Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 09 / 10

Berharap kalau satu part kedepannya lagi ni cerpen satu bisa nemu sama yang namanya end. Secara cerpen {Bukan} sahabat jadi cinta ini kan niat awal sebenernya cuma mau di jadiin cerpen satu part yang langsung end. Eh, nggak taunya malah molor kemana – mana. Ck ck ck. Nah, biar nyambung sama cerita kelanjutannya ini, mendingan baca dulu part sebelumnya disini. Happy reading…..

Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta

“Ishida?” gumam Arumy lirih membuat Arsyil mengernyit. Jangan bilang kalau Ishida ada disini. Tapi ketika melihat raut terpaku yang tergambar di wajah Arumy yang sama sekali tidak mengalihkan tatapannya, dengan ragu Arsyil berbalik. Dan Arsyil langsung membulatkan mata melihat apa yang ada di hadapannya.

“Itu beneran Ishida kan?” kata Arumy lagi.

Saat itu tatapannya memang mengarah lurus kearah kejauhan. Selang beberapa meter jauh darinya tampak sosok yang ia kenali sebagai sahabatnya sedang berbicara akrab sambil tertawa lepas dengan seseorang di sampingnya. Arumy tidak bisa melihat dengan jelas, karena pria itu menghadap kearah yang berlawanan. Terlebih ia mengenakan topi.

“Kayaknya sih itu beneran Ishida. Tapi dia bareng siapa? Kakaknya?” Arsyil ikutan bergumam sambil terus mengamati dari kejauhan.

“Kayaknya bukan deh,” Arumy mengeleng. Tepat pada saat yang bersamaan orang tersebut berbalik sehingga Arumy bisa melihat wajahnya. “Reihan?”

“Reihan? Siapa? Loe kenal dia?” tanya Arsyil sambil berbalik menghadap Arumy.

“Kenal deket si enggak. Tapi kayaknya gue tau. Cuma elo inget nggak, waktu pertandingan persahabatan di sekolah waktu itu. Yang lawan sama anak SMA PEMDA?”

Walau tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini akan di bawa, tak urung Arsyil mengangguk membenarkan.

“Nah, coba loe perhatiin deh. Loe merasa kenal wajahnya nggak? Soalnya waktu itu dia ikutan main lawan kalian.”

Arsyil kembali mengalihkan tatapannya kearah kedua orang yang tidak menyadari kalau ada mata yang mengawasi. Keduanya malah terlihat asik menikmati Ice Cream sambil sibuk mengobrol. Entah apa yang sedang mereka obrolkan. Hanya saja keduanya tampak sedang berbahagia, terlebih dengan tawa yang selalu lepas dari bibir Ishdia. Melihat hal itu, entah datangnya dari mana Arsyil merasa sesak didadanya. Sebagai catatan, sama sekali tidak ada gejala Asma dalam keluarganya.

“Gue lupa. Tapi kalau seandainya itu memang bener, gimana loe dan Ishida bisa kenal sama dia?”

“Gue kenal karena Ishida yang ngenalin. Dia bilang Reihan itu temen les nya dia?”

“Les?” Arsyil terlihat makin bingung.

“Iya,” angguk Arumy. “Jadi beberapa waktu yang lalu Ishida bilang kalau dia ikutan les bahasa inggris.”

“Akh, kayaknya gue inget. Kalau nggak salah waktu itu kalian ngobrolnya waktu habis pertandingan kan?” kata Arsyil setelah beberapa saat sempat terdiam.

Arumy hanya mengangguk membenarkan.

“Kalau itu hubungan mereka berdua sejauh apa?”

“Sory, tapi untuk pertanyaan yang satu ini kayaknya gue juga nggak tau jawabannya,” sahut Arumy dengan raut menyesal.

Arsyil terdiam. Pria itu segera mengalihkan tatapannya. Kini ia tidak lagi mengamati kedua orang yang sedari tadi mereka bicarakan. Perhatiannya telah ia alihkan kearah makanan yang ada di hadapannya tanpa menyentuhnya sama sekali. Karena napsu makannya telah menguap entah kemana. Melihat hal itu, Arumy juga merasa prihatin. Ia berniat untuk menghibur, tapi ia sendiri tidak tau apa yang harus di lakukannya.

“Tapi Arsyil. Sebaiknya loe jangan salah paham dulu. Kita kenal Ishida kan sudah lama. Ya mungkin aja mereka cuma temen biasa. Lagian menurut gue nggak mungkin juga mereka jadian. Secara mereka juga baru kenal.”

Masih tanpa kata, Arsyil menoleh. Menatap kearah Arumy yang juga sedang menatapnya.

“Maksut gue, Ishida bilang dia kenal Reihan karena mereka temen satu les. Sementara ia sendiri belum juga sebulan les disana. Ya jadi mggak mungkin juga kan ada orang yang langsung jadian kalau baru kenal?”

Arsyil tidak membalas, walau tak urung ia merasa ucapan Arumy ada benarnya. Perlahan ia menoleh kembali kearah Ishida sebelum kemudian ia bangkit berdiri.

“Loe mau kemana?” tanya Arumy heran.

“Mereka sudah pergi,” balas Arsyil sambil mengeluarkan dompet dari sakunya baru kemudian mengeluarkan uang ratusan dan ia letakan di atas meja.

“Sory ya Arumy. Gue duluan,” pamit Arsyil sebelum kemudian berlalu.

“Tunggu dulu. Arysil, maksut loe, loe pengen ngejar mereka?” teriak Arumy yang hanya di balas lambain tanpa menoleh dari Arsyil. Karena pria itu lebih memilih berlari agar tidak kehilangan jejak orang yang ingin diikutin.“Reihan, ma kasih ya. Atas traktiran Ice Cramnya tadi. Sama jalan jalannya juga. Serius deh hari ini gue seneng banget,” aku Ishida tulus. Jujur saja, hari ini memang menyenangkan. Bahkan untuk sejenak ia bisa melupakan rasa sakit yang diderita hatinya.

“Justru gue kali yang bilang ma kasih karena loe sudah mau nemin gue. Yah paling nggak gue bisa lupa sama masalah gue untuk sejenak,” balas Reihan sambil tersenyum. “Tapi ngomong – ngomong kita kemana lagi nih?”

“Emp, kalau pulang aja gimana? Lagian kita juga sudah jalan – jalan seharian.”

“Akh, elo bener juga. Jalan bareng sama loe bener – bener nggak terasa. Ya sudah, kalau gitu ayo gue antar loe pulang.”

Ishida mengangguk membenarkan. Secara beriringan keduanya melangkah keluar dari mall dan langsung menuju ke parkiran. Selang beberapa saat kemudian keduanya telah berhenti tepat di depan rumah Ishida.

“Masuk dulu yuk,” ajak Ishida sambil melepaskan helm yang di kenakannya.

“Ma kasih ya. Lain kali aja deh. Nggak enak gue sama keluarga loe entar. Secara sudah keringatan gini,” balas Reihan sambil turun dari motornya dan ikut – ikutan melepaskan helmnya. Ishida hanya tersenyum menangapinya. Karena ia tau itu hanya alasan basa – basi dari Reihan untuk menolak tawarnnya.

“Tapi serius Ishida. Untuk hari ini, gue mau bilang ma kasih banget karena loe udah nemenin gue.”

“Iya… Sama – sama. Gue juga berterima kasih kok. Karena hari ini gue juga seneng.”

“Ya sudah kalau gitu gue pamit dulu ya,” pamit Reihan sambil berbalik.

“Iya. Jangan lupa hati – ha… Aduh.”

“Loe kenapa?” tanya Reihan sambil kembali berbalik menghadap kearah Ishida yang tampak sedang mengusap – usap matanya.

“Aduh kayaknya mata gue kelilipan debu deh,” sahut Ishida tanpa menoleh. Reihan terdiam sambil menatap kesekeliling. Barusan memang ada motor yang lewat, dan menyebapkan debu pasir jalan berterbangan. Mungkin salah satunya nggak sengaja masuk kedalam mata Ishida.

“Oh ya, coba gue lihat,” kata Reihan.

“Nggak papa kok. Kayaknya juga cuma pasir kecil doank,” kata Ishida sambil terus mengucek – ucek matanya yang beberapa saat kemudian terdiam karena cekalan kuat Reihan.

“Jangan di kucek. Ntar malah luka. Coba sini biar gue lihat,” sambung Reihan lagi.

Awalnya Ishida merasa ragu, tapi beberapa saat kemudian ia melepaskan tangannya. Dengan berlahan ia mulai membuka mata yang terasa sakit sementara wajah Reihan sendiri tepat berada di hadapannya.

“Ternyata bener ada debu. Loe diem aja biar gue tiup,” kata Reihan.

Ishida hanya bisa manut. Setelah beberapa kali tiupan akhirnya debu tersebut berhasil disingkirkan.

“Ma ka…”

Bugg (???? #Admin frustasi ngarang bunyinya)

“Reihan,” teriak Ishida kaget.

Kejadiannya begitu cepat. Ishida sendiri tidak mengerti bagaimana kronologinya. Tau – tau, Reihan sudah terlihat jatuh terduduk dihadapannya sembari mengusap pipinya yang terlihat merah. Bahkan disudut bibirnya tanpak sebercak merah darah segar. Saat Ishida menoleh.

“Arsyil, loe ngapain?!”

“Dasar cowok berengsek loe ya. Apa yang loe lakuin sama Ishida,” tuding Arsyil dengan telujuk lurus kearah Reihan yang masih terduduk tak berdaya. “Sini loe,” kata Arsyil lagi sambil bersiap untuk menghajar Reihan kalau tidak buru – buru di hadang oleh Ishida yang berdiri tepat di hadapannya.

“Arsyil loe apa – apaan sih?” tahan Ishida, tapi Arsyil sama sekali tidak mengindahkannya. Ia masih tetap berusaha untuk menghajar Reihan yang masih tidak tau apa salahnya. Sampai kemudian tangan Ishida melayang dan mendarat di pipi Arsyil dengan kerasnya. Seolah baru tersadar, Arsyil menatap tak percaya kearah Ishida. Ia sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi padanya. Tamparan itu memang terasa keras dan menyakitkan, tapi Arsyil yakin, rasa sakit di pipinya itu bahkan tidak sampai sepersepuluh dari rasa sakit di hatinya. Ishida tega menamparnya demi untuk membela pria di sampingnya?

“Arsyil… Sory… gue…” Ishida tidak tau harus berkata apa saat melihat tatapan tak percaya di wajah Arsyil.

“Kenapa?” gumam Arsyil lirih. Sangat lirih, seolah ia memang sudah tidak punya tenaga. Bahkan hanya untuk berbicara.

Ishida tidak menjawab. Justru sebaliknya, ia yang ingin bertanya. Sebenarnya Arysil kenapa?

“Ishida, loe bilang kemaren loe nggak punya pacar.”

Ishida mengalihkan tatapanya dari Arsyil kearah Reihan yang kini berdiri di sampingnya sambil menatapnya heran.

“Dia emang bukan pacar gue,” sahut Ishida yang sama sekali tidak menyadari kalau ucapannya bisa terdengar begitu menyakitkan bagi Arsyil yang masih berdiri di sampingnya.

“Kalau gitu dia siapa? Dan kenapa gue di tonjok?” tanya Reihan lagi.Kali ini Ishida terdiam tanpa tau harus menjawab apa. Ketika kepalanya menoleh kearah Arsyil, dadanya terasa sesak. Sejujurnya ia juga tidak tau kenapa, tapi ketika melihat tatapan Arsyil padanya, gadis itu menyadari ada yang salah. Tatapan itu bergitu syarat luka. Sebenarnya apa yang terjadi?

“Dia….” Ishida mengantungkan ucapannya.

Ia ingin menjawab kalau Arsyil adalah sahabatnya. Tapi ingatan tentang ucapan Arsyil kemaren tentang tidak ingin bersahabat dengannya lagi mengusik. Sehingga gadis itu lebih memilih kembali terdiam.

“Atau jangan – jangan dia adalah ‘mantan sahabat’ yang loe maksut kemaren?” tanya Reihan lagi. Dan atas ucapannya barusan pria itu langsung mendapat dua pasang lirikan tajam dari kedua orang disampingnya.

“Karena loe diem aja, gue artikan kalau tebakan gue itu benar.”

“Apa maksut loe dengan mantan sahabat?” tanya Arsyil dengan nada permusuhan.

Reihan hanya angkat bahu. Sama sekali tidak terlihat tertarik untuk menjawab. Pria itu masih kesel karena di tonjok tiba – tiba. Tapi hal itu sepertinya telah di salah artikan oleh Arsyil yang mengangap kalau ia di tantang. Dengan cepat ia melesat untuk kembali menghajar Reihan tanpa mampu di halangi oleh Ishida yang jelas tidak lebih kuat darinya. Dan kemudian perkelahian pun terjadi karena kali ini Reihan sudah lebih siap dari sebelumnya.

Ditengah keputus asaan untuk melerai keduanya, Ishida nekat menerobos. Berdiri tepat dihadapan Arsyil yang baru di tariknya. Kurang dari sedetik saja Arsyil tidak menyadari hal itu, bisa di pastikan tonjokannya akan mendarat di wajah Ishida yang kini sedang memejamkan mata ketakutan.

Setelah jeda untuk beberapa saat, Ishida barulah berani membuka matanya. Tatapannya langsung ia arahkan kemata Arsyil yang juga sedang menatapnya dengan tangan yang masih di udara. Detik berkutnya Arsyil melepaskan cekalan tangannya pada kerah Reihan yang sedari tadi di gengamnya baru kemudian mundur beberapa langkah.

“Kenapa?” tanya Arsyil terdengar lelah dan putus asa.

“Justru itu yang pengen gue tanyain. Arsyil, sebenernya loe kenapa?” tanya Ishida balik.

Arsyil tidak langsung menjawab. Tangannya terulur mengusap bibinya yang biru akibat tonjokan yang sempat ia dapatkan dari Reihan tadi. Dengan tatapan yang penuh kesakitan ia menatap kearah Ishida sembari mulutnya bergumam.

“Kenapa harus dia?” tanya Arsyil lagi, kali ini dengan telunjuk yang tearah lurus kearah Reihan walau tatapannya tetap terhunjam lurus pada mata Ishida.

“Gue nggak ngerti loe ngomong apa. Please, kalau ngomong yang jelas.”

“Loe masih nggak ngerti?” cibir Arsyil sinis. Entah sinis pada Ishida, atau justru pada dirinya sendiri. “Gue nanya kenapa harus dia? Kenapa loe lebih milih dia yang baru loe kenal sementara loe nggak pernah natap gue sama sekali. Bahkan setelah tiga tahun kita bersama. Gue yang selalu bersama loe, gue yang selalu ada buat loe, dan gue yang selalu ngertiin loe. Tapi kenapa pada akhirnya loe tetep memilih yang lain?”

“Sebenernya apa kurangnya gue. Apa yang dia punya tapi nggak gue miliki sehingga loe lebih memilih dia?” tanya Arsyil dengan nada penuh keputus asaan.

Namun bukannya mengerti Ishida justru malah semakin bingung. Ia benar – benar tidak mengerti kenapa Arsyil marah padanya. Dan apa yang di maksut dengan memilih? Lagian memangya apa yang ia pilih?

“Kenapa kalian bahkan bisa berciuman tepat dihadapan gue?” sambung Arsyil lirih. Sangat lirih. Tapi ternyata efeknya tidak lebih mengejutkan dari pada teriakan kemarahan sebelumnya. Terbukti dengan tatapan kaku Ishida yang terlihat bisu dan membatu.

“Ha ha ha.”

Sang admin pun tertawa gegulingan. #plaks. Secara ni scene berasa drama abis yak. Keke ke. Eh, nggak ding. Diralat, yang tertawa barusan ntu si Reihan. Gimana ceritanya, kita ulang aja yuks.

Suasana yang hening dan mencekam pecah dengan tawa yang keluar dari mulut Reihan. Arsyil yang sama sekali tidak menganggap ada yang lucu hanya bisa membalasnya dengan tatapan tajam.

“Emangnya, kalau gue nyium Ishida kenapa? Loe cemburu? Ya ela, memangnya loe punya hak apa sih buat cemburu. Siapa siapanya dia juga bukan,” tantang Reihan persis seperti orang yang berniat bunuh diri. Pria itu terlihat sama sekali tidak merasa gentar dengan tatapan yang ia dapatkan. Tangan Arsyil yang mengepal erat, hanya ia balas dengan lirikan sekilas. Dan ketika kepalan itu benar – benar mengayun, seperti sebelumnya Ishida segera berdiri tepat dihadapan guna menghadang.

“Bahkan loe rela bela mati – matian buat dia?” tanya Arsyil kearah Ishida. Gadis itu masih bungkam. Secara berlahan mulai membuka matanya dengan takut – takut.

“Baiklah jika memang itu yang loe mau. Gue ….” Arysil tidak melanjutkan ucapannya. Dadanya benar – benar terasa sesak. Tenggorokannya juga terasa kelu. Akhirnya ia memilih berbalik tanpa menoleh lagi.

Next part {Bukan} Sahabat Jadi Cinta Part Ending

Detail Cerpen
Ana Merya
Ana Merya ~ Aku adalah apa yang aku pikirkan ~

Post a Comment for "Cerpen {Bukan} Sahabat Jadi Cinta ~ 09 / 10"