Cerpen sedih Gerimis ini turun untukmu
Karena beberapa waktu ini gerimis sering turun, mendadak pengen bikin cerpen sedih. Yang jelas drama banget gitu deh. Kalau nggak berkenan mendingan nggak usah baca, soalnya hampir sama kayak cerpen izinkan aku mencintaimu yang admin posting sebelumnya. Endingnya nggak bikin hapy, bahkan judulnya ada udah ketara banget noh, Cerpen sedih gerimis ini turun untukmu. Huwahahhahaha...
Tapi buat tetap yang pengen baca, ya di persilahkan aja. Efek udah bukan ABG lagi jadi rada susah lanjutin atau nulis cerpen teenlit gitu. Terlebih sekarang ini bacaanya malah novel terjemahan. Akh, nggak nyambung banget deh sama gaya nulis admin #plaks #curcol. Biar nggak makin ngawur langsung ke bawah aja deh guys....
Dengan senyum yang bertenger di bibirnya, kaifa terus berjalan. Rintik gerimis yang berlahan turun tak menghalanginya untuk melangkah. Bahkan setengah berlari, tak sabar untuk segera tiba ke rumahnya. Untuk mengatakan pada Ardian akan berita gembira yang ia punya. Akhirnya ia bisa mendapatkan juara membaca puisi di sekolahnya. Padahal persaingan terlalu ketat. Tepat saat ia tiba di tempat yang ia tuju, ia melihat sosok yang ingin ia temui sedang asik membaca di kursi ruang tengah.
"Kak Ardian," terik Kaifa sontak membuat pria itu menoleh. Dan begitu mendapati dirinya melangkah mendekat, Ardian segera berdiri. Melepaskan kacamata yang ia kenakan berserta buku yang sedari tadi ia baca. Perhatiannya terjurus lurus kearah Kaifa.
"Kaifa, apa - apaan ini? Kenapa basah - basah begini. Sudah tau gerimis, memangnya tidak bisa menunggu hujan reda terlebih dahulu. Nanti kalau sakit bagaimana?" kata Ardian protektif.
Kaifa hanya nyengir. Sama sekali tidak terpengaruh akan kemarahan kakaknya. Tangannya justru malah mengacungkan piala yang ia bawa. "Kak, liat. Aku juara lomba baca puisi. Juara satu kak. Ya ampun aku seneng banget."
Ardian terdiam. Perhatiannya teralihkan kearah piala yang adiknya bawa. Walau ia masih kesal karena ulah adiknya yang nekat gerimisan, namun rasa kesal itu menghilang ketika melihat senyuman lebar di bibir Kaifa. Tak urung ia ikut tersenyum.
"Sudah kakak duga. Lagian kamukan memang sedari dulu suka puisi. Selamat ya. Adik kakak emang selalu membanggakan," puji Ardian kemudian.
"Padahal saingannya ketat banget lho. Bahkan.... Hatsim," ucapan Kaifa terputus oleh bersin yang tak mampu ia tahan.
"Tuh kan, kamu. Sudah, ganti baju dulu sana. Nanti kamu sakit. Harusnya kan kamu menunggu gerimis itu reda baru pulang. Kenapa harus nekat gitu sih."
"Soalnya aku sudah tidak sabar untuk menunjukan ini pada kakak," balas Kaifa. "Dan aku juga sangat menyukai gerimis," sambungnya lirih. Tadi ia sama sekali tidak merasa keberatan dengan gerimis yang turun. Tapi sekarang, rasa dingin mulai merambati tubuhnya yang memang memiliki daya ketahanan tubuh yang lemah.
"Iya, kakak tau. Sudah, ganti baju sana. Biar kakak bikinkan teh hangat. Dan setelah itu, mari kita makan siang."
Kaifa tidak membalas. Ia hanya mengangguk manut sembari tersenyum tulus pada kakaknya. Satu - satunya keluarga yang ia punya setelah kedua orang tuanya pergi. Ia benar - benar bersukur memiliki kakak terbaik seperti Ardian. Selalu perhatian kepada dirinya, bahkan rela menjadi ayah sekaligus ibu untuknya.
Setelah menganti pakaiannya, Kaifa berniat untuk segera melangkah keluar. Menyusul kakaknya. Namun sebelum itu ia menyempatkan diri untuk melirik bayangannya di cerim. Terlihat pucat. Sesuka apapun ia pada gerimis, rasa itu hanya sepihak. Karena gerimis justru menjadi musuh terbesar bagi tubuhnya. Tak ingin membuat kakaknya merasa khawatir pada dirinya, Kaifa meraih bedak di atas meja dan memoleskan ke wajahnya. Tak lupa ia menambahkan lipsitk untuk menutupi efek pucat di bibirnya.
"Kaifa, bagaimana keadaanmu?" tanya Ardian sambil menyodorkan segelas teh kearah Kaifa yang kini duduk santai di meja makan baru kemudian ia duduk di hadapannya.
"Tenang saja kak, aku baik - baik aja kok," balas Kaifa sambil tersenyum meyakinkan.
Ardian tidak membalas. Sebaliknya matanya mengamati adiknya dengan seksama. Memastikan kondisi gadis itu sendiri. Setelah yakin semuanya baik baik saja ia mengalihkan perhatian pada makanan yang ada di meja. Ia memang sengaja menunggu adiknya pulang untuk makan bersama dari pada makan sendirian walaupun bik yem sudah memasakanya sedari tadi.
"Syukurlah, tapi lain kali pastikan untuk tidak gerimisan lagi. Kamu tau kan kalau kakak khawatir sama kondisi kesehatanmu?"
Tapi buat tetap yang pengen baca, ya di persilahkan aja. Efek udah bukan ABG lagi jadi rada susah lanjutin atau nulis cerpen teenlit gitu. Terlebih sekarang ini bacaanya malah novel terjemahan. Akh, nggak nyambung banget deh sama gaya nulis admin #plaks #curcol. Biar nggak makin ngawur langsung ke bawah aja deh guys....
Dengan senyum yang bertenger di bibirnya, kaifa terus berjalan. Rintik gerimis yang berlahan turun tak menghalanginya untuk melangkah. Bahkan setengah berlari, tak sabar untuk segera tiba ke rumahnya. Untuk mengatakan pada Ardian akan berita gembira yang ia punya. Akhirnya ia bisa mendapatkan juara membaca puisi di sekolahnya. Padahal persaingan terlalu ketat. Tepat saat ia tiba di tempat yang ia tuju, ia melihat sosok yang ingin ia temui sedang asik membaca di kursi ruang tengah.
"Kak Ardian," terik Kaifa sontak membuat pria itu menoleh. Dan begitu mendapati dirinya melangkah mendekat, Ardian segera berdiri. Melepaskan kacamata yang ia kenakan berserta buku yang sedari tadi ia baca. Perhatiannya terjurus lurus kearah Kaifa.
"Kaifa, apa - apaan ini? Kenapa basah - basah begini. Sudah tau gerimis, memangnya tidak bisa menunggu hujan reda terlebih dahulu. Nanti kalau sakit bagaimana?" kata Ardian protektif.
Kaifa hanya nyengir. Sama sekali tidak terpengaruh akan kemarahan kakaknya. Tangannya justru malah mengacungkan piala yang ia bawa. "Kak, liat. Aku juara lomba baca puisi. Juara satu kak. Ya ampun aku seneng banget."
Ardian terdiam. Perhatiannya teralihkan kearah piala yang adiknya bawa. Walau ia masih kesal karena ulah adiknya yang nekat gerimisan, namun rasa kesal itu menghilang ketika melihat senyuman lebar di bibir Kaifa. Tak urung ia ikut tersenyum.
"Sudah kakak duga. Lagian kamukan memang sedari dulu suka puisi. Selamat ya. Adik kakak emang selalu membanggakan," puji Ardian kemudian.
"Padahal saingannya ketat banget lho. Bahkan.... Hatsim," ucapan Kaifa terputus oleh bersin yang tak mampu ia tahan.
"Tuh kan, kamu. Sudah, ganti baju dulu sana. Nanti kamu sakit. Harusnya kan kamu menunggu gerimis itu reda baru pulang. Kenapa harus nekat gitu sih."
"Soalnya aku sudah tidak sabar untuk menunjukan ini pada kakak," balas Kaifa. "Dan aku juga sangat menyukai gerimis," sambungnya lirih. Tadi ia sama sekali tidak merasa keberatan dengan gerimis yang turun. Tapi sekarang, rasa dingin mulai merambati tubuhnya yang memang memiliki daya ketahanan tubuh yang lemah.
"Iya, kakak tau. Sudah, ganti baju sana. Biar kakak bikinkan teh hangat. Dan setelah itu, mari kita makan siang."
Kaifa tidak membalas. Ia hanya mengangguk manut sembari tersenyum tulus pada kakaknya. Satu - satunya keluarga yang ia punya setelah kedua orang tuanya pergi. Ia benar - benar bersukur memiliki kakak terbaik seperti Ardian. Selalu perhatian kepada dirinya, bahkan rela menjadi ayah sekaligus ibu untuknya.
Setelah menganti pakaiannya, Kaifa berniat untuk segera melangkah keluar. Menyusul kakaknya. Namun sebelum itu ia menyempatkan diri untuk melirik bayangannya di cerim. Terlihat pucat. Sesuka apapun ia pada gerimis, rasa itu hanya sepihak. Karena gerimis justru menjadi musuh terbesar bagi tubuhnya. Tak ingin membuat kakaknya merasa khawatir pada dirinya, Kaifa meraih bedak di atas meja dan memoleskan ke wajahnya. Tak lupa ia menambahkan lipsitk untuk menutupi efek pucat di bibirnya.
"Kaifa, bagaimana keadaanmu?" tanya Ardian sambil menyodorkan segelas teh kearah Kaifa yang kini duduk santai di meja makan baru kemudian ia duduk di hadapannya.
"Tenang saja kak, aku baik - baik aja kok," balas Kaifa sambil tersenyum meyakinkan.
Ardian tidak membalas. Sebaliknya matanya mengamati adiknya dengan seksama. Memastikan kondisi gadis itu sendiri. Setelah yakin semuanya baik baik saja ia mengalihkan perhatian pada makanan yang ada di meja. Ia memang sengaja menunggu adiknya pulang untuk makan bersama dari pada makan sendirian walaupun bik yem sudah memasakanya sedari tadi.
"Syukurlah, tapi lain kali pastikan untuk tidak gerimisan lagi. Kamu tau kan kalau kakak khawatir sama kondisi kesehatanmu?"
kereenn... jadi mau nangis.
ReplyDeleteKan buat hiburan... Masa malah nangis....
Delete