Cerbung Terbaru "Let It Flow " ~ Part 05

Oke, sesuai yang di janjikan bakalan lebih sering update di mari. And then, gue mucul lagi ya guys. Masih dengan lanjutan dari cerbung Let it Flow yang kini udah sampe part 05. Kebetulan masih nyaman nulisnya, jadi lanjut aja gitu. Buat yang penasaran bisa simak langsung kebawah. Buat reader baru, biar nyambung sama ceritanya bisa baca dulu bagian sebelumnya disini. Happy reading ya guys...

Cerpen Let It Flow

“Good morning epribadeh. Ada yang kangen gue nggak?”

Alfa dan Okta yang sedang asik memperhatikan monitor Okta menoleh. Mendapati Er yang kini berjalan santai kearah kubikelnya. Setelah sempat absent kamis dan jumat kemaren karena harus ke Pinang, di tambah sabtu dan minggu yang memang libur, Er baru kali ini kembali menampakkan wajahnya di kantor.

“Er, gue kangen. Titipan otak otak buat gue ada kan?”

Kalimat Alfa dibalas cibiran oleh Er, Kangen oleh - oleh ini maksudnya? Namun tak urung tangannya terulur menyodorkan bingkisan yang ia bawa. Disambut oleh Alfa dan Okta dengan senyum sumringah.

“Aseek, ma kasih ya Er,” kata Alfa sambil melepaskan lidi untuk membuka daun pembungkus otak-otaknya.

Er hanya mengangguk sembari tersenyum. Matanya menoleh ke sekeliling. “Kok sepi? Kalian cuma berdua. Yang lain mana?” tanya Er ketika mendapati Satria dan Rendy tidak ada di tempat.

“Satria sama Rendy. Ada tadi di pantry. Kayaknya lagi ngopi deh,” balas Okta sambil keasikan makan. Er hanya beroh ria. Sebelah tangannya mencolek Alfa sembari tangannya menunjuk pintu disamping belakangnya. Mengerti maksud Er, Alfa mengeleng.

“Ya kali Er, Big bos mau datang pagi gini. Udah mau kiamat apa. Dia kan belum mau nongol kalau belum jam 9. Emangnya kuli kayak kita, jam tujuh subuh harus udah disini.”

“Udah, nikmatin aja,” balas Er santai. Alfa memang suka lebay. Kalau jam 7 aja subuh, terus imsak sahur jam berapa?

“Apa yang mau dinikmati?”

“Ya nikmatin aja nasip loe jadi kuli. Ha ha ha.”

Tepat saat Alfa ingin membalas, ucapan Satria sudah terlebih dahulu terdengar.

“Er, loe udah balik ke Batam?”

Er hanya mengangguk sambil tersenyum. Tau bahwa pertanyaan Satria barusan hanya basa basi. Secara sudah jelas dia ada disitu, pake nanya lagi.

“Er bawain otak - otak nih,” kata Alfa sambil menujukan plastik berisi otak otak di mejanya. “Mau nggak. Kalau dari Pinang langsung, enak tau. Ikannya lebih berasa."

Tak perlu ditawarin dua kali, Satria segera melangkah menghampiri kubikel Alfa setelah terlebih dahulu meletakan cangkir kopinya yang masih mengebul diatas CPU.

“Nih Ren, cobain. Beneran enak lho,” Satria sengaja mencomot lebih banyak dan menyodorkanya kearah Rendy yang berdiri disampingnya. Yang punya siapa, yang nawarin siapa.

“Kamu sendiri nggak makan Sa,” tanya Rendy saat menyadari kalau Er justru malah terdiam sementara yang lain sibuk menikmati otak - otaknya.

“Er mana mau Ren. Dia nggak doyan otak - otak. Dia kan alergi sea food.”

Kalimat Okta reflkes membuat Rendy menoleh kearah Er. Disaat yang sama gadis itu juga sedang menatapnya. Membuat Rendy mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan Erisa alergi sea food? Setau Rendy, Sea food adalah makanan favorit Er dulu. Mereka sering banget makan Sea Food bareng. Apalagi kalau sudah ketemu sama yang namanya kepiting. Mereka bahkan pernah sengaja membuat acara kemping dipinggir pantai sembari bakar bakaran makanan laut segar. Dan gadis itu baik baik saja.

“Gue nggak pernah bilang gue alergi Eyang,” balas Er kearah Okta. “Gue cuma bilang gue nggak suka Sea food. Bau amisnya bikin nggak nahan. Makanya, buru deh kalian habisin. Sebelum big bos datang dan menyadari aroma tak sedap di ruangan ini. Ntar ujung ujungnya gue pula yang kena. Kan gue yang bawa otak otaknya,” sambung Er sambil menyalakan komputernya. Bersiap untuk menyelesaikan reportnya yang pasti sudah menumpuk.

****

“Jadi Er, di Pinang kemaren gimana? Gue liat diakun Instagram loe, loe malah update ikan nemo di terumbu karang sama elo yang lagi berpose di dalam air. Loe beneran snorkeling? Bukannya loe bilang mau menjalankan tugas negara? Kenapa malah asik asik liburan?” Okta memulai obrolan saat sedang ngumpul di kantin untuk makan siang.

“Ih, eyang. Nggak usah syirik gitu deh,” kata Er sambil tangannya iseng mencolek pipi gembilnya Okta. “Gue beneran kerja tau. Tapi cuma hari kamis sama jumat doank. Sebenernya hari jumat sore gue udah bisa pulang, tapi berhubung hari sabtu dan minggu juga libur, mendingan gue manfaatin aja sekalian buat jalan jalan di sono. Secara kapan lagi gue bisa liburan. Tadinya iseng aja sih ikut snorkeling. Pas di dalam laut asik aja gitu, liat ikan nemo yang unyu unyu. Tapi pas udah di darat mendadak nyesel. Liat nih kulit gue lengan gue, udah gosong gini. Mana minggu ini nggak ada tanggal merah lagi. Mana bisa gue ke spa,” jelas Er panjang lebar.

Gantian Satria yang mencibir. “Ih dasar cewek.”

“Er emang cewek kali Bang. Ya wajar lah kalau pake perawatan. Justru malah di curigai kalau Bang Sat yang ke sana. Iya nggak Al,” Alfa yang diajak menjadi sekutu dadakan oleh Okta hanya membalas dengan anggukan.

“Apaan sih lu eyang,” kesel Satria sambil ikut ikutan memanggil Okta dengan panggilan kesayangannya Er. “Gue itu cowok tulen ya. Lagian tadi kan gue belum selesai ngomong. Loe main samber aja kayak geledek. Nggak perlu pake ke Spa, Er kan udah cantik. Sayang duitnya. Mendingan juga buat nraktir kita. Bener nggak sih.”

“Ih ekornya nggak enak benget,” cibir Er tersenyum masam.

“Tau nih Satria. Loe kalau naksir sama Er jangan gitu donk. Modal dikit lah. Belum apa apa juga udah cewek yang harus nraktir duluan. Nggak gentle banget sih,” cela Okta.

“Sembarangan aja nih eyang asal nyablak. Nggak ada ya istilahnya gue naksir sama Er. Bukan tipe gue.”

“Gue lebih lebih lagi ya Sat. Mana doyan gue sama loe.”

“Terus loe doyannya sama siapa Er. Sama Rendy?” sambar Alfa tiba tiba.

“Oh iya, tau nih. Rendy kok sedari tadi diem aja. Kenapa loe?” Okta ikutan kembali menyambar.

Seolah baru sadar, Er ikut menoleh kearah Rendy. Dan baru menyadari bahwa pria itu kini sedang menatapnya.

“Apa? Nggak. Gue cuma liatin aja, kayaknya seru banget obrolan kalian.”

“Ha ha ha. Iya, kita emang suka gitu. Malah tau nggak sih, kita itu malah udah di kasih nama 'genk rusuh' sama orang orang karena suka nyablak di mana – mana,” terang Satria sambil nyengar nyengir nggak jelas.

“Itu mah emang kareng elu yang suka ngerusuh,” kalimat koor Alfa, Okta dan Er terdenger sebagai balasan.

“Eh gue ke atas dulu ya,” kata Er sambil melirik jam di tangannya baru kemudian mengeluarkan uang dari dalam dompet dan menyerahkannya kearah Alfa. “Tolong bayarin ya Al, gue sholat dulu. Waktu istirahat juga tinggal 15 menitan nih.”

Setelah melihat anggukan dari rekan – rekannya, Er bangkit. Melangkah menuju kearah lift yang akan mengantarnya ke lantai tujuh. Tepat saat ia masuk kedalam lift, Rendy muncul di hadapannya. Seperti kemaren, keduanya kini terjebak dalam ruangan yang sama.

***

“Jadi gimana kerja disini? Betah?”

“Ya?” bukannya menjawab pertanyaa Er, Rendy justru berbalik dan menatap Er dengan raut tak percaya. Seolah tidak yakin bahwa gadis itu berbicara padanya. Tapi mengingat di lift hanya ada mereka berdua, pastinya Er berbicara dengannya.

“Ya lumayan lah. Kerjaannya juga nggak ribet, temen – temennya juga asik,” balas Rendy merujuk pada pertanyaan Er barusan.

“Kamu sendiri udah lama tinggal di Batam, Sa?” Rendy memberanikan diri untuk bertanya. Sedikit banyak ia merasa bersyukur Er mau menyapanya walau tak urung ia merasa heran.

“Lumayan.”

Hanya satu kata tersebut yang keluar dari mulut Er baru kemudian kembali hening. Masing – masing sepertinya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Rendy sibuk memikirkan tentang perubahan sikap Er. Sementara Er sendiri sudah memutuskan untuk menuruti saran Yaya. Whatever will be, will be lah. Dia nggak akan menghindari Rendy lagi dan berusaha untuk menghadapi semuanya secara dewasa.

“Kita jamaah lagi ya,” kata Rendy ketika ia masuk kedalam mushala. Sama seperti kemaren, mushala tidak terlalu rame. Hanya ada beberapa orang saja yang juga baru muncul. Entah kemana umat yang lain. Lagi lagi Er membalas dengan anggukan.

Selesai sholat, keduanya beriringan keluar mushala. Sambil menunggu lift turun, Er iseng mengecek hanphondnya yang sedari tadi bergetar tanda ada panggilan masuk. Seulas senyum mangkir saat melihat nama yang tertera. Sambil terus melangkah di angkatnya panggilan tersebut.

“Hallo…”


“…”


“Ha ha ha, sabar napa. Loe wa juga ya. Sorry, gue belum baca. Sedari tadi report gue banyak banget. Nggak ngecek hape kalo bukan tentang kerjaan. Kenapa memangnya?”

“…”

“Cieeela, mas bro mah gitu. Mentang – mentang selebgram ya kan? Iya, bentar lagi gue kirim kirimin semuanya. Lagian emang masih belum sempet gue pindahin sih filenya. Pulang kemaren langsung tepar gue.”

Pada saat bersamaan, pintu lift terbuka. Masih dengan handphone yang menempel di telinga, Er melangkah ke kubikelnya sambil terus berbicara. Tak jarang di selingi tawa.

“Eh udah dulu ya. Gue masih harus nguli lagi nih. Ntar kalau udah di kirim gue kabarin. Atau nggak chatingan aja kita.”

“…”

“Ha ha ha. Iya, love you too deh,” masih sambil senyum senyum Er mematikan sambungan telfonnya. Dan ia baru menyadari kalau kini teman temannya sedang menatapnya heran. Alfa bahkan mengeserkan kursinya hingga kini berada tepat di sampingnya.

“Love you too?” katanya dengan nada heran. “Siapa siapa siapa? Loe udah punya pacara sekarang.”

“Ih apaan sih Al, kepo banget.”

“Serius loe Er, loe udah punya pacar?” Okta ikutan menyambar.

Er tidak membalas, ia hanya memberikan senyuman misterius. Membuat teman temannya makin penasaran. Punya temen kepo banget. Masa iya ia telponan sama pacar di jam kerja. Lagian yang nelponnya barusan adalah Alvin, pengantinya Kak Lusi yang kemaren liburan bareng di Pinang. Cowok, ganteng sih emang. Terus juga pinter bergaul, anaknya asik diajak ngobrol. Makanya baru kenal mereka langsung klop. Tapi baru lulus sekolah dan masih kuliah dalam artian masih abg banget. Belum lagi Alvin adalah seorang selebgram yang foto narsisnya di mana mana. Jelas bukan tipenya Er lah.

“Beneran nih Er. Ya ampun, patah hati nih gue,” Satria ikut buka mulut.

“Apaan sih loe Sat. Tadi katanya gue bukan tipe loe. Kali ini sok patah hati pula. Lagian kalo pun loe punya rasa ke gue, nama loe udah di coret dari kriteria pasangan buat gue.”

“Lho, kenapa Er. Gue kan ganteng. Nggak pernah malu maluin elo kan kalo pas di ajak kondangan?”

“Emang, tapi kita kan satu kantor, Sat.”

“Terus kenapa? Kantor kita kan nggak ada larangan pacaran satu divisi.”

“Emang nggak dilarang. Gue nya aja yang nggak mau. Udah trauma, takutnya sebulan jadian malah di tinggil kawin. Masih mending kalau cuma di tinggal nikah. Lah kalo sampe ketahuan loe hamilin anak orang juga kan nggak lucu.”

Tawa Alfa dan Okta terdengar koor mendegar alasan Er baruan. Segera tau kalau kalimat gadis itu barusan merujuk kepada nasipnya Iren yang di tinggal kawin Dino yang terlanjur menghamili anak orang.

“Sialan loe. Loe pikir gue Dino.”

Ekspresi kesel Satria yang bela belain berdiri malah membuat tawa yang lainnya makin membahana. Kecuali Rendy yang hanya menatap sekeliling heran. Tidak tau apa yang lucu dari obrolan barusan.

Dan sebelum Er sempat membalas lagi, ia sudah lebih dulu kicep ketika melihat bayangan Big Bos yang melangkah masuk kedalam ruangan. Dan untuk itu, mau tak mau obrolan mereka di hentikan dan kembali fokus pada pekerjaan.

Next to cerbung Let It Flow Part 6

Detail Cerbung

• Judul : Let It Flow
• Penulis : Ana Merya
• Instagram : @anamerya
• Twitter : @ana_merya
• Genre : Romantis
• Status : Ongoing
• Length : 1.743 Words

Lanjut Baca : || ||

Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

Share :