Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 01 / 10
Yuhu, lama berkutat dengan ide ide cerpen lama jadinya malah nggak berkembang. Postingan di blog Star Night malah jadi makin jarang. So mending back kayak dulu aja deh. Begitu ada ide cerpen langsung tulis aja. Mau itu satu kek, dua kek, tiga atawa seterusnya. Misalnya cerpen {Bukan} Sahabat jadi cinta berikut ini. Cerpen yang satu ini kebetulan idenya lancar. Udah tinggal ngetik endingnya doank. Tapi berhubung ceritanya panjang, tetep di bikin part aja deh.
Kalau penasaran sama ceritanya, mendingan langsung baca. Kalau masih mau nunggu lanjutan cerpen kenalkan aku pada cinta, monggo di tunggu aja. Yang jelas, happy reading aja deh.
Dengan mengerahkan semua tenaga yang ia punya, Ishida berlari menuju kearah gerbang sekolah yang mungkin saat ini sudah di tutup. Entah hari ini memang sial atau nasip buruk sudah di jadwalklan untuknya. Yang jelas motor yang ia tumpangi tadi pagi bersama kakaknya mendadak bocor di tengah jalan. Karena menunggu di bengkel terlalu lama, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum saja.
Sayangnya, seiring waktu berlalu entah kenapa tidak ada taxsi, angkot maupun tukang ojek yang lewat. Hingga akhirnya di putuskan, Ishida akan berangkat dengan cara berlari. Lagi pula jalan yang harus di tempuh sudah tidak terlalu jauh. Tinggal satu belokan lagi. Hanya saja, masalahnya saat ini hari sudah siang. Tambahan, ini merupakan hari pertama masuk sekolah.
Dengan nafas yang masih tanpak ngos ngosan, Ishida menatap lurus kearah gerbang di hadapannya dengan tatapan nanar. Sepertinya percuma usaha yang ia lakukan tadi. Gerbang itu telah tertutup dengan kokohnya. Lebih jelasnya, ia terlambat.
“Telat juga ya?”
Secara spontan Ishida menoleh. Dan untuk beberapa detik yang terasa sedikit lebih lambat dari biasanya, gadis itu terpaku. Kini di hadapannya tanpa sosok pria dengan seragam SMA yang sama sedang menatapnya dengan tampang yang tak beda jauh darinya. Masih ngos – ngosan. Bedanya, pria itu terlihat ‘menyilaukan’ sementara ia sendiri justru malah terlihat kusut.
“Yah, padahal ini hari pertama masuk sekolah,” sambung pria itu lagi tampak gelisah.
Ishida mengedipkan matanya sebelum kemudian kembali sadar dari keterpesonaannya. “Loe kelas satu juga?” tanya Ishida yang hanya balas dengan anggukan.
“Ah, penjaga sekolahnya nggak tau kemana lagi.”
“Hufh,” gantian Ishida yang mengangguk membenarkan. Untuk beberapa saat keduanya terdiam sampai kemudian.
“Ke.. kenapa loe menatap gue kayak gitu?” tanya Ishida gugup ketika melihat senyum misterius di wajah pria di hadapnnya dengan tatapan yang terjurus padanya.
“Gue punya ide.”
“Maksutnya?” tanya Ishida tidak mengerti.
“Gimana kalau kita panjat pagarnya aja?”
“Ha?” Ishida melotot kaget. Memanjat pagar? Yang benar saja lah.
“Ayolah. Dari pada kita harus terjebak di luar sini. Lagi pula ini kan hari pertama, itu bisa menjadi kesan yang buruk untuk sekolah kita.”
Tapi memanjat pagar di hari pertama masuk sekolah juga tidak lebih baik bukan? Gerut Ishida dalam hati.
“Gimana? Lagian tujuan kita kan baik. Kita pengen masuk kelas, bukan pengen bolos,” bujuk pria itu lagi. Untuk sejenak Ishida terdiam sambil menimbang – nimbang saran tersebut. Sepertinya pria itu ada benarnya juga.
“Sudahlah, nggak usah kelamaan mikir. Ayo Gue bantuin,” tanpa menunggu kalimat balasan dari Ishida, tau tau tangan nya sudah berada dalam gengaman pria tersebut. Dan sepuluh menit kemudian keduanya sudah berada dalam halaman sekolah walau dengan perjuangan yang tidak mudah. Yah secara Ishida kan cewek. Jujur saja, seumur hidup memanjat pagar baru pertama kali ini di lakukannya.
“Nah, gue bilang juga apa, ini bukan ide yang buruk kan?”
Ishida tidak menjawab, walau tak urung ia membenarkan dalam hati. Dan mengingat waktu yang kini tertera di jam yang melingkar dipergelangan tangannya, ia segera mengisaratkan untuk segera kekelas. Namun saat berbalik.
“Kalian pikir apa yang baru saja kalian lakukan?”
Ishida hanya mampu menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Dengan segera ia menarik kembali pendapatnya barusan. Ini sama sekali bukan ide yang bagus. Bahkan sangat buruk, seburuk raut garang yang tertera diwajah Guru yang ada di hadapannya.
“Maaf pak. Ki… kita….”
“Kalian berdua, sekarang ikut saya,” potong pak Guru terdengar tegas. Akhirnya dengan berat hati juga berat tenaga , Ishida berjalan mengikuti tanpa protes lagi. Dengan wajah yang terus menunduk ia berjalan mengekor di belakang sang guru. Bisikan permintaan maaf makhuk disampingnya sama sekali tidak ia indahkan. Justru ia malah sibuk berpikir sendiri. Orang bilang kesan pertama adalah yang menentukan. Dan kesan pertamanya pada pria itu baik, bahkan ia sempat terpesona. Tapi ternyata apaan? Itu semua pasti bohong belaka.
Setelah di paksa mendengarkan ocehan ceramah dari guru yang bahkan belum ia ketahui namanya itu, akhirnya di putuskan kalau keduanya di haruskan untuk membersihkan toilet sekolah. Wow, baru hari pertama masuk sekolah, Ishida sudah begitu banyak memiliki kesan yang mendalam. Mulai dari berlarian, manjat pagar dan kini harus membersihkan toilet. Bisa di pastikan, kejadian hari ini tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“Hei. Sory ya, gara – gara gue semuanya jadi kayak gini.”
Ishida hanya terdiam dengan tangan yang terus bergerak mengerak kan gangang pel yang di pegangnya.
“Oh iya. Hampir aja lupa. Kenalin, nama gue Arsyil. Loe?”
Kali ini Ishida hanya melirik sekilas sambil mencibir. Setelah begitu banyak tempat yang sudah mereka kunjungi, kenapa pria itu lebih memilih toilet sebagai tempat untuk mengajak kenalan. Terlebih dengan incident yang telah di lakukannya.
“Loe marah ya?” tanya Arsyil yang menyadari kalau Ishida sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyannya.
“Nggak usah ngomong sama gue,” sahut Ishida tegas.
“Baiklah, gue tau gue salah. Tapi beneran tadi itu gue cuma…”
“Gue bilang nggak usah ngomong sama gue,” kali ini Ishida mengatakannya dengan nada yang lebih tinggi.
Mendengar hal itu Arsyil langsung terdiam. Matanya menatap kearah Ishida yang sama sekali tidak mau melihat kearahnya, entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Walau sejujurnya ia masih penasaran, tapi tak urung ia memilih bungkam. Lagian memang pantas kok kalau gadis itu marah padanya. Kalau di pikir – pikir lagi, ini kan memang salahnya.
Sementara Ishida sendiri sibuk menyesali apa yang baru saja di katakannya. Sungguh ia tidak bermaksut untuk berteriak. Hanya saja pikirannya kusut. Sibuk menimbang betapa buruk apa yang menimpanya kali ini. Namun saat memutuskan untuk meminta maaf ia justru malah terdiam. Sedikit perasaan gengsi yang di miliki menghalangi. Akhirnya dalam diam, keduanya melanjutkan perkerjaan masing masing.
Seminggu telah berlalu, tak terasa Ishida mulai terbiasa dengan suasana sekolah barunya. Terlebih ia bisa sekelas dengan Arumy, sahabatnya yang sudah ia kenal sejak SMP. Jadi ia tidak perlu lagi repot repot untuk mengakrabkan diri dengan menyari teman lainnya.
“Ishida, temenin ke perpustakan yuk. Gue mau balikin buku yang di pinjam kemaren,” kata Arumy sambil membereskan buku – buku di hadapannya. Jam istirahat memang telah tiba.
Ishida hanya membalas dengan anggukan. Selang beberapa saat keduanya sudah berjalan beriringan di sepanjang koridor sekolah.
“Ishida, coba liat deh.”
“Apa?” tanya Ishdia sambil mengikuti telunjuk lurus Arumy yang terjurus kearah lapangan sekolah. Dimana tampak anak – anak yang sedang berlari sambil bermain bola.
“Kenapa?” tanya Ishida lagi. Ia masih tidak mengerti apa yang di maksut oleh sahabatnya.
“Cakep ya?”
“Siapa?”
“Itu…” tunjuk Arumy kearah sosok yang sedang berlari mengejar bola.
Ishida sedikit menyipitkan matanya guna memperjelas sosok yang di maksut. “Oh, maksut loe si Arsyil.”
“Loe kenal sama dia?” tanya Arumy langsung. Jelas terlihat tak percaya.
“Gue cuma tau namanya, tapi dia nggak tau nama gue,” aku Ishida lirih
“Ooo,” Arumy menggangguk – angguk paham. “Kirain loe beneran kenal sama dia. Lagian kalau di pikir nggak mungkin juga si loe bisa kenal sama dia.”
Ishida mengernyit mendengarnya. ‘Nggak mungkin juga?’. Maksutnya apa nih.
“Akh, tapi tu anak beneran hebat ya. Udah cakep, pinter olah raga lagi. Bahkan baru juga seminggu kita sekolah disini, hampir semua anak anak disini pada kenal sama dia. Jujur aja deh, gue juga terpesona tau sama dia,” cerocos Arumy tampa memperhatikan sama sekali raut cemberut di wajah Ishida.
Jadi itu maksutnya dengan kata ‘nggak mungkin’ yang di maksu. Karena Arsyil sudah menjadi idola dadakan di sekolah mereka, jadi mustahil siswa biasa – biasa saja seperti dia bisa kenal dengannya. ‘heh’, Ishida lagi lagi hanya mencibir. Coba saja sahabatnya tau kalau pria yang baru saja di puji – pujinya itu ternyata harus membersihkan toilet sekolah di hari pertama masuk. Kira – kira apa ya tanggapannya. Tapi tetap, Ishida tidak tertarik untuk mengatakannya karena itu sama saja dengan membuka aibnya sendiri. Secara bukannya ia juga melakukan hal yang sama.
“Oh ya, habis ini kita langsung kekantin yuk. Gue laper tau. Tadi pagi nggak sempat sarapan,” ajak Arumy setelah mengembalikan buku yang ia maksut.
“Akh perasaan, sarapan nggak sarapan nggak ada bedannya. Bukannya tiap istriahat juga loe pasti selalu bilang laper?”
“Tepat. Loe emang tau banget soal yang begitun. Akh, loe emang sahabat gue yang paling pengertian,” Arumy mencentikan jari yang lagi – lagi hanya di balas cibiran oleh Ishida.
Selang beberapa menit kemudian, keduanya sudah duduk santai di meja kantin sambil menanti pesanan mereka muncul. Sambil menunggu keduanya tak henti mengobrol sana sini.
“Permisi, berhubung semua bangku penuh, gue boleh ikutan duduk disini nggak?”
Sendok yang ada dalam gengaman Arumy terlepas seiring dengan kalimat sapaan yang mampir di gendang telingannya. Ralat, sebenarnya bukan karena kalimatnya, tapi siapa yang melontarkannya. Yups, tepat di hadapan mereka kini berdiri sosok yang sedari tadi mereka bicarakan. Siapa lagi kalau bukan si Arsyil.
Melihat ulah sahabatnya , Ishida tak mampu menahan cibiran dari wajahnya. Ya ampun, Arsyil nggak semempesona itu kali sampai sampai sahabatnya harus pasang tampang selebai itu.
“Boleh kan?” tanya Arsyil menegaskan.
“Tentu saja,” sahut Arumy cepat. Secepat yang bisa ia lakukan untuk mendahului Ishida yang ingin menjawab tidak.
“Ngomong – ngomong loe cewek yang waktu itu kan?”
“Ya?” Arumy mengernyit heran. Gadis itu baru menyadari kalau sedari tadi _ bahkan masih _ tatapan Arsyil hanya tertuju pada Ishida. Instingnya langsung menangkap pasti ada sesuatu ala syarini disini.
“Atau jangan – jangan loe masih marah sama gue ya?”
Ishida hanya mampu merutuk dalam hati ketika melihat tatapan tajam dari Arumy. Gadis itu pasti sedang menduga macam – macam. Lagian Arsyil kurang kerjaan banget si pake nanya nanya segala.
“Marah? Ya enggak lah. Kenapa harus marah coba,” sahut Ishida terlihat gugub. Arsyil yang menatapnya sedikit mengernyit heran. Tapi beberapa detik kemudian raut wajahnya segera kembali berubah ceria seiring dengan kalimat yang ia lontarkan.
“Kalau gitu mulai sekarang kita boleh jadi sahabat bukan?”
Ishida bungkam. Sementara Arumy menyela. “Kalian berdua saling kenal?”
Barulah kali ini untuk pertama kalinya perhatian Arsyil terjurus kearah Arumy. Melihat raut heran di wajah gadis itu, Arysil tersenyum. Senyum yang menular. Terbukti dengan berlahan Arumy ikut membalas senyumannya.
“Dia memang tau nama gue, tapi gue nggak tau namanya dia,” aku Arsyil yang mengingatkan Arumy akan perkataan Ishida beberapa waktu yang lalu. Bukannya gadis itu mengatakan hal yang sama .
“Gimana? loe mau kan temenan sama gue?” tanya Arsyil mengulang kalimatnya tadi kearah Ishida.
“Boleh,” sahut Ishida singkat. Arsyil kembali tersenyum mendengarnya. Tapi senyum itu memudar seiring dengan kalimat lanjutan dari gadis itu.
“Tapi ada syaratnya.”
“Syarat?” kata Arumy dan Arsyil secara bersamaan. Ishida hanya membalas dengan anggukan.
“Apa?”
Ishida tidak langsung menjawab. Matanya mengamati wajah kedua orang di hadapannya satu persatu. Kemudian perhatiannya terjurus lurus kearah Arsyil sembari mulutnya berujar. “Loe nggak boleh jatuh cinta sama gue.”
“Ha?” Arumy melongo. Wah, sahabatnya sungguh terlalu. Syarat macam apa itu? Pede sekali.
“Emangnya kenapa gue nggak boleh jatuh cinta sama loe?” tanya Arsyil menyelidik.
“Mau nggak?” tanya Ishida tanpa menjawab pertanyaan Arsyil.
“Baiklah. Setuju. Gue janji gue nggak akan pernah jatuh cinta sama loe. Oke?”
“Deal,” angguk Ishida setuju. Arumy hanya memperhatikan ulah keduanya dengan tatapan heran yang tak hilang dari wajahnya. “Inget ya, kalau sampai loe jatuh cinta sama gue, maka persahabatan kita akan berakhir,” sambung Ishida lagi.
Arsyil mengangguk setuju. “Kalau gitu, gue sudah boleh tau nama loe kan?”
Ishida tampak menghela nafas. “Ishida. loe bisa manggil gue Ishida,” kata Ishida sambil mengulurkan tangannya.
“Walau pun gue inget banget pernah nyebutin nama gue sendiri, tapi kayaknya nggak ada salahnya deh kalau di ulang sekali lagi. Arsyil. Nama gue Arsyil,” balas Arsyil sambil menyambut uluran tangannya.
“Baiklah Ishida,” kata Arsyil sambil tersenyum. Kali ini mau tak mau Ishida juga membalas senyumannya.
“Senang bisa berkenalan denganmu.”
Next to {Bukan} Sahabat Jadi Cinta Part 02
Detail Cerpen
Kalau penasaran sama ceritanya, mendingan langsung baca. Kalau masih mau nunggu lanjutan cerpen kenalkan aku pada cinta, monggo di tunggu aja. Yang jelas, happy reading aja deh.
Cerpen Bukan Sahabat Jadi Cinta |
Dengan mengerahkan semua tenaga yang ia punya, Ishida berlari menuju kearah gerbang sekolah yang mungkin saat ini sudah di tutup. Entah hari ini memang sial atau nasip buruk sudah di jadwalklan untuknya. Yang jelas motor yang ia tumpangi tadi pagi bersama kakaknya mendadak bocor di tengah jalan. Karena menunggu di bengkel terlalu lama, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum saja.
Sayangnya, seiring waktu berlalu entah kenapa tidak ada taxsi, angkot maupun tukang ojek yang lewat. Hingga akhirnya di putuskan, Ishida akan berangkat dengan cara berlari. Lagi pula jalan yang harus di tempuh sudah tidak terlalu jauh. Tinggal satu belokan lagi. Hanya saja, masalahnya saat ini hari sudah siang. Tambahan, ini merupakan hari pertama masuk sekolah.
Dengan nafas yang masih tanpak ngos ngosan, Ishida menatap lurus kearah gerbang di hadapannya dengan tatapan nanar. Sepertinya percuma usaha yang ia lakukan tadi. Gerbang itu telah tertutup dengan kokohnya. Lebih jelasnya, ia terlambat.
“Telat juga ya?”
Secara spontan Ishida menoleh. Dan untuk beberapa detik yang terasa sedikit lebih lambat dari biasanya, gadis itu terpaku. Kini di hadapannya tanpa sosok pria dengan seragam SMA yang sama sedang menatapnya dengan tampang yang tak beda jauh darinya. Masih ngos – ngosan. Bedanya, pria itu terlihat ‘menyilaukan’ sementara ia sendiri justru malah terlihat kusut.
“Yah, padahal ini hari pertama masuk sekolah,” sambung pria itu lagi tampak gelisah.
Ishida mengedipkan matanya sebelum kemudian kembali sadar dari keterpesonaannya. “Loe kelas satu juga?” tanya Ishida yang hanya balas dengan anggukan.
“Ah, penjaga sekolahnya nggak tau kemana lagi.”
“Hufh,” gantian Ishida yang mengangguk membenarkan. Untuk beberapa saat keduanya terdiam sampai kemudian.
“Ke.. kenapa loe menatap gue kayak gitu?” tanya Ishida gugup ketika melihat senyum misterius di wajah pria di hadapnnya dengan tatapan yang terjurus padanya.
“Gue punya ide.”
“Maksutnya?” tanya Ishida tidak mengerti.
“Gimana kalau kita panjat pagarnya aja?”
“Ha?” Ishida melotot kaget. Memanjat pagar? Yang benar saja lah.
“Ayolah. Dari pada kita harus terjebak di luar sini. Lagi pula ini kan hari pertama, itu bisa menjadi kesan yang buruk untuk sekolah kita.”
Tapi memanjat pagar di hari pertama masuk sekolah juga tidak lebih baik bukan? Gerut Ishida dalam hati.
“Gimana? Lagian tujuan kita kan baik. Kita pengen masuk kelas, bukan pengen bolos,” bujuk pria itu lagi. Untuk sejenak Ishida terdiam sambil menimbang – nimbang saran tersebut. Sepertinya pria itu ada benarnya juga.
“Sudahlah, nggak usah kelamaan mikir. Ayo Gue bantuin,” tanpa menunggu kalimat balasan dari Ishida, tau tau tangan nya sudah berada dalam gengaman pria tersebut. Dan sepuluh menit kemudian keduanya sudah berada dalam halaman sekolah walau dengan perjuangan yang tidak mudah. Yah secara Ishida kan cewek. Jujur saja, seumur hidup memanjat pagar baru pertama kali ini di lakukannya.
“Nah, gue bilang juga apa, ini bukan ide yang buruk kan?”
Ishida tidak menjawab, walau tak urung ia membenarkan dalam hati. Dan mengingat waktu yang kini tertera di jam yang melingkar dipergelangan tangannya, ia segera mengisaratkan untuk segera kekelas. Namun saat berbalik.
“Kalian pikir apa yang baru saja kalian lakukan?”
Ishida hanya mampu menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit. Dengan segera ia menarik kembali pendapatnya barusan. Ini sama sekali bukan ide yang bagus. Bahkan sangat buruk, seburuk raut garang yang tertera diwajah Guru yang ada di hadapannya.
“Maaf pak. Ki… kita….”
“Kalian berdua, sekarang ikut saya,” potong pak Guru terdengar tegas. Akhirnya dengan berat hati juga berat tenaga , Ishida berjalan mengikuti tanpa protes lagi. Dengan wajah yang terus menunduk ia berjalan mengekor di belakang sang guru. Bisikan permintaan maaf makhuk disampingnya sama sekali tidak ia indahkan. Justru ia malah sibuk berpikir sendiri. Orang bilang kesan pertama adalah yang menentukan. Dan kesan pertamanya pada pria itu baik, bahkan ia sempat terpesona. Tapi ternyata apaan? Itu semua pasti bohong belaka.
Setelah di paksa mendengarkan ocehan ceramah dari guru yang bahkan belum ia ketahui namanya itu, akhirnya di putuskan kalau keduanya di haruskan untuk membersihkan toilet sekolah. Wow, baru hari pertama masuk sekolah, Ishida sudah begitu banyak memiliki kesan yang mendalam. Mulai dari berlarian, manjat pagar dan kini harus membersihkan toilet. Bisa di pastikan, kejadian hari ini tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
“Hei. Sory ya, gara – gara gue semuanya jadi kayak gini.”
Ishida hanya terdiam dengan tangan yang terus bergerak mengerak kan gangang pel yang di pegangnya.
“Oh iya. Hampir aja lupa. Kenalin, nama gue Arsyil. Loe?”
Kali ini Ishida hanya melirik sekilas sambil mencibir. Setelah begitu banyak tempat yang sudah mereka kunjungi, kenapa pria itu lebih memilih toilet sebagai tempat untuk mengajak kenalan. Terlebih dengan incident yang telah di lakukannya.
“Loe marah ya?” tanya Arsyil yang menyadari kalau Ishida sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyannya.
“Nggak usah ngomong sama gue,” sahut Ishida tegas.
“Baiklah, gue tau gue salah. Tapi beneran tadi itu gue cuma…”
“Gue bilang nggak usah ngomong sama gue,” kali ini Ishida mengatakannya dengan nada yang lebih tinggi.
Mendengar hal itu Arsyil langsung terdiam. Matanya menatap kearah Ishida yang sama sekali tidak mau melihat kearahnya, entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Walau sejujurnya ia masih penasaran, tapi tak urung ia memilih bungkam. Lagian memang pantas kok kalau gadis itu marah padanya. Kalau di pikir – pikir lagi, ini kan memang salahnya.
Sementara Ishida sendiri sibuk menyesali apa yang baru saja di katakannya. Sungguh ia tidak bermaksut untuk berteriak. Hanya saja pikirannya kusut. Sibuk menimbang betapa buruk apa yang menimpanya kali ini. Namun saat memutuskan untuk meminta maaf ia justru malah terdiam. Sedikit perasaan gengsi yang di miliki menghalangi. Akhirnya dalam diam, keduanya melanjutkan perkerjaan masing masing.
Seminggu telah berlalu, tak terasa Ishida mulai terbiasa dengan suasana sekolah barunya. Terlebih ia bisa sekelas dengan Arumy, sahabatnya yang sudah ia kenal sejak SMP. Jadi ia tidak perlu lagi repot repot untuk mengakrabkan diri dengan menyari teman lainnya.
“Ishida, temenin ke perpustakan yuk. Gue mau balikin buku yang di pinjam kemaren,” kata Arumy sambil membereskan buku – buku di hadapannya. Jam istirahat memang telah tiba.
Ishida hanya membalas dengan anggukan. Selang beberapa saat keduanya sudah berjalan beriringan di sepanjang koridor sekolah.
“Ishida, coba liat deh.”
“Apa?” tanya Ishdia sambil mengikuti telunjuk lurus Arumy yang terjurus kearah lapangan sekolah. Dimana tampak anak – anak yang sedang berlari sambil bermain bola.
“Kenapa?” tanya Ishida lagi. Ia masih tidak mengerti apa yang di maksut oleh sahabatnya.
“Cakep ya?”
“Siapa?”
“Itu…” tunjuk Arumy kearah sosok yang sedang berlari mengejar bola.
Ishida sedikit menyipitkan matanya guna memperjelas sosok yang di maksut. “Oh, maksut loe si Arsyil.”
“Loe kenal sama dia?” tanya Arumy langsung. Jelas terlihat tak percaya.
“Gue cuma tau namanya, tapi dia nggak tau nama gue,” aku Ishida lirih
“Ooo,” Arumy menggangguk – angguk paham. “Kirain loe beneran kenal sama dia. Lagian kalau di pikir nggak mungkin juga si loe bisa kenal sama dia.”
Ishida mengernyit mendengarnya. ‘Nggak mungkin juga?’. Maksutnya apa nih.
“Akh, tapi tu anak beneran hebat ya. Udah cakep, pinter olah raga lagi. Bahkan baru juga seminggu kita sekolah disini, hampir semua anak anak disini pada kenal sama dia. Jujur aja deh, gue juga terpesona tau sama dia,” cerocos Arumy tampa memperhatikan sama sekali raut cemberut di wajah Ishida.
Jadi itu maksutnya dengan kata ‘nggak mungkin’ yang di maksu. Karena Arsyil sudah menjadi idola dadakan di sekolah mereka, jadi mustahil siswa biasa – biasa saja seperti dia bisa kenal dengannya. ‘heh’, Ishida lagi lagi hanya mencibir. Coba saja sahabatnya tau kalau pria yang baru saja di puji – pujinya itu ternyata harus membersihkan toilet sekolah di hari pertama masuk. Kira – kira apa ya tanggapannya. Tapi tetap, Ishida tidak tertarik untuk mengatakannya karena itu sama saja dengan membuka aibnya sendiri. Secara bukannya ia juga melakukan hal yang sama.
“Oh ya, habis ini kita langsung kekantin yuk. Gue laper tau. Tadi pagi nggak sempat sarapan,” ajak Arumy setelah mengembalikan buku yang ia maksut.
“Akh perasaan, sarapan nggak sarapan nggak ada bedannya. Bukannya tiap istriahat juga loe pasti selalu bilang laper?”
“Tepat. Loe emang tau banget soal yang begitun. Akh, loe emang sahabat gue yang paling pengertian,” Arumy mencentikan jari yang lagi – lagi hanya di balas cibiran oleh Ishida.
Selang beberapa menit kemudian, keduanya sudah duduk santai di meja kantin sambil menanti pesanan mereka muncul. Sambil menunggu keduanya tak henti mengobrol sana sini.
“Permisi, berhubung semua bangku penuh, gue boleh ikutan duduk disini nggak?”
Sendok yang ada dalam gengaman Arumy terlepas seiring dengan kalimat sapaan yang mampir di gendang telingannya. Ralat, sebenarnya bukan karena kalimatnya, tapi siapa yang melontarkannya. Yups, tepat di hadapan mereka kini berdiri sosok yang sedari tadi mereka bicarakan. Siapa lagi kalau bukan si Arsyil.
Melihat ulah sahabatnya , Ishida tak mampu menahan cibiran dari wajahnya. Ya ampun, Arsyil nggak semempesona itu kali sampai sampai sahabatnya harus pasang tampang selebai itu.
“Boleh kan?” tanya Arsyil menegaskan.
“Tentu saja,” sahut Arumy cepat. Secepat yang bisa ia lakukan untuk mendahului Ishida yang ingin menjawab tidak.
“Ngomong – ngomong loe cewek yang waktu itu kan?”
“Ya?” Arumy mengernyit heran. Gadis itu baru menyadari kalau sedari tadi _ bahkan masih _ tatapan Arsyil hanya tertuju pada Ishida. Instingnya langsung menangkap pasti ada sesuatu ala syarini disini.
“Atau jangan – jangan loe masih marah sama gue ya?”
Ishida hanya mampu merutuk dalam hati ketika melihat tatapan tajam dari Arumy. Gadis itu pasti sedang menduga macam – macam. Lagian Arsyil kurang kerjaan banget si pake nanya nanya segala.
“Marah? Ya enggak lah. Kenapa harus marah coba,” sahut Ishida terlihat gugub. Arsyil yang menatapnya sedikit mengernyit heran. Tapi beberapa detik kemudian raut wajahnya segera kembali berubah ceria seiring dengan kalimat yang ia lontarkan.
“Kalau gitu mulai sekarang kita boleh jadi sahabat bukan?”
Ishida bungkam. Sementara Arumy menyela. “Kalian berdua saling kenal?”
Barulah kali ini untuk pertama kalinya perhatian Arsyil terjurus kearah Arumy. Melihat raut heran di wajah gadis itu, Arysil tersenyum. Senyum yang menular. Terbukti dengan berlahan Arumy ikut membalas senyumannya.
“Dia memang tau nama gue, tapi gue nggak tau namanya dia,” aku Arsyil yang mengingatkan Arumy akan perkataan Ishida beberapa waktu yang lalu. Bukannya gadis itu mengatakan hal yang sama .
“Gimana? loe mau kan temenan sama gue?” tanya Arsyil mengulang kalimatnya tadi kearah Ishida.
“Boleh,” sahut Ishida singkat. Arsyil kembali tersenyum mendengarnya. Tapi senyum itu memudar seiring dengan kalimat lanjutan dari gadis itu.
“Tapi ada syaratnya.”
“Syarat?” kata Arumy dan Arsyil secara bersamaan. Ishida hanya membalas dengan anggukan.
“Apa?”
Ishida tidak langsung menjawab. Matanya mengamati wajah kedua orang di hadapannya satu persatu. Kemudian perhatiannya terjurus lurus kearah Arsyil sembari mulutnya berujar. “Loe nggak boleh jatuh cinta sama gue.”
“Ha?” Arumy melongo. Wah, sahabatnya sungguh terlalu. Syarat macam apa itu? Pede sekali.
“Emangnya kenapa gue nggak boleh jatuh cinta sama loe?” tanya Arsyil menyelidik.
“Mau nggak?” tanya Ishida tanpa menjawab pertanyaan Arsyil.
“Baiklah. Setuju. Gue janji gue nggak akan pernah jatuh cinta sama loe. Oke?”
“Deal,” angguk Ishida setuju. Arumy hanya memperhatikan ulah keduanya dengan tatapan heran yang tak hilang dari wajahnya. “Inget ya, kalau sampai loe jatuh cinta sama gue, maka persahabatan kita akan berakhir,” sambung Ishida lagi.
Arsyil mengangguk setuju. “Kalau gitu, gue sudah boleh tau nama loe kan?”
Ishida tampak menghela nafas. “Ishida. loe bisa manggil gue Ishida,” kata Ishida sambil mengulurkan tangannya.
“Walau pun gue inget banget pernah nyebutin nama gue sendiri, tapi kayaknya nggak ada salahnya deh kalau di ulang sekali lagi. Arsyil. Nama gue Arsyil,” balas Arsyil sambil menyambut uluran tangannya.
“Baiklah Ishida,” kata Arsyil sambil tersenyum. Kali ini mau tak mau Ishida juga membalas senyumannya.
“Senang bisa berkenalan denganmu.”
Next to {Bukan} Sahabat Jadi Cinta Part 02
Detail Cerpen
- Judul : {Bukan} Sahabat Jadi Cinta
- Penulis : Ana Merya
- Genre : Remaja, Romantis
- Status : Complete
Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 01 / 10"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...