Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 04 / 10
Mumpung lagi semangat nulis lanjutan cerpen {Bukan} sahabat jadi cinta, jadi lanjut aja ya. Cerpen yang lainnya nyusul aja deh. Takudnya ntar ide cerpen yang satu ini keburu ilang. #DeritaPenulisAmatiran.... He he he. Nah, biar nyambung sama ceritanya. Nggak afdhol kalau nggak baca cerita sebelumnya. Jadi biar gampang, kalau mau baca part sebelumnya bisa di cek disini. Happy Reading....
“Akh, Ishdia. Serius deh. Gue stress tau,” kata Arumy sambil merebahkan kepalanya di meja. Ishidha hanya melirik sekilas sebelum kemudian kembali asik dengan buku yang sedang di bacanya. Saat itu keduanya memang sedang berada di perpustakaan sekolah.
“Loe kok santai aja si?” tambah Arumy lagi.
“Memangnya loe stress kenapa?” tanya Ishida kemudian.
“Hufh,” Arumy kembali mengangkat wajahnya. Wajahnya ia tolehkan kearah Ishida yang juga sedang memberikan perhatian kepadanya.
“Kita kan sudah kelas tiga. Bentar lagi UN. Loe kok santai banget si?”
Ishida tersenyum. “Terus gue harus gimana. Emangnya kalau gue stress semua jadi lebih mudah? Enggak kali. Yang ada semua jadi kacau,” terang Ishida. “Lagian ni ya. Kenapa loe keliatan cemas gitu. Secara selama ini jug aloe selalu lebih pinter dari gue. Jadi santai aja lah. Mending juga focus belajar.”
“Tau ah. Cape gue belajar mulu. Mendingan gue tidur aja deh. Ntar kalau udah bel, loe bangunin gue ya,” kata Arumy sambil kembali merebahkan kepalanya. Tak lupa ia bentangkan sebuah buku guna menutupi wajahnya. Ishida hanya mengeleng tak percaya melihatnya. Memangnya dengan posisi seperti itu bisa tidur. Walaupun ia memang bisa, bisa di pastikan leher dan pinggang pasti nanti akan sakit. Tak ingin memikirkannya lebih jauh, Ishida lebih memilih memusatkan perhatiannya pada buku yang ia baca.
Selang beberapa saat kemudian, Ishida mengalihkan tatapannya dari buku yang ia baca. Lehernya terasa agak sakit karena terlalu lama bertahan pada posisi yang sama. Diliriknya jam yang melingkar di tangan. Waktu istirahat hampir habis. Dan saat menoleh kearah Arumy, gadis itu masih bertahan pada posisi yang sama. Membuat Ishida mengernyit heran. Apa gadis itu beneran tidur?
“Arumy,” panggil Ishida lirih. Tapi gadis itu sama sekali tidak bergerak.
“Hei, Arumy. Loe beneran tidur ya?” tanya Ishida lagi, kali ini dengan tangan yang bergerak menguncang pundak sahabatnya.
Arumy tampak mengeliat untuk sejenak. Secara berlahan matanya mulai terbuka. Pandangannya ia edarkan kesekeliling sebelum kemudian terhenti di wajah Ishdia yang sedang menatapnya.
“Astaga. Gue beneran ketiduran,” sahut Arumy sambil menutup mulutnya. Berusaha mengenyahkan sisa sisa kantuk yang masih mampir diwajahnya.
“Gue juga heran loe bisa beneran tidur,” komentar Ishida lirih.
Arumy hanya tersenyum singkat. Matanya menoleh kesekeliling, sepi. Tidak terlalu banyak anak anak disana seperti sebelumnya. Mungkin masing – masing sudah kembali kekelas. Dengan berlahan Arumy bangkit berdiri sambil merapikan buku – bukunya.
“Ya udah. Kekelas yuk,” ajak Arumy kemudian. Ishida hanya membalas dengan anggukan setuju.
“Tapi temenin gue ke toilet dulu ya. Gue mau cuci muka dulu.”
Lagi – lagi Ishida hanya membalas dengan anggukan. Terlebih keduanya telah tiba di hadapan penjaga perpustakaan. Ishida berniat untuk meminjam beberapa buku untuk ia baca dirumah. Arumy hanya berdiri menantinya sambil menatap kesekeliling. “Arsyil, Loe sedari tadi disini juga?”
Ishida menoleh seiring dengan kalimat yang ditangap telinganya barusan. Saat berbalik matanya langsung terkunci dengan tatapan Arsyil yang juga sedang menatapnya. Bibir Ishida yang sudah terbuka untuk menyapa kembali tertutup saat melihat bayangan Laura yang berdiri tepat di samping Arsyil.
“Hei, Arumy. Jadi loe belajar juga?”
Arumy mengangguk membenarkan. Seulas senyum ikut ia tembangkan guna membalas senyuman dari wajah Laura yang baru saja menyapanya. “Iya donk. Kan kita udah kelas tiga. Yah gue harus belajar extra kalau mau lulus UN besok.”
“Sama donk.”
“Kalian belajar berdua?”
Ishida langsung menyesali kalimat yang ia lontarkan barusan. Tak perduli seberapa penasarannya ia akan hal itu, tidak seharusnya ia menanyakannya langsung. Memangnya apa salahnya kalau mereka belajar berdua.
“Iya,” balas Laura membenarkan sembari mengangguk. “Kebetulan kita dapat tugas kelompok bareng,” sambungnya lagi.
Ishida mengangguk – angguk mendengarnya. Tugas kelompok? Bisa saja sih. Toh mereka memang sekelas.
“Ya sudah deh. Kalau gitu kita duluan ya,” kata Ishida lagi setelah mendapatkan buku yang ingin ia pinjam. Dengan sebelah tangannya ia segera menyeret Arumy untuk melangkah mengikuti.
“Ishida, jujur saja deh. Kalian berdua kenapa?” tanya Arumy saat keduanya melangkah beriringan menuju kekelas.
“Kalian berdua? Maksutnya?”
“Loe sama Arsyil. Gue ngerasa ada yang aneh. Tu anak kenapa tadi diem aja?”
“Loe ngerasa aneh kan? Sama, gue juga,” balas Ishida yang membuat kerutan di dahi Arumy bertambah. “Gue ngerasa kayaknya Arsyil menghindari gue deh. Loe liat aja tadi.”
“Memangnya loe bikin salah apa sampai dia harus menghindari elo?” selidik Arumy lagi.
“Itu dia yang gue nggak tau,” balas Ishida sambil angkat bahu. Untuk seseaat keduanya terdiam. Tengelam dalam pemikiran masing – masing.
“Tapi kayaknya dia berubah sejak dia deket sama Laura deh. Jangan – jangan mereka berdua beneran jadian,” gumam Ishida lirih.
“Kalau gitu kenapa loe nggak tanya langsung sama dia?”
“Ya nggak mungkin lah. Masa ia gue tiba – tiba nanyain hal begituan. Emangnya gue siapa?” tolak Ishida cepat.
“Elokan sahabatnya dia,” balas Arumy cepat. “Memangnya kalau sahabat nggak boleh nanya?”
Ishida tidak membalas. Gadis itu tampak kembali terdiam sambil menunduk. Arumy sendiri hanya meliriknya sekilas tanpa berniat untuk bertanya lagi. Lagi pula kini mereka telah tiba di kelas. Bel sendiri barusan juga telah terdengar. Saatnya untuk mengikuti pelajaran yang selanjutnya.
Begitu bel pulang terdengar, semua siswa segera menghabur keluar. Bersiap untuk kembali pulang kerumah masing. Tak terkecuali Ishida dan Arumy yang kini sedang melangkah di sepanjang koridor sekolah.
“Jadi loe pulang dijemput sama kakak loe?” tanya Arumy.
“Iya,” angguk Ishida membenarkan.
“Kenapa nggak bareng sama Arsyil?” tanya Arumy lagi.
Kali ini kepala Ishida menggeleng berlahan. “Nggak ah. Nggak enak gue dari dulu ngerepotin dia terus. Dia kan ada urusan juga.”
“Apaan sih. Omongan loe aneh,” komentar Arumy. Ishida tidak membalas. Justru ia malah menunjuk kearah mobil yang sudah terparkir di hadapan.
“Jemputan loe tuh, udah datang.”
“Emp, beneran nih nggak apa gue duluan? Atau loe mau kita anterin dulu?”
“Nggak nggak nggak. Ma kasih aja. Nggak papa kalian duluan aja. Rumah kita kan berlawanan arah. Lagian kakak gue juga udah dijalan kok. Bentar lagi sampe,” tolak Ishida sopan. “Ya sudah deh kalau gitu. Gue pulang duluan ya. Da….”
Ishida hanya balik balas melambai. Setelah Arumy menghilang dari pandangan, ia segera melangkah kearah jalanan. Sepertinya lebih baik ia menunggu kakaknya di pinggir jalan.
Suara klakson yang terdengar begitu dekat, membuat Ishida menoleh. Beberapa langkah darinya tampak sosok pria yang sedang duduk dengan motor yang tetap menyala. Walau wajahnya tetutup helm, Ishida langsung mengenalinya sebagai Arsyil.
“Naik yuk.”
Ishida tau kalau ajakan itu tertuju untuknya. Namun gadis itu tidak menjawab. Hanya kepalanya yang menggeleng berlahan dengan senyum samar yang ia lemparkan.
“Kenapa?” tanya Arsyil lagi. Kali ini pria itu melepaskan helm yang di kenakanya. Matanya menatap lurus kearah Ishida yang juga sedang menatapnya.
“Kak Vano udah datang tuh,” balas Ishida dengan telunjuk lurus. Secara refleks Arsyil mengikuti arah yang di maksutnya. Senyum segera ia lemparkan saat melihat kakaknya Ishida yang baru tiba di sampingnya.
“Eh ada Arsyil. Kalian nggak barengan. Tumben banget Ishida minta antar jemput gue?” tanya Vano yang memang sudah mengenal Arsyil dengan baik.
“Ih kakak apaan sih. Kesannya nggak iklas banget. Lagian gue kan emang tanggung jawab kakak. Nggak enak tau, ngerepotin Arsyil mulu. Dia kan juga ada urusan sendiri,” sahut Ishida cepat mendahului Arsyil sebelum pria itu sempat buka mulut.
“Ya udah deh. Buruan. Panas tau. Da Arsyil, kita duluan,” tambah Ishida lagi sambil mengajak kakaknya cepat berlalu. Walau sedikit bingung kakaknya hanya manut. Setelah terlebih dahulu mengangguk kan kepala pada Arsyil, mereka segera berlalu.
“Kalian berdua kenapa? Berantem?” tanya Vano di jalan.
Kepala Ishida mengeleng sebagi jawaban. Tapi ketika menyadari kalau kakaknya tidak melihat mulutnya mejawab. “Enggak kok. Kita baik – baik aja.”
“Terus tadi itu kenapa? Kok loe juga bareng sama gue?”
“Emangnya tadi kenapa?” Ishida balik bertanya. “Nggak papa lagi. Bareng sama kakak emang apa salahnya. Masa gue harus naik turun angkot. Tega banget si kakak.”
“Bukan gitu. Loe kan biasanya udah ada Arsyil.”
“Yah nggak enak kali kak, masa gue nyusahin dia mulu.”
“Gue nggak yakin Arsyil merasa di susahin,” balas Vano bergumam lirih. Sepertinya kalimat itu hanya untuk ditujukan pada dirinya sendiri.
“Lagian, sekarang diakan udah punya pacar. Kalau terus barengan gue, gimana tangapan pacarnya dia?”
“Arsyil punya pacar? Serius loe?” tanya Vano tak mampu menutupi rasa kagetnya.
Ishida hanya membalas dengan anggukan tanpa suara. Ia bahkan tidak perduli apakah kakaknya menyadari anggukannya atau tidak.
“Terus kalau gitu, sekarang loe gimana?” tanya Vano lagi.
“Ya gue sekrang diantar jemput sama kakak,” sahut Ishdia sewot.
“Bukan itu. Maksut gue, emangnya loe nggak papa kalau dia punya pacar?” tanya Vano lagi.
“Memangnya gue kenapa?” Ishida balik bertanya.
“Udah deh. Nggak papa kok. Lupakan…” balas Vano kemudian. Ishida terdiam. Sedikit mengernyit bingung dengan maksut kakaknya. Walau ia masih merasa sedikit penasaran, tapi gadis itu lebih memilih bungkam. Sampai kemudian mereka tiba di rumah.
Next part {Bukan} Sahabat Jadi Cinta 05
Detail Cerpen
Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 04 |
“Akh, Ishdia. Serius deh. Gue stress tau,” kata Arumy sambil merebahkan kepalanya di meja. Ishidha hanya melirik sekilas sebelum kemudian kembali asik dengan buku yang sedang di bacanya. Saat itu keduanya memang sedang berada di perpustakaan sekolah.
“Loe kok santai aja si?” tambah Arumy lagi.
“Memangnya loe stress kenapa?” tanya Ishida kemudian.
“Hufh,” Arumy kembali mengangkat wajahnya. Wajahnya ia tolehkan kearah Ishida yang juga sedang memberikan perhatian kepadanya.
“Kita kan sudah kelas tiga. Bentar lagi UN. Loe kok santai banget si?”
Ishida tersenyum. “Terus gue harus gimana. Emangnya kalau gue stress semua jadi lebih mudah? Enggak kali. Yang ada semua jadi kacau,” terang Ishida. “Lagian ni ya. Kenapa loe keliatan cemas gitu. Secara selama ini jug aloe selalu lebih pinter dari gue. Jadi santai aja lah. Mending juga focus belajar.”
“Tau ah. Cape gue belajar mulu. Mendingan gue tidur aja deh. Ntar kalau udah bel, loe bangunin gue ya,” kata Arumy sambil kembali merebahkan kepalanya. Tak lupa ia bentangkan sebuah buku guna menutupi wajahnya. Ishida hanya mengeleng tak percaya melihatnya. Memangnya dengan posisi seperti itu bisa tidur. Walaupun ia memang bisa, bisa di pastikan leher dan pinggang pasti nanti akan sakit. Tak ingin memikirkannya lebih jauh, Ishida lebih memilih memusatkan perhatiannya pada buku yang ia baca.
Selang beberapa saat kemudian, Ishida mengalihkan tatapannya dari buku yang ia baca. Lehernya terasa agak sakit karena terlalu lama bertahan pada posisi yang sama. Diliriknya jam yang melingkar di tangan. Waktu istirahat hampir habis. Dan saat menoleh kearah Arumy, gadis itu masih bertahan pada posisi yang sama. Membuat Ishida mengernyit heran. Apa gadis itu beneran tidur?
“Arumy,” panggil Ishida lirih. Tapi gadis itu sama sekali tidak bergerak.
“Hei, Arumy. Loe beneran tidur ya?” tanya Ishida lagi, kali ini dengan tangan yang bergerak menguncang pundak sahabatnya.
Arumy tampak mengeliat untuk sejenak. Secara berlahan matanya mulai terbuka. Pandangannya ia edarkan kesekeliling sebelum kemudian terhenti di wajah Ishdia yang sedang menatapnya.
“Astaga. Gue beneran ketiduran,” sahut Arumy sambil menutup mulutnya. Berusaha mengenyahkan sisa sisa kantuk yang masih mampir diwajahnya.
“Gue juga heran loe bisa beneran tidur,” komentar Ishida lirih.
Arumy hanya tersenyum singkat. Matanya menoleh kesekeliling, sepi. Tidak terlalu banyak anak anak disana seperti sebelumnya. Mungkin masing – masing sudah kembali kekelas. Dengan berlahan Arumy bangkit berdiri sambil merapikan buku – bukunya.
“Ya udah. Kekelas yuk,” ajak Arumy kemudian. Ishida hanya membalas dengan anggukan setuju.
“Tapi temenin gue ke toilet dulu ya. Gue mau cuci muka dulu.”
Lagi – lagi Ishida hanya membalas dengan anggukan. Terlebih keduanya telah tiba di hadapan penjaga perpustakaan. Ishida berniat untuk meminjam beberapa buku untuk ia baca dirumah. Arumy hanya berdiri menantinya sambil menatap kesekeliling. “Arsyil, Loe sedari tadi disini juga?”
Ishida menoleh seiring dengan kalimat yang ditangap telinganya barusan. Saat berbalik matanya langsung terkunci dengan tatapan Arsyil yang juga sedang menatapnya. Bibir Ishida yang sudah terbuka untuk menyapa kembali tertutup saat melihat bayangan Laura yang berdiri tepat di samping Arsyil.
“Hei, Arumy. Jadi loe belajar juga?”
Arumy mengangguk membenarkan. Seulas senyum ikut ia tembangkan guna membalas senyuman dari wajah Laura yang baru saja menyapanya. “Iya donk. Kan kita udah kelas tiga. Yah gue harus belajar extra kalau mau lulus UN besok.”
“Sama donk.”
“Kalian belajar berdua?”
Ishida langsung menyesali kalimat yang ia lontarkan barusan. Tak perduli seberapa penasarannya ia akan hal itu, tidak seharusnya ia menanyakannya langsung. Memangnya apa salahnya kalau mereka belajar berdua.
“Iya,” balas Laura membenarkan sembari mengangguk. “Kebetulan kita dapat tugas kelompok bareng,” sambungnya lagi.
Ishida mengangguk – angguk mendengarnya. Tugas kelompok? Bisa saja sih. Toh mereka memang sekelas.
“Ya sudah deh. Kalau gitu kita duluan ya,” kata Ishida lagi setelah mendapatkan buku yang ingin ia pinjam. Dengan sebelah tangannya ia segera menyeret Arumy untuk melangkah mengikuti.
“Ishida, jujur saja deh. Kalian berdua kenapa?” tanya Arumy saat keduanya melangkah beriringan menuju kekelas.
“Kalian berdua? Maksutnya?”
“Loe sama Arsyil. Gue ngerasa ada yang aneh. Tu anak kenapa tadi diem aja?”
“Loe ngerasa aneh kan? Sama, gue juga,” balas Ishida yang membuat kerutan di dahi Arumy bertambah. “Gue ngerasa kayaknya Arsyil menghindari gue deh. Loe liat aja tadi.”
“Memangnya loe bikin salah apa sampai dia harus menghindari elo?” selidik Arumy lagi.
“Itu dia yang gue nggak tau,” balas Ishida sambil angkat bahu. Untuk seseaat keduanya terdiam. Tengelam dalam pemikiran masing – masing.
“Tapi kayaknya dia berubah sejak dia deket sama Laura deh. Jangan – jangan mereka berdua beneran jadian,” gumam Ishida lirih.
“Kalau gitu kenapa loe nggak tanya langsung sama dia?”
“Ya nggak mungkin lah. Masa ia gue tiba – tiba nanyain hal begituan. Emangnya gue siapa?” tolak Ishida cepat.
“Elokan sahabatnya dia,” balas Arumy cepat. “Memangnya kalau sahabat nggak boleh nanya?”
Ishida tidak membalas. Gadis itu tampak kembali terdiam sambil menunduk. Arumy sendiri hanya meliriknya sekilas tanpa berniat untuk bertanya lagi. Lagi pula kini mereka telah tiba di kelas. Bel sendiri barusan juga telah terdengar. Saatnya untuk mengikuti pelajaran yang selanjutnya.
Begitu bel pulang terdengar, semua siswa segera menghabur keluar. Bersiap untuk kembali pulang kerumah masing. Tak terkecuali Ishida dan Arumy yang kini sedang melangkah di sepanjang koridor sekolah.
“Jadi loe pulang dijemput sama kakak loe?” tanya Arumy.
“Iya,” angguk Ishida membenarkan.
“Kenapa nggak bareng sama Arsyil?” tanya Arumy lagi.
Kali ini kepala Ishida menggeleng berlahan. “Nggak ah. Nggak enak gue dari dulu ngerepotin dia terus. Dia kan ada urusan juga.”
“Apaan sih. Omongan loe aneh,” komentar Arumy. Ishida tidak membalas. Justru ia malah menunjuk kearah mobil yang sudah terparkir di hadapan.
“Jemputan loe tuh, udah datang.”
“Emp, beneran nih nggak apa gue duluan? Atau loe mau kita anterin dulu?”
“Nggak nggak nggak. Ma kasih aja. Nggak papa kalian duluan aja. Rumah kita kan berlawanan arah. Lagian kakak gue juga udah dijalan kok. Bentar lagi sampe,” tolak Ishida sopan. “Ya sudah deh kalau gitu. Gue pulang duluan ya. Da….”
Ishida hanya balik balas melambai. Setelah Arumy menghilang dari pandangan, ia segera melangkah kearah jalanan. Sepertinya lebih baik ia menunggu kakaknya di pinggir jalan.
Suara klakson yang terdengar begitu dekat, membuat Ishida menoleh. Beberapa langkah darinya tampak sosok pria yang sedang duduk dengan motor yang tetap menyala. Walau wajahnya tetutup helm, Ishida langsung mengenalinya sebagai Arsyil.
“Naik yuk.”
Ishida tau kalau ajakan itu tertuju untuknya. Namun gadis itu tidak menjawab. Hanya kepalanya yang menggeleng berlahan dengan senyum samar yang ia lemparkan.
“Kenapa?” tanya Arsyil lagi. Kali ini pria itu melepaskan helm yang di kenakanya. Matanya menatap lurus kearah Ishida yang juga sedang menatapnya.
“Kak Vano udah datang tuh,” balas Ishida dengan telunjuk lurus. Secara refleks Arsyil mengikuti arah yang di maksutnya. Senyum segera ia lemparkan saat melihat kakaknya Ishida yang baru tiba di sampingnya.
“Eh ada Arsyil. Kalian nggak barengan. Tumben banget Ishida minta antar jemput gue?” tanya Vano yang memang sudah mengenal Arsyil dengan baik.
“Ih kakak apaan sih. Kesannya nggak iklas banget. Lagian gue kan emang tanggung jawab kakak. Nggak enak tau, ngerepotin Arsyil mulu. Dia kan juga ada urusan sendiri,” sahut Ishida cepat mendahului Arsyil sebelum pria itu sempat buka mulut.
“Ya udah deh. Buruan. Panas tau. Da Arsyil, kita duluan,” tambah Ishida lagi sambil mengajak kakaknya cepat berlalu. Walau sedikit bingung kakaknya hanya manut. Setelah terlebih dahulu mengangguk kan kepala pada Arsyil, mereka segera berlalu.
“Kalian berdua kenapa? Berantem?” tanya Vano di jalan.
Kepala Ishida mengeleng sebagi jawaban. Tapi ketika menyadari kalau kakaknya tidak melihat mulutnya mejawab. “Enggak kok. Kita baik – baik aja.”
“Terus tadi itu kenapa? Kok loe juga bareng sama gue?”
“Emangnya tadi kenapa?” Ishida balik bertanya. “Nggak papa lagi. Bareng sama kakak emang apa salahnya. Masa gue harus naik turun angkot. Tega banget si kakak.”
“Bukan gitu. Loe kan biasanya udah ada Arsyil.”
“Yah nggak enak kali kak, masa gue nyusahin dia mulu.”
“Gue nggak yakin Arsyil merasa di susahin,” balas Vano bergumam lirih. Sepertinya kalimat itu hanya untuk ditujukan pada dirinya sendiri.
“Lagian, sekarang diakan udah punya pacar. Kalau terus barengan gue, gimana tangapan pacarnya dia?”
“Arsyil punya pacar? Serius loe?” tanya Vano tak mampu menutupi rasa kagetnya.
Ishida hanya membalas dengan anggukan tanpa suara. Ia bahkan tidak perduli apakah kakaknya menyadari anggukannya atau tidak.
“Terus kalau gitu, sekarang loe gimana?” tanya Vano lagi.
“Ya gue sekrang diantar jemput sama kakak,” sahut Ishdia sewot.
“Bukan itu. Maksut gue, emangnya loe nggak papa kalau dia punya pacar?” tanya Vano lagi.
“Memangnya gue kenapa?” Ishida balik bertanya.
“Udah deh. Nggak papa kok. Lupakan…” balas Vano kemudian. Ishida terdiam. Sedikit mengernyit bingung dengan maksut kakaknya. Walau ia masih merasa sedikit penasaran, tapi gadis itu lebih memilih bungkam. Sampai kemudian mereka tiba di rumah.
Next part {Bukan} Sahabat Jadi Cinta 05
Detail Cerpen
- Judul : {Bukan} Sahabat Jadi Cinta
- Penulis : Ana Merya
- Genre : Remaja, Romantis
- Status : Complete
Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 04 / 10"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...