan. "Enggak, sebenernya Stev yang antar jemput gue."
"HA? Kok gue nggak tau. Salah, maksut gue, kok loe nggak pernah
cerita?"
"He he he, itu karena gue malu."
Alin mengernyit sambil mengaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Tapi ngomong - ngomong, loe tau dimana Fahrizi nggak?"
"Nggak tau juga sih, tapi kayaknya tadi gue liat dia lagi ngobrol gitu sama temen temennya di halaman depan. Emangnya loe mau ngapain nyariin dia? Kok kayaknya penting gitu."
"Ehem jadi gini," Rasya tanpak ragu. "Sebenernya itu Stev tadi malam nembak gue?"
"APA?"
"Ikh, loe kagetnya lebay. Lagian gue kan udah bilang kalau kami sekarang deket. Dan dia ngerasa cocok sama gue, secara hoby kita sama. Jadi kalau ngomong itu nyambung. Terus dia nembak gue deh."
"Jadi sekarang kalian udah jadian, terus kenapa loe mo nyariin Fahrizi sekarang?" selidik Alin.
Lagi lagi kepala Raysa mengeleng. "Belom. Kita belum jadian, gue bilang gue akan ngasi jawabanya nanti malam. Makanya itu gue cariin Fahrizi. Gue mau nanya pendapat dia, bagus nya gue terima atau enggak."
"Kenapa harus nanyain Fahrizi sih, kan yang pacaran elo. Lagian loe sendiri yang bilang kalau dia itu
pangeran idola loe. Kenapa nggak langsung loe terima aja. Emangnya nanyain pendapat orang lain itu penting ya?"
Langkah Raysa yang sudah bersiap untuk pergi terhenti, kepalanya menoleh kearah Alin yang juga kini sedang menatapnya tajam. Setelah terdiam sejenak, Rasya menjawab.
"Gue nggak minta pendapat orang lain, tapi gue minta pendapatnya si Fahrizi. Dan masalah penting atau nggak, menurut gue itu penting. Penting banget malah, makanya itu gue harus nanya langsung sama dia."
Selesai berkata, Rasya segera berbalik tanpa menoleh lagi. Bahkan hanya untuk memastikan gelengan kepala di wajah sahabatnya yang hanya mampu bergumam lirih.
"Jelas aja penting, karena sebenernya diam diam orang yang loe suka itu Fahrizi kan?"
Mengikuti instrupsi dari si Alin, Rasya mencari kesana kemari. Tapi yang dicari tetap tidak ada. Tepat saat ia berniat untuk membatalkan niatnya saat itulah matanya menangkap sosok yang di cari sedang berbicara akrab dengan gadis yang beberapa waktu yang lalu sempat ia lihat. Kalau ia tidak salah mengingat gadis itulah yang bernama Karisa.
Berniat untuk berbalik, pada akhirnya Raysa justru malah melangkah menghampiri.
"Fahrizi!" panggil Raysa menginterupsi apapun topik yang sedang di bicarakan keduanya.
"Eh, Raysa ada apa?" tanya Fahrizi sambil menoleh kearahnya. Sekilas Raysa mendapati kalau Karisa juga sedang melakukan hal yang sama tapi Raysa pura - pura tidak menyadari dan lebih memilih menatap kerah Fahrizi.
"Sory nih ngeinterupsi, kalian lagi ngobrolin sesuatu yang penting ya?" tanya Raysa.
"Nggak juga."
"Bisa di bilang begitu."
Kali ini mau tak mau Raysa menoleh kearah Karisa baru kemudian kearah Fahrizi. Keningnya sedikit berkerut tanda heran. Kenapa kedua orang itu bisa menjawab dalam waktu bersamaan tapi dengan jawaban yang berbeda. Karisa dengan jawaban 'nggak juga', sementara Fahrizi justru malah 'bisa di bilang begitu'.
"Jadi maksutnya gue ngeganggu ya?" tanya Raysa setelah terdiam beberapa saat.
"Ehem... Berhubung leo juga udah disini, ya sudah loe ngomong aja. Ada apaan? Kayaknya penting gitu?" tanya Fahrizi.
Raysa kembali terdiam sembari ekor matanya melirik kearah Karisa. Yang benar saja, masa ia harus ngomong pada Fahrizi di hadapan gadis itu.
"Oh, atau gue pergi aja dulu. Kayaknya kak Rasya merasa nggak enak kalau ada gue," Karisa kembali buka mulut ketika melihat raut ragu di wajah Raysa.
"Nggak usah," tahan Raysa cepat. Mau tak mau ia merasa sedikit kecewa karena bukan Fahrizi yang mengambil inisiatif seperti itu tapi justru malah karisa. "Nggak papa kok, kalian lanjut ngobrol aja. Lagian nggak penting - penting amat, lain kali aja kita ngobrolnya. Kalau gitu gue duluan ya," selesai berkata Raysa segera berbalik. Walau harus menelan kekecewaan namun sebisa mungkin gadis itu menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Lho Sya, kok loe disini? Nggak ketemu tadi sama si Fahrizi?" tanya Alin yang baru masuk kekelas ketika mendapai Raysa duduk diam di bangkunya.
"Ketemu kok."
"Terus loe..."
"Ssst, pak Alex udah masuk tuh," potong Raysa mendahului kalimat apapun yang akan keluar dari mulut Alin.
"Sya, ntar kenalin gue sama Stev ya. Gue kan belum kenal sama dia," bisik Alin disela sela pelajaran.
"Ntar donk. Kita jadian aja belum," Raysa balas berbisik.
"Justru itu, gue kan pengen tau dulu dia orangnya kek mana. Yah paling nggak gue kan bisa punya perbandingan."
"Perbandingan?" ulang Raysa heran.
"Nggak. Bukan, maksut gue... Akh pokoknya intinya
kenalin kita aja deh. Belum pacaran aja loe udah pelit gitu. Lagian ntar dia jemput loe kan? Ya udah sekalian, tenang aja gue nggak bakal ngerebut dia kok. Sweer deh."
"Bukan gue keberatan. Masalahnya tadi siang gue bilang gue nggak mau di jemput. Kami ketemunya ntar malem aja."
"Yah, kenapa?"
"Soalnya..."
"Ehem, ehem..."
Raysa segera mengantungkan ucapannya. Saling melirik kearah Alin untuk diam karena pak Alex kini sedang menatap kearah mereka. Dan akhirnya permbicaraan mereka pun di tunda untuk batas waktu yang tidak di tentukan.
"Terus Sya, kalau Stev nggak jemput loe. Loe mau pulang sama siapa?" tanya Alin, kali ini sambil membereskan buku -bukunya karena kelas telah berakhir dan saatnya untuk pulang.
"Belum tau, kayaknya gue naik bus aja deh."
"Kenapa nggak nebeng sama Fahrizi aja?"
Raysa menggeleng. "Nggak deh, segan gue. Nggak tau cuma perasaan gue aja atau emang tu anak sekarang berubah."
"Berubah? Masa sih? Perasaan dia biasa saja," bantah Alin.
Rasya tidak membalas. Ia lebih memilih bergumam di dalam hati. Wajar saja Alin tidak merasa karena sepertinya sikap Fahrizi hanya berubah pada dirinya. Belakangan pria itu tidak pernah menjahilinya lagi. Bahkan hanya untuk menganggu acara makan siang di kantin sekalipun. Tapi Raysa menolak keras dirinya untuk menganggap hal itu karena kedekatan Fahrizi dengan Karisa. Lagipula Raysa tidak biasa menjudge sembarangan orang tanpa bukti yang jelas.
"Iya kali. Ya udah, dari pada ntar gue ketinggalan bus, gue duluan ya. Da Alin..." pamit Raysa sambil bangkit berdiri. Alin sendiri hanya mampu melongo karena bukunya kini masih berserakan di meja. Setelah membereskan semuanya barulah gadis itu berjFahrizi kearah parkiran.
Tiba di parkiran, tatapan Alin terhenti kearah Fahrizi yang tampak sedang berbicara pada Karisa. Tepatnya pria itu sedang membantu sang gadis untuk mengeluarkan motornya dari parkiran. Setelah mengucapkan terima kasih barulah ia pergi. Saat itulah Alin melangkah menghampiri.
"Cie cie cie, jadi gosip itu bener ya?"
Kaget, Fahrizi menoleh. Sembari melemparkan senyuman mulutnya berujar "Gosip apaan Alin. Lagian kenapa harus pake cie cie segala."
"Alah, ngaku aja deh. Tu cewek gebetan loe kan? Aseek, jadi kapan nih gue nerima 'PJ' dari kalian. Traktir pizza aja udah cukup kok."
"Dia makin ngaco. Ya mana mungkinlah gue jadian sama tu anak. Orang dia masih kecil juga. Gue cuma anggap dia adek tau," bantah Fahrizi, Alin hanya angkat bahu sambil mencibir.
"Iya deh. Cuma adik. Tapi nggak papa deh, gagal minta 'PJ' sama loe, gue minta pajak jadian sama Rasya aja akh."
"Raysa?" ulang Fahrizi heran.
"Iya donk. Biar lemod gitu kan tetep harus ada jatahnya," balas Alin yang membuat kerutan di kening Fahrizi bertambah. "Oh ya, sekalian gue pengen nanya. Terus tadi loe jawab apa sama si Raysa?"
"Jawab? Loe ngomong apa si? Gue nggak ngerti?" tanya Fahrizi bingung. Bingung yang menular, karena kini Alin juga sedang mentapanya dengan cara yang sama.
"Lho, tadi itu Raysa nyariin loe nggak ketemu ya? Kok dia bilang ketemu, jadi bohong donk dia..."
"Raysa nyariin gue?" ulang Fahrizi sambil mengingat - ingat. "Iya, tadi dia emang nyariin gue. Trus kenapa?"
"Beeh, dia pura - pura polos," ledek Alin kesel. "Ya terus gue nanya, waktu dia bilang kalau dia ditembak sama pangeran idolanya dia, loe jawab apa?"
"Rasya di tembak sama pangeran idolanya dia? Maksut loe, Stev nembak Rasya?"
"Gue jadi bingung," Alin tampak mengaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal. "Tadi itu sebenernya loe ketemu sama Rasya apa enggak sih? Kenapa dari tadi gue tanya loe malah balik nanya mulu."
"Tadi itu Rasya emang nyariin gue, dan gue juga ketemu sama dia. Tapi gue sama sekali nggak tau kalau Stev nembak dia, soalnya Rasya nggak ada bilang."
"Dia sendiri yang bilang kalau pendapat loe itu penting, kenapa malah dia nggak bilang ya?" gumam Alin lirih.
"Soalnya waktu itu gue lagi ngobrol sama karisa dan gue..."
Fahrizi tidak melanjutkan ucapannya. Sebaliknya ia malah merutuki tindakan bodohnya tadi. Ya ampun, jelas aja Rasya nggak berani ngomong, secara ada orang lain diantara mereka. Kenapa dia bisa sebodoh itu.
"Dan loe minta dia buat ngomong sementara Karisa masih ada disana?" tanya Alin menegaskan.
Fahrizi hanya mengangguk.
"Akh, pantes aja muka tu anak tadi kusut gitu. Elo sih, bodoh. Udah tau kalau si Rasya itu...."
"Terus sekarang dia dimana?" potong Fahrizi tak memberi kesempatan Alin untuk membodoh - bodohi dirinya.
"Mungkin masih di halte bus, soalnya tadi dia bilang kalau Stev nggak jembut dia dan elo malah..."
Tanpa perlu mendengar kelanjutan
cerita Alin, Fahrizi sudah terlebih dahulu berbalik. Langsung berlari kearah Halte bus sekolah tanpa memperdulikan Alin yang hanya cengo melihat kepergianya sambil mengeleng kepala berlahan.
"Dasar pasangan aneh. Udah jelas sama sama suka, tinggal jadian apa susahnya. Malah sukanya nyiksa diri sendiri. ck ck ck..."
Begitu meninggalkan Alin, Fahrizi terus berlari sembari berdoa dan berharap kalau Raysa belum pergi dari sana. Dan ia semakin mempercepat larinya ketika menyadari kalau bis yang di tunggu memang belum tiba. Namun belum sempat Fahrizi menghampirinya, langkah pria itu sudah terlebih dahulu terhenti ketika melihat sebuah sedan yang berhenti tepat di dekat Raysa. Tak hanya itu, dari sana munculah sosok pria yang tampak sedang menyapa Raysa akrab. Terbukti dengan senyum yang merekah di bibir gadis itu dari kejauhan.
Kulit putih, tinggi, keren dengan kacamata yang di kenakan sudah cukup untuk memberitaukan Fahrizi siapa dia. Bahkan dari caranya membukakan pintu masuk untuk Raysa, Fahrizi sudah langsung menyadari perbedaan diantara mereka. Sepertinya wajar jika Raysa mengatakan kalau pria itu adalah pangeran idoalnya. Stev sangat berbeda jauh dengan dirinya. Pria itu penuh perhatian, sementara ia? Selain mengatai kalau gadis itu bodoh yang ia tahu hanyalah menjahilinya.
Fahrizi masih berdiri di tempat yang sama ketika Raysa sudah pergi melaju meninggalkannya. Bahkan sepertinya gadis itu sendiri tidak menyadari keberadaannya. Sampai kemudian suara klakson mengagetkan Fahrizi akan posisinya berada. Dan kemudian....
Kemudian ia menyadari kalau ada mobil yang melaju, terus nabrak dan kemudian Fahrizi mati #plaks....
#NGaco...
Enggak dink, yang bener itu kemudian cerpen yang satu ini pun bersambung. Huwahahaahhaha #AdminKetawaDalamHati.... Secara masa ia cerpen yang muncul, endingnya ngenes mulu. Mulai dari
saranghae, sampe
gerimis ini turun untukmu. Ck ck ck, udah berasa kaya penulis sinetron aja dah gua... hi hi hi.
Tenang aja, diusahakan cerpen yang satu ini memiliki ending yang beda. Beda tipis maksutnya #ditabok...
Next To Cerpen
Aku cinta kamu bodoh Part Ending
Detail Cerpen
Post a Comment for "Cerpen Persahabatan "Aku Cinta Kamu, Bodoh!" ~ 03"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...