Catatan Random "Aku dan Sebuah Cerita"

Hai guys, muncul lagi yang ternyata masih nggak ada hubungannya sama sekali dengan lanjutan cerpen cerpen yang masih kepending. Kali ini yah biasa, apa yang terlintas dikepala dan dihati emang lebih afdhol kalau di tuangkan dalam bentuk tulisan. Tadinya mau share disebelah aja kayak biasanya, tapi berhubung jaringan sedang tidak bersahabat, mendadak kagak bisa sigin, kebetulan juga platformnya sedikit lebih berat dari pada blog yang ini. Yah begitulah....

Oke lanjut. Edisi catatan random kali ini gue mau cerita tentang fenomena yang terjadi di sekeliling (Ya ela bahasa gue)

First, percakapan gue dengan seseorang. Sebut saja "Her", sosok yang punya pemikiran "Unik" _ menurut gue. Doi selalu punya sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan orang yang gue kenal. Faktanya "berbeda bukan berarti salah". Teringat sepenggal obrolan dengannya sore itu.

Me : "Kalo kita punya ilmu, kenapa nggak kita bagi sama orang lain?"
Her : "Ilmu itu mahal. Untuk mendapatkannya gue butuh modal dan juga usaha. Jadi menurut lu harus gue bagi gratis ke orang lain?"
Me: "!@#$%^&*()_+!@#?"


Mengutip hadis yang pernah diajarkan pas jaman sekolah dulu. (Biar gini, gue pernah sekolah lho... XD)

عن أبي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع يه أو ولد صالح يدعو له

Daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu katanya, Rasulullah SAW telah bersabda : Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).

Menurut gue pribadi, nggak ada ruginya berbagi ilmu. Terlebih ilmu yang bermanfaat, karena sesuai yang gue yakini berdasarkan hadis diatas, ilmu tersebut bisa jadi bekal kita kelak. Kan lumayan. Sayangnya, gue nggak bisa pakai hadis tersebut untuk menjawab kalimatnya. Karena kenyataannya, kami beda keyakinan, beda agama. Gue sama sekali nggak tau tentang keyakinannya terkait dengan hidup setelah mati. Saat itu yang gue lakukan saat itu hanyalah diam.... (Kalau ada yang punya saran tentang jawaban yang seharusnya bisa gue berikan, bisa coret coret di kolom komentar bawah :D)

Another Day.... Masih dengan obrolan terkiat dengan ilmu.

Me: ".... tapi, bukannya ilmu yang diamalkan itu ibarat pohon yang berbuah ya? Percuma donk kalo buahnya banyak tapi nggak di manfaatkan?"
Her : "Tepat" (Telunjuk lurus pas ke muka gue).
Me :(Smile. Udah yakin bener bahwa kalo punya ilmu itu harus di bagi)
Her : "Tapi an, buah aple di pasar itu dijual lho? Nggak di bagi bagi gratis. Tau deh kalau buahnya buah kelereng."
Me: "!@#$%^&*()_+!@#?"

Untuk kedua kalinya gue diem, yang jelas bukan karena gue sedang berpikir kalau kelereng ternyata spesies buah.. XD

Gue kembali diem karena didalam hati kecil gue, gue ngerasa kalau dia benar. Untuk sesuatu yang berharga memang harus ada harga yang harus dibayar. Dan lagi, berbagi ilmu adalah bayaran yang itung itungannya diakherat kelak, gue lagi lagi nggak bisa ngajak debat. Untuk sosok yang selalu mengandalkan logika seperti dirinya, gue mau nggak mau harus berdasarkan logika juga. So one more, kalau ada yang punya pendapat yang kira kira bisa gue jawab untuk membalas kalimatnya bisa tolong di tulis di kolom komentar bawah.

Sama seperti agama yang kami yakini masing masing, dia dengan pendapatnya, dan gue dengan pendapat gue sendiri. Waktupun berlalu.... Singkat kata singkat cerita. Kami kembali bertemu dalam sitkon yang mungkin memang sudah ditakdirkan begitu...

Me: (Diam)
Her : (Diem juga)
Beberapa saat kemudian.
Her : "Masih yakin kalau ilmu harus dibagi bagi?"
Me : (Angkat bahu, just smile, No comment)

Sebelumnya gue secara pribadi mengajarkan bla bla bla and bli bli bli kepada blo blo blo. Tapi ujung ujungnya gue sendiri yang susah. Segala hal yang ia tidak tau, langsung nanyanya ke gue. Sementar pintu doraemon ala Google yang jelas jelas bisa diakses dimana - mana ia abaikan begitu saja. Doi berpendapat "Kalau ada gue yang bisa ditanya, kenapa harus ke google". Sementara menurut gue, "Kalau bisa manfaatin google, kenapa harus ke gue." Gue punya waktu bukan hanya untuk menjawab pertanyaan.

Her: "An, yang namanya baik, naif, dungu itu seringnya beda tipis. Bahkan dijaman sekarang yang pintar dan yang bodoh kadang jadi ambigu. Contoh sederhana, gue dikantor. Gue punya satu rekan kerja yang berada dalam satu jabatan yang sama. Doi diberi tugas oleh atasan, tapi biar udah dijelasin panjang kali lebar sama dengan luas yang tak terhingga masih nggak ngerti juga. Sementara ke gue, cukup sekali arahan langsung paham. Menurut loe pinter yang mana?"

Me: "Elu donk"

Her : "Logika mungkin begitu. Kenyataannya enggak. Karena dia nggak ngerti, ujung ujungnya, tu tugas seringnya di limpahin ke gue. Padalah kerjaan gue sendiri, udah begitu menumpuk tingginya. Sementara Doi, dengan alasan nggak ngerti, duduk diam dengan santainya. Kalau udah gini, bodoh yang mana?"

Gue lagi lagi terdiam, setelah jeda untuk beberapa saat.

Me: "Jadi menurut leo, jika kita punya ilmu cukup kita nikmati sendiri?"

Her tidak lantas menjawab. Sambil tersenyum dia malah balik nanya. "Selama ini, saat elu sedang menemukan kesulitan, ketika loe nanya ke gue dan gue tau jawabannya, pernah nggak gue jawab?"

Gue cuma mengeleng, karena dia tidak begitu.


Her :"Gue nggak pernah bilang kalau ilmu harus di jual, atau ilmu dibagi harus dengan bayaran. Gue cuma bilang itu nggak harus dibagi bagi gratis. Gue mau, seseorang harus berusaha untuk mendapatkannya. Minimal, ia bisa bertanya jika tidak menemukan jawabannya. Membantu merobek ulat untuk keluar dari kepompong tidak lantas membuat ia menjadi kupu kupu yang bisa terbang. Bisa saja, yang terjadi malah sebaliknya. Loe ngerti maksud gue kan?"

Untuk kesekian kalinya gue lagi lagi hanya bisa terdiam. Karena yang gue tau, saat mengobrol dengannya gue memang selalu berakhir dengan terdiam.

Lanjut Baca : || ||

Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

Share :