Cerpen Pendek "Cintaku Bukan Kamu!"
Masih dalam serial 'Wrong couple". Untuk versi pertama ada "Cintaku nyasar dikamu" yang kemudian di lanjut dengan 'Cintaku harus kamu?!', nah untuk kali ini baru lagi. Tepatnya itu 'Cintaku bukan kamu!'. Tentunya masih seputar kisah Trisma bareng Riawan donk ya.
Nah, untuk yang penasaran gimana kelanjutan hubungan mereka berdua, ayo kita simak langsung ke bawah. Oh iya, jangan lupa kritik dan sarannya ya.
Sambil duduk bersila di bawah pohon akasia, Trisma mengelar jajanan bawaannya. Vero duduk menamani. Gadis itu memang ia paksa untuk melakukan hal itu. Jadwalnya sepulang sekolah biasanya memang gitu, duduk di pinggir lapangan nungguin Riawan latihan bola bareng teman temannya.
"Ver, ntar sore kita ke plaza Carnavall yuk. Ada pasar buku bekas dengan diskon gede gedean. Cuma buat seminggu sih. Dan hari ini tuh terakhir. Tau nggak, kemaren temen gue beli di sana. Masa dia ngambil novel 5 ditambah komik 7 cuma 52 ribu. Murah gila kan? Kalau novel baru mah, satu aja bisa nggak cukup tu duit."
"Pasar Carnavall yang didaerah ampar sana?" tanya Vero sambil berpikir. "Jauh banget, bisa tiga kali naik angkot kita. Belum lagi ntar kalau nyasar. Gue nggak terlalu apal rutenya."
"Nggak usah naik angkot. Kita pake busway aja. Udah ada jalur yang ke sana kok. Murah lagi, jauh deket cuma 4000an. Kan lumayan, mana ada sampe jam 9:00 malam. Jadi aman. Gimana, setuju?"
"Emp," Vero masih tampak berpikir. "Tapi ntar itu bukannya malam minggu ya? Emangnya nggak papa loe pergi, bukannya dia biasanya ngapelin elo?" kata Vero sambil mengisaratkan Trisma untuk melihat kearah lapangan.
Kali ini Trisma tidak langsung menjawab. Gadis itu tampak menghela nafas sembari mengikuti arah yang Vero maksut. Diantara anak anak yang sedang asik bermain bola, salah satunya ada Riawan. Siapa yang menduga cukup satu nama bisa melenyapkan semangatnya. Membuat rasa kesel segera memenuhi ronga hatinya.
Secara siapa yang nggak kesel sih. Setelah pengakuan yang ia lakukan sebulan yang lalu, pria itu dengan seenaknya bersikap seolah tidak terjadi apa apa. Masih setia mengantar jemput dirinya. Masih seenaknya menyuruh ia selalu bersamanya. Masih ketat ngawasin dirinya. Masih rutin datang tiap malam minggunya. Dan yang pasti, masih menganggap kalau ia adalah pacarnya.
"Jangan ngomongin dia deh. Gondok gue. Biarin aja ntar malam dia datang. Toh di rumah nggak ada orang. Bokap gue tugas keluar. Ntar kalau dia nelpon, tinggal gue rijek aja. Biar dia tau rasa," terang Trisma acuh.
Vero mengangguk angguk paham. Kebetulan Trisma memang anak tunggal. Selama ini ia juga hanya tinggal dengan ayahnya karena sang ibu sudah lama meninggal. Karena terbiasa begitu membuat gadis itu lebih mandiri dari dirinya.
"Emp tapi kayaknya gue nggak bisa ikut deh,"kata Vero beberapa saat kemudian.
Jawaban itu refleks membuat Trisma menoleh kearah sahabatnya dengan tatapan bingung. Walau tidak termasuk dalam taraf 'gila bacaan' seperti dirinya, Vero biasanya tetap suka membaca. Koleksi komik gadis itu juga bejibun. Jadi tumben tumbenan dia menolak.
"Jangan ketawain gue ya," bisik Vero lirih. "Sebenernya gue lagi pedekate sama si Ivan. Bahkan nanti malem dia janji mau main ke rumah."
"Ih dasar penghianat," cela Trisma langsung. Bukannya ia tidak tau kalau Vero sudah lama naksir si Ivan, tapi mendengar kalau Ivan juga suka padanya ia sama sekali tidak menduga hal itu. Masa sih temennya seberuntung itu?
"Yah jangan gitu donk," kata Vero sambil meraih tangan Trisma. Membujuk gadis itu agar tidak ngambek dengan dirinya. "Ayolah, loe kan tau gue udah lama naksir sama tu orang. Dan ternyata dia juga kayaknya suka sama gue. Lagian gue juga pengen, malam minggu ada yang ngapelin. Ngajakin jalan kemana gitu. Elo aja udah punya Riawan. Masa gue ngejomblo mulu."
"Yah, itu kan beda. Secara kan gue nggak pernah suka sama Riawan. Gue jadian sama dia aja karena terpaksa. Asal loe tau aja ya, gue itu..."
"Tris, kripik ini enak. Gurih banget, nggak kayak biasanya. Loe cobain deh," potong Vero yang dengan seenaknya menyuapkan kripik yang ia pegang kearah Trisma. Membuat gadis itu hampir tersedak. Belum sempat Trisma marah marah, Vero sudah terlebih dahulu menyambar air mineral disampingnya dan segera menyodorkan kehadapan. Dan yang pasti bukan untuknya.
"Hallo Riawan. Loe haus ya, nih minum."
Reflkes Trisma menoleh. Sejak kapan Riawan ada didekatnya. Dan lagi, ini kenapa Vero jadi sok perhatian gitu? Yang hampir mati kecekik itu dia, kenapa yang di kasih minum malah si Riawan?
"Ma kasih," senyum Riawan yang hanya bertahan 3 detik. Jelas ia tidak iklas ketika melakukan hal itu. Dan kemudian perhatiannya ia alihkan kearah Trisma yang lebih memilih bersikap acuh dan kembali memusatkan perhatiannya kearah kuwaci yang sedari tadi ia makan.
"Emp, sorry nih Ver. Loe bisa tinggalin gue berdua sama Trisma nggak? Biasa, namanya juga orang pacaran. Lagian ini juga udah sore, ntar loe di cariin lagi karena belum pulang. Terus loe juga nggak mau sekedar jadi obat nyamuk kan?"
"Siap, laksanakan..." tanpa perlu di minta dua kali Vero segera bangkit berdiri dan berlalu pergi. Bahkan gadis itu tidak perlu repot repot pamit pada Trisma yang notabenenya adalah sahabatnya. Membuat Trisma makin gondok karena merasa di khianati. Gadis itu mendadak yakin kalau Vero pasti adalah sisa penghianat dari jaman penjajahan belanda dulu. Secara mana ada yang namanya sahabat bakal meninggalkannya begitu saja. Meninggalkannya berdua dengan serigala lagi.
Dengan hati hati Trisma mengalihkan perhatiannya dari kwaci dan mencoba mengintip makhluk yang duduk tepat di sampingnya. Bukannya apa, ia hanya merasa penasaran. Sudah lebih dari lima menit sejak Vero pergi tapi Raiwan diam saja. Terus apa maksutnya pria itu minta di tingal berdua kalau hanya diam diaman. Membuat ia merasa canggung saja.
Tak sampai sedetik kemudian, Trisma segera menyesali tindakannya. Gadis itu segera kembali mengalihkan perhatiannya pada kwaci begitu menyadari kalau Riawan sedari tadi memperhatikannya. Sepertinya tatapan pria itu tidak pernah ia alihkan dari dirinya. Membuat Trisma mati gaya.
Dan ketika lima menit kemudian kembali berlalu , Trisma tidak tahan lagi. Tepat saat ia berniat untuk buka mulut, tau tau sebuah kepala bersandar di bahunya. Ulah siapa lagi kalau bukan ulahnya Riawan. Untuk sedetik, jantung Trisma berhenti berdetak baru kemudian berpacu tak beraturan.
Setelah menetralkan kembali detak jantungnya, Trisma berniat untuk segera mendorong pria itu menjauh. Pasalnya Riawan baru main bola, jelas bajunya basah oleh keringat. Dan itu bau. Kedua, ini di sekolah. Emangnya boleh ya melakukan skinsip begitu. Kalau sampai keliatan orang gimana. Ketiga...
"Gue minjem bahu loe bentar ya, gue cape banget," permintaan lirih Riawan membuat Trisma mengurungkan niatnya. Terlebih ketika ia mendengar nada yang pria itu gunakan. Sangat berbeda jauh dengan yang selama ini ia pakai. Kesennya seperi ia benar benar kelelahan. Emp, tapi wajar juga sih. Kan abis main bola.
"Gimana nggak cape, latihan bolanya tiap hari. Belum lagi loe bilang kalau malam harus belajar privat. Tidur juga pasti sering larut kan? Tuh, mata loe aja sayu gitu," cerocos Trisma walau tak urung membiarkan Riawan tetap bersandar pada dirinya.
"Gue cape bukan hanya karena itu," balas Riawan lirih.
Trisma terdiam, menanti kalimat lanjutan. Tapi ternyata nihil, Riawan kembali diam. Nggak biasanya ni anak jadi pendiem. Jangan jangan sakit lagi.
"Loe nggak haus? Kok airnya nggak diminum?" tanya Trisma beberapa saat kemudian.
"Bukaain."
"Idih, manja banget," komentar Trisma yang lagi lagi tetap menuruti. Perlahan di bukanya tutup botol dan segera menyodorkannya kearah Riawan. Tak lupa di pasangnya sedotan (????) agar ia mudah untuk meminumnya. Biasanya sih langsung di tenggak, tapi karena posisinya sedang menyender gitu sepertinya bakal susah.
"Nih rotinya makan juga. Biar ada tenaga. Ntar mati kelaperan lagi," sambung Trisma sambil menyodorkan roti yang baru saja ia buka. Lagi - lagi Riawan memakannya tanpa komentar. Suasana kembali hening.
"Tris," panggil Riawan beberapa saat kemudian. Trisma tidak menjawab, tapi dari tindakannya jelas ia sedang mendengarkan. "Loe beneran nembak gue karena salah orang ya?"
Trisma mencibir. Ni orang ngapain juga nanyain sesuatu yang udah jelas. "Kan gue udah bilang kemaren yang gue suka itu bukan elo."
"Emangnya dia siapa? Dia lebih baik dari gue ya?" tanya Riawan lagi.
"Loe nanyanya aneh banget sih. Mana berani gue kasih tau, kan loe sendiri yang bilang kalau loe jangan sampe tau. Gimana sih," balas Trisma tanpa menoleh.
"Bisa nggak kalau orang itu jadi gue aja?"
"He?" Trisma mengernyit.
Riawan menegakkan tubuhnya. Kali ini ia menghadap lurus kearah Trisma yang juga sedang menatapnya heran.
"Emangnya mustahil banget ya kalau orang yang loe suka itu jadi gue aja?"
Mata Trisma berkedip untuk beberapa kali. Tatapannya sama sekali tidak bisa ia alihkan dari Riawan yang juga tidak mengalihkan pandangannya.
"Loe sakit ya?" tanya Trisma sambil mengulurkan tangannya kearah kening Riawan. Perasaan suhunya wajar wajar saja.
"Hufh," Riawan menghembuskan nafas berat. "Kalau gue bilang gue beneran suka sama loe, loe percaya gak?"
"What?" kali ini Trisma hanya mampu memberikan tatapan melongo sebagai balasan. Ucapan Riawan barusan sama sekali tidak pernah ia predikisikan sebelumnya. Jangan jangan Riawan sedang ngigo?
"Sudahlah, lupain aja. Udah sore nih, ayo gue antar loe pulang," kata Riawan sambil bangkit berdiri. Sementara Trisma masih kaku di tempat.
Apa? Riawan suka sama dia? Nggak mungkin, itu mah namanya musibah. Kok bisa? Sejak kapan? Gimana ceritanya? Apa jangan jangan sebenernya dia adalah gadis yang sangat mempesona makanya Riawan sampai menyukainya? Oh iya tau, bisa jadi itu cuma akal akalan pria itu untuk membalasnya? Iya, pasti begitu.
Namun, apapun itu...
Yang pasti dan jelas, Trisma tidak suka sama Riawan. Tidak pernah suka pada Riawan dan Tidak nggak akan pernah suka pada Riawan!!! Titik...
End untuk serial 'wrong couple' bagian ketiga...
Masih ingin di lanjut kah? Atau, cukup sampai di sini....
La la la la la la la la laaaaaa....
Detail Cerpen
Nah, untuk yang penasaran gimana kelanjutan hubungan mereka berdua, ayo kita simak langsung ke bawah. Oh iya, jangan lupa kritik dan sarannya ya.
Cintaku Bukan Kamu! |
Sambil duduk bersila di bawah pohon akasia, Trisma mengelar jajanan bawaannya. Vero duduk menamani. Gadis itu memang ia paksa untuk melakukan hal itu. Jadwalnya sepulang sekolah biasanya memang gitu, duduk di pinggir lapangan nungguin Riawan latihan bola bareng teman temannya.
"Ver, ntar sore kita ke plaza Carnavall yuk. Ada pasar buku bekas dengan diskon gede gedean. Cuma buat seminggu sih. Dan hari ini tuh terakhir. Tau nggak, kemaren temen gue beli di sana. Masa dia ngambil novel 5 ditambah komik 7 cuma 52 ribu. Murah gila kan? Kalau novel baru mah, satu aja bisa nggak cukup tu duit."
"Pasar Carnavall yang didaerah ampar sana?" tanya Vero sambil berpikir. "Jauh banget, bisa tiga kali naik angkot kita. Belum lagi ntar kalau nyasar. Gue nggak terlalu apal rutenya."
"Nggak usah naik angkot. Kita pake busway aja. Udah ada jalur yang ke sana kok. Murah lagi, jauh deket cuma 4000an. Kan lumayan, mana ada sampe jam 9:00 malam. Jadi aman. Gimana, setuju?"
"Emp," Vero masih tampak berpikir. "Tapi ntar itu bukannya malam minggu ya? Emangnya nggak papa loe pergi, bukannya dia biasanya ngapelin elo?" kata Vero sambil mengisaratkan Trisma untuk melihat kearah lapangan.
Kali ini Trisma tidak langsung menjawab. Gadis itu tampak menghela nafas sembari mengikuti arah yang Vero maksut. Diantara anak anak yang sedang asik bermain bola, salah satunya ada Riawan. Siapa yang menduga cukup satu nama bisa melenyapkan semangatnya. Membuat rasa kesel segera memenuhi ronga hatinya.
Secara siapa yang nggak kesel sih. Setelah pengakuan yang ia lakukan sebulan yang lalu, pria itu dengan seenaknya bersikap seolah tidak terjadi apa apa. Masih setia mengantar jemput dirinya. Masih seenaknya menyuruh ia selalu bersamanya. Masih ketat ngawasin dirinya. Masih rutin datang tiap malam minggunya. Dan yang pasti, masih menganggap kalau ia adalah pacarnya.
"Jangan ngomongin dia deh. Gondok gue. Biarin aja ntar malam dia datang. Toh di rumah nggak ada orang. Bokap gue tugas keluar. Ntar kalau dia nelpon, tinggal gue rijek aja. Biar dia tau rasa," terang Trisma acuh.
Vero mengangguk angguk paham. Kebetulan Trisma memang anak tunggal. Selama ini ia juga hanya tinggal dengan ayahnya karena sang ibu sudah lama meninggal. Karena terbiasa begitu membuat gadis itu lebih mandiri dari dirinya.
"Emp tapi kayaknya gue nggak bisa ikut deh,"kata Vero beberapa saat kemudian.
Jawaban itu refleks membuat Trisma menoleh kearah sahabatnya dengan tatapan bingung. Walau tidak termasuk dalam taraf 'gila bacaan' seperti dirinya, Vero biasanya tetap suka membaca. Koleksi komik gadis itu juga bejibun. Jadi tumben tumbenan dia menolak.
"Jangan ketawain gue ya," bisik Vero lirih. "Sebenernya gue lagi pedekate sama si Ivan. Bahkan nanti malem dia janji mau main ke rumah."
"Ih dasar penghianat," cela Trisma langsung. Bukannya ia tidak tau kalau Vero sudah lama naksir si Ivan, tapi mendengar kalau Ivan juga suka padanya ia sama sekali tidak menduga hal itu. Masa sih temennya seberuntung itu?
"Yah jangan gitu donk," kata Vero sambil meraih tangan Trisma. Membujuk gadis itu agar tidak ngambek dengan dirinya. "Ayolah, loe kan tau gue udah lama naksir sama tu orang. Dan ternyata dia juga kayaknya suka sama gue. Lagian gue juga pengen, malam minggu ada yang ngapelin. Ngajakin jalan kemana gitu. Elo aja udah punya Riawan. Masa gue ngejomblo mulu."
"Yah, itu kan beda. Secara kan gue nggak pernah suka sama Riawan. Gue jadian sama dia aja karena terpaksa. Asal loe tau aja ya, gue itu..."
"Tris, kripik ini enak. Gurih banget, nggak kayak biasanya. Loe cobain deh," potong Vero yang dengan seenaknya menyuapkan kripik yang ia pegang kearah Trisma. Membuat gadis itu hampir tersedak. Belum sempat Trisma marah marah, Vero sudah terlebih dahulu menyambar air mineral disampingnya dan segera menyodorkan kehadapan. Dan yang pasti bukan untuknya.
"Hallo Riawan. Loe haus ya, nih minum."
Reflkes Trisma menoleh. Sejak kapan Riawan ada didekatnya. Dan lagi, ini kenapa Vero jadi sok perhatian gitu? Yang hampir mati kecekik itu dia, kenapa yang di kasih minum malah si Riawan?
"Ma kasih," senyum Riawan yang hanya bertahan 3 detik. Jelas ia tidak iklas ketika melakukan hal itu. Dan kemudian perhatiannya ia alihkan kearah Trisma yang lebih memilih bersikap acuh dan kembali memusatkan perhatiannya kearah kuwaci yang sedari tadi ia makan.
"Emp, sorry nih Ver. Loe bisa tinggalin gue berdua sama Trisma nggak? Biasa, namanya juga orang pacaran. Lagian ini juga udah sore, ntar loe di cariin lagi karena belum pulang. Terus loe juga nggak mau sekedar jadi obat nyamuk kan?"
"Siap, laksanakan..." tanpa perlu di minta dua kali Vero segera bangkit berdiri dan berlalu pergi. Bahkan gadis itu tidak perlu repot repot pamit pada Trisma yang notabenenya adalah sahabatnya. Membuat Trisma makin gondok karena merasa di khianati. Gadis itu mendadak yakin kalau Vero pasti adalah sisa penghianat dari jaman penjajahan belanda dulu. Secara mana ada yang namanya sahabat bakal meninggalkannya begitu saja. Meninggalkannya berdua dengan serigala lagi.
Dengan hati hati Trisma mengalihkan perhatiannya dari kwaci dan mencoba mengintip makhluk yang duduk tepat di sampingnya. Bukannya apa, ia hanya merasa penasaran. Sudah lebih dari lima menit sejak Vero pergi tapi Raiwan diam saja. Terus apa maksutnya pria itu minta di tingal berdua kalau hanya diam diaman. Membuat ia merasa canggung saja.
Tak sampai sedetik kemudian, Trisma segera menyesali tindakannya. Gadis itu segera kembali mengalihkan perhatiannya pada kwaci begitu menyadari kalau Riawan sedari tadi memperhatikannya. Sepertinya tatapan pria itu tidak pernah ia alihkan dari dirinya. Membuat Trisma mati gaya.
Dan ketika lima menit kemudian kembali berlalu , Trisma tidak tahan lagi. Tepat saat ia berniat untuk buka mulut, tau tau sebuah kepala bersandar di bahunya. Ulah siapa lagi kalau bukan ulahnya Riawan. Untuk sedetik, jantung Trisma berhenti berdetak baru kemudian berpacu tak beraturan.
Setelah menetralkan kembali detak jantungnya, Trisma berniat untuk segera mendorong pria itu menjauh. Pasalnya Riawan baru main bola, jelas bajunya basah oleh keringat. Dan itu bau. Kedua, ini di sekolah. Emangnya boleh ya melakukan skinsip begitu. Kalau sampai keliatan orang gimana. Ketiga...
"Gue minjem bahu loe bentar ya, gue cape banget," permintaan lirih Riawan membuat Trisma mengurungkan niatnya. Terlebih ketika ia mendengar nada yang pria itu gunakan. Sangat berbeda jauh dengan yang selama ini ia pakai. Kesennya seperi ia benar benar kelelahan. Emp, tapi wajar juga sih. Kan abis main bola.
"Gimana nggak cape, latihan bolanya tiap hari. Belum lagi loe bilang kalau malam harus belajar privat. Tidur juga pasti sering larut kan? Tuh, mata loe aja sayu gitu," cerocos Trisma walau tak urung membiarkan Riawan tetap bersandar pada dirinya.
"Gue cape bukan hanya karena itu," balas Riawan lirih.
Trisma terdiam, menanti kalimat lanjutan. Tapi ternyata nihil, Riawan kembali diam. Nggak biasanya ni anak jadi pendiem. Jangan jangan sakit lagi.
"Loe nggak haus? Kok airnya nggak diminum?" tanya Trisma beberapa saat kemudian.
"Bukaain."
"Idih, manja banget," komentar Trisma yang lagi lagi tetap menuruti. Perlahan di bukanya tutup botol dan segera menyodorkannya kearah Riawan. Tak lupa di pasangnya sedotan (????) agar ia mudah untuk meminumnya. Biasanya sih langsung di tenggak, tapi karena posisinya sedang menyender gitu sepertinya bakal susah.
"Nih rotinya makan juga. Biar ada tenaga. Ntar mati kelaperan lagi," sambung Trisma sambil menyodorkan roti yang baru saja ia buka. Lagi - lagi Riawan memakannya tanpa komentar. Suasana kembali hening.
"Tris," panggil Riawan beberapa saat kemudian. Trisma tidak menjawab, tapi dari tindakannya jelas ia sedang mendengarkan. "Loe beneran nembak gue karena salah orang ya?"
Trisma mencibir. Ni orang ngapain juga nanyain sesuatu yang udah jelas. "Kan gue udah bilang kemaren yang gue suka itu bukan elo."
"Emangnya dia siapa? Dia lebih baik dari gue ya?" tanya Riawan lagi.
"Loe nanyanya aneh banget sih. Mana berani gue kasih tau, kan loe sendiri yang bilang kalau loe jangan sampe tau. Gimana sih," balas Trisma tanpa menoleh.
"Bisa nggak kalau orang itu jadi gue aja?"
"He?" Trisma mengernyit.
Riawan menegakkan tubuhnya. Kali ini ia menghadap lurus kearah Trisma yang juga sedang menatapnya heran.
"Emangnya mustahil banget ya kalau orang yang loe suka itu jadi gue aja?"
Mata Trisma berkedip untuk beberapa kali. Tatapannya sama sekali tidak bisa ia alihkan dari Riawan yang juga tidak mengalihkan pandangannya.
"Loe sakit ya?" tanya Trisma sambil mengulurkan tangannya kearah kening Riawan. Perasaan suhunya wajar wajar saja.
"Hufh," Riawan menghembuskan nafas berat. "Kalau gue bilang gue beneran suka sama loe, loe percaya gak?"
"What?" kali ini Trisma hanya mampu memberikan tatapan melongo sebagai balasan. Ucapan Riawan barusan sama sekali tidak pernah ia predikisikan sebelumnya. Jangan jangan Riawan sedang ngigo?
"Sudahlah, lupain aja. Udah sore nih, ayo gue antar loe pulang," kata Riawan sambil bangkit berdiri. Sementara Trisma masih kaku di tempat.
Apa? Riawan suka sama dia? Nggak mungkin, itu mah namanya musibah. Kok bisa? Sejak kapan? Gimana ceritanya? Apa jangan jangan sebenernya dia adalah gadis yang sangat mempesona makanya Riawan sampai menyukainya? Oh iya tau, bisa jadi itu cuma akal akalan pria itu untuk membalasnya? Iya, pasti begitu.
Namun, apapun itu...
Yang pasti dan jelas, Trisma tidak suka sama Riawan. Tidak pernah suka pada Riawan dan Tidak nggak akan pernah suka pada Riawan!!! Titik...
End untuk serial 'wrong couple' bagian ketiga...
Masih ingin di lanjut kah? Atau, cukup sampai di sini....
La la la la la la la la laaaaaa....
Detail Cerpen
- Judul Cerpen : Cintaku Bukan Kamu!
- Penulis : Ana Merya
- Serial : Wrong Couple
- Panjang : 1.466 words
- Genre : Remaja
Lanjutin dong...
ReplyDeleteLanjuuuut dong
ReplyDeleteBe tar...bentar...lanjutan cerpen yg bbrp bulan lalu ITU mn ya? Sampe lupa judulnya :D
ReplyDeleteKelamaan sih hiatus-nya #eaa
lanjutin lagi dong Mbak.. penasaran banget nih
ReplyDelete