Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 07 / 10
Ehem ehem, ada yang nungguin lanjutan cepen {Bukan} sahabat jadi cinta? #adminmunculdaribaliksema'an (???). Okelah, anggap aja ada ya kan? #maksa. Nih, admin udah muncul bawa lanjutannya. Makin kesini makin aneh kayaknya. Huwahahahahaha #ketawaimut. Oke deh, lagi males nulis jadi nggak mo banyakan bacod. Jadi mendingan langsung lirik hasilnya aja deh. Dan untuk part sebelumnya bisa dicek disini.
Setelah selesai dengan seragam yang ia kenalkan, Ishida segera melangkah keluar dari kamarnya. Sedikit heran ketika menyadari kalau kakaknya juga keluar dari kamar dengan setelan rapi yang ia kenakan, padahal Ishida sangat ingat kalau hari ini tidak ada jadwal kuliah pagi.
“Tumben jam segini udah keren,” kometar Ishida.
Vano angkat bahu sambil melangkah kedapur guna sarapan yang sudah disiapkan oleh adiknya pagi tadi. “Gimana sih? Kemaren bukannya loe sendiri yang bilang kalau gue harus ngantar jemput loe.”
Ishida tidak membalas. Gadis itu hanya mengangguk dalam diam. Sepertinya ia sendiri lupa akan hal itu.
Setelah sarapan, Ishida segera melangkah keluar rumah. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di tangannya dan kadang menatap kearah jalan sembari menunggu sang kakak memanaskan mesin motornya. Tanpa sadar gadis itu menghembuskan nafas berat ketika mendapati kalau Arsyil benar – benar tidak menampakkan batang hidungnya.
“Ayo, buruan.”
Ishida menoleh dan baru menyadari kalau kakaknya sudah ada disampingnya. Tanpa kata gadis itu segera melangkah menghampiri.
“Tu rumah, udah loe kunci kan?” tanya Vano mengingatkan.
“Udah kok. Nih,” kata Ishida sambil menukarkan kunci rumah dengan heml yang juga sedang di sodorkan oleh kakaknya. Beberapa saat kemudian keduanya sudah melaju di jalan raya.
“Ntar kalau loe udah mau pulang, loe SMS aja. Soalnya gue mo jalan sama temen gue jadi ntar sekalian. Hari ini gue nggak ada kelas,” kata Vano begitu keduanya sudah tiba di halaman sekolah.
Lagi – lagi Ishida hanya membalas dengan anggukan. Dengan berlahan gadis itu turun. Setelah menyerahkan helm kepada sang kakak, ia segera melangkah masuk kekelas.
“Ishida.”
Merasa namanya di panggil Ishida menghentikan langkahnya dan segera berbalik. Tampak raut ngos – ngosan Arumy yang berlari menghampirinya.
“Baru datang juga loe?” tanya Ishdia begitu Arumy tiba di sampingnya.
Kepala Arumy mengangguk membenarkan. “Gue tadi liat loe diantar sama kakak loe. Kok tumben? Arysil mana?”
Ishida tidak langsung menjawab. Gadis itu kembali menghemuskan nafas sejenak sebelum kemudian memilih angkat bahu sambil kembali melangkah.
“Loe nggak barengan sama dia?” tanya Arumy lagi. Kali ini Ishida hanya membalas dengan gelengan.
“Kenapa?”
“Nggak kenapa – kenapa. Udah yuk, buruan kekelas. Bentar lagi masuk. Mana gue lupa nyelesein PR gue lagi, gue nyontek punya loe ya?” ajak Ishida sembari mengalihkan topic.
“Busyed, maksut loe. Loe belum nyelesein PR matematika kita?” tanya Arumy tampak tak percaya. Secara guru Matematika mereka kan terkenal galak.
“Iya, makanya bururan.”
Arumy manut, dan untuk sejenak topic tentang Arsyil pun terlupakan.
Begitu bel istirahat terdengar, seperti biasa Arumy segera menyeret Ishida untuk menemani kekantin sekolah. Gadis itu sengaja melangkah dengan cepat sehingga Ishida sedikit kewalahan mengimbanginya. Tanpa bertanya pun Ishida tau alasan kenapa Arumy melakukan hal itu. Karena tadi jam keluar sedikit lebih lama dari biasanya gara gara ada ulangan dadakan. Jadi jika mereka memang sedang tidak beruntung, mereka tidak akan kebagian tempat duduk dikantin lagi. Jam istirahat adalah jam dimana konsisi kantin di penuhi dengan para siswanya. “Tuh kan, elo jalan lelet banget sih. Nggak kebagian tempat duduk nih kita,” keluh Arumy sambil matanya mengawasi sekeliling. Hal yang sama dilakukan oleh Ishida.
“Eh, tu Arsyil cuma sama temennya. Mejanya dia masih ada yang kosong, kita samperin yuk,” ajak Arumy yang langsung tertahan karena Ishida dengan cepat mencekal tangannya. Tak hanya itu, gadis itu justru malah menarik tangan Arumyi kearah berlawanan.
“Disana ada yang kosong,” jelas Ishida sebelum Arumy sempat bertanya. Dan sepertinya gadis itu juga tidak berbohong. Tepat di sudut sebelah utara meja kantin itu memang kosong walau piring dan gelas setelah pelangan sebelumnya datang belum dibersihkan.
“Kenapa kita nggak gabung sama Arsyil aja si?” tanya Arumy setelah keduanya duduk diam.
“Kalau masih ada meja yang kosong kenapa kita harus ganguin mereka,” balas Ishida tanpa menoleh karena perhatiannya terjurus kearah buku menu di tangan. “Gue mau bakso sama Teh es manis. Loe mau pesen apa?” tanya Ishida cepat. Secepat yang bisa di lakukan sebelum Arumy kembali bertanya.
“Emp, samain aja deh,” balas Arumy setelah berpikir sejenak. Ishida hanya mengangguk membenerkan sebelum kemudian beranjak bangun untuk memesankan pesanan mereka. Beberapa saat kemudian keduanya kembali duduk berhadapan.
“Loe berantem ya sama Arysil?”
“Maksut loe?” Ishida balik bertanya. Arumy hanya angkat bahu, memberi isarat kalau Ishida hanya perlu menjawab pertanyaannya tanpa perlu bertanya balik.
“Enggak, kita baik – baik aja,” sahut Ishida setelah sempat terdiam untuk beberapa saat.
“Nggak usah bohong. Nih, Arsyil sms katanya kalian lagi nggak baikan,” kata Arumyi lagi sambil mengoyangkan handphon yang ada ditangannya.
Ishida terdiam dengan tatapan terjurus kearah sahabat yang duduk dihadapannya. Sedikit merasa kesel dengan gadis itu.
“Terus kalau loe udah tau kenapa loe masih nanya?”
“Ya gue kan pengen tau kenapa?”
“Kenapa nggak tanya langsung aja sama Arsyil?” tanya Ishida lagi.
“Udah. Tapi kali ini gue pengen denger versi loe pula.”
Lagi – lagi Ishida terdiam. Gadis itu sengaja mengalihkan perhatiannya kearah pelayan kantin yang kini sudah berdiri di hadapannya sambil menghidangkan pesanan mereka.
“Loe kok diem aja sih. Jawab donk,” desak Arumy lagi.
“Nggak ada yang harus di ceritain. Gue sama Arsyil sekarang udah nggak temenan lagi. Udah, gitu aja.”
“Idih, kayak anak TK banget sih pake berantem segala. Emangnya ada masalah apaan? Kali aja gue bisa bantuin. Secara kalian kan udah sahabatan sejak kapan tau.”
Ishida hanya membalas dengan gelengan. Dengan berlahan gadis itu mulai menyuapkan bakos kedalam mulutnya.
“Sebenernya gue nggak tau pasti sih, kita ada masalah apaan. Cuma kayaknya Arysyil beneran lagi naksir sama seseorang deh. Makanya itu dia nggak mau tu cewek salah paham sama kedekatan gue sama dia.”
“Loe serius?” tanya Arumy lagi. Kali ini Ishida membalas dengan anggukan.
“Loe tau tu cewek siapa?”
Ishida tidak langsung menjawab. Gadis itu kembali menatap kearah sahabatnya yang masih terdiam menanti jawaban darinya. “Gue juga belum tau pasti. Tapi kayaknya gue udah bisa nebak tu cewek siapa. Cuma…” Ishida tanpak mengantungkan ucapannya.
“Cuma?” ulang Arumy penasaran.
“Cuma sedari tadi kenapa loe malah ngajak ngobrol mulu. Tadi loe bilang kelaperan. Lagian entar ngembang tu mi, nggak enak lagi tau. Mana bentar lagi bel masuk,” omel Ishida sambil melirik jam yang melingkar ditangannya.
Mendengar itu, Arumy hanya bisa pasang tanpang cemberut. Tapi ia sama sekali tidak membantah secara apa yang Ishida katakan memang benar adanya. Dengan berlahan gadis itu mulai ikut menikmati makanannya walau sebenarnya ia masih tidak puas dengan jawaban yang Ishida berikan. Seperti yang di janjikan, Ishida kembali pulang bersama kakaknya. Bahkan pria itu juga terpaksa kembali mengantar dirinya ketempat les karena kebetulan hari ini jadwal masuknya. Walau selama pelajaran berlangsung, Ishida sama sekali tidak konsentrasi mendengarkannya. Saat itu pikirannya melayang entah kemana. Bahkan tau – tau, jam les sudah berakhir. Setelah mengSMS kakaknya, Ishida duduk didepan kelas. Sedikit memberengut kesel ketika tau kalau sang kakak masih ada urusan.
“Nungguin jemputan ya?”
Ishida menoleh, secara refleks bibirnya membentuk lengkungan ketika melihat Reihan yang kini melangkah duduk disampingnya. Dengan berlahan kepalanya mengangguk membenarkan.
“Kalau gitu kita sama donk.”
“Oh ya? Emang motor loe kemana?” tanya Ishida kemudian.
“Dibengkel,” sahut Reihan singkat. Ishida hanya mengangguk mendengarnya. Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Tengelam dalam pikirannya masing – masing.
“Hufh.”
Ishida diam – diam menoleh kearah Reihan yang tanpak menghebuskan nafas berat dengan tatapan menatap kosong kedepan. Tanpa perlu menjadi seorang peramal Ishida sudah bisa menebak kalau pria itu sedang dirundung masalah.
“Kenapa? Loe lagi ada masalah ya?”
“Ya?” Reihan menoleh. Sedikit tersenyum salah tingkah sembari merutuki dalam hati ketika mendapati Ishida sedang menatapnya. Astaga, kenapa ia bisa lupa kalau ia tidak sedang sendirian saat ini.
“Muka loe keliatan kusut gitu. Kayak orang yang lagi punya banyak beban pikiran gitu,” Ishida menambahkan.
“Keliatan banget ya?”
“Nggak banget sih? Cuma keliatan aja,” balas Ishida setengah bercanda. Mendengar itu mau tak mau Reihan tersenyum.
“Em gimana ya? Menurut loe. Yah, hanya menurut loe. Mungkin nggak sih, ada cewek sama cowok temenan deket banget tanpa ada rasa cinta?”
Gleg.
Ishida tampak menelan ludah. Tidak menduga akan mendengar pertanyaan seperti itu. Matanya menatap penuh selidik kearah pria yang duduk disampingnya. Apa mungkin Reihan mengetahui tentang kondisinya saat ini? Tapi, bagaimana bisa?
“Ke… kenapa loe nanya gitu ke gue?” akhirnya Ishida memilih untuk kembali bertanya.
Bukan segera menjawab Reihan justru terlihat menghebuskan nafas berat seperti sebelumnya.
“Soalnya gue heran aja. Ada cewek yang benar – benar menganggap kalau kedekatan itu hanya murni sebagai hubungan persahabatan.”
“Gue masih nggak ngerti,” aku Ishida dengan kerut bingung didahinya.
“Gue punya temen. Dia cewek. Kita udah deket dari sekian lama. Dimana ada dia, disitu ada gue. Kita juga udah saling mengerti satu sama lain.”
“Dan kemudian loe suka sama dia?” tanya Ishida setelah sedikit banyak mulai mengerti dengan titik permasalahannya.
Rihan tidak membantah. Terbukti dengan kepalanya yang mengangguk perlahan.
“Suka sama seseorang nggak salah kali. Yah walaupun dia itu temen loe, tetep aja dia cewek. Kalau dia itu cowok, baru masalah,” balas Ishida lagi sembari kembali sedikit bercanda yang membuat Reihan tersenyum samar mendengarnya.
“Terus kenapa muka loe keliatan murung gitu? Loe kan tinggal ngakuin perasaan itu sama dia?” tanya Ishida lagi.
Kali ini Reihan menggeleng berlahan. “Ini tu nggak sesederhana itu.”
“Memangnya kenapa? Loe takut dia tolak? Ayolah, loe kan cowok. Masa gitu aja takut. Lagian siapa tau dia sebenernya juga suka sama loe. Cuma karena dia cewek makanya dia menahan diri,” nasehat Ishida. ”Seperti gue,” sambungnya dalam hati.
Lagi – lagi Reihan kembali mengelengkan kepala. Membuat kerutan kembali muncul dikening Ishida.
“Gue emang sudah berencana buat ngaku kedia. Cuma selama ini gue masih mencari waktu yang tepat. Sayangnya ‘waktu’ itu nggak akan pernah ada. Karena dia udah suka sama orang lain.”
“Maksut loe?”
“Dia bener – bener ngangap kalau gue itu cuma sahabatnya dia. Dan tadi pagi, gue baru tau kalau dia baru aja jadian sama sahabat gue sendiri. Tanpa dia sempat tau kalau gue sebenernya suka sama dia. Konyol banget kan?” kata Reihan sambil tersenyum sinis. Sinis akan nasip dirinya sendiri.
Ishida terdiam membatu. Konyol? Kalau Reihan itu konyol, terus ia sendiri apa? Bukannya ia juga berada dalam posisi yang sama? Bahkan ia lebih dengan bodohnya telah memasang ‘benteng’ yang tak mungkin dilewati oleh sahabatnya. Walau mungkin bukan itu maksut dan tujuan awalnya.
“Aduh, sory ya. Kenapa gue jadi malah curhat sama loe,” Reihan tanpak mengaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal. Sebersit malu merambati hatinya. Terlebih ia tidak bisa di bilang dekat dengan gadis itu. Secara mereka juga baru kenal.
“Nggak papa kok. Dan sebenernya kalau gue boleh jujur, kita punya nasip yang sama,” balas Ishida lirih. Nyaris disebut gumaman.
“Maksut loe?” gantian Reihan yang mengkerutkan kening heran.
Ishida tidak langsung menjawab. Gadis itu hanya tersenyum. Senyum yang sama yang ditunjukan Reihan beberapa saat yang lalu. Senyum sinis. Tepatnya senyum sinis untuk dirinya sendiri.
Next part {Bukan} Sahabat Jadi Cinta 08
Detail Cerpen
Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta |
Setelah selesai dengan seragam yang ia kenalkan, Ishida segera melangkah keluar dari kamarnya. Sedikit heran ketika menyadari kalau kakaknya juga keluar dari kamar dengan setelan rapi yang ia kenakan, padahal Ishida sangat ingat kalau hari ini tidak ada jadwal kuliah pagi.
“Tumben jam segini udah keren,” kometar Ishida.
Vano angkat bahu sambil melangkah kedapur guna sarapan yang sudah disiapkan oleh adiknya pagi tadi. “Gimana sih? Kemaren bukannya loe sendiri yang bilang kalau gue harus ngantar jemput loe.”
Ishida tidak membalas. Gadis itu hanya mengangguk dalam diam. Sepertinya ia sendiri lupa akan hal itu.
Setelah sarapan, Ishida segera melangkah keluar rumah. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di tangannya dan kadang menatap kearah jalan sembari menunggu sang kakak memanaskan mesin motornya. Tanpa sadar gadis itu menghembuskan nafas berat ketika mendapati kalau Arsyil benar – benar tidak menampakkan batang hidungnya.
“Ayo, buruan.”
Ishida menoleh dan baru menyadari kalau kakaknya sudah ada disampingnya. Tanpa kata gadis itu segera melangkah menghampiri.
“Tu rumah, udah loe kunci kan?” tanya Vano mengingatkan.
“Udah kok. Nih,” kata Ishida sambil menukarkan kunci rumah dengan heml yang juga sedang di sodorkan oleh kakaknya. Beberapa saat kemudian keduanya sudah melaju di jalan raya.
“Ntar kalau loe udah mau pulang, loe SMS aja. Soalnya gue mo jalan sama temen gue jadi ntar sekalian. Hari ini gue nggak ada kelas,” kata Vano begitu keduanya sudah tiba di halaman sekolah.
Lagi – lagi Ishida hanya membalas dengan anggukan. Dengan berlahan gadis itu turun. Setelah menyerahkan helm kepada sang kakak, ia segera melangkah masuk kekelas.
“Ishida.”
Merasa namanya di panggil Ishida menghentikan langkahnya dan segera berbalik. Tampak raut ngos – ngosan Arumy yang berlari menghampirinya.
“Baru datang juga loe?” tanya Ishdia begitu Arumy tiba di sampingnya.
Kepala Arumy mengangguk membenarkan. “Gue tadi liat loe diantar sama kakak loe. Kok tumben? Arysil mana?”
Ishida tidak langsung menjawab. Gadis itu kembali menghemuskan nafas sejenak sebelum kemudian memilih angkat bahu sambil kembali melangkah.
“Loe nggak barengan sama dia?” tanya Arumy lagi. Kali ini Ishida hanya membalas dengan gelengan.
“Kenapa?”
“Nggak kenapa – kenapa. Udah yuk, buruan kekelas. Bentar lagi masuk. Mana gue lupa nyelesein PR gue lagi, gue nyontek punya loe ya?” ajak Ishida sembari mengalihkan topic.
“Busyed, maksut loe. Loe belum nyelesein PR matematika kita?” tanya Arumy tampak tak percaya. Secara guru Matematika mereka kan terkenal galak.
“Iya, makanya bururan.”
Arumy manut, dan untuk sejenak topic tentang Arsyil pun terlupakan.
Begitu bel istirahat terdengar, seperti biasa Arumy segera menyeret Ishida untuk menemani kekantin sekolah. Gadis itu sengaja melangkah dengan cepat sehingga Ishida sedikit kewalahan mengimbanginya. Tanpa bertanya pun Ishida tau alasan kenapa Arumy melakukan hal itu. Karena tadi jam keluar sedikit lebih lama dari biasanya gara gara ada ulangan dadakan. Jadi jika mereka memang sedang tidak beruntung, mereka tidak akan kebagian tempat duduk dikantin lagi. Jam istirahat adalah jam dimana konsisi kantin di penuhi dengan para siswanya. “Tuh kan, elo jalan lelet banget sih. Nggak kebagian tempat duduk nih kita,” keluh Arumy sambil matanya mengawasi sekeliling. Hal yang sama dilakukan oleh Ishida.
“Eh, tu Arsyil cuma sama temennya. Mejanya dia masih ada yang kosong, kita samperin yuk,” ajak Arumy yang langsung tertahan karena Ishida dengan cepat mencekal tangannya. Tak hanya itu, gadis itu justru malah menarik tangan Arumyi kearah berlawanan.
“Disana ada yang kosong,” jelas Ishida sebelum Arumy sempat bertanya. Dan sepertinya gadis itu juga tidak berbohong. Tepat di sudut sebelah utara meja kantin itu memang kosong walau piring dan gelas setelah pelangan sebelumnya datang belum dibersihkan.
“Kenapa kita nggak gabung sama Arsyil aja si?” tanya Arumy setelah keduanya duduk diam.
“Kalau masih ada meja yang kosong kenapa kita harus ganguin mereka,” balas Ishida tanpa menoleh karena perhatiannya terjurus kearah buku menu di tangan. “Gue mau bakso sama Teh es manis. Loe mau pesen apa?” tanya Ishida cepat. Secepat yang bisa di lakukan sebelum Arumy kembali bertanya.
“Emp, samain aja deh,” balas Arumy setelah berpikir sejenak. Ishida hanya mengangguk membenerkan sebelum kemudian beranjak bangun untuk memesankan pesanan mereka. Beberapa saat kemudian keduanya kembali duduk berhadapan.
“Loe berantem ya sama Arysil?”
“Maksut loe?” Ishida balik bertanya. Arumy hanya angkat bahu, memberi isarat kalau Ishida hanya perlu menjawab pertanyaannya tanpa perlu bertanya balik.
“Enggak, kita baik – baik aja,” sahut Ishida setelah sempat terdiam untuk beberapa saat.
“Nggak usah bohong. Nih, Arsyil sms katanya kalian lagi nggak baikan,” kata Arumyi lagi sambil mengoyangkan handphon yang ada ditangannya.
Ishida terdiam dengan tatapan terjurus kearah sahabat yang duduk dihadapannya. Sedikit merasa kesel dengan gadis itu.
“Terus kalau loe udah tau kenapa loe masih nanya?”
“Ya gue kan pengen tau kenapa?”
“Kenapa nggak tanya langsung aja sama Arsyil?” tanya Ishida lagi.
“Udah. Tapi kali ini gue pengen denger versi loe pula.”
Lagi – lagi Ishida terdiam. Gadis itu sengaja mengalihkan perhatiannya kearah pelayan kantin yang kini sudah berdiri di hadapannya sambil menghidangkan pesanan mereka.
“Loe kok diem aja sih. Jawab donk,” desak Arumy lagi.
“Nggak ada yang harus di ceritain. Gue sama Arsyil sekarang udah nggak temenan lagi. Udah, gitu aja.”
“Idih, kayak anak TK banget sih pake berantem segala. Emangnya ada masalah apaan? Kali aja gue bisa bantuin. Secara kalian kan udah sahabatan sejak kapan tau.”
Ishida hanya membalas dengan gelengan. Dengan berlahan gadis itu mulai menyuapkan bakos kedalam mulutnya.
“Sebenernya gue nggak tau pasti sih, kita ada masalah apaan. Cuma kayaknya Arysyil beneran lagi naksir sama seseorang deh. Makanya itu dia nggak mau tu cewek salah paham sama kedekatan gue sama dia.”
“Loe serius?” tanya Arumy lagi. Kali ini Ishida membalas dengan anggukan.
“Loe tau tu cewek siapa?”
Ishida tidak langsung menjawab. Gadis itu kembali menatap kearah sahabatnya yang masih terdiam menanti jawaban darinya. “Gue juga belum tau pasti. Tapi kayaknya gue udah bisa nebak tu cewek siapa. Cuma…” Ishida tanpak mengantungkan ucapannya.
“Cuma?” ulang Arumy penasaran.
“Cuma sedari tadi kenapa loe malah ngajak ngobrol mulu. Tadi loe bilang kelaperan. Lagian entar ngembang tu mi, nggak enak lagi tau. Mana bentar lagi bel masuk,” omel Ishida sambil melirik jam yang melingkar ditangannya.
Mendengar itu, Arumy hanya bisa pasang tanpang cemberut. Tapi ia sama sekali tidak membantah secara apa yang Ishida katakan memang benar adanya. Dengan berlahan gadis itu mulai ikut menikmati makanannya walau sebenarnya ia masih tidak puas dengan jawaban yang Ishida berikan. Seperti yang di janjikan, Ishida kembali pulang bersama kakaknya. Bahkan pria itu juga terpaksa kembali mengantar dirinya ketempat les karena kebetulan hari ini jadwal masuknya. Walau selama pelajaran berlangsung, Ishida sama sekali tidak konsentrasi mendengarkannya. Saat itu pikirannya melayang entah kemana. Bahkan tau – tau, jam les sudah berakhir. Setelah mengSMS kakaknya, Ishida duduk didepan kelas. Sedikit memberengut kesel ketika tau kalau sang kakak masih ada urusan.
“Nungguin jemputan ya?”
Ishida menoleh, secara refleks bibirnya membentuk lengkungan ketika melihat Reihan yang kini melangkah duduk disampingnya. Dengan berlahan kepalanya mengangguk membenarkan.
“Kalau gitu kita sama donk.”
“Oh ya? Emang motor loe kemana?” tanya Ishida kemudian.
“Dibengkel,” sahut Reihan singkat. Ishida hanya mengangguk mendengarnya. Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Tengelam dalam pikirannya masing – masing.
“Hufh.”
Ishida diam – diam menoleh kearah Reihan yang tanpak menghebuskan nafas berat dengan tatapan menatap kosong kedepan. Tanpa perlu menjadi seorang peramal Ishida sudah bisa menebak kalau pria itu sedang dirundung masalah.
“Kenapa? Loe lagi ada masalah ya?”
“Ya?” Reihan menoleh. Sedikit tersenyum salah tingkah sembari merutuki dalam hati ketika mendapati Ishida sedang menatapnya. Astaga, kenapa ia bisa lupa kalau ia tidak sedang sendirian saat ini.
“Muka loe keliatan kusut gitu. Kayak orang yang lagi punya banyak beban pikiran gitu,” Ishida menambahkan.
“Keliatan banget ya?”
“Nggak banget sih? Cuma keliatan aja,” balas Ishida setengah bercanda. Mendengar itu mau tak mau Reihan tersenyum.
“Em gimana ya? Menurut loe. Yah, hanya menurut loe. Mungkin nggak sih, ada cewek sama cowok temenan deket banget tanpa ada rasa cinta?”
Gleg.
Ishida tampak menelan ludah. Tidak menduga akan mendengar pertanyaan seperti itu. Matanya menatap penuh selidik kearah pria yang duduk disampingnya. Apa mungkin Reihan mengetahui tentang kondisinya saat ini? Tapi, bagaimana bisa?
“Ke… kenapa loe nanya gitu ke gue?” akhirnya Ishida memilih untuk kembali bertanya.
Bukan segera menjawab Reihan justru terlihat menghebuskan nafas berat seperti sebelumnya.
“Soalnya gue heran aja. Ada cewek yang benar – benar menganggap kalau kedekatan itu hanya murni sebagai hubungan persahabatan.”
“Gue masih nggak ngerti,” aku Ishida dengan kerut bingung didahinya.
“Gue punya temen. Dia cewek. Kita udah deket dari sekian lama. Dimana ada dia, disitu ada gue. Kita juga udah saling mengerti satu sama lain.”
“Dan kemudian loe suka sama dia?” tanya Ishida setelah sedikit banyak mulai mengerti dengan titik permasalahannya.
Rihan tidak membantah. Terbukti dengan kepalanya yang mengangguk perlahan.
“Suka sama seseorang nggak salah kali. Yah walaupun dia itu temen loe, tetep aja dia cewek. Kalau dia itu cowok, baru masalah,” balas Ishida lagi sembari kembali sedikit bercanda yang membuat Reihan tersenyum samar mendengarnya.
“Terus kenapa muka loe keliatan murung gitu? Loe kan tinggal ngakuin perasaan itu sama dia?” tanya Ishida lagi.
Kali ini Reihan menggeleng berlahan. “Ini tu nggak sesederhana itu.”
“Memangnya kenapa? Loe takut dia tolak? Ayolah, loe kan cowok. Masa gitu aja takut. Lagian siapa tau dia sebenernya juga suka sama loe. Cuma karena dia cewek makanya dia menahan diri,” nasehat Ishida. ”Seperti gue,” sambungnya dalam hati.
Lagi – lagi Reihan kembali mengelengkan kepala. Membuat kerutan kembali muncul dikening Ishida.
“Gue emang sudah berencana buat ngaku kedia. Cuma selama ini gue masih mencari waktu yang tepat. Sayangnya ‘waktu’ itu nggak akan pernah ada. Karena dia udah suka sama orang lain.”
“Maksut loe?”
“Dia bener – bener ngangap kalau gue itu cuma sahabatnya dia. Dan tadi pagi, gue baru tau kalau dia baru aja jadian sama sahabat gue sendiri. Tanpa dia sempat tau kalau gue sebenernya suka sama dia. Konyol banget kan?” kata Reihan sambil tersenyum sinis. Sinis akan nasip dirinya sendiri.
Ishida terdiam membatu. Konyol? Kalau Reihan itu konyol, terus ia sendiri apa? Bukannya ia juga berada dalam posisi yang sama? Bahkan ia lebih dengan bodohnya telah memasang ‘benteng’ yang tak mungkin dilewati oleh sahabatnya. Walau mungkin bukan itu maksut dan tujuan awalnya.
“Aduh, sory ya. Kenapa gue jadi malah curhat sama loe,” Reihan tanpak mengaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal. Sebersit malu merambati hatinya. Terlebih ia tidak bisa di bilang dekat dengan gadis itu. Secara mereka juga baru kenal.
“Nggak papa kok. Dan sebenernya kalau gue boleh jujur, kita punya nasip yang sama,” balas Ishida lirih. Nyaris disebut gumaman.
“Maksut loe?” gantian Reihan yang mengkerutkan kening heran.
Ishida tidak langsung menjawab. Gadis itu hanya tersenyum. Senyum yang sama yang ditunjukan Reihan beberapa saat yang lalu. Senyum sinis. Tepatnya senyum sinis untuk dirinya sendiri.
Next part {Bukan} Sahabat Jadi Cinta 08
Detail Cerpen
- Judul : {Bukan} Sahabat Jadi Cinta
- Penulis : Ana Merya
- Genre : Remaja, Romantis
- Status : Complete
- Fanspage : Star Night
Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 07 / 10"
Belajar lah untuk menghargai sesuatu mulai dari hal yang paling sederhana...