Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Cinta | Rasa Yang Tertinggal ~ 02 / 05

Oke, masih bareng admin ya. Secara mau ketemu siapa lagi kalau nggak sama adminnya. Dan kemunculan kali ini sengaja membawa lanjutan dari cerpen Rasa Yang tertinggal yang kini memasuki bagian kedua. Nah, karena ini jelas bagian kedua, so biar nyambung sama jalan ceritanya pastinya harus baca bagian satunya donk. Biar gampang bisa langsung di baca lewat sini ==} cerpen cinta rasa yang tertinggal part 1.


Sembari menunggu jam masuk kuliah, Tifany menghabiskan waktu sembari duduk santai di bawah pohon jambu yang tumbuh terawat di halaman kampus. Tangannya dengan telaten mengupas satu persatu biji kwaci yang sengaja ia beli untuk menemani. Sementara di sampingnya Alan tampak menikmati kripik singkongnya.

"oh ya Fan, hari minggu besok loe ada acara nggak?" tanya Alan beberapa saat kemudian.

"E.... Enggak kayaknya," balas gadis itu tanpa berpikir. "Emang kenapa?" sambungnya balik bertanya tanpa menoleh. Perhatiannya masih ia fokuskan pada biji kwachi. Kalau di pikir kerajinan benget ya dia jajan beginian. Udah kecil, di buka susah, giliran di kunyah langsung hilang.

"o, syukur deh. Kalau gitu besok jalan yuk."

Ajakan Alan membuat pikian Tifany tentang kwaci langsung buyar. Kepalanya menoleh kearah sahabatnya dengan tatapan mengamati. Sepertinya ia masih tidak yakin dengan apa yang ia dengar barusan. Tapi melihat raut Alan yang terlihat sedang menanti jawaban darinya sepertinya itu bena.

"Jalan. Bareng ma loe?" merasa kalau Alan tidak mengerti arti tatapan kebingunan yang ia lemparkan, Tifany memilih menyuarakannya dalam bahasa verbal.

"yupz, di lapangan glora besokan pembukaan taman hiburan. Kita kesana yuk!"

"Ha ha ha."

Bukannya menolak, apalagi mengiyakan, Tifany justru tertawa. Tangapannya tersebut tak urung membuat sebelah alis Alan terangkat. Emang lucunya dimana?

"Loe ngajak gue jalan? Nggak salah?" sambung Tifany setelah tawanya reda.

Alan masih belum mengubah raut wajahnya. "Lho kenapa? Gue kan cuma ngajak loe jalan, bukan nya kencan."

"Justru itu," telunjuk Tifany terulur kearah Alan. "Kenapa loe malah ngajak gue jalan bukannya kencan sama pujaan hati loe itu?" jelas Tifany. Pertanyaan yang mungkin akan ia sesali nantinya.

"Pujaan hati?" Alan masih kebingungan. Tifany tampak memutar mata jengah. "Oh, maksut loe Septia?"

Kali ini Tifany angkat bahu. Memangnya pujaan hati Alan ada berapa sih.

"Akh, loe bener juga. Kenapa tadi gue nggak kepikiran kesana ya?"

Alan pasti adalah sosok yang benar benar bodoh sekiranya ia tidak mampu membaca raut kecewa di wajah Tifany. Atau mungkin bukan Alannya yang bodoh, tapi justru Tifany lah yang terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Namun begitu hasilnya tetap sama, tidak ada yang berubah.

"Jadi loe mau pergi bareng Septia?" tanya Tifany lirih. Ia tidak menoleh kearah Alan saat bertanya. Pura - pura kembali asik pada Kwaci di tangan.

"E.... Menurut loe?" bukannya menjawab. Alan balik bertanya. Tifany hanya angkat bahu.

Untuk sejenak Alan terdiam. Namun sudut matanya mencoba untuk membaca reaksi Tifany yang masih asik dengan aktifitasnya. Terus terang, ia tidak mengerti dengan gadis itu. Cukup lama mengenal bukan berarti ia benar benar tau.

"Ya enggak lah. Secara gue kan udah terlanjur ngajak elo."

"Terlanjur?" ulang Tifany. Kali ini gadis itu menoleh, menatap langsung kearah Alan yang kini tampak melemparkan senyum untuknya.

"He he he. Nyantai aja lagi. Jangan tersingung gitu. Gue cuma bercanda. Maksut gue, gue kan ngajak elo, masa gue perginya sama Septia. Lagian..."

"Lagian....?" Tifany penasaran karena Alan sengaja mengantungkan ucapannya.

"Lagian muka loe udah mendung gitu. udah kayak mau turun hujan. Ntar kalau tetangga ada yang liat jadi salah sangka lagi. Dikira gue ngapa - ngapain anak gadis orang," ledek Alan sambil berlari menghindar jika tidak ingin sandal yang tiba - tiba melayang mendarat di kepalanya.

"Sialan loe," rutuk Tifany sewot namun tak urung dalam hati ia merasa senang. Mendadak, ia merasa tak sabar untuk menunggu hari minggu tiba.

Dan seperti yang di janjikan, Alan benar benar mengajak dirinya. Tifany bahkan sempat merasa was was ketika pria itu menjemputnya di kostan. Bukannya apa, ia kan sekamar dengan Septia. Yang notabenenya bukan hanya bersahabat tapi juga adalah gadis yang ia tau sebagai seseorang yang di sukai oleh Alan. Jadi kalau sampai ia melihat mereka. Akh entahlah... Hanya untungnya pas Alan muncul, Septia sudah tidak ada. Tifany sendiri tidak tau sahabatnya itu kemana. Karena yang ia tau, pagi pagi sekali Septia sudah pamit pergi.

Dari kostan, mereka segera menjuju ke taman Glora. Alan benar, taman hiburan hari ini baru di buka. Suasana benar benar ramai. Terlebih bertepatan dengan hari libur. Hanya sayangnya, pilihan Alan menjadi tidak bermutu ketika pria itu memilih wahana pertama yang akan mereka naiki.

"Sumpah, loe malu - maluin gue banget," gerut Tifany menutupi wajahnya dengan sebelah tangan sambil diam -diam sedikit melirik ke kanan dan kekiri. Dengan cepat gadis itu berjalan meninggalkan wahana yang baru saja mereka naiki. Sementara Alan tampak mengekor di belakang.

"Lho, emangnya gue ngapain?" tanya Alan dengan tampang watados yang membuat Tifany sumpah pengen menjejalkan sendal jeptinya.

"OMG Alan!!! Anak 5 tahun ajan nggak ada yang teriak - teriak kayak loe waktu naek begituan," tunjuk Tifany kearah wahana yang baru saja mereka naiki. Jangan tanya namanya, karena ia tidak sudi untuk menyebutkan. Tidak setelah melihat Alan yang berteriak teriak di ketinggian. Menurutnya hal itu teramat sangat memalukan. Seperti korban "Masa Kecil Kurang Bahagia" saja.

"Ha ha ha, ya ampun Fan. Nyantai aja lagi. Loe kok segitu banget sih?'Lagian yang pentingkan kita happy. Urusan pendapat orang mah, bodo amat."

"Nyantai gimana? Loe nggak liat no, tu anak - anak pada ngetawaain kita?" semprot Tifany sewot. Dan ia benar, beberapa anak anak yang tadi naik bersamanya kini memang sedang menertawai mereka.

Alan menghentikan langkahnya. Ditariknya kedua pundak Tifany sehingga kini tepat menghadap kearahnya.

"Kalau bukan kita yang peduli sama kebahagiaan kita sendiri, lantas siapa?"

Untuk sejenak Tifany terpaku mendengarnya.

"Lagi pula apa yang kita lakukan tidak merugikan orang lain sama sekalikan?. Kita hanya berusaha untuk meraih kebahagiaan kita sendiri. Dan asal loe tau, ini hanya sebuah contoh sederhana yang pengen gue tunjukan sama loe. Tapi yang perlu loe ingat adalah 'Raih Kebahagiaan loe, jangan terlalu perdulikan pendapat orang lain selama itu tidak merugian'. Mengerti?"

"Tumben hari ini otak loe beres."

Sebuah jitakan mendarat di kepala Tifany sebagai balasan atas respon konyolnya.

"Sialan loe, emangnya selama ini otak gue bermasalah apa?"

Tifany tidak menjawab. Ia hanya meringis sambil mengusap - usap kepalanya.

"Udah, jalan lagi yuk," ajak Alan beberapa saat kemudian.

Dan tanpa menunggu persetujuan dari Tifany, Alan sudah terlebih dahulu mengandeng tangannya. Langkah mereka terhenti di sebuah stand pernak pernik ( ??? ). Pertama sekali mereka berhenti di sana, perhatian Tifany langsung tertuju pada sebuah liontin bintang.

"Wow, keren," puji Alan sambil meraih liontin yang sedari tadi hanya di perhatikan Tifany.

"Loe juga suka?"

"Bentuknya yang sederhana, tapi nggak norak. Murah tapi bukan murahan. Gue mau beli ini deh."

"Tapi inikan buat cewek?".
"Gue juga tau kali. Lagian gue kan bilang cuma mau beli. Bukan berarti gue yang make. Udah sini, coba tes loe pake," kata Alan sambil memasangkannya di leher jenjang Tifany.

"Cantik," puji Alan yang secara sadar ataupun tidak membuat wajah Tifany sedikit merona.

"Loe suka?" tanya Alan lagi, refleks Tifany menganguk karena dari awal ia memang sudah tertarik pada liontin tersebut.

"Kalau gitu, kira - kira kalau gue beli buat Septia dia bakal suka nggak ya?"

"Septia?" gumam Tifany lirih.

"He'eh," balas Alan sambil mengangguk tanpa menyadari reaksi Tifany yang mati - matian menyembunyikan rasa kecewanya.

"Selama ini loe kan bilang kalau gue cuma bisanya ngasih dia coklat. Jadi kali ini gue pengen ngasih sesuatu yang special buat orang yang gue suka," tambah Alan lagi.

"Nggak perduli barang apapun yang loe kasi sama dia, kalau memang dia beneran suka sama loe, dia pasti akan menyukainya."

"Gitu ya?" Alan tampak berpikir. "Cokelat yang selama ini gue kasi nggak pernah kembali. Apa itu artinya dia juga suka sama gue?" sambung pria itu beberapa saat kemudian.

"Mungkin. Tapi bisa aja kan tu cokelat nggak dia makan, misalnya di buang mungkin," ujar Tifany sekenanya.

"WHAT???!! Dibuang?"

"Tidak. Bukan. Gue berani bersumpah demi apapun kalau cokelat itu dimakan, nggak di buang," ralat Tifany cepat. Ini obrolan mereka kenapa jadi rambang gitu sih.

"oh ya? Sukurlah kalau emang kayak gitu. Asal loe tau aja, dalam cokelat itu gue titipkan rasa cinta gue untuk - 'nya'. Itu ungkapan hati gue kalau gue benar - benar mencintai orang yang memakannya."

"Gue tau," balas Tifany lirih. "Tapi maaf, maaf banget. Sayang nya selama ini tu cokelat gue yang makan," sambung nya lagi dalam hati. Mendadak ia merasa sangat bersalah.

"Gue nggak yakin loe beneran tau Fan," balas Alan tak kalah lirihnya.

Next to Cerpen Cinta Rasa yang tertinggal part 3.

Detail Cerpen

Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

Post a Comment for "Cerpen Cinta | Rasa Yang Tertinggal ~ 02 / 05"