Cerpen Cinta | Rasa yang Tertinggal ~ 04 / 05
Nah, satu part lagi sebelum cerpen cinta rasa yang tertinggal ini ending ya. Masih kisah seputar cinta terpendam Tifany. So buat yang penasaran sama kelanjutan kisah mereka bedua bisa langsung simak kebawah. Dan untuk yang baru mau baca, bagusan kalau baca dulu bagian sebelumnya biar nyambung yang bisa langsung klik disini.
“ DOOORR!!!”.
Alan kaget mendengar teriakan barusan. Kaget yang benar benar kaget, karena kebetulan selain sedang melamun ia juga tidak menduga kalau orang yang sedang di lamunkan akan menyapanya. Tidak, setelah melihat sikap anehnya tadi malam.
"Ehem, gue boleh duduk disini kan?" tanya Tifany sambil tersenyum kiku. Apalagi ketika melihat tatapan Alan yang hanya diam menatapnya. Mencoba untuk bersikap santai, gadis itu segera duduk di sampingnya. Pandanganya lurus kedepan. Memperhatikan jalanan depan kampus yang tampak sedang rame ramenya.
“Oh ya, soal sikap gue tadi malam. Sorry ya," kata Tifany nyaris bergumam. Matanya masih menatap lurus kedepan walau ia yakin Alan pasti sedang menatapnya heran. Sama seperti reaksi Septia tadi pagi saat ia mengucapkan maaf padanya.
"Loe kok diem aja? Marah ya?" jengah karena merasa sedari tadi ia seperti sedang ngomong sendirian, Tifany menoleh kearah Alan. Pria itu tidak langsung menjawab. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Tifany sama sekali tidak bisa menebak.
"Gue nggak marah," akhirnya Alan buka mulut setelah beberapa saat kemudian. "Cuma jujur gue merasa heran. Loe nggak biasanya gitu. Loe emangya kenapa? Ada masalah?" sambung Alan hati - hati.
Tifany tersenyum sembari angkat bahu. Kepalanya kembali menatap kearah jalan sembari mulutnya bergumam santai. "Sedikit, ceritanya tadi malam itu gue lagi patah hati."
"Patah hati?" ulang Alan terkejut. Tifany membalas dengan anggukan.
Kali ini Alan tidak tau harus berkomentar apa. Matanya masih tertuju kearah wajah gadis yang duduk tepat di sampingnya. Berharap bisa mendengar cerita lebih banyak. Terus terang, saat ini ia benar benar kaget.
"Kemaren gue baru tau, kalau orang yang selama ini gue suka, ternyata diam – diam sudah punya pacar dan menjalin hubungan dengan cewek lain.” terang Tifany masih tanpa menoleh. Pandangannya urus kedepan. Menatap kendaraan yang terus berlalu lalang. Seolah – olah hal itu sangat menarik untuknya.
Alan masih terdiam. Ia menatap miris gadis di sampingnya. Tatapannya kosong. Tapi Alan dapat melihat matanya yang berkaca –kaca. Sungguh, Alan tau bagaimana perih luka yang di rasakan Tifany. Bahkan ia berani bersumpah demi apapun, saat ini ia tau dengan pasti bagaimana sakitnya. Saat orang yang dicintai ternyata mencintai orang lain.
“Dia siapa? Kenapa loe nggak pernah cerita sama gue?” tanya Alan lirih yang lebih mirip jika di sebut gumaman.
“He he," Tifany tertawa sumbang. "Gimana gue bisa cerita kalau sebelum gue cerita loe pasti udah nyerocos duluan soal Septia,” protes Tifany setengah bercanda tapi hal itu justru membuat Alan merasa lebih bersalah. Diam – diam di masukannya kembali sebuah kotak kecil yang sedari tadi ada ditangannya kedalam saku. Kemudian tangannya beralih mengengam tangan Tifany. Erat, Sangat Erat.
“Fan, gue..."
“Udahlah, loe tenang aja. Gue udah baikan kok. Lagian septia itu kan sahabat gue juga. Anaknya baik lagi. Gue bisa jamin loe nggak akan menyesal kalau bisa jadian sama dia,” potong Tifany yang lagi – lagi membuat Alan terdiam. Gadis itu menatap sahabatnya sambil tersenyum. Tapi gue yang pasti akan merasa menyesal karena udah kehilangan loe Al," sambungnya dalam hati.
“Oh ya Al. Gue boleh nanya sesuatu sama loe nggak? Tapi loe harus jawab dengan jujur ya?" Tifany kembali buka mulut setelah lama keduanya terdiam hanyut dalam pikiran masing – masing.
“Apa?"
Untuk Sejenak Tifany menarik nafas dalam – dalam sembelum kata – kata itu meluncur mulus dari mulutnya.
“Antara cinta dan sahabat. Loe pilih mana? Sahabat loe, atau orang yang loe cintai?”
"Loe apa banget sih," Alan merasa terusik dengan pertanyaan itu.
"Yee, gue kan cuma nanya," Tifany memajukan mulutnya kesel. "Lagian loe kan tinggal jawab apa susahnya coba. Loe tinggal pilih cinta atau sahabat?”
"Tapi kenapa gue harus memilih?" Alan masih terlihat diak nyaman.
"Ya gue bilang kan ' Seandainya'. Udah, loe jawab aja. Buruan!"
Lama Alan terdiam. Mungkin ia sedang memikirkan jawaban yang harus ia berikan. Setelah menghela nafas untuk sejenak, mulutnya menjawab dengan tegas. "“Gue akan memilih orang yang gue cintai."
Lagi - lagi Tifany tersenyum. Senyum yang tak jelas apa maknanya. "Gue boleh tau alasannya?"
“Gue punya dua alasan. Pertama, karena menurut gue seorang sahabat tidak mungkin akan meminta gue untuk memilih. Bahkan gue yakin tanpa diminta pun dia akan mendukung gue untuk mendapatkan orang yang gue cintai," balas Alan sambil membalas tatapan Tifany yang masih terkunci untuknya.
Lagi - lagi Tifany tersenyum. Kepalanya perlahan mengangguk paham. Alan benar, seorang sahabat tidak punya hak untuk memintanya memilih. Ia merasa sangat konyol karena sebelumnya berharap Alan akan memberikan jawaban yang berlawanan. Namun begitu, tak urung dadanya kembali sesak. Dengan cepat ia mengalihkan pandangan kehadapan.
“Dan yang kedua..."
Alan tidak sempat menyelesaikan ucapanya karean Tifany sudah terlebih dulu bangkit berdiri. Bahkan gadis itu langsung berteriak sembari berlari.
"Septia, awas!"
Masih tidak mengerti, Alan mengalihkan pandangannya. Sosok yang sedari tadi duduk disampingnya kini berlari dengan cepat meninggalkannya. Untuk sejenak, Alan terpaku. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat mengetahui alasan Tifany melakukan hal itu. Tak jauh di depannya tampak Septia yang dengan santai menyeberang jalan dengan headset yang terpasang di telinga tanpa menyadari dari arah kanan tampak sebuah bus yang melaju dengan kencangnya.
"Brank!"
Suara tabrakan disusul dengan suara teriakan orang orang di sekeliling segera terdengar. Sementara Alan malah terpaku. Ia tahu harusnya ia segera berlari untuk membantu, tapi sayang tubuhnya kini justru diam tak bergerak. Tatapannya kosong ketika dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan gadis yang di cintainya kini terbaring setelah sebelumnya terlempar jatuh dengan bersimpuh darah. Seorang gadis yang sangat ia cintai. Dan demi Tuhan, kali ini Alan benar – benar merasakan dunianya telah gelap.
Next to last part cerpen cinta rasa yang tertinggal.
Detail Cerpen
Rasa Yang Tertinggal |
“ DOOORR!!!”.
Alan kaget mendengar teriakan barusan. Kaget yang benar benar kaget, karena kebetulan selain sedang melamun ia juga tidak menduga kalau orang yang sedang di lamunkan akan menyapanya. Tidak, setelah melihat sikap anehnya tadi malam.
"Ehem, gue boleh duduk disini kan?" tanya Tifany sambil tersenyum kiku. Apalagi ketika melihat tatapan Alan yang hanya diam menatapnya. Mencoba untuk bersikap santai, gadis itu segera duduk di sampingnya. Pandanganya lurus kedepan. Memperhatikan jalanan depan kampus yang tampak sedang rame ramenya.
“Oh ya, soal sikap gue tadi malam. Sorry ya," kata Tifany nyaris bergumam. Matanya masih menatap lurus kedepan walau ia yakin Alan pasti sedang menatapnya heran. Sama seperti reaksi Septia tadi pagi saat ia mengucapkan maaf padanya.
"Loe kok diem aja? Marah ya?" jengah karena merasa sedari tadi ia seperti sedang ngomong sendirian, Tifany menoleh kearah Alan. Pria itu tidak langsung menjawab. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Tifany sama sekali tidak bisa menebak.
"Gue nggak marah," akhirnya Alan buka mulut setelah beberapa saat kemudian. "Cuma jujur gue merasa heran. Loe nggak biasanya gitu. Loe emangya kenapa? Ada masalah?" sambung Alan hati - hati.
Tifany tersenyum sembari angkat bahu. Kepalanya kembali menatap kearah jalan sembari mulutnya bergumam santai. "Sedikit, ceritanya tadi malam itu gue lagi patah hati."
"Patah hati?" ulang Alan terkejut. Tifany membalas dengan anggukan.
Kali ini Alan tidak tau harus berkomentar apa. Matanya masih tertuju kearah wajah gadis yang duduk tepat di sampingnya. Berharap bisa mendengar cerita lebih banyak. Terus terang, saat ini ia benar benar kaget.
"Kemaren gue baru tau, kalau orang yang selama ini gue suka, ternyata diam – diam sudah punya pacar dan menjalin hubungan dengan cewek lain.” terang Tifany masih tanpa menoleh. Pandangannya urus kedepan. Menatap kendaraan yang terus berlalu lalang. Seolah – olah hal itu sangat menarik untuknya.
Alan masih terdiam. Ia menatap miris gadis di sampingnya. Tatapannya kosong. Tapi Alan dapat melihat matanya yang berkaca –kaca. Sungguh, Alan tau bagaimana perih luka yang di rasakan Tifany. Bahkan ia berani bersumpah demi apapun, saat ini ia tau dengan pasti bagaimana sakitnya. Saat orang yang dicintai ternyata mencintai orang lain.
“Dia siapa? Kenapa loe nggak pernah cerita sama gue?” tanya Alan lirih yang lebih mirip jika di sebut gumaman.
“He he," Tifany tertawa sumbang. "Gimana gue bisa cerita kalau sebelum gue cerita loe pasti udah nyerocos duluan soal Septia,” protes Tifany setengah bercanda tapi hal itu justru membuat Alan merasa lebih bersalah. Diam – diam di masukannya kembali sebuah kotak kecil yang sedari tadi ada ditangannya kedalam saku. Kemudian tangannya beralih mengengam tangan Tifany. Erat, Sangat Erat.
“Fan, gue..."
“Udahlah, loe tenang aja. Gue udah baikan kok. Lagian septia itu kan sahabat gue juga. Anaknya baik lagi. Gue bisa jamin loe nggak akan menyesal kalau bisa jadian sama dia,” potong Tifany yang lagi – lagi membuat Alan terdiam. Gadis itu menatap sahabatnya sambil tersenyum. Tapi gue yang pasti akan merasa menyesal karena udah kehilangan loe Al," sambungnya dalam hati.
“Oh ya Al. Gue boleh nanya sesuatu sama loe nggak? Tapi loe harus jawab dengan jujur ya?" Tifany kembali buka mulut setelah lama keduanya terdiam hanyut dalam pikiran masing – masing.
“Apa?"
Untuk Sejenak Tifany menarik nafas dalam – dalam sembelum kata – kata itu meluncur mulus dari mulutnya.
“Antara cinta dan sahabat. Loe pilih mana? Sahabat loe, atau orang yang loe cintai?”
"Loe apa banget sih," Alan merasa terusik dengan pertanyaan itu.
"Yee, gue kan cuma nanya," Tifany memajukan mulutnya kesel. "Lagian loe kan tinggal jawab apa susahnya coba. Loe tinggal pilih cinta atau sahabat?”
"Tapi kenapa gue harus memilih?" Alan masih terlihat diak nyaman.
"Ya gue bilang kan ' Seandainya'. Udah, loe jawab aja. Buruan!"
Lama Alan terdiam. Mungkin ia sedang memikirkan jawaban yang harus ia berikan. Setelah menghela nafas untuk sejenak, mulutnya menjawab dengan tegas. "“Gue akan memilih orang yang gue cintai."
Lagi - lagi Tifany tersenyum. Senyum yang tak jelas apa maknanya. "Gue boleh tau alasannya?"
“Gue punya dua alasan. Pertama, karena menurut gue seorang sahabat tidak mungkin akan meminta gue untuk memilih. Bahkan gue yakin tanpa diminta pun dia akan mendukung gue untuk mendapatkan orang yang gue cintai," balas Alan sambil membalas tatapan Tifany yang masih terkunci untuknya.
Lagi - lagi Tifany tersenyum. Kepalanya perlahan mengangguk paham. Alan benar, seorang sahabat tidak punya hak untuk memintanya memilih. Ia merasa sangat konyol karena sebelumnya berharap Alan akan memberikan jawaban yang berlawanan. Namun begitu, tak urung dadanya kembali sesak. Dengan cepat ia mengalihkan pandangan kehadapan.
“Dan yang kedua..."
Alan tidak sempat menyelesaikan ucapanya karean Tifany sudah terlebih dulu bangkit berdiri. Bahkan gadis itu langsung berteriak sembari berlari.
"Septia, awas!"
Masih tidak mengerti, Alan mengalihkan pandangannya. Sosok yang sedari tadi duduk disampingnya kini berlari dengan cepat meninggalkannya. Untuk sejenak, Alan terpaku. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat mengetahui alasan Tifany melakukan hal itu. Tak jauh di depannya tampak Septia yang dengan santai menyeberang jalan dengan headset yang terpasang di telinga tanpa menyadari dari arah kanan tampak sebuah bus yang melaju dengan kencangnya.
"Brank!"
Suara tabrakan disusul dengan suara teriakan orang orang di sekeliling segera terdengar. Sementara Alan malah terpaku. Ia tahu harusnya ia segera berlari untuk membantu, tapi sayang tubuhnya kini justru diam tak bergerak. Tatapannya kosong ketika dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan gadis yang di cintainya kini terbaring setelah sebelumnya terlempar jatuh dengan bersimpuh darah. Seorang gadis yang sangat ia cintai. Dan demi Tuhan, kali ini Alan benar – benar merasakan dunianya telah gelap.
Next to last part cerpen cinta rasa yang tertinggal.
Detail Cerpen
- Judul cerita : Rasa Yang Tertinggal
- Status : Complete
- Penulis : Ana Merya
- Twitter : @ana_merya
- Part : 04 Of 05
- Jumlah kata : 882 Words
- Genre : Remaja
Post a Comment for "Cerpen Cinta | Rasa yang Tertinggal ~ 04 / 05"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...