All, pernah dengerin lagunya Fiona Fung yang judulnya u are my everything nggak?. Nah sambil ngetik cerpen ini nggak terhitung udah berapa puluh kali tu lagu di putar berulang ulang, intinya dari awal nulis sampe nge'end
you are my everything di jadikan backsound. Eits, tapi jangan salah. Walaupun lagu tersebut yang di jadikan inspirasi, sesungguhnya saia sediri nggak ngerti sama sekali arti liriknya. Kecuali bagian "
You Are My Everything" Ha ha ha. Yang jelas, nikmatin aja lah... :D
Untuk sebagian orang, kadang baru menyadari betapa berartinya seseorang setelah ia kehilangan,
Dan untuk sebagiannya lagi, Bahkan tidak pernah menyadarinya...#URMyEverything
Setelah mematikan laptop dihadapannya, Erika merengangkan tubuh, meluruskan otot ototnya yang terasa kaku karena sedari tadi asik mengetik imaginasi yang sering bermain di ingatannya. Matanya juga sudah terasa berat. Wajar saja, jam yang berada di samping sudah menunjukan hampir tengah malam.
Seiring dengan matanya yang melirik jam, tak sengaja pandangannya tertuju pada pigura yang bertenger di sampingnya. Seulas senyum tak mampu di cegah saat membaca tulisan yang melingkari pigura itu.
"Tersenyumlah, saat kau meyakini semua akan baik baik saja, maka semuanya pasti akan baik baik saja".
Berlahan tangannya terulur meraih pigura itu, Kado dari Alex saat kelulusan SMAnya dua tahun yang lalu. Matanya menatap lekat sambil tangannya berlahan mengusap kaca tepat di wajah seseorang yang bersamanya di foto tersebut. Alex fernando, seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.Seseorang yang selalu menginspirasi dalam setiap tulisannya.
"Malam Alex, Aku tidur dulu ya," Kata Erika sambil mencium kaca pigura itu sebelum kemudian bangkit berdiri. Beranjak menuju kearah ranjangnya. Memeluk guling dan bersiap untuk terjun kedalam mimpi indahnya.
***
"Erika, buruan," kata Alek sambil berbalik.
Menunggu sahabatnya yang tampak ngos ngosan sambil berlari kearahnya.
"Heh...Alex....aku....aku udah nggak bisa lari lagi. Cape...." kata Erika begitu berada tepat di depan
sahabatnya.
Jam sudah menunjukan pukul 7 : 30 lewat. Sementara kelasnya di mulai tepat pukul 07:00 tadi pagi. Gara gara ia yang bangun kesiangan menyebapkan ia harus berlarian setelah turun dari bus yang berhenti di halte tak jauh dari sekolah.
"Tapi kita sudah terlambat. Ntar kita bakal di marahin sama bu Desti," Alex mengingatkan.
"Kita bolos aja yuk," kata Erika setengah bergumam.
"Apa?"
"Kita bolos aja yuk. Dari pada kita cape cape udah lari lari gini, tapi tetep aja terlambat dan ujung ujungnya pasti bakal di marahin. Gimana kalau kita bolos aja?" terang Erika kemudian.
Alex tidak langsung menjawab. Matanya menatap lurus kearah Erika. Seolah masih tidak yakin akan ajakan gadis itu.
"Ah, kau benar juga. Kita udah cape lari, tapi entar juga bakal di marahin. Memang sepertinya lebih baik kita bolos saja."
Gantian Erika yang menatap tanpa berkedip. Raut heran jelas
tergambar di wajahnya. Sejujurnya tadi ia hanya asal berbicara. Tapi bagaimana bisa Alex langsung menyetujuinya.
"Kalau gitu ayo ikut aku. Sebelum kita ketahuan sama guru yang lain."
Tanpa komando lagi Alex langsung menarik tangan Erika tanpa memberi kesempatan gadis itu untuk protes lagi. Bahkan tau tau mereka berdua sudah terdampar di atas gedung sekolahnya.
"Ah kau tau. Ini untuk pertama kalinya aku membolos sekolah sejak aku SD sampe sekarang SMA," kata Erika sambil menoleh kesekeliling, menghirup udara dalam dalam. Langit luas ada di hadapannya sementara Alex sudah lebih dulu mendaratkan tubuhnya di lantai.
"Benarkah?" Alex berujar santai. Setengah meledek tidak percaya, tapi Erika hanya membalas dengan anggukan.
"Wah, kalau begitu aku benar benar beruntung."
"Beruntung?" ulang Erika dengan kening berkerut.
"Beruntung karena menjadi orang pertama yang menemanimu saat bolos sekolah. Ha ha ha."
Dan jitakan pun mendarat telak di kepala Alex sebagai balasannya.
Seiring berlalunya waktu Alex memang selalu bersama Erika.
Mereka berkenalan saat pertama sekali menginjakan kaki di SMA. Saat MOS lebih tepatnya. Mereka tak sengaja dekat karena entah bagaimana caranya keduanya selalu menjadi target sasaran hukuman kakak kelasnya saat MOS berlangsung.
Hingga tiba masa masa sekolah. Kebetulan berlanjut terjadi, karena nyatanya keduanya satu kelas. Bahkan keluarga Alex yang kebetulan baru pindah kekota itu ternyata menetap tepat di depan rumah Erika. Membuat hubungan keduanya semakin dekat.
"Alex, kau kok keliatannya santai sekali. Nggak takut ya kita ketahuan bolos, padahalkan kita sudah kelas 3. Bentar lagi juga UAN. Kalau sampai ketahuan bagaimana?"
"Kalau sampai ketahuan palingan juga kita dihukum."
Lagi lagi jitakan mendarat di kepala Alex akan jawaban santai yang keluar dari mulutnya.
"Aduh. Tuhan menganugrahkkan kita mulut untuk bicara. Kenapa kau justru mengunakan tangan untuk mewakilinya," gerut Alex sambil mengusap usap kepalanya. Erika hanya mencibir membalasnya.
"Lagian kalau kau takut kenapa tadi malah mengajak aku untuk bolos segala?" sambung Alex lagi. Masih merasa sedikit tidak terima.
"Tadi kan aku hanya bercanda. Mana aku tau kalau kau langsung menyetujuinya dan langsung menarik tangan ku kesini," Erika mencoba membela diri.
Sebelah alis Alex tampak mengernyit. Sesaat ia terdiam sebelum kemudian mendongak. Menatap Erika yang berdiri di sampingnya.
"Kalau gitu haruskah kita kembali ke kelas sekarang?" tanya Alex pasang tampang polos.
Kali ini Alex beruntung. Tangannya cepat tanggap. Menahan sebelum kemudian mengenggam erat tangan Erika sebelum gadis itu sempat mendaratkan jitakan di kepalanya untuk jawaban yang ia lontarkan barusan.
Untuk sejenak suasana hening. Hanya hembusan angin yang semilir menerpa. Kebisuan yang menenangkan.
Sekilas Erika menoleh kearah tangannya. Hal yang sama juga di lakukan oleh Alex sebelum kemudian keduanya saling bertatapan. Dan Erika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya saat melihat mata hitam itu memenjarakannya. Mereka memang selalu bertengkar tapi kali ini Erika yakin ada yang beda.
"Aku hanya takut kita ketahuan," gumam Erika lirih.
Dan kejadian selanjutnya sama sekali tidak pernah Erika duga. Alex bukan melepaskan gengamannya justru malah menariknya. Membuat tubuhnya sukses mendarat dalam pelukannya. Belum sempat mulut Erika terbuka untuk memprotesnya Alex sudah terlebih dahulu membisikan kata padanya.
"Tenanglah. Aku di sampingmu, Aku janji aku akan selalu melindungimu dan tidak akan meninggalkanmu. Selama kau mempercayainya, semuanya pasti akan baik baik saja."
Entah dapat keyakinan dari mana. Kepala Erika mengangguk berlahan. Sepertinya ia akan mempercayainya.
Waktupun terus berlalu. Hari kelulusan telah tiba. Semua orang merayakannya.
Dengan gaun cerah yang ia kenakan ditambah sebuah pita dengan warna senada menghiasi rambutnya Erika duduk diam disalah satu kaffe langanannya. Dadanya bergejolak tak menentu. Menanti kemunculan Alex yang berjanji akan menemuinya. Bahkan ini untuk pertama kalinya ia merias wajahnya. Walau ia tak menemukan alasannya. Karena Alex hanyalah sahabatnya.
Satu jam lebih telah berlalu dari waktu yang mereka janjikan. Tapi Alex tak kunjung menunjukan wajahnya sementara Erika masih setia menunggu. Rasa kesel mulai merambati hatinya. Terlebih nomor Alex sama sekali tidak bisa dihubungi. Membuat gadis itu sibuk mengarang kalimat makian yang akan ia tujukan pada Alex jika muncul nantinya.
Deringan ponsel membuyarkan lamunan Erika. Berniat langsung memaki saat melihat Id caller yang tertera di handphonnye Erika justru malah di buat terpaku. Suara di seberang terasa bagai mimpi buruk baginya. Tanpa bisa di cegah air mata menetes dari mata beningnya. Pikirannya kalut, ia masih diam terpaku bahkan setelah sambungan telpon itu telah di tutup.
Barulah pada detik berikutnya. Saat pikirannya sudah mampu mencerna semuanya ia secepat kilat bangkit berdiri. Berlari melewati pintu kaffe tanpa menoleh lagi. Menyetop Taxsi yang lewat dan langsung membawanya ke rumah sakit "Harapan Bunda".
Dengan langkah terseret seret Erika melewati lorong demi lorong. Langkahnya tercekat di depan sebuah pintu yang di tunjukan suster padanya. Tangannya gemeteran, jantung nya berdetak keras. Saking kerasnya ia yakin ia bisa mendengar debarannya sendiri. Rasa takut yang sangat mencekam menderanya. Rasa takut yang sungguh tidak ingin ia rasakan seumur hidupnya.
Dan pemandangan di hadapannya melumpuhkan semua pertahanannya. Tante vera, mamanya Alex tampak menangis dihadapan seseorang yang terbujur kaku di hadapan dengan luka di sekujur tubuhnya. Kecelakaan yang terjadi di jalan besar depan rumah telah menewaskan anaknya. Membuat Erika dipaksa menyadari kalau sudah tiada lagi sahabat terbaik di sampingnya.
Setelah acara pemakaman selesai, Erika masih duduk terpaku di hadapan gundukan tanah yang masih basah. Masih tidak mempercayai apa yang terjadi. Bagaimana bisa, sesorang yang selalu bersama dengannya bisa pergi begitu saja. Bahkan tanpa sepatah kata pesan untuknya. Sungguh, ia tidak bisa mempercayainya.
"Erika."
Suara lirih Tante Vera menyadarkan Erika dari lamunannya. Kepalanya menoleh sambil tersenyum samar.
"Untukmu," kata tante Vera sambil menyodorkan sebuah kotak kado padanya. Menimbulkan kerutan di kening Erika karena tidak mengerti apa maksutnya.
"Kado kelulusan dari Alex untuk mu. Hari itu, Alex pergi dengan terburu buru untuk menemui mu. Tapi setelah di tengah jalan sepertinya ia baru menyadari kalau ia telah melupakan kadonya. Makanya itu ia menelpon tante untuk menanyakannya. Dan siapa yang menduga saat ia berbalik kecelakaan itu terjadi dan menewaskannya" terang tante Vera dengan mata berkaca kaca.
"Ma kasih tante." Hanya kata itu yang mampu melewati tengorokan Erika yang tercekat. Kenyataan kalau Alex pergi demi untuk menemuinya membuatnya semakin terpuruk.
"Yang sabar ya sayang. Kalau kau menyayanginya kau pasti akan menuruti perkataannya bukan?" kata tante Vera sebelum kemudian pamit pergi. Walau tidak mengerti maksutnya, kepala Erika tetap mengangguk sebagai jawaban.
Setelah tante Vera benar benar pergi, dan hanya dirinya yang berada di area pemakaman itu barulah Erika membuka kadonya. Dan setetes air mata bening melewati pipinya saat melihat pigura dengan foto ia berdua di dalamnya.
"Tersenyumlah, Saat kau meyakini semua akan baik baik saja, maka semuanya pasti akan baik baik saja".
Kata yang menghiasi pigura itu membuat Erikat terpaku. Setelah lama terdiam akhirnya ia mengangguk. Dengan senyum yang masih mengiringi tangisannya ia bergumam lirih.
"Bailah, Aku akan mempercayaimu. Selamat jalan
sahabat. Semoga kau tenang di sana"
You Are My Everything
Kriiiinngg kriiiing kriiiing
Suara jam Baker yang berdering nyaring menyadarkan Erika dari tidur panjangnya. Masih dengan mata terpejam Erika menoleh, dan saat pertama sekali ia membuka mata pigura dengan foto ia bersama Alex langsung menyambutnya. Membuatnya tanpa sadar tersenyum. Senyum yang ia janjikan akan selalu menemani harinya.
Seperti yang Alex katakan Selama ia meyakini semuanya akan baik baik saja, maka semuanya pasti akan baik baik saja...
End.....
Detail Cerpen
Post a Comment for "Cerpen sahabat You Are My Everything"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...