Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerbung Terbaru "Let It Flow " ~ Part 07

Biar nggak terkesan mati suri beneran, akhirnya sigin di mari lagi. Maafkan lah admin yang udah move on dari dunia perblogan ini ya guys. Abisnya keasikan jadi reader, males banget mau nulis. Ini juga nggak tau, masih ada yang baca apa kagak. Yang jelas, posting aja udah. Itung itung biar nggak mubazir banget bayarin domain tiap tahun ye kan.

Buat yang masih mau baca monggo. Langsung cek ke bawah lanjutan dari cerbung Let It Flow. Yang udah lupa sama jalan ceritanya, bisa deh cek dulu bagian sebelumnya disini.

Let It Flow 

Setelah lima putaran, akhirnya Er menyerah. Kakinya sudah tidak sanggup lagi melangkah. Total 9 putaran. Itu adalah rekod terbanyak sepanjang hidupnya mengelilingi dataran Engku Putri ini. Kakinya bahkan seperti mati rasa. Niatnya tadi ia melakukan itu untuk menghindari Rendy, eh siapa yang menduga pria itu malah terus mengikutinya. Lupa apa kalau ada temennya yang sedang menunggu.

“Ikut aku,” Er sudah ingin mendaratkan tubuhnya diatas rumput ketika tiba tiba tangannya ditarik oleh Rendy. Tanpa sempat membantah tahu tahu keduanya sudah sampai diantara bangku taman yang sedikit menjauh dari bundaran. Dan bukannya mempersilahkan untuk duduk kursi, Rendy malah mengisaratkan Er untuk duduk diatas mejanya yang lumayan tinggi.

“Loe tunggu disini, jangan kemana – mana!”

Lagi lagi hanya insteruksi tanpa penjelasan. Dan dengan bodohnya, walau bingung Er tetep manut. Matanya hanya memperhatikan sosok Rendy yang melangkah menjauh sebelum kemudian hilang di telan kerumunan. Jangan bilang kalau pria itu mencari temannya.

“Akh, bodo ah. Cape gue, udah kayak mau mati ini,” gumam Er sendiri. Kakinya ia luruskan ke atas kursi di bawahnya sembari matanya menatap kesekeliling. Kali aja ada penjual asongan yang menjajakan minumannya. Sayangnya nihil, orang – orang yang berada di sekelilingnya hanyalah orang orang yang kelelahan sehabis berlari. Sama seperti dirinya. Para penjual kebanyakan hanya fokus di sekitar bundaran.

“Nih minum. Loe haus kan?”

“Eh?” Er mengernyit. Sedikit terkejut ketika menyadari Rendy sudah berdiri disampingnya sembari menyodorkan sebotol air mineral dingin yang sudah dibuka tepat dihadapannya. Karena kebetulan ia memang sudah sangat haus, tanpa komentar Er segera mengambil dan menengaknya.

“Kamu udah gila ya?”

Er menghentikan aksi minumnya. Matanya mengernyit kearah Rendy yang kini berdiri di depannya dengan sedikit menundukan badan. Tanpa menoleh kearah dirinya, pria tampak sedang berusaha melepaskan tali sepatu di kakinya. Merasa risih, Er berusaha untuk menarik kembali kakinya, tapi ditahan oleh pria itu. Bahkan dengan bonus tatapan tajam.
“Kamu nggak pernah lari sejauh ini kan? Terus kenapa sekarang tiba tiba maksain diri gini?”

Mendengar nada yang berbeda dari sebelumnya, membuat hati Er terenyuh. Mendadak ia merasakan dejavu. Ini adalah nada dan jenis suara yang dulu sering ia dengar jika ia melakukan sesuatu di luar batas kewajaran. Salah satunya seperti saat kebiasaannya melupakan waktu makan saat disibukan dengan kegiatan kampusnya dulu.

Seiring dengan ingatan yang mampir tiba - tibe, secepat itu juga Er menepisnya jauh-jauh. Aduh, kenapa dia jadi baper gini sih?

"Ini loe lagi marahin gue apa gimana?"

Pertanyaan Er membuat Rendy untuk sejenak tertegun. Matanya menatap lurus ke arah Er yang hanya menampilkan wajah datar. Berbanding balik dengan suasana hatinya saat ini. Membuat pria itu tak urung hanya mampu menghembuskan nafasnya.

"Sorry kalau aku terkesan begitu. Hanya.."

"Karena itu jangan di ulangin, karena gue nggak suka. Apapun yang gue lakuin, itu jadi urusan gue. Nggak ada hubungannya sama sekali sama loe," potong Er cepat. Tak memberi kesempatan Rendy untuk melanjutkan kalimatnya.

"Ngomong - ngomong temen loe mana? Loe tinggalin sendiri?" sambung Er mengalihkan pembicaraan. Matanya menatap ke sekitar, mencari tau sekiranya menemukan orang orang yang mungkin ia kenal. Sengaja melakukan itu untuk menghindari tatapan Rendy yang masih terjurus padanya. Lagian ni orang ngapain juga sok perhatian gitu. Nanti kalau sampai Er baper lagi gimana?

"Nggak tau. Tadi sih kecapen."

"Ya cariin donk. Sadis banget sih loe jadi temen. Kesian tau."

Ucapan Er barusan tak urung membuat Rendy terdiam. Pria itu tampak mengamati gadis disampingnya yang masih mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Kamu beneran mau aku nyariin dia?"

"Tentu saja," sahut Er cepat. Terlalu cepat malah. Membuat Rendy lagi lagi menghela nafas.

"Oke, bentar. Gue coba telpon dia," kata Rendy sambil mengutak atik handphond yang baru saja ia keluarkan dari saku. Namun belum sempat ia mendial nomor Ingrid, ucapan Er sudah terlebih dahulu menghentikannya.

"Terserah sih. Yang pasti gue cabut duluan ya. Udah siang juga ternyata," Er menatap jam yang melingkar di tanganya baru kemudian berdiri. Bersiap untuk segera berlalu andai saja cekalan Rendy tidak menghentikannya.

"Sa, kita bisa ngomong sebentar nggak."

"Boleh, mau ngomong apa?" Er menaikan sebelah alisnya sembari menarik tangannya. Isarat nyata agar Rendy melepaskan cekalannya.

Namun bukannya menjawab, pria itu justru malah bungkam. Menatap kearah Er dengan pandangan ragu - ragu.

"Soal yang dulu itu, aku..."

"Gue minta maaf ya."

Lagi, untuk kedua kalinya Er memotong kalimat Rendy. Membuatnya mendapatkan tatapan heran dari pria itu, tapi Er hanya membalasnya dengan senyum.

"Maksudmu?"

Er tak lantas menjawab. Gadis itu lebih memilih kembali menduduki bangkunya. Setelah menghela nafas untuk sejenak dengan tatapan lurus kehadapan, menatap kearah orang orang yang sedang berolah raga di harapan, mulutnya kembali berujar.
"Soal yang dulu itu, gue minta maaf. Kalo di inget, dulu kayaknya gue childish banget ya. Cuma karena di tolak doank sama loe, gue malah bikin kita jadi kayak orang asing gini"

Kening Rendy tampak mengernyit. Sebagian hatinya merasa tidak setuju dengan kalimat yang Er lontarkan barusan. Entah kenapa, kalimat itu terasa janggal. Dalam kasus ini, harusnya ia yang meminta maaf. Bukan sebaliknya.

"Loe mau maafin gue kan?" tanya Er. Kali ini sambil menolehkan wajahnya. Menatap lurus kearah Rendy yang juga sedang menatapnya.

"Kenapa malah jadi kamu yang minta maaf Sa? Harusnya kan aku."

Er mengeleng sembari tersenyum. "Karena emang gue yang salah," gumam gadis itu sembari kembali menatap kearah hadapan. Menghindari tatapan Rendy yang tak lepas darinya. "Gue yang salah ngebaca perhatian yang loe kasih dan ujung ujungnya malah baper sendiri. Dan kemudian, yah...."

Ucapan Er barusan tak urung membuat keduanya diam untuk waktu yang sedikit lebih lama. Sibuk tengelam dalam pikiran masing masing.

"Dan lagi sekedar koreksi, gue nggak pernah marah sama loe. Gue cuma ngerasa nggak punya muka aja buat ketemu sama loe lagi. Terus terang gue malu banget makanya itu sebisa mungkin gue pengen ngilang."

Er sama sekali tidak menyadari ucapan lirihnya barusan cukup untuk membuat Rendy mengepalkan tangannya erat. Menolak dengan tegas keinginannya untuk meninju tembok disampingnya.

"Dan akhirnya kamu milih benar - benar ngilang Sa," gumam Rendy lirih.

"Toh akhirnya sekarang kita ketemu lagi juga," kata Er sambil tersenyum. Mencoba untuk mengabaikan nada getir dari ucapan Rendy sebelumnya.

"Andai kamu tau Sa,..."

Kening Er sedikit mengernyit, menanti kelanjutan ucapan Rendy yang mengantung. Pria itu hanya tersenyum sembari mengeleng.

"Andai kamu tau usaha aku untuk nemuin kamu lagi Sa," Dan kalimat itu sama sekali tidak pernah terlontar dari mulut Rendy. Karena pria itu lebih memilih untuk menelan semua kegetirannya sendiri dan menganggap Erisa sama sekali tidak perlu mengetahuinya.

"Rendy, sedari tadi aku keliling nyariin kamu. Ternyata kamu malah disini. Kenapa telpon aku sedari tadi nggak di angkat."

Secara bersamaan, Rendy dan Er menoleh kearah sumber suara. Tampak wajah kusut Ingrid yang berjalan menghampiri.

"Sorry nggid, handphonenya ternyata aku sillience. Jadi nggak tau kamu nelpon."

Er hanya mengangkat sebelah alisnya menatap kearah Rendy. Memang sih sedari tadi ia tidak mendengar handphone Rendy berbunyi, tapi masa sih Rendy sama sekali tidak menyadari jika Inggrid benar - benar menelpon dirinya. Memangnya nggak ada mode getar atau apa gitu. Dan lagi, tadi bukannya ia juga sudah mengingatkan untuk mencari temannya itu ya?

"Ih, kamu mah gitu. Aku kan padahal udah laper. Kita cari sarapan yuk."

Er yang mendengar kalimat Inggrid barusan tak urung memutar mata. Demi ini mah, harus gitu tu orang pake nada manja gitu. Dia kan jadi mual.

"Gimana Sa, kita sarapan dulu?"

Kali ini Er mengernyit. Kenapa juga Rendy pake nanyain dirinya segala. Iya kali, Er harus makan sama mereka. Yang ada Er bakalan muntah - muntah.

Oke, itu lebay. Nada manja Inggrid tidak mungkin sampai memberikan efek sampai segitunya. Tapi tetap saja, Er males kalau harus mendengarnya berlanjutan. Makanya itu, ia lebih memilih mengeleng.

"Nggak deh. Ma kasih. Kalian aja. Gue mau cabut duluan aja. Lagian masih ada janji. So, gue duluan ya."

Tak perlu menunggu balasan, Er memilih segera berlalu. Dari pada harus sarapan bertiga, mendingan ia langsung ke Greand land. Hari minggu gini, Yaya biasanya suka bereksperiment di dapur. Ia yakin, sarapan di sana pasti lebih mengugah selera dari pada harus berurusan dengan gadis manja.

Benar, alasan Er tidak suka dengan Inggrid pasti karena gadis itu suka menggunakan nada manja. Bukan karena alasan lain. Termasuk alasan bahwa gadis itu bermanja manja dengan Rendy. Karena, hubungan apapun antara Rendy dan Inggrid, sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya.


Next to cerbung Let It Flow Part 8

Detail Cerbung


Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

1 comment for " Cerbung Terbaru "Let It Flow " ~ Part 07"

  1. Tumben kak sehat?? Mau nulis lagi. Terus kapan nulis cerita aku sama kamu haha

    ReplyDelete

Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...